• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Bab II Tinjauan Pustaka.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Bab II Tinjauan Pustaka.doc"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar Matematika

Beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli tentang belajar sebagai berikut. Menurut Sudjana (1989: 5) belajar adalah suatu proses yang ditandai perubahan pada diri seseorang. Sementara Nasution (Slamento, 2003: 3) menyebutkan belajar adalah suatu proses yang melahirkan atau mengubah sesuatu kegiatan melalui berbagai latihan yang dilakukan oleh seseorang yang belajar.Sedangkan Gagne (Hanafi dan Manan, 1988: 18) menyatakan belajar merupakan proses yang memungkinkan mahluk-mahluk merubah perilakunya cukup cepat dalam cara yang kurang lebih sama, sehingga perubahan yang sama tidak akan terjadi lagi pada setiap situasi baru. Kemudian Dahar (1996: 11) mengemukakan belajar dapat didefenisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Selanjutnya Makmun (2000: 157) mengemukakan di kalangan ahli psikologi terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Namun, baik secara eksplisit maupun implisit terdapat kesamaan makna bahwa dalam defenisi manapun, konsep belajar itu selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.

(2)

konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

Hamalik (2003: 30) menyebutkan beberapa perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang telah mengalami proses belajar yaitu aspek pengetahuan, pengertian atau pemahaman, kebiasaan, ketrampilan, emosional, hubungan sosial, jasmani, etika atau budi pekerti, dan sikap

Hudoyo (1990: 11) menyatakan bahwa seseorang dikatakan belajar matematika, apabila pada diri orang tersebut terjadi suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika. Perubahan tersebut terjadi dari tidak tahu sesuatu konsep menjadi tahu konsep tersebut, dan mampu menggunakannya dalam mempelajari materi lanjut atau dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses belajar matematika bukan hanya pengenalan yang harus dicapai tetapi juga perlu pemahaman terhadap materi tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Bloom (1971: 649) yang menyatakan bahwa pemahaman berhubungan dengan konsep-konsep dan generalisasi atau mentransformasi unsur-unsur masalah dari suatu bentuk ke bentuk lain

(3)

B. Pembelajaran Matematika di Sekolah

Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan menganalisa dan menarik kesimpulan, pemahaman tentang hubungan antara bagian-bagian matematika, dan memiliki kebiasaan berpikir kritis. Oleh sebab itu, pembelajaran matematika termasuk evaluasi hasil belajar siswa hendaknya mengutamakan pada pengembangan daya matematika (mathematical power) siswa, diantaranya meliputi: kemampuan menggali, menyu-sun konjektur, menalar secara logik, berkomukasi secara matematik, dan me-ngaitkan idea matematik dengan kegiatan intelektual lainnya (Sumarmo, 2000: 4).

Selanjutnya Sumarmo (2000: 7) mengemukakan bahwa untuk mendukung berlangsungnya suasana belajar yang kondusif dan dalam usaha memberdayakan siswa, diperlukan perubahan pandangan dan penekanan proses belajar mengajar matematika. Perubahannya tersebut diantaranya:

1. Dari pandangan kelas hanya sebagai kumpulan individu kearah kelas sebagai komuniti (masyarakat) belajar.

2. Dari pandangan guru sebagai pengajar (instructor) kearah guru sebagai pendidik, motivator, fasilitator, dan menejer belajar.

3. Dari pandangan mengingat prosedur penyelesaian ke arah penalaran matematika.

4. Dari penekanan menemukan jawaban secara matematik kearah penyusunan konjektur, menemukan dan pemecahan masalah.

(4)

Muhammadi (1998: 41) mengatakan bahwa untuk dapat mengajar dengan baik, guru perlu melaksanakan serangkaian kegiatan mengajar yang terdiri dari tahap persiapan atau perencanaan, tahap pelaksanaan atau proses belajar mengajar, dan tahap evaluasi. Ketiga kegiatan tersebut harus dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin termasuk dalam pengajaran matematika, sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.

C. Pendekatan Discovery

Suatu kegiatan “discovery atau penemuan” ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip (Amin, 1988: 97).

Sementara Suryosubroto (2002: 191) mengemukakan bahwa salah satu metode mengajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah maju adalah metode discovery. Hal ini disebabkan karena metode ini: 1. Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif.

2. Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tak mudah dilupakan anak.

3. Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain.

4. Dengan menggunakan strategi discovery anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkan sendiri.

(5)

Riedesel (1967: 10) menyatakan bahwa belajar discovery menekankan kepada pencarian hubungan antara bentuk atau pola dan untuk memahami struktur matematika. Jika siswa tidak dapat menyelesaikan persoalan maka guru membantunya. Belajar discovery ini penting di dalam matematika karena pada mulanya matematika timbul dari hasil pemikiran, idea-idea atau gagasan-gagasan yang kemudian dikembangkan menjadi konsep, aturan-aturan struktur matematika. Ruseffendi (1991: 260) menyatakan bahwa matematika itu timbul dari pemikiran manusia, yang berhubungan dengan idea-idea, proses dan penalaran.

Bicknell-Holmes & Hoffman (Castronova, 2006: 2) mengambarkan tiga sifat utama pembelajaran discovery yakni : (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk membuat, mengintegrasikan, dan menggeneralisasi pengetahuan. (2) aktifitas-aktifitas berdasar ketertarikan dimana siswa menentukan tahapan dan frekwensi, dan (3) aktifitas-aktifitas yang mendorong integrasi pengetahuan baru kedalam dasar pengetahuan siswa yang telah ada. Pembelajaran discovery dapat difasilitasi melalui beragam strategi, atau arsitektur, didalam kelas.

Richard Scuhman (Suryosubrato, 2002: 199) mengemukakan langkah-langkah yang disarankan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan metode discovery yaitu :

1. Identifikasi kebutuhan siswa.

2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi yang akan dipelajari.

3. Seleksi bahan, problema/tugas-tugas. 4. Membantu memperjelas.

(6)

- Peranan masing-masing siswa.

5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.

6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa.

7. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan. 8. Membantu siswa dengan informasi/data, jika diperlukan oleh siswa.

9. Meminpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses.

10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa.

11. Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan. 12. Membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya

Bruner (Dahar, 1996: 103) mengemukakan pengetahuan yang diperoleh dengan belajar discovery menunjukkan beberapa kebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama diingat, atau lebih mudah diingat. Sementara Castronova (2006: 4) mengemukakan ada empat fokus utama keuntungan pembelajaran discovery dibandingkan dengan pembelajaran biasa, yaitu : (1) motivasi. (2) daya ingat. (3) prestasi dan (4) pemindahan/ tranfer pengetahuan. Keuntungan signifikan dari pembelajaran discovery adalah kapasitasnya untuk memotivasi siswa. Pembelajaran Discovery memungkinkan siswa untuk mencari informasi yang memuaskan rasa ingin tahu mereka. Pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi keinginan-keinginan mereka dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih melibatkan. Siswa lebih termotivasi dibandingkan siswa yang diajarkan dengan metode biasa.

(7)

matematika adalah bahasa yang abstrak, konsep dan lain-lainnya itu akan lebih melekat bila melalui penemuan dengan jalan memanipulasi dan pengalaman benda-benda kongrit. (3) generalisasi itu penting, melalui penemuan generalisasi yang diperoleh akan mantap. (4) dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. (5) setiap anak adalah mahluk kreatif. (6) menemukan sesuatu oleh siswa dapat menumbuhkan rasa percaya dirinya sendiri, dapat meningkatkan motivasi, melakukan pengkajian lebih lanjut, dapat menumbuhkan sikap positif terhadap manusia.

Belajar discovery sesuai dengan mencari pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Bruner dalam Dahar, 1996: 103).

Beberapa kebaikan-kebaikan dalam penggunaan metode ini, sebagaimana dikemukakan oleh Suryosubroto (2002: 200) antara lain:

1. Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan ketrampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus dalam penemuan terpimpin. Kekuatan dari proses penemuan datang dari usaha untuk menemukan, jadi seseorang belajar bagaimana belajar itu.

2. Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian, retensi, dan transfer.

3. Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan.

(8)

5. Metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek penemuan khusus.

6. Metode ini dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses penemuan.Dapat memungkinkan

siswa sanggup mengatasi kondisi yang mengecewakan.

7. Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan kepada mereka dan guru berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide. Guru menjadi teman belajar, terutama dalam situasi penemuan yang ”jawaban” nya belum diketahui sebelumnya.

8. Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.

D. Pengertian Analogi

Analogi adalah membandingkan dua hal yang berlainan berdasarkan keserupaannya. Selain mencari keserupaan di antara dua hal yang berlainan, analogi juga menarik kesimpulan atas dasar keserupaan tersebut. Dengan demikian analogi digunakan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.

(9)

berbagai jenis mahluk hidup sebagaimana bumi.

Sedangkan analogi deklaratif atau analogi penjelas merupakan metode untuk menjelaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal. Sebagai contoh, untuk menjelaskan struktur ilmu yang masih samar bagi orang yang mendengarnya dapat dijelaskan malalui sesuatu yang sudah dikenalnya, yaitu dengan menganalogikan bahwa “ilmu pengetahuan itu di bangun oleh fakta-fakta sebagaimana rumah itu dibangun oleh batu-batu”, walaupun tidak semua kumpulan fakta itu ilmu sebagaimana tidak semua kumpulan batu itu rumah.

Berbeda dengan generalisasi yang konklusinya berupa proposi universal, konklusi analogi tidak selalu berupa proposisi universal, tetapi tergantung dari subjek-subjek yang dibandingkan dalam analogi. Dan subjek itu dapat bersifat individual, partikuler atau universal. Walau demikian, sebagai penalaran di sini pun konklusinya lebih luas daripada premis-premisnya. Sama halnya seperti generalisasi, untuk penalaran analogi ditentukan oleh fakta-fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya dan dinyatakan sebagai premis. Fakta-fakta tersebut merupakan faktor probabilitas yang pertama. Semakin besar jumlah fakta tersebut semakin tinggi probabilitasnya dan sebaliknya.

(10)

Sesuai dengan perannya, maka matematika bertujuan agar siswa memahami pengertian matematika, memiliki ketrampilan untuk menerapkan pengertian tersebut baik dalam matematika itu sendiri, mata pelajaran lainnya maupun dalam kehidupan nyata sehari-hari, serta dapat mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran analogi.

Koneksi (connection) diasumsikan sebagai penggambaran kerja dalam ilmu kognisi adalah gambaran jaringan kerja mental yang dikonstruksi pembelajar. Keterhubungan yang dibangun dapat didasarkan pada kesamaan dan perbedaan atau didasarkan pada inclusion.

E. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan discovery yang menekankan Aspek Analogi

Dalam kamus Bahasa Indonesia, analogi diartikan sebagai persamaan atau Persesuaian antara dua benda atau hal yang berbeda. Menurut Kane (Indrawati, 1997: 16) analogi merupakan tipe khusus perbandingan, subjek kedua dikenalkan untuk menunjukkan kemiripan yang dapat menjelaskan topik lama. Dalam pembelajaran menurut Shapiro (Indrawati, 1997: 19) analogi dapat memuat informasi baru lebih konkrit dan lebih mudah untuk membayangkan.

Lawson (Pasaribu, 2001: 9) mengemukakan bahwa analogi adalah persamaan atau keserupaan antara dua benda atau kemiripan yang meliputi kesamaan, penyesuaian serta persamaan. Keuntungan analogi dalam pengajaran antara lain:

1. Dapat memudahkan siswa dalam memperoleh pengetahuan baru dengan cara

(11)

2. Pengaitan tersebut akan membantu pengintegrasian struktur-struktur pengetahuan yang terpisah agar terorganisasi menjadi struktur kognitif yang lebih utuh. Dengan organisasi yang lebih utuh akan mempermudah proses pengungkapan kembali pengetahuan baru.

3. Dapat dimanfaatkan dalam menanggulangi salah konsep (missconseption)

Keterbatasan dari pendekatan discovery yang menekankan aspek analogi

adalah sulitnya mencari sesuatu yang telah dikenal siswa, yang benar-benar mirip dengan konsep matematikanya. Pemilihan analogi yang tidak benar-benar mirip tidak akan membuat siswa mengerti, tetapi justru membuat mereka menjadi bingung. Namun hal tersebut masih dapat diatasi dengan cara mencari kembali analogi yang lebih tepat.

Penerapan Pendekatan Discovery menekankan aspek Anlogi dalam Pembelajaran Matematika

Dalam pembelajaran matematika, penerapan pendekatan discovery yang menekankan aspek analogi dapat dilakukan dengan cara mengaitkan satu konsep dengan konsep lain dengan melihat atau mencari sifat keserupaannya. Berikut contoh analogi matematika.

Analogi Matematika Model 1

Hubungan antara hubungan antara 7xy – 2xy + 5xy 2 58 54 5 dengan 10xy dengan:

a. 6 15 b. 6 10 c. 6 5 d. 6

Dari soal di atas, kita dapat melakukan pembelajaran dengan pendekatan discovery yang menekankan aspek analogi dengan melakukan dialog, yakni :

(12)

Guru (G) : Coba kamu perhatikan pernyataan dibagian kiri, dinamakan apakah operasi tersebut ?

Siswa (S) : Operasi penjumlahan dan pengurangan suku sejenis. G : Nah, sekarang periksa, apakah hasilnya benar dan mengapa ? S : Benar Pak, karena 7xy – 2xy + 5xy = (7 – 2 + 5)xy = 10xy

G : Bagus ! sekarang bagaimana dengan operasi yang dibagian kanan, dinamakan apakah operasi tersebut?

S : Operasi penjumlahan dan pengurangan bentuk akar.

G : Bagus ! sekarang coba kamu selesaikan soal tersebut, apa pilihan jawabannya dan mengapa hasilnya seperti itu ?

S : Jawannya C Pak, karena 2 58 54 5 = (2 + 8 – 4) 5 = 6 5

G : Bagus ! menurut kamu dimanakah kesamaan (analogi) dari kedua pernyatan tersebut ?

S : Penjumlahan dan pengurangan bentuk akar memiliki cara yang sama dengan penjumlahan dan pengurangan suku sejenis.

G : Bagus ! jadi hubungan antara pernyataan di sebelah kiri dengan pernyataan disebelah kanan adalah konsep penyelesaiannya sama, bahwa yang dapat dioperasikan adalah yang memiliki variabel yang sama, dan yang dioperasikan hanyalah konstantanya saja.

Dari contoh soal analogi model 1 yang peneliti ajukan tersebut, analogi yang akan dicari adalah analogi konsep penjumlahan dan pengurangannya, bahwa operasi penjumlahan dan pengurangan pada bentuk akar mempunyai konsep penyelesaian yang sama dengan penjumlahan dan pengurangan suku-suku sejenis. Analogi Matematika Model 2

Merasionalkan penyebut b b a ;

(13)

Contoh soal: Sederhanakan pecahan

Guru (G) : Perhatikan pernyataan dibagian atas, apa yang kita lakukan ?

Siswa (S) : Mengalikan pecahan tersebut dengan bilangan pecahan yang sama dengan penyebutnya.

G : Bagus, kemudian bagaimana selanjutnya ?

S : Sesudah itu dilakukan perkalian secara biasa, dan hasilnya disederhanakan dalam bentuk yang paling sederhana

G : Bagus, kalau kita bandingkan dengan proses penyelesaian pernyataan yang dibagian bawah bagaimana ? Apa yang menjadi pengalinya ?

S : Pecahan tersebut dikalikan dengan bilangan pecahan yang merupakan KPK dari bilangan 4, 3, dan 6 yaitu 12.

G : Bagus, kemudian bagaimana selanjutnya ?

S : Sama seperti diatas, lakukan perkalian secara biasa dan hasilnya disederhanakan.

Dari contoh soal no 2 yang peneliti ajukan tersebut, analogi yang akan dicari adalah bahwa merasionalkan penyebut bentuk akar memiliki cara yang

(14)

sama dengan menyederhanakan pecahan bersusun dalam konsep penyelesaiannya yakni dengan terlebih dahulu mengalikan dengan pecahan tertentu.

F. Pemahaman Matematik

Pemahaman sebagai terjemahan dari istilah understanding diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi bahan yang dipelajari. Menurut Michener (Sumarmo, 1987: 24), untuk memahami suatu objek secara mendalam seseorang harus mengetahui: 1) objek itu sendiri; 2) relasinya dengan objek lain yang sejenis; 3) relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis; 4) relasi dual dengan objek lainnya yang sejenis; dan 5) relasi dengan objek dalam teori lainnya.

Selanjutnya Skemp (Sumarmo, 1987: 24) membedakan dua jenis pemahaman konsep yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana. Dalam hal ini seseorang hanya memahami urutan pengerjaan atau algoritma. Sebaliknya pada pemahaman relasional termuat skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas dan sifat pemakaiannya lebih bermakna.

Pemahaman merupakan salah satu aspek dalam Taksonomi Bloom pada ranah kognitif. Bloom (Ruseffendi, 1991: 221) membagi pemahaman atas tiga macam yaitu: pengubahan (translation), pemberian arti (interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Dalam matematika misalnya seseorang telah mampu mengubah (translation) kedalam simbol-simbol dan sebaliknya, mampu mengartikan (interpretation) suatu kesamaan dan mampu memperkirakan (ekstrapolasi) suatu kecenderungan dalam diagram.

(15)

rasional, dan pemahaman intuitif. Seseorang dikatakan memiliki pemahaman mekanikal suatu hukum, jika ia dapat mengingat dan menerapkan hukum itu secara benar. Kemudian seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman induktif suatu hukum, jika ia telah mencobakan hukum itu berlaku dalam kasus sederhana dan yakin bahwa hukum itu berlaku dalam kasus serupa. Selanjutnya seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman rasional suatu hukum, bila ia dapat membuktikannya, dan seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman intuitif, jika ia telah yakin akan kebenaran hukum itu tanpa ragu-ragu.

G. Belajar Matematika dengan Pemahaman

(16)

kemampuan berpikir kritis siswa dalam mengkomunikasikan konsep yang dipahami ataupun gagasan-gagasan matematik sebagai hasil proses berpikirnya.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata pemahaman mengandung arti kesanggupan intelegensi untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan (Poerwadarminta, 1976). Dalam belajar matematika, adanya kesanggupan intelegensi siswa untuk menangkap makna konsep-konsep tertentu dalam materi pembelajaran menunjukkan akan adanya pemahaman yang kelak dicapai siswa tersebut. Bagi siswa yang belajar matematika dengan pemahaman diharapkan tumbuhnya kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan konsep yang telah dipahaminya dengan baik dan benar pada setiap menghadapi permasalahan dalam belajar matematika. Pada dasarnya siswa yang belajar dengan pemahaman, mula-mula akan melakukan pengamatan secara keseluruhan terhadap objek yang dipelajari. Kemudian siswa menganalisis hal-hal yang menarik pada apa yang diamati, dan selanjutnya disintesis kembali. Terbentuknya pemahaman dalam kegiatan belajar terjadi melalui proses yang dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Menangkap ide yang dipelajari melalui pengamatan yang dilakukan. Hal-hal

yang diamati dapat bersumber dari apa yang dilakukan sendiri ataupun dari apa yang ditunjukkan oleh guru. Misalnya penjumlahan 2 + 4 dapat diselesaikan oleh siswa karena mengamati kegiatan penggabungan dua buah kelereng hijau dengan empat kelereng merah. Hasil pengamatan yang dilakukan secara berulang-ulang merupakan awal terbentuknya pengetahuan siswa tentang konsep operasi penjumlahan.

(17)

sebelumnya telah memiliki pengetahuan tentang operasi penjumlahan bilangan bulat dan penjumlahan bersusun.

3. Mengorganisasikan kembali pengetahuan yang telah terbentuk. Mengorganisasikan tersebut berarti hubungan pengetahuan lama dan pengetahuan baru yang telah terbentuk ditata kembali dan akan membentuk hubungan-hubungan baru. Hubungan-hubungan lama dimodifikasikan atau tidak dimunculkan. Seperti pada contoh di atas siswa akan memodifikasi prinsip penjumlahan bilangan bulat untuk digunakan pada penjumlahan bilangan-bilangan desimal.

4. Membangun pemahaman pada setiap belajar matematika akan memperluas pengetahuan matematika yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan tentang ide/gagasan/representasi matematik yang dimiliki semakin bermanfaat dalam memberikan penalaran (reasoning) dalam memecahkan masalah/situasi yang dijumpai ketika belajar.

Proses-proses tersebut di atas sejalan dengan apa yang telah dikembangkan oleh Piaget (Ruseffendi, 1991: 133) mengenai proses seorang anak belajar melalui pengalamannya.

H. Berpikir Kritis

1. Pengertian Berpikir Kritis

(18)

Menurut Poerwadarminta (1976), berpikir sebagai penggunaan akal budi manusia untuk mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu. Sedangkan Lupito (1996) menyatakan berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan untuk maksud tertentu. Maksud yang mungkin dicapai dari berpikir adalah memahami, mengambil keputusan, merencanakan, memecahkan masalah, dan menilai tindakan. Dari kedua pendapat tersebut, tampak bahwa kata berpikir mengacu pada kegiatan akal yang disadari dan terarah.

Selama berpikir manusia mengkaji dan mengolah berbagai gagasan, konsep, pengalaman dan peristiwa yang dialaminya agar ia sampai pada suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut diharapkan dapat mengantarkannya pada kebenaran. Dengan kata lain, melalui berpikir manusia dapat sampai pada kebenaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Poedjiadi (1999: 46) yang menyatakan bahwa berpikir adalah kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui panca indera dan ditujukan untuk mencapai kebenaran.

Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya umtuk memanusiakan manusia. Sedangkan ciri manusia, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah berpikir. Ini berarti, pendidikan di sekolah sangat berperan dalam mengem-bangkan kemampuan berpikir siswa. Hal ini senada dengan pendapat Moesa (Dewi, 2001: 9) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat mengembangkan kemampuan intelektual siswa secara pesat. Pengembangan kemampuan berpikir ini sangat bermanfaat bagi siswa. Menurut Wijaya (1999), pengembangan kemampuan berpikir menjadi modal utama bagi siswa dalam menghadapi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang.

(19)

sedangkan kriterion bermakna standar atau ukuran baku. Sehingga secara etimologis kritis bermakna pertimbangan yang didasarkan pada suatu standar. Bila dikaitkan dengan kata berpikir, maka kata berpikir kritis secara etimologi, bermakna berpikir yang ditujukan untuk memberi pertimbangan dengan menggunakan standar tertentu.

Terdapat beberapa defenisi berpikir kritis yang dikemukakan oleh para ahli. Huitt (1998: 4) mengemukakan bahwa Critical thinking is disciplined mental activity of making judgments that can guide the development of beliefs and taking actions. Sedangkan Norris (Fowler, 1996: 1) medefenisikan berpikir kritis sebagai pengambilan keputusan secara rasional apa yang diyakini dan dikerjakan. Kedua defenisi tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis berarah pada pengambilan keputusan mengenai tindakan dan keyakinan yang akan diambil. Proses pengam-bilan keputusan tersebut, menurut Moore dan Parker (Fowler, 1996: 1) dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa.

(20)

keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual, cukup, dan relevan. Sedangkan reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun, dan hati-hati atas segala alternatif sebelum mengambil keputusan.

Menurut Angeli (1997), defenisi yang dikemukakan oleh Ennis memuat tiga hal. Pertama, berpikir kritis merupakan proses pemecahan masalah dalam suatu konteks interaksi dengan dunia dan orang lain. Kedua, berpikir kritis merupakan proses penalaran berdasarkan informasi dan kesimpulan yang telah diterima sebelumnya yang hasilnya terwujud dalam penarikan kesimpulan. Dan ketiga, berpikir krtis berakhir pada suatu keputusan mengenai apa yang diyakini dan dikerjakan.

Dari beberapa defenisi yang telah disampaikan, tampak bahwa berpikir kritis menggunakan strategi kognitif dan menghasilkan keputusan sebagai dasar pengambilan tindakan atau keyakinan. Menurut penulis, defenisi yang dikemukakan oleh Ennis menyatakan kedua hal tersebut dengan jelas dan ringkas. Oleh karena itu, penulis menggunakan defenisi yang dikemukakan oleh Ennis sebagai defenisi berpikir kritis dalam penelitian ini.

2. Komponen Berpikir Kritis

(21)

a. Ketrampilan Kognitif

Istilah ketrampilan dalam ketrampilan kognitif mengacu pada kemampuan khusus yang diperoleh melalui pengalaman atau latihan untuk melakukan tugas tertentu secara baik. Istilah ketrampilan ini mengacu pada sesuatu yang ada dalam individu. Istilah ini juga menekankan pada kinerja aktual dalam pelaksanaan tugas serta kualitas kinerjanya. Dengan demikian, istilah ketrampilan dipahami sebagai kemampuan yang ada dalam diri (innerability) dan sebagai suatu operasi yang dapat diidentifikasi.

Ennis dan Norris (Nitko, 1996: 197) membagi ketrampilan kognitif berpikir kritis kedalam lima bagian. Kelima bagian itu adalah klarifikasi elementer (elementary clarification), dukungan dasar (basic support), penarikan kesimpulan (inference), klarifikasi lanjut (advanced clarification) serta strategi dan taktik (strategies and tactics). Masing-masing bagian itu memiliki sub bagian lagi. Berikut ini ketrampilan kognitif yang disebutkan secara lengkap oleh Ennis dan Norris (Nikto, 1996: 197)

a.1. Klarifikasi elementer

i. Memfokuskan pertanyaan. ii. Menganalisis argumen.

iii. Bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan atau tantangan.

a.2. Dukungan dasar

i. Mempertimbangkan kredibilitas sumber. ii. Melakukan dan mempertimbangkan observasi. a.3.. Penarikan kesimpulan

(22)

a.4. Klarifikasi lanjut

i. Mendefenisikan istilah dan mempertimbangkan defenisi. ii. Mengidentifikasi asumsi.

a.5. Strategi dan taktik

i. Menentukan suatu tindakan. ii. Berinteraksi dengan orang lain.

Disamping rumusan ketrampilan kognitif yang dikemukakan oleh Ennis dan Norris, masih ada rumusan ketrampilan kognitif yang dikemukakan oleh para ahli. Namun, rumusan yang disampaikan oleh para ahli berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan fokus perhatian yang dianutnya. Walaupun demikian, para ahli memiliki konsensus mengenai ketrampilan kognitif dalam berfikir kritis (Facione, 1990). Dalam konsensusnya, para ahli menyebutkan enam ketrampilan kognitif yang ada dalam berpikir kritis. Keenam ketrampilan kognitif ini dianggap sebagai pusat atau inti dari berpikir kritis. Keenam ketrampilan kognitif yang dimaksud adalah interpretasi, analisis, evaluasi, penarikan kesimpulan, eksplanasi dan pengaturan diri.

Komponen berpikir kritis pada penelitian ini mengacu pada pendapat Ennis dan Norris yang dibatasi pada kemampuan memberikan jawaban yang benar dengan penjelasan yang tepat dalam mengenal asumsi, melakukan inferensi, menganalisis argumen, melakukan dan mempertimbangkan induksi terhadap soal atau pernyataan matematika yang diberikan.

b. Disposisi Berpikir Kritis

(23)

memiliki disposisi berpikir kritis akan cenderung berpikir kritis ketika ada situasi atau kondisi yang menghadirkan stimulus untuk berpikir kritis. Disposisi berpikir kritis merupakan sifat yang melekat pada diri seseorang yang berpikir kritis. Contohnya: memberikan sikap yang positip jika diberikan persoalan yang berhubungan dengan matematika.

Disposisi merupakan bagian dari berpikir kritis. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Cabrera (1992: 59) bahwa critical thinking is an evaluative activity wich reaches a conclusion, i.e., a reasoned judgement is made about information. In addition, the practicioner or learner must posess the disposition to make such a judgement. Karenanya, pemikir kritis yang baik berusaha untuk melengkapi diri dengan disposisi berpikir kritis, tidak hanya ketrampilan kognitif.

Sementara Perkins, Jay dan Tishman (1993) mengajukan konsep disposisi berpikir kritis yang menyertakan komponen kemampuan di dalamnya. Mereka menyebut konsepnya sebagai disposisi tigaan (triadic disposition). Ketiga unsur disposisi tigaan berpikir kritis ini adalah kepekaan (sensitivitas), kecendrungan (inklinasi), dan kemampuan. Kepekaan adalah ketajaman perhatian seseorang pada kesempatan untuk berpikir kritis. Kecenderungan adalah dorongan yang dirasakan oleh seseorang untuk melakukan suatu tingkah laku tertentu untuk menggunakan berpikir kritis. Sedangkan unsur kemampuan adalah ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan berpikir kritis.

(24)

Selanjutnya Ennis (Husen dan Postlethwaite, 1988: 313) merinci perumusan yang lebih jelas mengenai disposisi berpikir kritis yaitu:

1. Menggunakan pertimbangan yang baik dan benar. 2. Berpikir terbuka, meliputi:

a. memperhatikan sudut pandang orang lain dengan serius. b. berpikir dengan menggunakan pengandaian.

c. tidak memberikan pertimbangan ketika bukti dan alasan tidak cukup. d. Mengambil posisi dan merubah posisi ketika bukti dan alasan tidak cukup

mendukung.

3. Memperhatikan seluruh situasi.

4. Berusaha untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar. 5. Mencoba hal-hal yang diperbolehkan seteliti mungkin.

6. Menampilkan suatu cara yang sesuai dengan bagian-bagian keseluruhan yang kompleks.

7. Memperhatikan alternatif-alternatif yang lain. 8. Mencari alasan-alasan.

9. Mencari kejelasan baik dalam pernyataan isu maupun pernyataan yang mendukung alasan-alasan.

10. Mengingat hal-hal yang mendasar. I. Berpikir Kritis dalam Matematika

(25)

Matematika sebagai suatu disiplin ilmu memiliki karakteristik yang berbeda dengan disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan, hal itu dimulai dari unsur-unsur yang tidak terdefenisikan kemudian ke unsur-unsur yang didefenisikan, ke aksioma/postulat, dan akhirnya pada teorema (Ruseffendi, 1980: 50). Sementara Soleh (1998) menyebutkan bahwa ada lima ciri yang membedakan matematika dari disiplin ilmu lain. Kelima ciri matematika itu adalah objek pembicaraannya abstrak, pembahasannya menggunakan tata nalar, konsep-konsepnya hierarkis dan konsiten, adanya perhitungan dan pengerjaan (operasi), dan dapat dialihgunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Matematika tersusun mulai dari unsur-unsur yang tidak didefenisikan, berkembang ke unsur-unsur yang didefenisikan, terus ke aksioma atau postulat sampai ke dalil-dalil atau teorema. Komponen-komponen matematika ini membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan terorganisir dengan baik. Menurut Suria Sumantri (1998), dalam matematika kebenaran dibuktikan dengan jalan memeriksa konsistensi suatu konsep dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah dianggap benar. Kebenaran matematika tidak tergantung pada pembuktian secara empiris melainkan pada pembuktian secara deduktif.

(26)

bahwa sesuatu itu benar dengan mengikuti konsep-konsep yang lainnya secara rasional atau logika.

Mengingat karakteristik matematika yang tidak sama dengan disiplin lainnya, maka defenisi bepikir kritis dalam matematika tentunya harus sesuai dengan konsepsi dan metodologi matematika. Selain harus memuat komponen berpikir kritis, defenisi tersebut harus memuat karakteristik (terminologi, konsep-konsep, dan metodologi) matematika. Salah satu defenisi yang memuat kedua pernyataan itu dikemukakan oleh Glazer (2002) yang menyatakan berpikir kritis dalam matematika adalah ketrampilan kognitif dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran, serta strategi kognitif dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan mengevaluasi situasi matematika yang tidak dikenali dengan cara reflektif. Selanjutnya Glazer menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis dalam matematika, syarat-syarat yang dimaksud adalah: 1. Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab sehingga seorang individu tidak

dapat secara langsung mengenali konsep matematika atau mengetahui bagaimana menentukan solusi suatu masalah.

2.

Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran matematika,

dan strategi kognitif.

3.

Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan evaluasi.

4.

Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi,

rasionalisasi argumen, penentuan cara lain untuk menjelaskan suatu konsep atau memecahkan suatu masalah, dan pengembangan studi lebih lanjut. J. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis melalui Pembelajaran

Matematika.

(27)

memahami pengetahuan dan memecahkan masalahnya. Guru tidak lagi mengindoktrinasi siswa untuk menyelesaikan masalah hanya dengan cara yang telah diajarkan, tetapi dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk melahirkan cara-cara baru. Siswa berkesempatan untuk memperoleh pengetahuan dengan jalan mengkonstruksinya sendiri, tidak hanya menunggu pemberian guru.

Pembelajaran yang berpusat pada siswa memungkinkan terjadinya diskusi. Sementara Alston (1995) mengungkapkan bahwa diskusi merupakan cara yang efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Melalui diskusi, siswa dapat berbagi pendapat, perspektif berpikir dan pengalaman. Melalui diskusi, siswa dapat mempertimbangkan, menolak atau menerima pendapatnya sendiri maupun siswa lain agar sesuai dengan jawaban atau pendapat kelompok. Dan melalui diskusi, siswa dapat melakukan penyesuaian atau mengurangi hambatan antara dirinya dengan siswa lain sehingga ia bebas bepikir dan bertindak. Interaksi antar sesama siswa yang ada dalam diskusi inilah yang berpengaruh pada disposisi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Nisbet (1990) yang menyatakan bahwa disposisi dapat berkembang dalam suatu interaksi sosial.

(28)

Berpikir kritis tidak dapat dipisahkan dari materi (content), karena pada kenyataannya berpikir kritis merupakan suatu cara untuk memahami materi itu sendiri. Oleh karena itu, Ennis (Mc Charty, 1996: 219), menyatakan bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan dengan jalan memasukkannya ke dalam pengajaran suatu disiplin ilmu. Dengan jalan ini siswa akan belajar secara nyata, karena ia terlibat langsung dengan materi yang sedang dipelajari olehnya. Dengan jalan ini pula, siswa tidak hanya mengembangkan kemampuan berpikir kritis semata, tetapi juga mengembangkan pemahaman materi dari disiplin ilmu yang dipelajari.

Untuk menunjang pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan berpikir kritis, guru perlu mereposisi perannya. Guru matematika hendaknya tidak hanya menjadi penyampai informasi semata, melainkan menjadi motivator, fasilitator, dan pembimbing bagi siswanya. Menurut Sumarmo (2001: 3) bahwa guru matematika hendaknya dapat mendorong berkembangnya pemahaman dan penghayatan siswa terhadap prinsip, nilai dan proses matematika sehingga tumbuh daya nalar, berpikir logis, sistematik, kritis, kreatif, rasa keindahan, keterbukaan, dan rasa ingin tahu. Selanjutnya diharapkan agar guru matematika dapat mengembangkan daya matematika siswa. Daya matematika yang dimaksud meliputi : kemampuan menyusun konjektur (dugaan), menelaah secara logis, menyelesaikan soal yang tidak rutin, berkomunikasi secara matematis, dan mengaitkan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya. Hal ini mengingat pada dasarnya matematika merupakan suatu kegiatan manusia serta merupakan proses yang aktif secara fisik maupun mental, dinamis, dan proses yang generatif.

(29)

Pembelajaran biasa disebut juga pembelajaran konvensional atau pembelajaran tradisional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh para guru SMA dalam mengajarkan matematika selama ini. Ini sesuai dengan yang dikemukakan Ruseffendi (1988: 350) bahwa pembelajaran tradisional adalah pembelajaran pada umumnya yang biasa kita lakukan sehari-hari. Dalam pembelajaran biasa, guru cendrung aktif sebagai sumber informasi bagi siswa dan siswa cendrung pasif dalam menerima pelajaran. Guru menyajikan materi pelajaran dalam bentuk jadi. Artinya, guru lebih banyak berbicara dalam hal menerangkan materi pelajaran dan contoh-contoh soal, serta menjawab semua permasalahan yang dialami siswa. Sedangkan siswa hanya menerima materi pelajaran dan menghafalnya, serta banyak mengerjakan latihan soal. Jadi dalam hal ini kebermaknaan belajar siswa rendah. Bruner (Suherman, 2001: 44) mengemukakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajarannya diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur–struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.

Disamping itu Bruner (Suherman, 2001: 45) dalam belajar konsep melalui tiga tahap perkembangan mental yaitu:

1. Tahap Enaktif. Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi objek.

2. Tahap Ikonik. Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi, seperti dilakukan siswa dalam tahap enaktif.

(30)

pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan tarhadap objek real.

Selanjutnya Nasution (1982: 209) memberikan gambaran ciri-ciri pembelajaran biasa, yaitu:

1. Bahan pelajaran disajikan kepada kelompok kepada kelas sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individual.

2. Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis, dan media lain menurut pertimbangan guru.

3. Siswa umumnya bersifat pasif, karena harus mendengarkan penjelasan guru. 4. Dalam kecepatan belajar, siswa harus belajar menurut kecepatan yang

nya ditentukan oleh kecepatan guru mengajar.

5. Keberhasilan belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif.

6. Diharapkan bahwa hanya sebagian kecil saja akan menguasai bahan pelajaran secara tuntas, sebagian lagi menguasai sabagian saja, dan ada lagi yang akan gagal.

7. Guru terutama berfungsi sebagai penyebar atau penyalur pengetahuan (sebagai sumber informasi/pengetahuan).

Selanjutnya pembelajaran biasa mempunyai kelemahan-kelemahan dan keunggulan. Kelemahan dari pembelajaran konvensional adalah:

1. Kurikulum disajikan secara linear.

2. Kurikulum dijadikan bahan acuan yang harus diikuti.

3. Aktivitas pembelajaran terikat pada buku pegangan (buku teks).

4. Siswa dianggap sesuatu yang kosong (kertas putih), dimana guru akan menggoreskan pengetahuan diatasnya.

(31)

6. Penilaian dilakukan dengan pemberian tes hasil belajar yang terpisah dari proses belajar mengajar.

7. Siswa banyak bekerja secara individual.

Sedangkan keunggulan dari pembelajaran biasa adalah dapat menampung kelas besar, konsep yang disajikan secara hirarki akan memberikan fasilitas belajar kepada siswa, dan guru merasa nyaman karena seakan-akan tidak ada tuntutan terhadap inovasi atau perubahan-perubahan dalam proses belajar mengajar, karena guru diberi wewenang penuh terhadap kegiatan belajar mengajar. Pada penelitian ini ciri-ciri pembelajaran biasa yang digunakan mengacu pada ciri-ciri pembelajaran yang dikemukakan oleh Nasution.

L. Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang menekankan Aspek Analogi

Sebelum membahas teori belajar-mengajar yang relevan dengan penelitian ini, terlebih dahulu akan diuraikan tentang definisi dari teori belajar dan teori mengajar. Menurut Ruseffendi (1991: 127) teori belajar berisi uraian tentang apa yang terjadi dan apa yang diharapkan terjadi pada mental anak, kemudian menguraikan tentang kegiatan mental anak, apa yang ia dapat lakukan pada usia tertentu. Dalam teori belajar tidak ada uraian tentang prosedur dan tujuan mengajar. Sementara itu teori mengajar adalah uraian tentang petunjuk bagaimana semestinya mengajar pada usia tertentu bila ia sudah siap untuk bisa belajar, sehingga pada teori mengajar terdapat tujuan dan prosedur mengajar.

(32)

salah satu teori belajar yang mendasari pandangan ini menyatakan bahwa pengetahuan terbentuk berdasarkan keaktifan orang itu sendiri dalam berhadapan dengan persoalan, bahan, atau lingkungan baru (Suparno, 2006: 36). Hal ini berarti dalam membentuk pengetahuannya orang itu sendirilah yang membentuk pengetahuannya.

Proses terbentuknya pengetahuan baru menurut Piaget adalah melalui mekanisme asimilasi dan akomodasi. Asimilasi maksudnya bahwa struktur pengetahuan baru dibentuk berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Sedang akomodasi merupakan proses menerima pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan lama sehingga terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Untuk mencapai keseimbangan (equilibrium), struktur pengetahuan lama dimodifikasi untuk menampung serta menyesuaikan dengan pengalaman yang baru muncul tersebut. Terjadinya keseimbangan ini menandakan adanya peningkatan intelektual.

Dalam pembelajaran, hendaknya siswa diberi kesempatan untuk dapat memperoleh pengetahuan dengan jalan berinteraksi dengan lingkungannya, siswa diberi kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri, dan guru memainkan peranannya sebagai fasilitator.

(33)

menyangkut pembagian kepada siswa SD kelas II disajikan suatu masalah mengenai sejumlah 19 orang tua yang menghadiri pertemuan orang tua murid dan guru dan perlu disediakan sejumlah meja dan kursi untuk tempat duduk mereka, bila satu meja menampung 4 orang, berapa meja yang harus disediakan?. Murid mungkin menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara sbb:

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

meja meja meja meja meja meja yang disediakan 5 buah Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapat dari kelas. Pengertian ini adalah pengertian formal yang terdefenisikan secara logis dalam suatu sistem yang luas. Sebagai contoh, kepada siswa SD kelas IV diminta membagi 321 dibagi 3. Langkah pengerjaan pembagian harus diterapkan secara konstan untuk mendapatkan hasil pembagian ini. Perhatikan hasil kerjaan yang biasanya dilakukan siswa berikut:

1 0 7 3 / 3 2 1 3__ _ 2 _ 0 _ _ 2 1

2 1 _ hasil pembagian 321 dibagi 3 adalah 107 0

(34)

seseorang belajar, ia akan semakin mengangkat pengertiannya menjadi pengertian yang ilmiah

Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial antara anak dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik (Cobb dalam Suparno, 2006: 46). Ia menekankan dialog dan komunikasi verbal antara anak dengan orang dewasa dalam perkembangan pengertian anak. Dalam interaksi verbal antara anak dengan orang dewasa, anak ditantang untuk lebih mengerti pengertian ilmiah dan mengembangkan pengertian spontan mereka. Itulah sebabnya banyak implikasi pendidikan yang membuat siswa berpartisipasi dengan aktivitas para ahli. Dalam interaksi dengan mereka itulah, para murid ditantang untuk mengkonstruksikan pengetahuannya lebih sesuai dengan konstruksi para ahli.

Teori belajar lainnya adalah teori Belajar Bermakna. Ada dua jenis belajar, yaitu: (1) belajar bermakna (meaningful learning); dan (2) belajar menghafal (rote

learning). Belajar bermakna adalah suatu proses dimana informasi baru dihubungkan dengan sturktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar, (Ausubel, Novak, dan Hanesian dalam Suparno, 1997: 53)

Belajar bermakna terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Sedangkan belajar menghafal diperlukan bila seseorang memperoleh informasi baru dalam pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahui.

(35)

menekan-kan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam pengertian yang telah dimiliki siswa.

Teori belajar yang juga mempunyai hubungan adalah teori Thorndike, teori ini mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of Effect. Edward L. Thorndike (Suherman, 2001: 31) menyatakan belajar akan lebih berhasil bila respon murid terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya kejenjang kesuksesan berikutnya. Teori belajar Stimulus-Respon (S-R) yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon.

Teori belajar Pavlov juga mempunyai hubungan dengan pembelajaran dengan pendekatan discovery yang menekankan aspek analogi. Pavlov (Suherman, 2001:37) mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Dalam kegiatan belajar-mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.

(36)

sesuai dengan keperluannya. Jadi siswa itu belajarnya jangan dipaksa. Selain itu aliran ini juga berpendapat bahwa guru itu sebaiknya menunggu siswa siap untuk belajar atau mengatur suasana pengajaran sehingga siswa bisa siap belajar lebih cepat. Dan hasil belajar siswa itu lebih baik bila sesuatu itu diajarkan tidak secara sistematik. Jhon Dewey juga menggambarkan pembelajaran sebagai tindakan dimana pengetahuan dan gagasan muncul ketika siswa berinteraksi dengan siswa lainnya dalam komunitas dan membangun pengetahuan mereka dengan menggunakan kesimpulan-kesimpulan dari pengalaman masa lalu yang memiliki makna dan kepentingan.

M. Hasil Penelitian yang Relevan

Studi Alamsyah (2000) terhadap siswa MAN kelas 2 dengan menggunakan bentuk tes analogi yang diadopsi dari tes dalam Sumarmo (1987), menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran analogi matematika siswa terjadi sangat signifikan setelah diberikan suatu pembelajaran berupa pembelajaran yang menanamkan konsep-konsep dan mengaitkan antar konsep.

Studi Syofni (1989) terhadap siswa SMA kelas 1 dengan menggunakan “test of reasoning in mathematics (TRIM)” menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kemampuan penalaran matematika dengan prestasi belajar matematika.

(37)

matematik tingkat tinggi dan penalaran.

Penelitian Sastrosudirjo, Samekto S (1988) tentang hubungan kemampuan penalaran dan prestasi belajar untuk siswa SMP, menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran analogi verbal siswa berkontribusi positip dengan prestasi belajar matematika siswa.

Studi Syukur M (2000) terhadap siswa kelas 1 SMU Negri 6 Bandung, menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan open ended dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa SMU. Namun dalam penelitian ini tidak semua komponennya mengalami peningkatan, hanya komponen ketrampilan kognitif saja yang meningkat. Selain itu ditemukan juga bahwa pembelajaran dengan pendekatan open ended tidak menyebabkan terjadinya peningkatan ketrampilan kognitif yang cukup signifikan diantara siswa dengan kemampuan pandai, sedang, maupun kurang.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa transmitter merupakan perangkat yang mengubah suatu atau lebih sinyal input yang berubah frekuensi audio (AF) menjadi

Sectio caesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan janin dengan berat di atas 4500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masiha. utuh

Makna Dakwah adalah mengajak kepada sesuatu yang diinginkan, mengubah dengan perkataan, perbuataan, dan amal (hal), sedangkan pengertian dari Dakwah Islam itu adalah

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka periklanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan iklan, sementara

Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara komulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi

Bettinghause menjelaskan bahwa sesuatu dapat bersifat persuasif, ketika menyampaikan pesan disertai upaya yang dilakukan dengan sadar untuk mengubah perilaku orang

Pengontrolan kadar gula darah dapat dilakukan dengan mengubah pola hidup yang lebih sehat dengan melakukan perencanaan makan, latihan fisik secara teratur, terkontrol

Definisi Penyuluhan Penyuluhan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi