• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: ANALISIS RELEVANSI KONSEP TRISAKTI SOEKARNO

4.2 Saran

1. Melakukan perbaikan-perbaikan terhadap beberapa poin dalam Nawacita yang luput dalam melihat gagasan Trisakti Soekarno, khususnya terkait penegasan orientasi dan sikap terhadap ancaman nekolim yang semakin nyata pada kondisi saat ini. Sebuah hal yang paradoks apabila penggunaan Trisakti sebagai sebuah jalan ideologis tidak diimbangi dengan sebuah ketegasan sikap terhadap nekolim, karena pada dasarnya Trisakti merupakan antitesis dari ancaman nekolim.

2. Konsistensi dalam menjadikan konsep Trisakti sebagai sebuah jalan ideologis. Situasi pemerintahan Indonesia saat ini, sesuai dengan yang disebutkan

Soekarno dengan “revolusi yang telah keluar dari relnya”. Perkembangan

pembangunan Indonesia dalam aspek politik, ekonomi, maupun budaya belum bisa dikatakan menggembirakan, apabila dibandingkan dengan pesatnya perkembangan negara-negara lain saat ini. Trisakti Soekarno oleh karena itu layak untuk diuji kembali efektifitasnya sebagai sebuah tahapan revolusi Indonesia. Penerapan Trisakti secara konsisten tentu mampu menjadi alternatif baru ditengah mandeknya perkembangan Indonesia saat ini.

3. Apabila dihadapkan pada realitas saat ini tentunya Trisakti sebagai sebuah jalan ideologi menemui jalan terjal untuk diaplikasikan. Diperlukan

usaha-usaha untuk mencari sebuah alternatif dari kondisi yang bertentangan tersebut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

BAB II

SEJARAH TRISAKTI DAN NAWACITA PEMERINTAHAN JOKOWI-JK

2.1. Sejarah Trisakti

2.1.1. Karakteristik Pemikiran Soekarno di dalam Trisakti

Trisakti sebagai sebuah gagasan merupakan hal yang tidak asing di kalangan masyarakat Indonesia. Trisakti bersama gagasan-gagasan lain seperti Nasakom, Marhaenisme, Nefo, Berdikari, Manipol, dan Dekon (Demokrasi Ekonomi), dikenali dengan label made in Soekarno. Soekarno sebagai penggagas konsep-konsep tersebut termasuk pemikir yang produktif bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain yang semasa dengan dirinya.

Gagasan-gagasan Soekarno merupakan pemahamannya atas sebuah realitas yang terjadi di Nusantara, yakni penjajahan selama ratusan tahun oleh bangsa asing. Oleh karena itu, untuk dapat memahami gagasan-gagasan dan konsep Soekarno, tidak dapat dilepaskan dari perjuangan Soekarno dalam pergerakan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Pengalaman empiris Soekarno dan

keterlibatannya sebagai aktor dalam pergerakan di Indonesia berpengaruh besar melatarbelakangi dan membentuk gagasan-gagasan yang dia kemukakan.

Awal keterlibatan Soekarno dalam pergerakan Indonesia dimulai semenjak ia masih berstatus pelajar. Soekarno tercatat aktif dalam menyumbangkan pemikirannya di surat kabar Oetoesan Hindia selama lima tahun, sejak tahun 1912-191829. Oetoesan Hindia merupakan surat kabar yang dibawahi oleh Sarekat Islam sekaligus menjadi media propaganda organisasi tersebut, mengingat pada masa jayanya pada tahun 1910-an anggota dari Sarekat Islam mencapai dua juta pengikut30.

Keterlibatan Soekarno sebagai kontributor tulisan berbagai surat kabar berlanjut ketika ia duduk sebagai siswa Hogere Burger School, Surabaya. Begitu juga ketika ia pindah ke Bandung dan menjadi mahasiswa Technische Hogere

School (cikal bakal Institut Teknologi Bandung), Soekarno tercatat masih aktif

menyumbangkan tulisan untuk surat kabar Sama Tengah.

Surat kabar sebagai media massa yang paling populer pada saat itu dinilai efektif sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi oleh Soekarno. Surat kabar juga memiliki fungsi untuk mempengaruhi sidang pembaca agar bersikap atau mempunyai pandangan seperti yang diinginkan oleh penulis. Hal inilah yang ingin dicapai Soekarno, yaitu surat kabar sebagai mediator untuk menyampaikan

29

Kasenda, Peter. Februari 2014. Bung Karno Panglima Revolusi. Yogyakarta: Galang Press. Hal. 76. 30

gagasan-gagasan yang sifatnya kebangsaan dalam rangka mencapai cita-cita Indonesia merdeka.

Melalui surat kabar, Soekarno menerbitkan tulisannya yang berjudul

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Tulisan yang dimuat pada majalah Soeloeh Indonesia Moeda pada tahun 1927 tersebut ditujukan kepada kalangan

rakyat Indonesia yang ia terkotak-kotak ke dalam tiga golongan besar yaitu golongan Nasionalis, Islamis, dan Komunis. Dalam Nasionalisme, Islamisme dan

Marxisme Soekarno juga mengkehendaki persatuan antara golongan-golongan

yang dapat membawa Indonesia merdeka.

“dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan,

bahwa faham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di negeri lain, tetapi yakin bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia insyaf, bahwa persatuan lah yang membawa kita kearah kebesaran dan kemerdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa walaupun pikiran kita tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing pihak, ia menunjukkan bahwa persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan saja organisasinya, bagaimana persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya saja, yang menjadi mahatma persatuan itu31.

Secara fisik, keterlibatan perjuangan Soekarno berlanjut dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan cikal bakal dari Partai Nasional Indonesia. PNI yang dibentuk pada 1927 memilih jalur non-kooperatif sebagai metode perjuangan pada saat itu, sehingga kerap bertentangan dengan

31

Tulisan Ir. Soekarno yang berjudul Nasionanisme, Islamisme dan Marxisme, dimuat di Majalah Soeloeh Indonesia Muda tahun 1927 dalam Ir. Soekarno. 2015. Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1. Yogyakarta: Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno. Hal. 27

pemerintahan kolonial Belanda. PNI berkonsentrasi dalam menyebarkan ajaran-ajaran pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun yang sama juga, Soekarno mempelopori berdirinya PPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), sebagai gabungan dari organisasi-organisasi dan partai politik yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, diantaranya PNI, Partai Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatera, Perserikatan Selebes dan Kaum Betawi.

Pergerakan PNI pada akhirnya dianggap membahayakan eksistensi pemerintahan kolonial Belanda, sehingga pemerintah kolonial Belanda berlaku represif dengan mengeluarkan perintah penangkapan terhadap pentolan-pentolan PNI. Puncaknya pada Desember 1929 Soekarno dan tokoh PNI lainnya seperti Gatot Mangkupraja, dan Soepridinata resmi ditangkap untuk pertama kali. Soekarno dan para pentolan PNI kemudian disidangkan pada tanggal 18 Januari 1930 di gedung Landraad Bandung. Soekarno memanfaatkan momen persidangannya tersebut dengan membacakan pledoinya yang terkenal yaitu

Indonesia Mengggugat”. Pledoi tersebut menjadi titik balik perjuangan Soekarno, terkhusus kaum nasionalis Indonesia untuk menuntut kemerdekaan Indonesia.

Pledoi “Indonesia Menggugat” menunjukkan bahwa Indonesia terbentuk terutama karena sebuah hasrat revolusi, yaitu hasrat menolak masa silam dan hasrat untuk tidak meneruskan banyak hal yang terjadi di tanah air. Soekarno

mengandaikan situasi di Eropa, dimana manusia membentuk bangsa untuk meneruskan sesuatu yang sudah ada, yakni warisan agung yang tumbuh selama berabad-abad berupa kesadaran akan hak-hak individu.

Realitas yang terjadi di Indonesia, di Dunia Ketiga, manusia membentuk bangsa terutama untuk menciptakan apa yang belum ada. Sebuah negeri yang diisi oleh penjajah dan bangsawan lokal yang memperlakukan rakyat luas sebagai anjing dan kerbau yang tidak punya hak individu32. Pledoi tersebut berpengaruh besar terhadap reputasi Soekarno di dunia Internasional sebagai tokoh revolusioner, khususnya di Asia karena yang berani menggebrak serta menginspirasi semangat kemerdekaan di negara-negara terjajah.

Pada tahun 1942 terjadi peralihan kekuasaan kolonial dari pemerintahan Belanda ke Jepang di wilayah Hindia Belanda. Hal ini ternyata mengubah pola pandang Soekarno terkait taktik perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada fase ini Soekarno sempat meninggalkan sikap non-kooperasi dan memilih bekerja sama dengan pemerintahan jepang. Hal ini dilihat dari diangkatnya Soekarno oleh Jepang sebagai pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bersama Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansyur33.

Sikap kooperasi ini tidak terlepas dengan pertemuannya dengan Letnan jenderal Imamura setelah soekarno kembali dari pembuangannya di Sumatera. Soekarno mempertanyakan status Indonesia kepada Imamura, dan jawabannya

32

Kasenda, Peter. Op. Cit. April 2014. Hal. 81. 33

Nazaruddin Sjamsuddin, “Soekarno: Sebuah Tragedi?” dalam Nazaruddin Sjamsuddin (Ed.). 1988. Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 9.

ialah nasib Indonesia akan ditentukan oleh Tokio setelah perang selesai, akan tetapi Jepang akan memperhatikan kesejahteraan Rakyat, dan akan mengikutsertakan orang Indonesia dalam pemerintahan dan Administrasi. Dengan janji itulah Soekarno menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama, dengan syarat bahwa ia tidak akan dikhianati Jepang setelah perang usai34.

Kenyataan akan sikap Soekarno yang memilih untuk berkooperasi dengan pemerintahan Jepang mendapatkan celaan dari the founding father lainnya seperti Tan Malaka. Tan Malaka yang pada saat itu memimpin gerakan kemerdekaan Indonesia di bawah tanah menuduh Soekarno sebagai seorang kolaborator Jepang. Dalam tuduhan itu Tan Malaka mengutip kata-kata Soekarno bahwa ia membantu Jepang sebab ia percaya bahwa Jepang adalah bangsa yang jujur dan adil35.

Terlepas dari kontradiktifnya sikap Soekarno terhadap dua periode kolonialisasi yang terjadi di Indonesia, hal ini juga menjadi bukti luasnya cakupan perkembangan pemikiran Soekarno mengenai kebutuhan Indonesia akan kebebasan dan kemerdekaan dari penjajah. Kemerdekaan menjadi sebuah harga mutlak yang harus di dapatkan oleh bangsa ini. Pandangan-pandangan Soekarno tersebut kemudian, menurut John D. Ledge coba dirangkum dalam beberapa segi khas pemikiran yakni36:

34

Nazaruddin Sjamsuddin. Ibid. 35

Ibid. Hal. 12. 36

John. D. Legge. 1966. Soekarno: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Hal. 30. di dalam Skripsi Anwar Ilmar. 2004. Relevansi Teori Marhaenisme dalam Menjawab Tantangan Zaman di Era Kapitalisme Global. Hal. 38.

Pertama cita-citanya akan persatuan nasional. Soekarno sangat menaruh

perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok. Hal ini secara eksplisit dapat dilihat dalam tulisan Nasionalisme, Islamisme dan

Marxisme. Soekarno melihat kondisi yang berakibat pada dua kemungkinan besar,

yakni kemungkinan lahirnya perpecahan diantara ketiga kekuatan-kekuatan pergerakan tersebut, atau kemungkinan lahirnya kekuatan-kekuatan yang dapat menggalang kekuatan massa rakyat indonesia untuk mencapai kemerdekaan.

Kedua, desakannya untuk menjalankan sikap non kooperatif bukan hanya sebagai taktik, tetapi merupakan hal yang prinsipil. Soekarno menegaskan betapa sia-sianya sikap lunak yang moderat, sebab tidak mungkin ditempuh dengan imperialisme. Akibat wajar dari sikap tersebut adalah suatu rencana untuk memobilisasi rakyat guna melaksanakan perjuangan tersebut. Pendirian PNI dan sepak terjangnya setelah berdirinya partai tersebut merupakan realisasi dari rencana Soekarno.

Ketiga, konsep mengenai Marhaenisme. Soekarno menegaskan bahwa Marhaenisme sebagai teori politik sekaligus teori perjuangan sangatlah relevan digunakan sepanjang kapitalisme sekalipun dalam berbagai wujud masih bercokol di bumi. Dalam konteks ini, Soekarno telah memodifikasi Marxisme sebagai alat yang paling sistematis dalam analisis sosial perihal pengkajiannya tentang kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.

Keempat, pengungkapan pidato dan tulisan Soekarno sangat menarik bagi

pendengar dan pembaca dari kalangan Jawa. Salah satu wujudnya yang khas seperti pada tahun 1928 dan 1929 adalah ramalan Soekarno mengenai kebangkitan Jepang dan pecahnya Perang Pasifik sehingga memungkinkan Indonesia mendapatkan kemerdekaannya di kemudian hari. Ini merupakan ramalan yang cerdik dengan daya tarik khusus karena langsung dikaitkan dengan harapan tradisional yang diramalkan Jayabaya.

Perkembangan pemikiran Soekarno diatas pada akhirnya mengerucutkan sifat-sifat yang menonjol dirinya. Adapun karakteristik dari pemikiran-pemikiran Soekarno antara lain37:

1. Pertama, anti imperialisme. Sebagai sistem politik, imperialisme akan

berakhir ketika sebuah wilayahnya yang dijajah menjadi merdeka. Tetapi sebagai sebuah sistem ekonomi, imperialisme dapat berlangsung terus bahkan ketika negara terjajah itu sudah merdeka secara politis. Imperialisme adalah sebuah hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah atau mengatur ekonomi dan mengatur negara lain.

2. Kedua, anti-elitisme. Menurut soekarno, elitisme mendorong sekelompok

orang merasa diri memiliki status sosial politik yang lebih tinggi dari orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme tersebut tidak kalah

37 Baskara. T. Wardaya, S.J. Bung Karno Menggugat: Dari CIA, Pembantaian Massal ‟65 Hingga G 30S. Yogyakarta: Galang Press, 2006, hal. 39-50 di dalam Skripsi Anwar Ilmar, Ilmu Politik, 2004. Relevansi Teori Marhaenisme dalam Menjawab Tantangan Zaman di Era Kapitalisme Global. Hal. 42.

berbahaya dengan imperialisme, karena melalui sistem feodal yang ada elitisme bisa dipraktekkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Lebih dari itu, elitisme dapat menjadi penghambat sikap-sikap demokratis masyarakat modern yang dicita-citakan bagi indonesia merdeka.

3. Ketiga, taktik non kooperasi. Sebenarnya sampai pada pertengahan tahun

1921 Soekarno masih mengharapkan adanya kerja sama dengan pemerintah Kolonial Belanda. Soekarno masih berharap bahwa pemerintah Belanda bersedia membantu memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia, sebelum negeri jajahan tersebut benar-benar mandiri. Tetapi, pada tahun 1923 Soekarno mulai meninggalkan posisi moderat dan mengambil langkah non kooperasi, menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial. 4. Keempat, menggalang persatuan. Kepada para aktivis nasionalis Soekarno

menegaskan bahwa tidak ada halangan bagi kaum nasionalis bekerja sama dengan aktivis Islam dan Marxis, dan juga sebaliknya.

5. Kelima, ketika pada 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan 29

Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan. Dalam pledoinya yang terkenal yang berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas Soekarno menyatakan perlawanannya terhadap kolonialis. Meskipun dipenjara berkali-kali, Soekarno sama sekali tidak jera untuk berpolitik maupun untuk menentang ketidakadilan kolonialisme.

Karakteristik pemikiran Soekarno yang anti nekolim dapat dilihat sebagai fondasi utama gagasan Trisakti. Penolakan terhadap kapitalisme beserta segala turunannya yang digagas Soekarno didalam Trisakti berlandaskan kenyataan bahwa sebagai suatu sistem yang eksploitatif, kapitalisme itu mendorong praktik-praktik imperialis.

Terminologi awal imperialisme mengacu pada praksis ekspansi wilayah politis suatu negara, pada awal abad ke-20 definisi itu diperluas, yakni sebagai sistem politik dan sebagai sistem ekonomi. Sebagai sistem politik, ia akan berakhir ketika suatu wilayah yang dijajah merdeka. Akan tetapi sebagai sistem ekonomi, imperialisme dapat berlangsung terus menerus bahkan ketika negara terjajah tersebut telah merdeka secara politis38.

Sebagai sistem yang motivasi pokoknya adalah ekonomi, Soekarno percaya kolonialisme terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalkan keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itulah kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi orang atau bangsa-bangsa lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme ini pulalah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong

38

terjadinya „exploitation de l‟homme par l‟homme‟ atau eksploitasi manusia oleh manusia lain.

Kondisi tersebut bertentangan dengan formulasi Trisakti yakni berdikari dibidang ekonomi, yang menekankan sentralnya peran negara-bangsa sebagai instrumen utama serta berpegang pada prinsip usaha bersama atas asas kekeluargaan. Pledoi “Indonesia Menggugat” Soekarno juga menjadi sebuah cetak biru bagi gagasan Trisakti, khususnya mengenai pemahaman akan kelahiran sebuah bangsa baru yang merdeka. Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara merupakan sebuah entitas sendiri, yang terbentuk karena menolak kesewenang-wenangan terjadi.

Karakteristik pemikiran Soekarno lainnya, yakni non-kooperatif juga dapat dilihat dalam Trisakti. Gagasan Trisakti menjadikan kedaulatan serta kemandirian sebagai fondasi utama sebuah bangsa yang merdeka. Oleh karena itu sifat kooperatif Indonesia diwujudkan dalam bentuk kooperasi dengan syarat.

Trisakti tidak menghalang-halangi kerjasama dengan negara-bangsa lain dalam konteks politik maupun ekonomi. Negara memiliki kebebasan untuk menentukan negara-negara mana saja yang dapat atau tidak dapat bekerja sama dengan syarat kerjasama tersebut tidak bersifat imperialistik dan tanpa harus bergantung nasib kepada bangsa lain.

Soekarno dalam pemikirannya mengenai cita-cita kemerdekaan Indonesia memiliki pandangan bahwa terwujudnya sebuah kemerdekaan merupakan wujud dari selesainya sebuah revolusi. Revolusi bagi Soekarno merupakan sebuah kepastian sejarah dan merupakan hal yang terjadi secara berkesinambungan.

Dalam tulisannya yang berjudul “Djalannya Revolusi Kita” atau disingkat menjadi “Djarek”, Soekarno mengamini ucapan Lenin (pemimpin gerakan

komunis dari Rusia) yang mengatakan bahwa tanpa teori revolusioner, tidak akan ada gerakan revolusioner39. Soekarno kemudian menerjemahkan hal tersebut

dengan rumusan “tanpa adanya ideologi dan konsepsi nasional yang dirumuskan

secara tegas dan jelas, kemerdekaan indonesia tidak mungkin dapat diperjuangkan

dan dibina”40

.

Soekarno mengatakan revolusi selesai apabila cita-cita kemerdekaan sudah terealisasi atau terwujud. Kemerdekaan diartikan sebagai sebuah kelanjutan dari revolusi indonesia yang berkesinambungan. Revolusi tidak berhenti pada fase mendobrak tatanan yang sudah mapan, akan tetapi juga harus dibarengi dengan tindakan membangun. Hal inlah yang disinyalir menjadi akar perbedaan soekarno dengan Hatta. Mohammad Hatta menganggap bahwa revolusi sudah selesai, sedangkan Soekarno masih gandrung akan revolusi41.

Landasan pemikiran mengenai teori revolusioner untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan Indonesia ini kemudian di tuliskan Soekarno ke dalam Panca

39

Paharizal. Op. Cit.. Hal. 50 40

Ibid. Hal. 52 41

Azimat Revolusi Indonesia. Panca Azimat Revolusi yang di deklarasikan oleh Soekarno merupakan analisis Soekarno terhadap tahapan-tahapan Revolusi yang di hadapi Indonesia.

Keniscayaan Soekarno akan sebuah „revolusi yang terus-terusan menjebol

dan tidak berhenti‟ mendasari ini. Panca Azimat Revolusi pertama kali di deklarasikan oleh Soekarno dalam pidatonya yang berjudul “BERDIKARI”.

Pidato ini sendiri disampaikan pada 17 Agustus 1965. Soekarno mengatakan:

“Panca azimat adalah pengejawantahan daripada jiwa nasional kita,

konsepsi nasional kita yang terbentuk disepanjang sejarah 40 tahun lamanya... Azimat Nasakomlah yang lahir terlebih dahulu, dalam tahun 1926, karena persatuan nasakom itulah sesungguhnya senjata kita yang paling ampuh, dulu untuk merebut, sekarang untuk mengkonsolidir kemerdekaan nasional. Azimat kedua adalah azimat Pancasila, yang lahir pada bulan Juni 1945...ketika itu opgave terpokok adalah menemukansuatu dasar negara, dan maka itulah lahir Pancasila. Azimat

ketiga adalah azimat manipol/usdek, yang baru lahir 14 tahun lamanya

mengalami masa republik merdeka, azimat yang berupa program umum

revolusi, yang inti sarinya tidak boleh dimodulir atau diamendir. Azimat keempat adalah azimat Trisakti yang baru lahir tahun lalu... azimat kelima

adalah azimat berdikari, yang terutama tahun ini aku canangkan.42

Panca azimat sebagai konsepsi nasional Indonesia dijabarkan kedalam lima gagasan yakni Nasakom, Pancasila, Manipol-Usdek, Trisakti dan Berdikari.

I. Nasionalis, Agamis, dan Komunis (Nasakom).

Pada azimat pertama yaitu Nasakom, Soekarno menekankan kebutuhan penggalangan persatuan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Hal ini jauh-jauh hari sudah berada dalam pemikiran Soekarno yaitu tahun 1926, tepatnya

42

dalam tulisan Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Soekarno melihat kondisi Indonesia pada saat itu (dalam konteks situasi terjajah dan ketiadaan kekuatan untuk melawan penjajah) mencoba menggali kekuatan gerakan-gerakan yang tersedia untuk mengentaskan kondisi tersebut.

Filsafat yang mendominasi pergerakan-pergerakan di Indonesia pada saat itu adalah sintesis dari tiga ketegangan yaitu (1) prinsip-prinsip nasionalis revolusioner yang diprakarsai oleh PNI (2) sosialisme elektis yang disodorkan oleeh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir; dan (3) sosialisme religius yang berakar tahunan sejak Sjarekat Islam (SI). Penyimpangan-penyimpangan dari filsafat sosialisme ini berasal dari kelompok komunis stalinis dan kelompok komunis nasionalis sayap kiri Tan Malaka43. Hal ini yang kemudian di identifikasi oleh Soekarno didalam gerakan-gerakan berbasis Nasionalis, Agamis, dan Komunis.

Dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme Soekarno menyoroti permasalahan perbedaan Ideologi ataupun adanya ambisi-ambisi pribadi daripada dunia pergerakan politik pada tahun 1920-an. Soekarno menyoroti perpecahan antara Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saling serang satu sama lain dan dianggapnya justru menghancurkan gerakan nasionalisme Indonesia pada saat itu44.

43

Kasenda, Peter. Op. Cit. April 2014. Hal. 25. 44

Mengacu kepada filsafat setiap gerakan-gerakan pada masa itu, Soekarno menyerukan perlu terjadi kerjasama yang lebih erat antara ketiga golongan

“besar” di atas untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal ini ditambah lagi dengan kesamaan diantara gerakan-gerakan tersebut yang anti terhadap kolonialisme belanda. Adanya kesamaan persepsi terhadap kolonialisme menjadi alasan kuat agar diperlukannya persatuan antar gerakan-gerakan tersebut.

Obsesi persatuan tersebut digali Soekarno bersumber dari budi nurani manusia yang paling mendasar yaitu keinginan untuk bebas dari segala penindasan dan ketidak adilan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Soekarno:

“... Untuk Islamis sejati, maka dengan lekas saja teranglah baginya bahwa tak layaklah ia memusuhi paham Marxisme yang melawan peraturan

Meerwarde itu, sebab ia tak lupa pula bahwa Islam yang sejati juga

memerangi peraturan itu; ia tak lupa bahwa Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan riba dan memungut bunga. Ia mengerti bahwa riba ini pada hakikatnya tiada lain daripada meerwaarde-nya paham Marxisme itu!45.”

“… kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa nasionalisme di hati sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia kebanyakan adalah modal asing

… dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationalemacht politiek dari rakyat sendiri46.”

“… dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, Marxsisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi ssatu sama lain...tetapi kita yakin bahwa kita dengan terang-benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insaf bahwa persatuan yang membawa kita ke arah besar-an dan

Dokumen terkait