DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Al Rahab, Amiruddin. 2014. Ekonomi Berdikari Soekarno. Depok: Komunitas Bambu.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Husaini Usman, Purnomo Setiadi Akbar. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Husein Coen Pontoh (Ed.). 2014. Membedah Tantangan Jokowi-JK. Jakarta: Indoprogress dan Marjin Kiri.
Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK (Ed.). 2001. Bung Karno dan Ekonomi
Berdikari: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Grasindo.
Kasenda, Peter. Februari 2014. Bung Karno Panglima Revolusi. Yogyakarta: Galang Press.
____________. April 2014. Sukarno, Marxisme, & Leninisme: Akar Pemikiran
Kiri & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu
Kusuma Djaya, Ashad. 2014. Soekarno: Perempuan dan Revolusi: Sebuah
Biografi Politik dan Intelektual. Bantul: Kreasi Wacana.
Nazaruddin Sjamsuddin (Ed.). 1988. Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan
Praktek. Jakarta: Rajawali Press.
Paharizal. 2014. Trisakti Bung Karno untuk Golden Era Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.
Siswo, Iwan. 2014. Panca Azimat Revolusi: Tulisan, Risalah, Pembelaan, &
Pidato Soekarno 1926-1966 Jilid I. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Soekarno. 2015. Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1. Yogyakarta: Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno.
Tim Ahli Seknas Jokowi. 2014. Jalan Kemandirian Bangsa: Visi
Kemasyarakatan Indonesia Abad ke-21. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Dokumen/Makalah:
Peter Kasenda. 2014. Trisakti Soekarno. (Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Kelompok Kerja Kedaulatan Politik – Temu Kader dan Tokoh Nasional Pemuda Demokrasi Indonesia, Jakarta).
Wasisto Raharjo Jati. 2013. Soekarno dan Third-Worldism. Majalah Prisma Vol. 32, No. 2 dan No. 3.
_________________. 2014. Melihat Kekinian Lima Konsep Kebangsaan dan
Keindonesiaan Bung Karno. (Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta).
Visi misi dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014. 2014. Jalan Perubahan
Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian.
Jurnal:
M. Fikri, dkk. 2014. “Analisis Konsumsi Masyarakat Indonesia sebelum dan setelah Krisis Ekonomi”. Dalam Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Derah. Vol. 1 No.3, Januari-Maret 2014.
Skripsi/Disertasi:
Anwar Ilmar. 2004. Skripsi: Relevansi Teori Marhaenisme dalamMenjawab
Tantangan Zaman di Era Kapitalisme Global. (Medan: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara).
Irmawansah Ika.2014. Disertasi: Pemikiran Soekarno tentang Trisakti;
Perspektif Epistemologi Kenneth Galagher. (Yogyakarta: Fakultas
Filsafat. Universitas Gadjah Mada).
Website:
http://www.berdikarionline.com/bungkarnoisme/20140707/revolusimentalalabung karno.html diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 pada pukul 13.15 WIB.
https://cldsuii.files.wordpress.com/2014/10/bab-ii-aktor-aktor-dalam-hubungan-internasional.pdf diakses pada tanggal 05 Januari 2016 pukul 23.41 WIB
http://international.sindonews.com/read/1070456/40/dubes-palestina-untuk-pbb-apresiasi-dukungan-indonesia-1450421865 diakses pada tanggal 9 Januari 2015 pukul 15.09 WIB.
http://international.sindonews.com/read/1060987/40/inilah-posisi-resmi-indonesia-soal-konflik-laut-china-selatan-1447314808 diakses pada tanggal 9 Januari 2015 pada pukul 15.11 WIB
http://nasional.sindonews.com/read/802732/18/deliberalisasi-tata-kelola-migas-1383783397 diakses pada tanggal 14 Desember 2015 pukul 14.00 WIB
http://www.republika.co.id/berita/koran/pareto/15/01/02/nhjny6-tantangan-kemiskinan-pada-2015 diakses pada tanggal 11 Januari 2015 pada pukul 09.10 WIB.
http://rimanews.com/read/20140311/147033/seknas-jokowi-gelar-simposium-jalan-kemandirian-bangsa diakses pada tanggal 13 Oktober 2015 pada pukul 19.19 WIB.
http://www.seknasjokowi.org/profile/ diakses pada tanggal 13 Oktober 2015 pada pukul 18.13 WIB.
BAB III
ANALISIS RELEVANSI KONSEP TRISAKTI SOEKARNO DENGAN NAWACITA PEMERINTAHAN JOKOWI – JK
3.1. Trisakti dan Relevansinya dengan Nawacita Jokowi-JK
Pencantuman konsep Trisakti sebagai jalan ideologis yang menjadi acuan
Nawacita dapat dilihat dalam dokumen visi, misi dan program aksi Jokowi-JK
2014. Visi yang diusung oleh Nawacita, yaitu ”Terwujudnya Indonesia yang
diterjemahkan kedalam tiga aspek kehidupan berbangsa, yaitu berdaulat dalam
politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Aspek eksistensial gagasan Trisakti Soekarno sebagai penolakannya
terhadap paham-paham kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme dan mengajak
massa rakyat untuk segera menyadari bahwa ketiga sistem tersebut masih ada
meski Indonesia sudah merdeka66. Oleh karena itu, menjadi sebuah tantangan
tersendiri sejauh mana relevansi Trisakti dengan Nawacita sebagai sebuah
gagasan didalam aspek-aspek yang dirumuskan dalam (1) Berdaulat dibidang
politik (2) Berdikari dibidang ekonomi dan (3) Berkepribadian di lapangan
Kebudayaan.
3.1.1. Relevansi dalam Bidang Politik
3.1.1.1 Trisakti
Konsep Trisakti Soekarno mengenai “Berdaulat di bidang Politik”
merupakan reaksi terhadap kondisi sosio-politik di dunia saat itu. Kemerdekaan
Negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika lantas tidak menjadikan ancaman
terhadap kedaulatan Negara-negara tersebut sirna, malah menandai munculnya
pola-pola dominasi dan hegemoni baru yang disebut Soekarno sebagai nekolim.
Pengaruh Inggris dan Amerika Serikat dalam pembentukan Negara Malaysia serta
pendudukan Irian Barat oleh Belanda adalah contoh dari praktik nekolim yang
66
secara langsung mengganggu kedaulatan politik Indonesia. Oleh karena itu,
gagasan bidang politik dalam Trisakti berbicara dalam konteks hubungan luar
negeri Indonesia. Adapun gagasan tersebut dapat disimpulkan kedalam 2 poin
yaitu:
A. Mengelola Pemerintahan tanpa Intervensi dari Negara Lain
Intervensi merupakan bentuk campur tangan pihak asing (Negara maupun
Lembaga Moneter Dunia) terhadap suatu pemerintahan. Bentuk-bentuk intervensi
tersebut menurut Soekarno adalah ketika Negara-negara maju mengarahkan
pengambilan kebijakan dalam pemerintahan Negara-negara yang baru merdeka.
Kondisi ini pada akhirnya menciptakan relasi patrimonialisme dan ketergantungan
terhadap pihak diluar negara yang merupakan ciri khas dari nekolim. Oleh karena
itu pandangan Soekarno yang menolak mengenai adanya intervensi merupakan
konsistensinya dalam menolak praktik nekolim.
Intervensionisme menyebabkan hubungan yang terjadi antar negara menjadi
tidak seimbang ketika terjadi pemaksaan kepentingan nasional terhadap
kepentingan nasional suatu negara lainnya67. Hal ini ditandai dengan munculnya
komprador-komprador yang turut campur mengarahkan agenda negara sesuai
dengan kepentingan asing.
Penolakan terhadap intervensionisme kemudian diwujudkan dengan aktifnya
Indonesia dalam menggagas kerjasama-kerjasama Internasional untuk
67
menggalang penolakan terhadap intervensionisme. Melalui Konferensi Asia
Afrika (KAA), Soekarno menggalang solidaritas bangsa-bangsa yang baru
merdeka dan membantu bangsa-bangsa yang masih dijajah untuk
memperjuangkan kemerdekaannya.
Melalui gagasan politik non-blok (tidak memihak ideologi kapitalisme blok
kanan maupun ideologi komunisme blok kiri), Soekarno menghimpun
kekuatan-kekuatan “Negara Dunia Ketiga” yang disebutnya “To Build the World Anew”.
Penyelenggaraan Conference of the New Emerging Forces (CONEFO), Soekarno
bersama Negara-negara dunia ketiga melancarkan kritik terhadap PBB, karena
secara terang-terangan membiarkan intervensionisme negara-negara seperti
Inggris dan Amerika Serikat terhadap negara-negara dunia ketiga, dan
mengusulkan penataan kembali kelembagaan internasional, demi mewujudkan
suatu dunia baru yang jauh lebih berkeadilan dan berprikemanusiaan.
B.Menjalin Kerjasama dengan Antarnegara dalam Tataran Seimbang.
Pentingnya kerjasama antar negara yang seimbang dalam Trisakti
merupakan refleksi atas kondisi sosio-politik yang terjadi pada saat itu.
Terbelahnya dunia kedalam blok-blok politik, yakni liberal-kapitalisme oleh
Amerika Serikat di Blok Barat dan sosialis-komunisme oleh Uni Soviet di Blok
Timur menghadapkan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia pada kondisi
yang sulit. Tarik-menarik kepentingan serta pengaruh antara kedua kubu tersebut
negara-negara dunia ketiga terhadap salah satu blok, entah itu liberal-kapitalisme
atau sosialis-komunis.
Soekarno kemudian menginisiasi pola baru dalam kerjasama antarnegara
yaitu bebas-aktif. Bebas-aktif yang kemudian menjadi pollugri Indonesia artinya
Indonesia, sebagai Negara yang berdaulat secara politik bebas untuk menentukan
dan merumuskan ideologi politiknya, tidak didikte oleh ideologi kanan
(kapitalisme) maupun ideologi kiri (sosialisme-komunisme). Selain itu bangsa
Indonesia juga aktif menjaga, membela, dan mempertahankan ideologi politik
yang telah dirumuskannya sendiri, dan mengikis unsur-unsur kapitalisme,
kolonialisme, dan imperialisme. Kedaulatan politik dalam kerangka inilah yang
disebut dengan kedaulatan politik yang bebas-aktif. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Soekarno:
“...”We are neutral, but we are not sitting on the fence!” “We are not sitting on the –fence!”, yang artinya: “Kita netral, tetapi kita tidak duduk tenguk-tenguk diatas pagar!...Kita aktif, kita berjuang! Aktif untuk apa??
Berjuang untuk apa?? kita ikut serta aktif dalam perjuangannya umat
manusia untuk mencapai “dunia baru” tanpa exploitation de l‟homme par l‟homme, dan tanpa exploitation de l‟homme par nation. Kita tidak netral dan tidak dapat netral misalnya, dalam menghadapi imperialisme, kolonialisme, atau neo-kolonialisme68.”
Politik bebas-aktif tidak sama dengan netralitas. Bebas-aktif yang dianut
oleh Indonesia adalah politik yang tidak netral, politik indonesia adalah politik
yang berpihak pada kepentingan menolak dan secara aktif mengikis nekolim.
Penolakan terhadap nekolim, menurut Soekarno sesuai dengan jiwa kemerdekaan
68
Indonesia yang dimuat dalam mukaddimah UUD 1945 yakni “Kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
3.1.1.2 Nawacita
A.Peningkatan Peran Global melalui Diplomasi Middle Power
Pengakuan global terhadap potensi Indonesia sebagai salah satu rising
power kemudian memberikan Indonesia predikat sebagai negara middle power.
Hal ini didasarkan pada faktor-faktor nyata yang dapat dilihat dari Indonesia yaitu
populasi (population), wilayah (territory), sumber daya alam dan kapasitas
industri (natural resources and industrial capacity) serta kekuatan militer dan
pergerakan (military strength and mobility)69. Predikat middle power ini
kemudian diejawantahkan dalam bentuk doktrin “Poros Maritim” pada Nawacita
pemerintahan Jokowi-JK.
Poros Maritim ditandai dengan bergesernya kekuatan global dari Barat ke
Timur (yang ditandai dengan melemahnya Amerika Serikat dan Eropa plus
bangkitnya Tiongkok dan India) mengakibatkan arena pertarungan internasional
kemudian berpindah ke kawasan Asia Pasifik atau Indo-Pasifik. Sehingga
pemenang abad ke-21 diyakini sebagai yang mampu memenangkan, atau
setidaknya ikut memenangkan, pertarungan antara Tiongkok-AS, Tiongkok-India,
69
dan Tiongkok-Australia70. Hal ini dapat dilihat dalam Nawacita mengenai
hubungan luar negeri yang memiliki 4 (empat) prioritas utama yaitu71:
a) Komitmen untuk mengedepankan identitas Indonesia sebagai negara
kepulauan (archipelagic state) dalam pelaksanaan diplomasi dan
membangun kerjasama internasional. Politik luar negeri yang
mencerminkan identitas negara kepulauan ini diwujudkan melalui 5
agenda aksi: diplomasi maritim untuk mempercepat penyelesaian
permasalahan perbatasan indonesia; menjamin integritas wilayah NKRI,
kedaulatan maritim dan keamanan/kesejahteraan pulau-pulau terdepan;
mengamankan sumber daya alam dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE);
mengintensifkan diplomasi pertahanan dan meredam rivalitas maritim di
antara negara-negara besar dan mendorong penyelesaian sengketa
teritorial di kawasan.
b) Meningkatkan peran Indonesia dalam wilayah global melalui diplomasi
middle power yang menempatkan indonesia sebagai kekuatan regional
dengan keterlibatan global secara selektif, dengan memberi prioritas pada
permasalahan yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan bangsa
dan rakyat indonesia.
70
Hizkia Yosie Polimpung. “Perubahan Sistem Internasional pada Abad ke-21 dan Keberpihakan Politik Luar Negeri „Poros Maritim‟” dalam Husein Coen Pontoh (Ed.). 2014. Membedah Tantangan Jokowi-JK. Jakarta: Indoprogress dan Marjin Kiri. Hal. 86.
71
c) Perluasan keterlibatan regional di kawasan indo-pasifik. Fokus ke kawasan
Indo-pasifik “mengintegrasikan” dua samudera -Hindia dan Pasifik-
sebagai lingkungan strategis pelaksanaan politik luar negeri di kawasan.
d) Penguatan infrastruktur diplomasi dalam pelaksanaan politik luar negeri
yang efektif.
Status Indonesia sebagai negara middle power secara eksplisit
menggambarkan perkembangan Indonesia yang sebelumnya berpredikat sebagai
negara small power. Status middle power ini memungkinkan Indonesia untuk
diperhitungkan dan memiliki pengaruh yang lebih besar dalam konstelasi politik
global. Kondisi ini tentunya memudahkan Indonesia untuk mewujudkan
kedaulatan politiknya tanpa intervensi sekaligus tidak melakukan campur tangan
terhadap persoalan-persoalan negara lain sebagaimana dalam konsep Trisakti
Soekarno.
B.Penerapan Politik Bebas-Aktif
Politik bebas-aktif yang dicetuskan oleh Soekarno dalam konsep Trisakti
menjadi ciri yang lekat terhadap corak pollugri Indonesia pada masa-masa
pemerintahan sesudahnya. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
kebijakan politik luar negerinya dicetuskan dalam ungkapan Thousand Friends
Zero Enemy yang masih sesuai dengan semangat politik bebas-aktif.
bebas-aktif yang digagas dalam konsep Trisakti Soekarno masih relevan. Ini dapat
dilihat dari poin 1 dalam Nawacita yaitu:
“1. Kami akan menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara,
melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangun pertahanan negara Tri Matra terpadu...72”
Penjelasan lebih lanjut mengenai pelaksanaan politik luar negeri bebas-aktif
dijabarkan kedalam sub-pembahasan “Berdaulat Dalam Bidang Politik” poin 1
yakni “kami akan membangun wibawa politik luar negeri dan mereposisi peran
Indonesia dalam isu-isu global”.
Pengidentifikasian masalah terhadap ancaman nekolim menjadi salah satu
pembeda antara Nawacita dengan Trisakti. Keseluruhan gagasan yang dibangun
Soekarno dalam merumuskan „kedaulatan dibidang politik‟ pada Trisakti adalah
antitesis terhadap nekolim dan segala turunannya. Implikasi hal tersebut dapat
dilihat dari sikap yang diambi Indonesia yang menolak campur tangan asing
dalam mengurusi pemerintahannya.
Apabila dibandingkan dengan Trisakti sebagai jalan ideologis, terdapat
penekanan yang berbeda antara Trisakti dan Nawacita dalam bidang politik. Pasca
keruntuhan Uni Soviet dan kemenangan Amerika Serikat didalam perang dingin
mengubah tatanan politik global, sehingga tidak lagi terbagi kedalam blok-blok
ideologi politik seperti pada saat Trisakti dicetuskan.
72
Imbas hal tersebut adalah secara intensitas, ancaman kedaulatan Indonesia
secara fisik berkurang. Kondisi ini menggeser fokus pembahasan kedaulatan
politik dalam Nawacita ke faktor internal, yaitu pembangunan politik dalam
negeri. Hal ini dapat dilihat dari interpretasi bentuk kedaulatan politik dalam
Nawacita seperti yang dijabarkan berikut:
“Berdaulat dalam bidang politik merupakan basis utama keberadaan negara, dimana di dalamnya tercakup aspek-aspek hakiki kelangsungan negara: keutuhan wilayah, pengakuan internasional atas kedautan dan otoritas wilayah, kemandirian dalam mengatur dan menentukan kebijakan negara demi kesejahteraan masyarakat, kemampuan untuk menciptakan rasa aman bagi warga negara melalui penciptaan keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum, membela dan melindungi wilayah dan warga negara dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar, serta kebebasan dalam menentukan arah hubungan luar negeri yang mengabdi pada kepentingan nasional73.”
Penekanan Nawacita terhadap pembangunan politik dalam negeri
merupakan hasil dari identifikasi masalah yang dihadapi indonesia berkutat pada
pelanggaran HAM, lemahnya penegakan hukum serta tidak berfungsinya negara
dalam mengelola konflik sosial. Mengacu pada hal tersebut, Nawacita kemudian
merumuskan ulang definisi berdaulat dibidang politik Trisakti.
“Berdaulat adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya. Oleh karena itu, pembangunan, sebagai usaha untuk mewujudkan kedaulatan sebagai negara merdeka, merupakan upaya membangun kemandirian. Kemandirian yang dimaksud bukanlah kemandirian dalam keterisolasian, tetapi didasarkan pada kesadaran akan adanya kondisi saling ketergantungan dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam suatu negara maupun antar bangsa74”.
Hal itulah mengapa posisi kedaulatan dalam bidang politik sangat sentral
dalam gagasan Trisakti. Melalui gagasan pollugri bebas-aktifnya, selain sebagai
73
Ibid. Hal. 11. 74
alat untuk merawat kebebasan kerjasama antar negara tanpa sekat ideologis,
kedaulatan politik juga menjadi ukuran untuk mewujudkan cita-cita revolusi
Indonesia yang bebas dari intervensi nekolim.
3.1.2. Relevansi dalam Bidang Ekonomi 3.1.2.1.Trisakti
A. Penerapan Sistem Ekonomi Terpimpin
Perwujudan gagasan Trisakti “Berdikari dilapangan Ekonomi” dapat dilihat
dari langkah Soekarno untuk membentuk perekonomian nasional yang dinamakan
“Ekonomi Terpimpin”. Ekonomi Terpimpin merupakan satu fase dari
perencanaan ekonomi nasional yang mencoba mengatasi persoalan-persoalan
ekonomi secara struktural. Tujuan ekonomi terpimpin oleh karena itu adalah
rehabilitasi ekonomi secara umum, yang disebutkan Soekarno sebagai “kearahan
dan orientasi masa depan”.
“Indonesia tidak mau munafik dengan sosialismenya. Indonesia dengan tegas, menyatakan bahwa revolusinya masih dalam tahap nasional-demokratis, sekalipun jumlah hasil penting telah dicapai dalam tahap ini. Nanti akan datang ketikanya, yang Indonesia akan membangun sosialisme, yaitu apabila modal imperialis sudah habis sama sekali dan permilikan tanah kaum tuan tanah sudah dibagi kembali pada rakyat...yang terang ialah bahwa dengan modal imperialis tidak mungkin kita membangun Sosialisme...Jangankan Sosialisme, ekonomi nasional pun tidak mungkin! Oleh sebab itu, prinsip membangun ekonomi tanpa modal monopoli asing, sudah menjadi prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar lagi75.”
75
Ekonomi Terpimpin adalah suatu sistem perekonomian nasional yang setiap
elemennya terintegrasi ke dalam satu kesatuan pengelolaan dan peraturan.
Ekonomi Terpimpin adalah masa awal satu fase peralihan masyarakat dari
masyarakat yang bersifat kolonial ke masyarakat nasional demokratis yang
disebut Soekarno sebagai „banting stir‟. Di masa peralihan ini Indonesia
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang berat dalam bidang ekonomi seperti
beban lonjakan jumlah penduduk dan merosotnya produksi. Hal ini kemudian
berimplikasi kepada tingkat harga, inflasi dan defisit anggaran belanja negara76.
Ekonomi Terpimpin juga merupakan pandangan alternatif Soekarno dalam
menghadapi perkembangan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme beserta
feodalisme. Orientasi ekonomi Indonesia menghendaki perekonomian Indonesia
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan; bahwa cabang-cabang
produksi yang menguasai hajat hidup rakyat indonesia dikuasai oleh negara;
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan
untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945. Beberapa
strategi perekonomian yang diterapkan pada masa Ekonomi Terpimpin adalah:
a. Penolakan nekolim dalam Perekonomian Indonesia.
Salah satu wujud antisipasi bahaya nekolimi adalah penolakan terhadap
modal asing. Ide populis yang juga didukung oleh PKI ini menghendaki
76
perubahan ekonomi secara umum dan struktural, dimana modal monopoli asing
tidak lagi menjadi penghalang bagi kemajuan ekonomi rakyat Indonesia77.
Penolakan Modal imperialis dan modal monopoli asing yang disebutkan oleh
Soekarno adalah modal asing yang berasal dari negara-negara seperti Belanda,
Amerika dan Inggris. Penolakan Soekarno terhadap modal asing yang disebutnya
dengan sikap imperialisme dikarenakan negara-negara ini terbukti menggunakan
modal tersebut untuk menyokong pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan
mendalangi terbentuknya negara Malaya Raya pada tahun 1962.
b. Land reform dan penegakan kedaulatan pangan.
Permasalahan kedaulatanbagi Soekarno merupakan “kebijakan jangka
pendek yang harus mendapat prioritet utama”. Langkah-langkah yang diambil
oleh Soekarno untuk mewujudkan kedaulatan pangan dilihat dari program mereka
yaitu78:
Mengekstensifkan pertanian dengan menambah areal dan
transmigrasi
Mengekstensifkan pertanian dengan mekanisasi dan memperbaiki
cara-cara bercocok tanam
Mempergunakan civic-mission Angkatan Bersenjata
Menyempurnakan penyelenggaraan land reform
77
Ibid.. Hal. 147. 78
Menjamin proyek-proyek yang berhubungan langsung dengan
peningkatan produksi pangan selesai pada waktu yang
direncanakan
Mengurangi impor bahan-bahan luks.
c. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Pada saat Soekarno memimpin, terdapat 4 gelombang nasionalisasi
perusahaan asing dari tahun 1957-1965. Tahap pertama, nasionalisasi terjadi pada
1957-1959 melalui pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Pada masa
ini pengambilalihan melibatkan perpindahan kepemilikan 90% produksi
perkebunan, 60% perdagangan dengan asing, dan 246 pabrik, pertambangan,
bank, serta pengapalan dan berbagai sektor jasa di bidang industri.
Tahap kedua, adalah pengambilalihan perusahaan Inggris pada 1963; ketiga,
nasionalisasi perusahaan Malaysia, Inggris, dan Belgia pada 1964; dan keempat
pengambilalihan semua perusahaan asing dengan penekanan pada perusahaan
yang berasal dari Amerika Serikat pada 1965. Total perusahaan asing yang
diambil alih pada periode September 1963 hingga Desember 1965, mencakup 90
perusahaan asing dari berbagai negara.
Nasionalisasi yang dilakukan oleh Soekarno merupakan langkah untuk
mewujudkan kemerdekaan ekonomi Indonesia. Nasionalisasi perusahaan asing ini
juga ditujukan untuk menghindari ketergantungan terhadap modal asing di
dalam pembangunan ekonomi nasional karena penanaman modal asing tersebut
cenderung mengarah pada terjadinya pemaksaan kepentingan nasional terhadap
kepentingan nasional suatu negara lainnya
Pendapat Soekarno ini terbukti benar dan dapat dilihat kenyataannya pada
saat ini. Pada tahun 1997-1998 dengan diterapkannya pola pembangunan „dari
luar dan dari atas‟ di masa orde baru, mengakibatkan perekonomian Indonesia
ambruk pada krisis 1997/1998. Hal ini sebagai imbas terjadinya krisis kapitalisme
di tingkat regional pada saat itu79. Kondisi ini diperparah dengan dijalankannya
mekanisme pemulihan ekonomi Indonesia dengan mengikuti anjuran dari IMF.
Kebijakan-kebijakan yang tercantum didalam letter of intent (LoI) tahun
1998 pada akhirnya mengharuskan Indonesia memulihkan keadaan ekonomi
dengan jalan liberalisasi perdagangan, re-regulasi kebijakan-kebijakan yang
menghambat investasi, independensi bank sentral, privatisasi BUMN,
pemotongan anggaran-anggaran untuk kepentingan publik, dan kebijakan pasar
tenaga kerja fleksibel80.
Implikasi dari diterapkannya kebijakan-kebijakan tersebut terbukti tidak
membawa kondisi yang lebih baik bagi perekonomian Indonesia. Angka
kemiskinan di Indonesia mencapai 28,5 juta orang pada tahun 2013 atau 11.5 %
dari total penduduk Indonesia. Hal ini diperparah dengan rilis Bank Dunia
berdasarkan koefisien gini (ukuran tentang ketimpangan yang paling diterima
79
Coen, Husein Pontoh. Tantangan Jokowi dalam Realisasi Kebijakan Ekonominya. Di dalam Husein Coen Pontoh (Ed.). Op.Cit. Hal. 7.
80
secara umum) terjadi peningkatan ketimpangan dalam periode 2000-2013 sebesar
[image:19.595.168.457.442.624.2]11 %, atau rekor tingkat kesenjangan tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia81.
Gambar 1. ketimpangan pendapatan berdasarkan koefisien gini
Sumber: Membedah Tantangan Jokowi-JK. hal. 9
Berdikari dibidang ekonomi, dalam Trisakti Soekarno menjadi identifikasi
atas pokok persoalan yang dihadapi oleh Indonesia. Pokok persoalan
81
sesungguhnya dari perekonomian Indonesia adalah terus berlanjutnya rezim
kolonial dalam bentuk nekolim yang menjalankan strategi pembangunan “dari
luar dan dari atas” yang tidak sesuai dengan cetak biru pembangunan Indonesia.
3.1.2.2Nawacita
A. Kemandirian Ekonomi sebagai Upaya Pemenuhan Basic Needs dan Basic Services.
Terkait relevansinya dengan Trisakti, terdapat sebuah penyederhanaan
masalah dalam poin berdikari dalam bidang ekonomi yang dituangkan dalam
Nawacita. Konsep kemandirian ekonomi yang sifatnya orientasi, mengalami
sebuah simplifikasi menjadi sebuah kondisi ketidakmampuan negara dalam
memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
“...Dalam hal ini, kemandirian ekonomi sebagai kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, baik kebutuhan dasar (basic needs) seperti sandang, pangan dan papan, maupun pelayanan-pelayanan dasar
(basic services) berupa pendidikan dan kesehatan. Negara, dalam hal ini
memiliki tanggung jawab untuk merancang dan menjamin bahwa seluruh kebijakan ekonomi diarahkan untuk memenuhi dua jenis kebutuhan tersebut.82”
Hal ini berangkat dari identifikasi permasalahan ekonomi Indonesia yang
hanya mengedepankan penekanan terhadap 3 masalah yakni pembangunan
manusia, kedaulatan energi dan kedaulatan pangan, bukan pada persoalan
orientasi dan struktur perekonomian Indonesia.
“...Ekonomi Indonesia berdiri di atas fondasi yang rapuh akibat
berlanjutnya masalah kemiskinan, keterbatasan akses terhadap air bersih
82
dan energi, pengabaian arti penting pembangunan manusia, kesenjangan yang semakin melebar, kerentanan terhadap tekanan ekonomi global, dan pengingkaran atas karakter maritim Indonesia. Diantara sejumlah permasalahan yang dihadapi Indonesia, kami memandang penting penekanan pada pemecahan tiga masalah utama, yakni pembangunan manusia, kedaulatan energi dan kedaulatan pangan83”
Implikasi dari identikasi masalah tersebut dapat dilihat dari penjabaran
Nawacita. Bidang ekonomi menempati prioritas yang terbesar dalam Nawacita,
hal ini dapat dilihat di poin 3, 5, 6, dan 7. Poin-poin tersebut sebagai berikut84:
3) Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Poin ini dijabarkan menjadi (a) desentralisasi asimetris, (b) pemerataan pembangunan antar wilayah, terutama desa, kawasan timur Indonesia dan kawasan perbatasan (c) penataaan daerah otonomi baru untuk kesejahteraan rakyat (d) implementasi UU Desa.
5) Kami akan meningkatkan kualitas manusia Indonesia, melalui: (a) program
“Indonesia Pintar” melalui wajib belajar 12 tahun bebas pungutan (b) program kartu “Indonesia Sehat”melalui layanan kesehatan masyarakat (c) program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” melalui reformasi
agraria 9 juta ha untuk rakyat tani dan buruh tani, rumah susun bersubsidi dan jaminan sosial.
6) Kami akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya melalui (a) membangun infrastruktur jalan baru sebanjan, sekurang-kurangnya 2000 kilometer (b) membangun sekurang-kurangnya 10 pelabuhan baru dan merenovasi yang lama (c) membangun sekurang-kurangnya 10 bandara baru dan merenovasi yang lama (d) membangun sekurang-kurangnya 10 kawasan industri baru berikut pengembangan untuk hunian buruhnya (e) membangun sekurang-kurangnya 5000 pasar tradisional di seluruh Indonesia dan memodernisasikan pasar tradisional yang ada (f) menciptakan layanan satu atap untuk investasi, efisiensi perijinan bisnis menjadi maksimal 15 hari (g) membangun sejumlah science dan technopark di kawasan politeknik dan SMK-SMK dengan prasarana dan sarana dengan teknologi terkini
7) Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik melalui: (a) membangun
83
Ibid. Hal. 29. 84
kedaulatan pangan (b) mewujudkan kedaulatan energi (c) mewujudkan kedaulatan keuangan (d) mendirikan bank petani/nelayan dan umum termasuk gedung dengan fasilitas pengolahan paska panen di tiap sentra produksi tani/nelayan (e) mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional.
Jika dilihat relevansinya kedalam subpoin pembahasan, maka dapat dilihat
perbedaan-perbedaan Nawacita dengan Trisakti yaitu:
a. Ketidakjelasan Reaksi Nawacita terhadap nekolim.
Didalam Nawacita yang membahas bidang ekonomi, tidak ditemukan sikap
Indonesia dalam melihat posisi organisasi moneter internasional seperti IMF,
World Bank, Asian Development Bank, dan lainnya yang dicirikan Soekarno
sebagai ancaman dari nekolim.
Lebih mengherankannya lagi, tidak satu pun statemen Jokowi-JK yang
menggunakan kata “kapitalisme” yang mengindikasikan kecenderungan untuk
melihat ekonomi yang kapitalistik sebagai latar yang tidak dipertanyakan lagi.
Problemnya kemudian hanyalah “bagaimana bisa survive dan menang” dalam
area permainan yang sudah ditentukan sebelumnya, entah oleh siapa.85 Kejelasan
sikap Nawacita terhadap lembaga moneter Internasional malah disinggung pada
penjabaran poin pertama pembahasan bidang politik, yakni:
“...mengedepankan dan aktif dalam mendorong reformasi lembaga-lembaga kerjasama multilateralisme regional dan global, termasuk penguatan PBB, aktif dalam Organisasi Konfrensi Islam (OKI), dan
85
mendorong reformasi lembaga-lembaga keuangan internasional Bretton Wood khususnya World Bank dan International Monetary Fund...”.86
Ketidaktegasan Nawacita di bidang ekonomi dalam mengambil sikap
terhadap lembaga moneter dunia menjadi sebuah kontradiksi terhadap Trisakti
sebagai sebuah jalan ideologis yang dianut. Lembaga moneter dunia semacam
World Bank, IMF, dan semacamnya seperti yang dikemukakan diatas secara tegas
mengusung sistem ekonomi pasar yang merupakan ciri khas dari kapitalisme.
Bentuk-bentuk kerjasama yang dijalin dengan lembaga-lembaga tersebut tentunya
akan bertentangan dengan penerapan konsep Trisakti Soekarno yang
mengedepankan penguatan peran negara dalam strategi dan kebijakan ekonomi.
b. Kedaulatan Pangan dan Land Reform
Kedaulatan pangan mendapat perhatian didalam Nawacita pada poin kedua,
pembahasan dibidang ekonomi yang isinya:
“Kami akan membangu kedaulatan pangan berbasis pada Agribisni Kerakyatan melalui...(2) penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan re-generasi petani melalui; c) pembangunan irigasi, bendungan, sarana jalan dan transportasi, serta pasar dan kelembagaan pasar secara merata....(3) komitmen untuk implementasi reforma agraria melalui; a) akses dan aset reform Pendistribusian asset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta ha, b) meningkatnya akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian 87“
86
Visi misi dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014. Op. Cit. Hal. 13. 87
Land Reform juga mendapat penekanan, yakni pada poin 11 mengenai
komitmen untuk mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan.
Pada subpoin z diungkapkan:
“kami akan mendorong Landreform untuk memperjelas kepemilikan dan
kemanfaatan tanah dan sumber daya alam melalui penyempurnaan terhadap UU pokok Agraria88”.
Pandangan mengenai kedaulatan pangan diatas sangat kental orientasinya
dengan kemampuan negara untuk berdikari dan mensejahterakan rakyat. Hal
tersebut juga berkesinambungan dengan pemberdayaan rakyat, yang tidak
mungkin diwujudkan tanpa orientasi perekonomian yang jelas.
c. Kedaulatan Energi dan Nasionalisasi
Masalah mengenai kedaulatan energi Indonesia menjadi isu klasik yang
mendapat perhatian oleh Soekarno. Ketersediaan sumber daya alam berbasis
energi yang melimpah digadang-gadang Soekarno sebagai fondasi dasar
perekonomian Indonesia. Keseriusan Soekarno dalam melihat permasalahan
kedaulatan energi dapat dilihat dari nasionalisasi-nasionalisasi perusahaan minyak
dan tambang asing yang ia lakukan dalam rentang waktu 1957-1965.
Pembahasan mengenai kedaulatan energi pada Nawacita menyasar
permasalahan carut-marut sektor industri migas Indonesia yang bersumber pada
Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001 yang dinilai berpihak kepada pihak
asing. UU migas menempatkan migas sebagai komoditas pasar, bukan sebagai
88
komoditas strategis yang seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.
Kondisi ini diperparah dengan penetapan harga komoditas yang diserahkan
kepada mekanisme pasar, sehingga membuka peluang bagi perusahaan asing
menguasai migas indonesia. Sebagai turunannya PP no 36/2004, Permen ESDM
19/2009 serta penerbitan UU No 25/2007 tentang penanaman modal, turut
memperlancar arus liberalisasi tersebut dengan mengizinkan perusahaan asing
menguasai pertambangan hingga 5%. Selaras dengan UU tersebut, data SKK
Migas 2012 menunjukkan bahwa 88% ladang migas dikuasai perusahaan asing,
8% BUMS Nasional dan BUMN, serta 4 % konsorsium yang melibatkan
perusahaan asing89.
Komitmen untuk menegakkan kedaulatan energi disektor industri migas
kemudian dicanangkan dalam Nawacita, yang mengupayakan revisi terhadap UU
Migas tersebut dan komitmen untuk mencapai industri migas yang kuat, seperti
yang dituangkan dalam subpoin (3), dalam poin ketiga rencana berdaulat energi
berbasis kepentingan nasional.
“(3) kami berkomitmen untuk mencapai industri migas yang kuat dan tangguh melalui (a) pembangunan industri migas nasional yang kuat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. (b) mengoptimalkan dana APBN melalui lifting. (c) merumuskan strategi reserve replacement. Dengan komitmen ini, kami akan mendorong revisi UU Migas yang
89
secepatnya sebelum persoalan semakin kronis berbasi pada pasal 33 UUD 1945 dengan ruh TRISAKTI90.”
Diluar dari ketiga subpoin permasalahan diatas, Nawacita juga luput dalam
melihat permasalahan mendasar imbas dari kesalahan orientasi perekonomian
Indonesia, salah satunya yaitu realitas kondisi industri manufaktur. Permasalahan
Industri manufaktur sangat mendesak mengingat Industri manufaktur sebagai
penyumbang PDB terbesar Indonesia yakni 23,5 % berada pada kondisi yang
bersifat oligopolistik dan cenderung monopolistik.
Berdasarkan tingkar rasio konsentrasi industri manufaktur di tahun 2006,
terdapat 60 % dari kelompok industri (berdasarkan KKI 5 digit) yang memiliki
tingkat konsentrasi di atas 75 %. Tingkat konsentrasi diatas 75 % dalam
pengukuran konsentrasi industri, menggambarkan struktur industri yang sudah
oligopoli atau monopoli91.
Struktur industri manufaktur yang oligopolistik, kemudian menjadikan
kondisi-kondisi bagi kelestarian faktor ekstraksi sumber daya alam dan tingkat
upah murah dapat terus dipertahankan demi menopang posisi aktivitas produksi
Indonesia dalam jejaring produksi global. Terus dipertahankannya kondisi ini
mengakibatkan industri manufaktur indonesia didalam rantai produksi global
90
Visi misi dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014. Op. Cit. Hal. 31. 91
tidak pernah beranjak dari dominasi aktivasi produksi yang bertumpu pada tingkat
upah dan ketersediaan sumber daya alam yang murah92.
Permasalahan struktur industri tersebut tidak disinggung dan disentuh
sebagai sasaran perubahan dalam Nawacita. Permasalahan industri manufaktur,
sebagai penopang perekonomian Indonesia hanya mendapat ulasan non-struktural
yang sifatnya justru membuka ruang untuk melanggengkan kondisi oligopoli
tersebut terus berlangsung.
“Kami berkomitmen pengembangan industri manufaktur, melalui: (1) pengembangan industri manufaktur untuk pengolahan sumber daya alam yang selama ini diekspor dalam bentuk bahan mentah, (2) pengurangan kandungan impor dalam industri manufaktur Indonesia secara bertahap, (3) pengembangan 5-7 industri sentra industri baru koridor luar jawa, (4) proteksi HAKI, (5) promosi produk manufaktur nasional dan pengembangan industri kecil dan menengah serta koperasi untuk meningkatkan nilai tambahnya, (6) memfasilitasi kemitraan antara industri dan perguruan tinggi dalam kerjasama R&D pengetahuan dan teknologi yang dapat diaplikasikan untuk memperkuat daya saing industri manufaktur nasional, (7) pemerintah memberikan fasilitas fiskal dan non-fiskal untuk mempromosikan HAKI nasional di pasar global93”
3.1.3Relevansi dalam Bidang Budaya 3.1.3.1Trisakti
A.Penekanan terhadap pentingnya “Revolusi Mental”
Poin ketiga dari Trisakti ialah berkepribadian sendiri di lapangan
kebudayaan. Berkepribadian yang dikatakan oleh Soekarno disini adalah perlunya
suatu nation building dan character building oleh bangsa Indonesia. Poin
92
Ibid. Hal. 45. 93
kebudayaan ini merupakan penyokong utama tegaknya kedaulatan politik
indonesia. Terdapat 3 budaya yang ingin dikikis oleh Soekarno dalam karakter
bangsa Indonesia, yakni budaya kolonialisme (Belanda), kapitalisme dan
imperialisme.
Mentalitas inlander, sebagai hasil dari budaya kolonialisme (belanda inilah
yang perlu untuk dilakukan pencerahan atau dalam bahasa Soekarno sendiri
„mengarahkan kepada bentuk penemuan jati diri kembali‟. Jika dikaitkan dengan
prinsip berdaulat dalam bidang politik, hal ini merupakan usaha untuk membentuk
karakter bangsa yang disimbolkan dalam bentuk penghapusan mental terjajah atau
inferior yang selama ini melekat dalam pembentukan manusia Hindia Belanda
dalam skema kolonialisme Belanda94.
Budaya kapitalisme dan imperialisme menemukan bentuknya dalam
individualisme, nihilisme dan sinisme. Kebudayaan tersebut menurut Soekarno,
membunuh kepribadian nasional bangsa Indonesia yang berdasarkan
kolektivitisme dan gotong-royong. Tak hanya itu, kebudayaan feodal dan
imperialistik juga bergerilya menanamkan jiwa pengecut, penakut, lemah, dan
tidak percaya diri kepada rakyat Indonesia dalam bertindak dan berbuat95. Eratnya
kaitan antara bidang politik dan ekonomi serta imbasnya pada bidang kebudayaan
kemudian menginisiasi Soekarno menggagas “Revolusi Mental” sebagai upaya
penyelamatan bangsa dalam taraf nation building.
94
Peter Kasenda, Trisakti Soekarno. Op. Cit. Hal. 13. 95
Esensi dari revolusi mental ala Soekarno adalah perombakan cara berpikir,
cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan
tuntutan revolusi nasional. “ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia
Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja,
bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.
Revolusi mental yang dicetuskan oleh Soekarno diaplikasikan dalam bentuk
praksis, yakni menganjurkan “gerakan hidup baru”. Gerakan hidup baru, menurut
Soekarno harus memiliki jiwa revolusi yang menolak “hari kemarin” (reject
yesterday) . artinya semua gaya hidup lama yang tidak sesuai dengan semangat
kemajuan dan tuntutan revolusi, mestilah dibuang.
Gerakan hidup baru tersebut diaplikasikan kedalam aksi-aksi seperti hidup
sederhana, gerakan kebersihan/kesehatan, gerakan pemberantasan buta-huruf,
gerakan memassalkan gotong-royong, gerakan mendisiplinkan dan
mengefisienkan perusahaan dan jawatan negara, gerakan pembanguna rohani
melalui kegiatan keagamaan, dan penguatan kewaspadaan nasional.
3.1.3.2 Nawacita
A. Pemberlakuan Revolusi Karakter Bangsa
Nawacita yang digagas oleh pemerintahan Jokowi-JK juga dibarengi dengan
jargon Revolusi Mental sebagai jargon politik pada pilpres 2014 lalu. Revolusi
mental, yang diharapkan dapat membenahi permasalahan indonesia di bidang
Soekarno mengedepankan upaya untuk mengikis unsur-unsur asing yang
dianggap “mengendap” dalam budaya indonesia, Nawacita tidak lagi berbicara
mengenai hal tersebut. hal ini dilihat dari perumusan gagasan berkepribadian
dibidang budaya dalam Nawacita:
“Kepribadian dalam kebudayaan harus dicerminkan dalam aspek kehidupan, baik hukum, ekonomi, politik, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Kemandirian dan kemajuan suatu bangsa tidak boleh hanya dikukur dari perkembangan ekonomi semata. Kemandirian dan kemajuan juga tercermin dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan politik dan sosial. Secara lebih mendasar lagi, kemandirian sesungguhnya mencerminkan sikap seseorang atau sebuah bangsa mengenai jati dirinya, masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadapi berbagai tantangan. Karena menyangkut sikap, kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya dalam arti seluas-luasnya96”.
Nawacita melihat gagasan berkepribadian dalam bidang kebudayaan
sebagai sebuah kekuatan utama untuk mencerminkan kemandirian dan kemajuan
suatu bangsa. Pada poin ke 8 dan ke 9, Nawacita mengambil fokus pada kondisi
upaya untuk memperteguh kondisi nasionalisme akibat maraknya konflik
sektarian di indonesia dalam 2 dekade terakhir. Hal ini dapat dilihat dari
penjabaran poin ke 8 dan 9 nawacita di bidang kebudayaan, yang dibagi kembali
kedalam 3 agenda strategis yakni97:
a) Kami berkomitmen mewujudkan pendidikan sebagai pembentukan
karakter bangsa
b) Kami akan memperteguh ke-bhineka-an indonesia dan memperkuat
restorasi sosial
96
Visi misi dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014. Op. Cit. Hal. 5. 97
c) Kami akan membangun jiwa bangsa melalui pemberdayaan pemuda dan
olah raga.
Sama seperti gagasan dibidang politik dan ekonomi, gagasan dibidang
kebudayaan dalam Nawacita juga tidak mengangkat pandangan Soekarno yang
menolak nekolim dalam kehidupan rakyat Indonesia. Absennya pemahaman
untuk anti terhadap budaya kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme dalam
Nawacita menjadi ketimpangan bagi masyarakat untuk memahami jati diri bangsa
yang sebenarnya.
Penjabaran diatas menjadi sebuah gambaran mengenai bagaimana perbedaan
revolusi mental yang digagas Soekarno dan jargon kampanye Jokowi. Kesamaan
revolusi mental hanya sebatas literal saja, sementara pemahaman secara
tekstualnya memiliki fokus pembahasan yang berbeda satu sama lain.
3.2 Signifikansi Trisakti terhadap Kondisi Saat Ini
3.2.1. Kedaulatan Politik sebagai Bentuk Integritas Negara
Kedaulatan negara dalam bidang politik menurut Trisakti merupakan
pencerminan dari integritas negara tersebut. Negara di bidang politik harus
memiliki kedaulatan yang tidak dapat ditawar lagi karena mempertaruhkan harga
diri sebuah bangsa. Oleh karena itu, praktik nekolim yang berusaha menciptakan
kondisi ketergantungan dan dominasi politik di negara-negara dunia menjadi
Bangsa yang berdaulat secara politik memiliki andil dalam menentukan
sikap serta hubungan diplomasi yang objektif dalam membangun hubungan
internasional dengan kedudukan yang sederajat. Sikap Indonesia dalam hal ini
dapat dipahami apabila melihat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada
alinea pertama dan keempat yang menyatakan penolakan Indonesia terhadap
penjajahan atas kedaulatan negara lain dan komitmen Indonesia untuk ikut aktif
menjaga ketertiban dunia.
Nawacita menafsirkan bentuk kedaulatan politik tersebut dan
merumuskannya dalam pola-pola kerjasama antar negara tanpa mengubah
komitmen awal Indonesia untuk konsisten menerapkan kebijakan bebas aktif.
Komitmen Indonesia dapat dilihat dari beberapa langkah yang diambil
pemerintahan Jokowi-JK dalam hubungan internasional, seperti persoalan
kedaulatan Palestina dan kasus sengketa Laut Cina Selatan..
Menanggapi permasalahan kedaulatan Palestina, pemerintah Indonesia
menginisiasi dukungan dari komunitas internasional terhadap kedaulatan politik
Palestina, salah satunya dengan mengizinkan berdirinya Kedutaan Besar Palestina
di Jakarta98. Dalam konflik Laut Cina Selatan, Indonesia mendorong tercapainya
Code of Conduct (CoC) antara negara-negara ASEAN dengan Tiongkok99.
Langkah sebagai penengah ini diambil Indonesia mengingat untuk menjaga
98
http://international.sindonews.com/read/1070456/40/dubes-palestina-untuk-pbb-apresiasi-dukungan-indonesia-1450421865 diakses pada tanggal 9 Januari 2015 pukul 15.09 WIB.
99
wilayah Laut Cina Selatan yang dikenal sebagai kawasan kaya energi tetap stabil
dan menjamin arus perdagangan berjalan dengan lancar.
Pola hubungan internasional juga harus dilihat dari kerangka yang lebih
luas, hal ini dikarenakan konsep Trisakti berdasar pada terpolarisasinya politik
dunia kedalam dua blok besar saat itu. Pembagian dunia kedalam dua blok besar
sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini setelah kemenangan
liberalisme-demokrasi pasca perang dingin. Hal tersebut menuntut sebuah redefinisi atau
definisi ulang terhadap negara-negara yang sebelumnya dikatakan Soekarno
sebagai imperialis, maupun kapitalis yang menjadi musuh bagi revolusi Indonesia.
Perubahan konstelasi politik tersebut juga ditandai dengan munculnya globalisasi
dalam sektor ekonomi yang mengakibatkan ketergantungan dan keterikatan antara
satu negara dengan negara lain sebagai satu kesatuan.
Nawacita kedepannya akan dihadapkan pada masalah-masalah yang
bersinggungan dengan aktor-aktor hubungan internasional yaitu Negara dan non
Negara (Lembaga Internasional maupun Multi/Trans Nasional Corporation).
Pengambilan kebijakan pemerintahan kedepan dapat menjadi acuan apakah dalam
praktiknya Indonesia lebih mengutamakan kepentingan nasional atau kepentingan
pihak di luar negara.
Contohnya seperti kontrak karya PT. Freeport Indonesia di Papua dan klaim
wilayah Natuna oleh Negara asing. Kontrak karya PT. Freeport yang akan habis
pada tahun 2021 memerlukan Peninjauan ulang terhadap bentuk-bentuk kerjasama
diperlukan agar kepentingan rakyat Indonesia dalam hal ini menjadi prioritas
utama dalam pengambilan keputusan.
Begitu juga dengan masalah kepulauan Natuna, kepulauan di ujung Selat
Karimata ini memiliki potensi akan cadangan minyak dan gas nya yang besar.
Sebagai salah satu pulau terluar di Indonesia, Kepulauan Natuna secara teritorial
beririsan dengan negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Vietnam. Potensi
konflik dan pencaplokan wilayah oleh negara-negara asing tentunya dapat
mengancam keutuhan Indonesia dan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan
politik Indonesia.
Terlepas dari kondisi sosio-politik yang berubah dan menuntut definisi
ulang terhadap kebijakan politik Indonesia, Trisakti pada prinsipnya mengajarkan
bahwa kedaulatan politik suatu negara harus dihormati dan dihargai oleh setiap
negara. Konsekuensi dari hal tersebut, kerjasama yang dibangun dalam hubungan
Internasional idealnya harus meletakkan kepentingan nasional Indonesia diatas
kepentingan pihak lain.
3.2.2. Reorientasi Pandangan Ekonomi Indonesia
Trisakti sebagai sebuah jalan ideologis merupakan upaya meletakkan pembangunan Indonesia sesuai dengan relnya. Penggaungan kembali gagasan
Trisakti Soekarno, sebagai tahapan dalam Panca Azimat adalah keharusan untuk
melanjutkan tahapan revolusi indonesia yang belum selesai. Hal ini didasarkan
pada fakta-fakta bahwa meskipun ditunjang dengan sumber daya alam yang
lingkup ASEAN, Indonesia masih tertinggal dibawah Malaysia dan Singapura
baik itu secara ekonomi maupun berdasarkan Sumber Daya Manusia (SDM).100
Penggunaan Trisakti sebagai jalan ideologis menjadi tanda mengenai
penelusuran masalah ekonomi Indonesia saat ini merupakan imbas dari orientasi
ekonomi-politik yang dianut oleh rezim yang berkuasa.
Konsep berdikari dibidang ekonomi oleh karena itu menilai untuk merubah
kebijakan-kebijakan ekonomi-politik neoliberalisme, maka jalan yang ditempuh
adalah reorientasi didalam kehidupan ekonomi-politik, bukan perubahan yang
sifatnya hanya kelembagaan. Hal ini juga mengharuskan jargon-jargon
kemandirian ekonomi tersebut tidak boleh hanya menjadi sebuah landasan
operasional yang tak kunjung diterapkan.
Ekonomi Terpimpin sebagai sistem ekonomi yang dicanangkan untuk
mengatasi kondisi tersebut dilakukan dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing dan land reform untuk penegakan kedaulatan
pangan. Begitu juga dengan persoalan modal asing di Indonesia. Soekarno dengan
tegas menyatakan bentuk „kooperasi dengan syaratnya‟ yaitu hanya menggunakan
modal asing “jika perlu” dan tidak dijadikan prioritas dalam pendanaan perbaikan
ekonomi. Modal asing yang dikehendaki oleh Soekarno adalah modal asing yang
tidak mengikat secara politik maupun militer101. Keseluruhan aktivitas ini
100
Dai Bachtiar (Duta Besar Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dalam
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/673341-hadapi-mea--ri-tertinggal-jauh-dari-malaysia-dan-singapura
diakses pada tanggal 6 Januari 2016 pukul 10.39 WIB 101
bermuara kepada satu sikap yang secara konsisten dipegang oleh Soekarno yakni
anti nekolim.
Namun apabila dikaitkan dengan realitas ekonomi Indonesia saat ini, hal ini
tentunya menyulitkan mengingat permasalahan orientasi ekonomi maupun
struktur ekonomi negara-negara dunia saat ini terjalin satu sama lain sebagai
sebuah kesatuan. Hal ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk kerjasama ekonomi
global maupun regional seperti G-20, World Trade Organization (WTO),
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) bahkan yang teranyar adalah Trans-Pasific
Patnership (TPP) yang mengharuskan perekonomian Indonesia terintegrasi
dengan kerjasama-kerjasama tersebut.
Praktik ekonomi dalam tatanan global ini didasarkan pada liberalisasi
ekonomi, sehingga menghilangkan sekat-sekat perdagangan dan hambatan
terhadap arus investasi dalam suatu negara. Kenyataan tatanan ekonomi global
yang menuju pada pasar bebas berimbas pada peran negara yang secara tidak
langsung diminimalisasi perananannya. Keikutsertaan Indonesia dalam tatanan
ekonomi global bila dihadapkan dengan upaya reorientasi dan restrukturisasi
perekonomian nasional, berada dalam posisi yang bertentangan satu sama lain
dikarenakan asumsi dasar mengenai kesejahteraan ekonomi yang berbeda.
Wacana mengenai pelaksanaan sistem ekonomi terpimpin yang
dimungkinkan apabila ditopang oleh demokrasi terpimpin pun sulit untuk
mengingat kecenderungan demokrasi terpimpin yang dekat dengan otoriterisme
tidak sesuai dengan perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini.
Penggunaan Trisakti sebagai jalan ideologis pemerintahan kedepan
menghadapkan Nawacita dengan kontradiksi-kontradiksi apabila dibenturkan
dengan realitas ekonomi global. Kendati disadari terdapat kesalahan orientasi
perekonomian nasional saat ini, harus ditemukan sebuah “jalan damai” dengan
tatanan ekonomi global yang liberal, karena hal yang patut dipahami adalah
kemandirian ekonomi negara mengandalkan rakyat sebagai tenaga penggerak
utama perekonomian. Sehingga kepentingan rakyat, harus menjadi prioritas utama
dalam setiap praktik perekonomian nasional.
3.2.3. Kekuatan dan Pembangunan Bangsa sekaligus Character Building
Trisakti merupakan upaya pembentukan karakter bangsa yang penuh harga diri dan menghormati kedaulatan negara lain. Pembentukan karakter bangsa ini
diperlukan mengingat penjajahan kolonial Belanda maupun Jepang berdampak
kepada menghilangnya karakter bangsa Indonesia yang asli.
Kondisi zaman penjajahan baik itu Belanda maupun Jepang, berakibat pada
dominasi kebudayaan Negara penjajah atas Indonesia. Konsekuensinya adalah
tindak-tanduk rakyat Indonesia dipaksa disesuaikan dengan kepentingan
imperialistik negara penjajahan. Hal ini juga yang menyebabkan melekatnya label
Pengaruh kebudayaan kapitalisme-imperialisme dan kolonialisme tersebut
yang dikatakan Soekarno sebagai objek yang harus dihilangkan dalam konsepsi
Trisakti berkepribadian di lapangan kebudayaan. Penghapusan ketiga budaya
tersebut akan mampu mendorong munculnya kebudayaan dan menampilkan
kepribadian bangsa Indonesia yang sebenarnya102.
Berkepribadian dibidang kebudayaan dalam konsep Trisakti menjadi tolak
ukur sebuah bangsa terhadap pengaruh perkembangan zaman. Globalisasi yang
juga menyentuh aspek kebudayaan dapat dilihat dari maraknya individualisme,
pragmatisme dan perilaku konsumtif secara berlebihan di kalangan masyarakat
Indonesia. Perilaku konsumtif masyarakat Indonesia dalam hal ini layak mendapat
perhatian lebih. Peningkatan tingkat konsumsi perkapita Indonesia pasca krisis
disatu sisi memang memberikan sinyal positif, hal ini dapat dilihat dari
[image:38.595.146.434.528.684.2]perkembangan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia.
Tabel 2. Tingkat Konsumsi Masyarkat Indonesia sesudah Krisis 1998103
Tahun Konsumsi (Rp. Milyar)
Pendapatan Nasional (Rp. Milyar)
1999 838.097,2 943.030,7
2000 856.798,3 1.265.939,5
2001 1.039.655,0 1.507.589,6
2002 1.231.964,5 1.644.411,6
2003 1.372.078,0 1.778.660,0
2004 1.532.388,3 2.046.297,0
2005 1.785.596,4 2.446.847,2
102
Paharizal. Op. Cit. Hal. 144. 103
2006 2.092.655,7 2.931.844,3
2007 2.510.503,8 3.478.675,0
2008 2.999.956,9 4.458.277,8
2009 3.290.843,3 4.912.624,9
2010 3.641.996,5 5.695.451,9
Tingginya tingkat konsumsi ini ternyata tidak mencerminkan pemerataan
dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari angka koefisien Gini
Indonesia yang pada akhir tahun 2014 menunjukkan angka 0,42104. Tingginya
pola konsumerisme ini mengindikasikan gejalan gaya hidup masyarakat Indonesia
yang berubah dan terbawa arus konsumerisme pasar bebas. Budaya konsumerisme
ini bertentangan dengan jati diri serta karakter rakyat Indonesia yang sejatinya
mengutamakan kolektifitas serta gotong royong.
Gagasan berkebudayaan dalam Trisakti lainnya, yaitu tidak tolerannya
Soekarno terhadap budaya Belanda dan budaya asing yang dinilai dapat membuat
bangsa Indonesia tidak mandiri dan bermental penjiplak seharusnya di definisikan
ulang saat ini. Penolakan Soekarno terhadap „musik-musik imperialis‟ yang
disebutnya “kambing kebelet kawin” dan Ngak Ngik Ngok serta bentuk-bentuk
kebudayaan lain yang dinilainya mengejar estetika belaka tentu tidak sesuai
dengan konteks globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat saat ini.
Gagasan “Revolusi Mental” Jokowi-JK dalam hal ini memang tidak lagi
menolak kebudayaan asing dan mengidentifikasinya kedalam budaya kolonial,
104
imperialis, maupun feodalis. Gagasan “Revolusi Mental” Jokowi-JK diarahkan
kepada pembenahan moralitas publik seperti kedisiplinan dan toleransi yang
bertujuan mengangkat kualitas dan daya saing rakyat Indonesia dalam ranah
global.
Globalisasi dan perkembangan teknologi yang memungkinkan
keluar-masuknya kebudayaan dan informasi dalam waktu singkat menjadi tidak
terhindarkan saat ini. Kemajuan teknologi dan perkembangan berbagai disiplin
ilmu kebudayaan dari negara-negara maju saat ini yang belum mampu diproduksi
oleh Indonesia dapat dijadikan contoh untuk membangun negara ini.
Perbedaan-perbedaan yang ada antara kebudayaan yang masuk dapat disikapi dengan
menyaring hal tersebut berdasarkan dampak yang dihasilkan. Oleh karena itu
untuk menghadapi kondisi ini, berkepribadian dalam kebudayaan tentunya tidak
dengan menutup diri dan menolak mentah-mentah tanpa melihat dampak positif
BAB IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
1. Pikiran-pikiran Soekarno yang dituangkannya dalam Trisakti merupakan
upaya untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, berdasar pada 3 bidang
yang harus dibenahi yakni politik, ekonomi dan kebudayaan. Nawacita dilihat
relevansinya dengan Trisakti sebagai sebuah gagasan memiliki identifikasi
masalah yang sama yakni adanya carut-marutnya peran negara imbas dari
orientasi politik, ekonomi, dan budayanya. Tetapi ketika dilihat dalam
pembahasan yang komprehensif, hal ini tidak menyentuh secara mendasar
persoalan yang dihadapi, yakni orientasi ekonomi politik indonesia yang
mengarah ke nekolim.
2. Pada bidang politik terdapat perbedaan penekanan terhadap masalah yang
dihadapi oleh Indonesia. Kedaulatan politik dalam Trisakti terfokus pada
masalah intervensi asing terhadap kedaulatan Indonesia, sementara penegakan
kedaulatan politik yang digagas dalam Nawacita lebih mengutamakan
pembangunan politik dalam negeri. Perbedaan penekanan ini didasari oleh
kondisi sosio-politik yang berbeda antara konsep Trisakti dengan Nawacita.
Kendati terdapat perbedaan identifikasi masalah, hal ini tetap relevan karena
Nawacita tetap berpegang pada konsep Trisakti Soekarno, dilihat dari
posisi rakyat sebagai subyek dalam menjalankan politik yang berdiri diatas
realitas dengan bersandarkan kesatuan republik Indonesia.
Dalam bidang ekonomi sejalan dengan gagasan dibidang politiknya, Trisakti
menghendaki sebuah perekonomian nasional yang secara orientasi menolak
nekolim. Trisakti mengutamakan kekuatan ekonomi dalam negeri sebagai
motor utama tanpa menyandarkan diri pada bangsa lain. Gagasan kemandirian
ekonomi juga dimaknai bukan sebagai penolakan terhadap bantuan asing
melainkan mengkehendaki kerjasama yang setara.
Berkepribadian dalam budaya adalah usaha untuk menyingkirkan dominasi
budaya asing yang masuk sembari berusaha memunculkan kepribadian
Indonesia yang asli. Munculnya kepribadian Indonesia yang dicirikan dengan
kolektivitas dan gotong royong ini diimbangi dengan jiwa juang untuk
membangun dunia baru sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
3. Signifikansi dari Trisakti sebagai sebuah konsep terhadap Nawacita dapat
dilihat dalam semangatnya untuk membentuk suatu negara yang mampu
suistanable dalam bidang politik, ekonomi dan budaya. Upaya-upaya untuk
melakukan penegasan dalam bidang politik, reorientasi perekonomian dan
pembangunan karakter bangsa merupakan hal yang diperlukan untuk
menghadapi globalisasi saat ini. Namun usaha untuk menerapkan hal ini secara
utuh tentunya akan berbenturan dengan realitas sosio-politik yang terjadi pada
kondisi saat ini tanpa harus merubah karakter bangsa yang sesuai dengan
semangat Trisakti.
4.2.Saran
1. Melakukan perbaikan-perbaikan terhadap beberapa poin dalam Nawacita yang
luput dalam melihat gagasan Trisakti Soekarno, khususnya terkait penegasan
orientasi dan sikap terhadap ancaman nekolim yang semakin nyata pada
kondisi saat ini. Sebuah hal yang paradoks apabila penggunaan Trisakti sebagai
sebuah jalan ideologis tidak diimbangi dengan sebuah ketegasan sikap terhadap
nekolim, karena pada dasarnya Trisakti merupakan antitesis dari ancaman
nekolim.
2. Konsistensi dalam menjadikan konsep Trisakti sebagai sebuah jalan ideologis.
Situasi pemerintahan Indonesia saat ini, sesuai dengan yang disebutkan
Soekarno dengan “revolusi yang telah keluar dari relnya”. Perkembangan
pembangunan Indonesia dalam aspek politik, ekonomi, maupun budaya belum
bisa dikatakan menggembirakan, apabila dibandingkan dengan pesatnya
perkembangan negara-negara lain saat ini. Trisakti Soekarno oleh karena itu
layak untuk diuji kembali efektifitasnya sebagai sebuah tahapan revolusi
Indonesia. Penerapan Trisakti secara konsisten tentu mampu menjadi alternatif
baru ditengah mandeknya perkembangan Indonesia saat ini.
3. Apabila dihadapkan pada realitas saat ini tentunya Trisakti sebagai sebuah
usaha-usaha untuk mencari sebuah alternatif dari kondisi yang bertentangan tersebut
BAB II
SEJARAH TRISAKTI DAN NAWACITA PEMERINTAHAN JOKOWI-JK
2.1. Sejarah Trisakti
2.1.1. Karakteristik Pemikiran Soekarno di dalam Trisakti
Trisakti sebagai sebuah gagasan merupakan hal yang tidak asing di kalangan
masyarakat Indonesia. Trisakti bersama gagasan-gagasan lain seperti Nasakom,
Marhaenisme, Nefo, Berdikari, Manipol, dan Dekon (Demokrasi Ekonomi),
dikenali dengan label made in Soekarno. Soekarno sebagai penggagas
konsep-konsep tersebut termasuk pemikir yang produktif bila dibandingkan dengan
tokoh-tokoh lain yang semasa dengan dirinya.
Gagasan-gagasan Soekarno merupakan pemahamannya atas sebuah realitas
yang terjadi di Nusantara, yakni penjajahan selama ratusan tahun oleh bangsa
asing. Oleh karena itu, untuk dapat memahami gagasan-gagasan dan konsep
Soekarno, tidak dapat dilepaskan dari perjuangan Soekarno dalam pergerakan
keterlibatannya sebagai aktor dalam pergerakan di Indonesia berpengaruh besar
melatarbelakangi dan membentuk gagasan-gagasan yang dia kemukakan.
Awal keterlibatan Soekarno dalam pergerakan Indonesia dimulai semenjak
ia masih berstatus pelajar. Soekarno tercatat aktif dalam menyumbangkan
pemikirannya di surat kabar Oetoesan Hindia selama lima tahun, sejak tahun
1912-191829. Oetoesan Hindia merupakan surat kabar yang dibawahi oleh Sarekat
Islam sekaligus menjadi media propaganda organisasi tersebut, mengingat pada
masa jayanya pada tahun 1910-an anggota dari Sarekat Islam mencapai dua juta
pengikut30.
Keterlibatan Soekarno sebagai kontributor tulisan berbagai surat kabar
berlanjut ketika ia duduk sebagai siswa Hogere Burger School, Surabaya. Begitu
juga ketika ia pindah ke Bandung dan menjadi mahasiswa Technische Hogere
School (cikal bakal Institut Teknologi Bandung), Soekarno tercatat masih aktif
menyumbangkan tulisan untuk surat kabar Sama Tengah.
Surat kabar sebagai media massa yang paling populer pada saat itu dinilai
efektif sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi oleh Soekarno. Surat kabar juga
memiliki fungsi untuk mempengaruhi sidang pembaca agar bersikap atau
mempunyai pandangan seperti yang diinginkan oleh penulis. Hal inilah yang ingin
dicapai Soekarno, yaitu surat kabar sebagai mediator untuk menyampaikan
29
Kasenda, Peter. Februari 2014. Bung Karno Panglima Revolusi. Yogyakarta: Galang Press. Hal. 76. 30
gagasan-gagasan yang sifatnya kebangsaan dalam rangka mencapai cita-cita
Indonesia merdeka.
Melalui surat kabar, Soekarno menerbitkan tulisannya yang berjudul
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Tulisan yang dimuat pada majalah
Soeloeh Indonesia Moeda pada tahun 1927 tersebut ditujukan kepada kalangan
rakyat Indonesia yang ia terkotak-kotak ke dalam tiga golongan besar yaitu
golongan Nasionalis, Islamis, dan Komunis. Dalam Nasionalisme, Is