• Tidak ada hasil yang ditemukan

Santo Agustinus

Dalam dokumen TEORI SOSIOLOGI KLASIK (Halaman 83-87)

Memahami Filsafat Sosial Sebagai Dasar Teori Sosial

E. Santo Agustinus

Setelah berakhirnya abad Helenic di mana filsafat sosial didominasi oleh pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles, beberapa pemikiran atau filsafat sosial baru berkembang dengan tidak begitu membawa pengaruh yang sangat besar pada dunia sosial. Agaknya benarlah seperti apa yang pernah dikatakan oleh Nietzche bahwa ajaran-ajaran Socrates, Plato dan Aristoteles tidak seluruhnya mewakili masyarakat dan peradaban Yunani pada masanya. Pada masa-masa tertentu ajaran-ajaran mereka tidak mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial politik Yunani.

Epicurus misalnya, seorang filsuf yang hidup pada periode akhir Yunani justru mengembangkan filsafat individualistis, suatu aliran yang justru berkebalikan dengan ajaran-ajaran Socrates, Plato maupun Aristoteles. Demikian juga filsafat sosial Stoa yang dikenal sebagai filsafat penutup abad Yunani. Sekalipun pemikiran Stoa masih membekas pemikiran-pemikiran Aristoteles maupun Plato, namun Stoa lebih banyak berkembang atas sanggahannya terhadap filsafat Epicurus. Stoa lebih memusatkan perhatiannya kepada hukum moral dan kebajikan di dalam diri manusia dan hukum moral itu bersumber dari hukum alam.

Tidak perlu memperdebatkan kontradiksi ini. Sebab di dalam perkembangan teori teori selanjutnya, periode akhir Yunani maupun periode abad Romawi, tidak begitu besar peranannya di dalam pemikiran teori sosial, dibandingkan misalnya dengan periode abad pertengahan atau apa yang dikenal dengan abad Scholastik. Mengapa abad ini menjadi penting dibicarakan, karena sekaligus inilah abad di mana pertumbuhan teori sosial serasa tersendat-sendat karena besarnya kekuasaan Gereja di dalam kehidupan kemasyarakat Abad ini adalah suatu abad di mana agama Kristen berkembang dengan pesat, dimana Bapak-bapak Gereja tidak saja di lapangan kebudayaan, melainkan juga di lapangan politik. Bahkan disebut abad Scholastik adalah karena pemikiran pada masa ini menyusun ajaran Gereja dalam suatu ilmiah. Pengaruh Aristoteles sangat besar di dalam periode ini, terutama di dalam pemikiran para tokoh Scholastik ini yaitu Thomas Aquinas dan Agustinus. Baiklah kita bicarakan tokoh yang pertama yaitu Santo Agustinus.

Agustinus dilahirkan pada tahun 354 M., dan meninggal tahun 430. Sekalipun dia berasal dari Tagaste di daerah Numidia (sekarang merupakan bagian dari Algeria) penampilan Agustinus seakan-akan berasal dari keluarga bangsawan Romawi kaya yang sangat memuliakan kaumnya. Asal usul ibu Agustinus sebenarnya tidak jelas, tetapi dia adalah seorang penganut Kristen, sekalipun ayahnya adalah seorang penyembah berhala.

Ketika berusia tujuh belas tahun, Agustinus berangkat ke Kartago belajar retorika. Sekalipun pada mulanya hidupnya hanya mencari kesenangan, tetapi kemudian menjadi penganut Kristen, sama dengan ibunya. Pada mulanya Agustinus adalah penganut filsafat Aristoteles; tetapi pada umur 19, dia memasuki sekte kemudian menjadi penganut kaum Platonis, dan akhirnya malah menjadi penganut kaum skeptis.

Usia 28 tahun, sesudah ayahnya meninggal dia pergi ke Roma, kemudian menuju Milan, di kota mana dia menjadi seorang guru retorika Di kota inilah dia berkenalan dengan Uskup bernama Ambrosius, yang kemudian membaptiskannya menjadi seorang Kristen. Agustinus kembali ke kampung halamannya di Afrika Utara pada tahun 388 dan di sana dia menjadi seorang pendeta.

Dan bahkan kemudian dia menjadi Uskup Hippo di pantai Utara Afrika. Di tempat itulah filsuf Gereja ini menuliskan karangan karangannya yang besar dan di sana pula dia menutup usianya.

Agustinus menulis buku yang berjudul De civitate Dei yang berarti The City of God. Dalam bahasa Latin, “civitas” berarti kota tetapi pada masa Agustinus dia berarti negara atau dapat disebut

“Masyarakat Buku” ini ditulis dari tahun 413 dan selesai pada tahun 426.

Sesungguhnya The City of God tidaklah dapat disebutkan sebagai suatu karya ilmiah dan artian sebenarnya, sebab buku ini hanyalah memuat polemik untuk menentang kaum penyembah berhala dan membela agama sebagai suatu polemik teologis, buku ini memuat pandangan Kristen berdasarkan kenyataan inilah dapat disebut bahwa metode berfikir Agustinus bukanlah metoda berpikir ilmiah, sebab dia menyandarkan seluruh filsafat sosialnya dari Alkitab khususnya kitab Perjanjian Lama dan dari ajaran-ajaran Gereja. Sekalipun demikian, Agustinus telah menunjukkan suatu pemikiran filsafat yang sangat baik, dan menguraikan sejarah perjalanan umat manusia yang didukung oleh Alkitab. Metode berpikir Agustinus bertitik tolak dari agama dan ilmiah, dan berusaha untuk menunjukkan bagaimana menilai agama secara sosial benar. Metode berpikir demikian inilah memberi pengaruh besar terhadap Gereja pada abad pertengahan, dan juga gereja Katolik di kemudian hari Bahkan memberi pengaruh pada banyak gereja yang menganut aliran Protestan.

a. Filsafat Sosial Agustinus

The City of God seluruhnya menekankan pada dua bentuk masyarakat atau negara, yakni masyarakat atau negara di dunia ini dan masyarakat atau negara Tuhan di dunia lain. Agustinus menunjukkan bahwa asal manusia dari Tuhan, yang diturunkan melalui Adam dan Hawa. Segala sesuatu yang ada di dunia ini kata Agustinus adalah ciptaan Tuhan, dan diatur oleh-Nya.

Masyarakat yang ada di dunia ini telah terjatuh ke dalam dosa dan itulah sebabnya bahwa negara yang bersifat duniawi adalah negara yang lebih rendah dan bersifat materialistis. The City of God kata Agustinus adalah suatu negara Tuhan, dan „Dia'

tidaklah dari dunia ini, akan tetapi semangat dimiliki sebagian dan diusahakan oleh beberapa orang di dunia ini, dan yang menyelenggarakan negara Tuhan di dunia ini adalah Gereja.

Menurut Agustinus, pada dasarnya masyarakat manusia telah diruntuhkan oleh dosa yang dilakukan Adam, dan dari dosa yang dilakukannya ini terpecahlah masyarakat manusia menjadi dua yaitu, di satu pihak manusia dikuasai oleh nafsu serta perasaan-perasannya sendiri, yang kemudian mengalami kemerosotan, ketiadaan hukum, dan ditakdirkan untuk mengalami keruntuhan sedang di pihak lain manusia diperintah oleh cinta Tuhan dan dikaruniai kebahagiaan abadi. Agustinus dengan demikian telah membagi dua kelas manusia, yaitu mereka yang berdosa dan yang tidak berdosa. Berdasarkan anggapan dasar sedemikian inilah kemudian filsuf Gereja ini memandang masyarakat atau negara, yakni masyarakat atau negara yang ada di dunia yang penuh dosa dan masyarakat atau negara Tuhan.

Agustinus juga telah mengkritik Cicero yang mengatakan bahwa negara sebagai bangsa, khususnya ketika dia menunjuk negara Romawi. Menurut Agustinus, pengertian bangsa itu tidak pernah dikenal oleh kerajaan Romawi yang dikenal adalah pengertian orang banyak yang dipersatukan karena perintah dari seorang penguasa dan karena diadakan perjanjian-perjanjian.

Kerajaan Romawi tidak pemah menjadi suatu negara, kata Agustinus. Sebab bukanlah kerajaan-kerajaan yang tidak mempunyai rasa keadilan itu tiada lain dari gerombolan-gerombolan perampok belaka?. Negara duniawi lahir karena manusia telah terjerumus ke dalam dosa sebagaimana yang dilakukan Adam. Perbudakan di dunia inipun adalah akibat dari dosa manusia itu jua. Dari sudut filsafat Kristen, bangsa Romawi telah jatuh karena nafsu mereka akan kemegahan duniawi. Cicero telah Agustinus, ketika dia mengira bahwa negara ini adalah penjelmaan dari keadilan. Keadilan hanya mungkin dicapai dalam negara-negara yang diperintah oleh agama Kristen, yaitu Civitas Dei. Hanya dengan mengejar tujuan itu saja, yakni kerinduan akan negara Tuhan orang dapat berbahagia untuk selama-lamanya.

Tentang tata tertib sosial Agustinus berpendapat hanya dapat diwujudkan di dalam masyarakat Tuhan. Tertib sosial hanya

terwujud melalui cinta, dalam mana keadilan dapat dilaksanakan, tidak hanya kepada manusia, tetapi juga untuk Tuhan. Jadi perdamaian di dalam masyarakat Tuhan itu haruslah perdamaian berdasarkan cinta persaudaraan, yang merupakan refleksi dari perdamaian abadi yang berasal dari Tuhan.

Catatan:

Filsafat sosial Agustinus telah berpengaruh sangat besar terhadap peradaban Barat. Dan juga pengaruhnya yang tidak saja terhadap Gereja Katholik, tetapi juga dibanyak Gereja Protestan.

Ajaran Agustinus mampu memberikan pengaruh besar sedemikian itu karena keberhasilannya untuk mempertahankan otoritas Gereja, dan juga otoritas Kitab Suci dari Interpretasi kemampuan berpikir manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Lichtenbergen: Alkitab telah memberi kepada manusia sejarah dari asal mula manusia dan masyarakat: tidak saja karena Alkitab tidak membutuhkan penyelidikan ilmiah atau filsafat sosial, tetapi karena Alkitab sebagaimana ditunjuk Agustinus telah mengajar mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Teologi Protestan sebagaimana dikembangkan Calvin, juga teologi Katholik Roma sebagaimana dikembangkan Thomas Aquinas, secara langsung berdasarkan ajaran Agustinus. Pengaruh ajaran Agustinus oleh karena itu sering menghambat kemajuan ilmu pengetahuan sosial.

Sama seperti Plato, Agustinus juga membedakan manusia ke dalam kelas yang saling terpisah. Kelas sosial yang diciptakan Agustinus itu adalah kelas manusia yang berdosa, dan manusia yang telah diselamatkan oleh Tuhan. Bahkan lebih daripada Plato, Agustinus dua kelas manusia tersebut sebagai dua kelas yang tidak mungkin dapat diper temukan.

Dalam dokumen TEORI SOSIOLOGI KLASIK (Halaman 83-87)