• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

1.6 Kerangka Konsep

Trisakti sebagai sebuah konsep didasarkan kedalam 3 aspek fundamental bangsa Indonesia, yakni aspek politik, ekonomi dan budaya. Ketiga aspek fundamental tersebut berada dalam ancaman bahaya nekolim, yang menurut Soekarno, akan mengganggu jalannya Revolusi Indonesia.

Neokolonialisme merupakan imaji kolonialisme yang akan terjadi dimasa akan datang dengan masuknya borjuasi asing ke dalam perekonomian nasional untuk mengabsorsi sumber daya ekonomi yang hasilnya digunakan untuk kepentingan negaranya sendiri. Neokolonialisme sendiri berwujud pada terbentuknya lembaga-lembaga dunia yang memiliki kekuatan kapital asing yang dapat menjajah suatu negara dengan memanfaatkan perekonomian nasional8.

Soekarno melihat gejala nekolim tersebut hadir dalam bentuk bantuan donor keuangan asing dengan bunga jangka panjang. Pada era 1960-an merupakan era paska perang dimana banyak infrastruktur di berbagai negara hancur karena perang sehingga tidak bisa menghasilkan pendapatan negara. Bagi Soekarno, bantuan donor asing tersebut merupakan bentuk dari tipu muslihat kapitalisme zaman sekarang. Hal ini merupakan bentuk transformasi baru dari kapitalisme yang dulunya datang untuk berdagang lantas menguasai suatu negeri. Donor keuangan adalah upaya Barat untuk semakin memperkuat cengkeramannya

8

terhadap negara mantan jajahannya untuk semakin patuh dalam era politik modern9.

Soekarno menjelaskan ada 3 watak dasar yang menjadikan nekolim sebagai musuh utama dari revolusi. 3 watak dasar yang menjadi prinsip dasar kapitalisme –kolonialisme-imperialisme, yakni dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan. Ketiga watak dasar tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Hal ini dengan kata lain ketiga hal tersebut merupakan satu paket watak yang “mengendap” dalam sifat (watak) kapitalisme-kolonialisme-imperialisme. Eksistensi ketiga watak tersebut memiliki tujuan yang saling berkaitan satu sama lain.

Dominasi politik digunakan untuk menegakkan power nekolim di negara jajahannya. Penegakan kekuasaan ini ditujukan agar rakyat yang dijajahnya dapat dikondisikan dan dibuat tidak berdaya melalui alat-alat politik seperti ideologi kolonial, hukum, dan aparatur represif (militer dan polisi kolonial).

Setelah kesadaran kritis rakyat dibekuk atau dilumpuhkan, maka hal itu akan meratakan jalan untuk melakukan intervensi dalam bidang ekonomi, seperti eksploitasi tenaga kerja dan kekayaan alam. Terakhir, untuk menjaga agar rakyat tetap tidak berdaya atau lumpuh, maka melaui kebudayaan rakyat di negara jajahan di giring untuk membangun mental inferioritas (rasa rendah diri),

dependent (ketergantungan), dan mudah mengeluh serta putus asa10.

9

Ibid. Hal. 12. 10

Soekarno menilai diperlukan sebuah sikap kemandirian bagi bangsa Indonesia untuk menjadi Negara yang seutuhnya. Atas dasar itulah Soekarno kemudian merumuskan Trisakti kedalam 3 poin yaitu (1) Kedaulatan di Bidang Politik (2) Berdikari di Lapangan Ekonomi (3) Berkepribadian Sendiri di Lapangan Kebudayaan.

Kedaulatan di Bidang Politik

Kedaulatan di bidang politik merupakan aspek yang terpenting di dalam Trisakti. Kedaulatan politik secara fisik digunakan sebagai alat untuk melakukan perlawanan terhadap pihak kolonial atau penjajah, selain itu kedaulatan politik juga diposisikan sebagai objek cita-cita dan ukuran kemerdekaan Indonesia, dimana cita-cita revolusi Indonesia baru akan selesai jika kedaulatan politik Indonesia telah dicapai oleh rakyat Indonesia. Hal ini seperti yang disinggung oleh Soekarno:

“…Ya, berdaulat dalam politik! Apa yang lebih luhur daripada ini, saudara-saudara? Lebih setengah abad lamanya bangsa Indonesia berjuang membangting tulang dan mencucurkan peluh, untuk kedaulatan politik itu. Sekarang kedaulatan itu sudah di tangan kita. Kita tidak bisa didikte oleh siapapun lagi, kita tidak menggantungkan diri kepada siapa-siapa lagi, kita tidak mengemis-ngemis! kedaulatan politik ini harus kita tunjang bersama-sama, harus kita tegakkan beramai-ramai. Nation building dan character building harus diteruskan sehebat-hebatnya, demi memperkuat kedaulatan politik itu11”.

Kedaulatan politik penting bagi rakyat/bangsa Indonesia untuk menjebol tatanan kekuasaan lama, kekuasaan kapitalisme-kolonialisme-imperialisme dan kemudian menggantikannya dengan tatanan yang baru, tatanan yang dirumuskan

11

Ir. Soekarno. 2015. Dibawah Bendera Revolusi Jilid II. Yogyakarta: Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno. Hal. 691.

sendiri oleh bangsa Indonesia. Tatanan ini yang dimaksudkan oleh Soekarno terkristalisasi dalam Pancasila, Manipol-Usdek, dan Trisakti12.

Berdaulat dalam bidang politik juga berarti bangsa Indonesia bebas untuk menentukan dan merumuskan sendiri ideologi politiknya, tidak terdikte oleh pihak manapun. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi politik global pada saat itu.

Setelah kemerdekaan tahun 1945, terjadi perebutan pengaruh antara negara-negara dengan ideologi kanan (kapitalisme) maupun ideologi kiri (sosialisme-komunis) terhadap negara-negara yang baru berhasil memerdekakan diri dari kolonialisme. Kondisi tersebut berimplikasi pada pandangan politik Indonesia yang memutuskan untuk tidak memihak kepada ideologi atau blok manapun, yang oleh Soekarno disebut dengan politik bebas-aktif.

Politik bebas-aktif Indonesia tidak sama dengan netralitas. Menurut Soekarno, politik bebas-aktif adalah politik yang tidak netral, politik Indonesia adalah politik yang berpihak pada kepentingan menolak dan secara aktif mengikis kapitalisme-kolonialisme-imperialisme-feodalisme13. Kebijakan politik bebas-aktif sebagai politik luar negeri Indonesia menurut Soekarno merupakan bukti nyata kedaulatan politik yang dimiliki oleh Indonesia.

Melalui politik bebas-aktifnya, Soekarno berkomunikasi dengan negara-negara dunia ketiga, berusaha menggalang kekuatan dalam sebuah kekuatan politik non-blok yang independen (tidak condong kearah kanan-kapitalisme dan

12

Paharizal.Op.Cit. Halaman. 81. 13

tidak condong ke kiri – sosialis komunis). Aliansi dari negara-negara non blok ini disebut juga sebagai new emerging force (NEFO).

Melalui konsep NEFO, Soekarno menilai bahwa pertentangan yang terjadi di dunia, bukanlah konflik ideologis sebagaimana sangkaan orang, melainkan pertentangan kepentingan. Negara dunia ketiga yang baru saja lepas dari belenggu kolonialisme dan penjajahan distigmasisasikan secara politik sebagai kawasan yang ekonominya timpang, marjinalisasi kehidupan sosial yang tinggi, maupun tingkat kemiskinan penduduk yang begitu ekstrim14. Soekarno melihat bahwa keterbelakangan negara di Dunia Ketiga adalah akibat keserakahan dari negara-negara yang tidak pernah puas dan selalu mengadakan penghisapan terhadap bangsa-bangsa yang dilanda kelaparan dan kemiskinan.

Arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif juga diwujudkan dalam

bentuk kooperasi dengan syarat. Bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan negara-negara mana saja yang dapat atau tidak dapat bekerja sama dengan Indonesia. Indikator yang digunakan untuk menilai dapat tidaknya suatu negara bekerja sama dengan Indonesia adalah Pancasila. Pancasila sebagai cerminan kedaulatan Indonesia dalam politik menolak bentuk-bentuk kerjasama yang berpotensi memecah belah bangsa serta berpotensi mengeksploitasi ataupun bercorak imperialistik15.

14

Wasisto Raharjo, Jati. Op.Cit. Hal. 3. 15

Berdikari di Lapangan Ekonomi

Berdikari dilapangan ekonomi memiliki keterkaitan yang erat dengan gagasan berdaulat dalam bidang politik. Soekarno mengatakan tanpa adanya kedaulatan politik, mustahil suatu negara memiliki kemampuan menentukan nasibnya sendiri untuk mensejahterakan rakyat. Selaras dengan gagasan di bidang politik, dalam gagasan berdikari di lapangan ekonomi Soekarno menyatakan penolakannya terhadap kapitalisme dan imperialisme. Melalui pidato pembelaannya di depan hakim pengadilan kolonial pada tahun 1930, Soekarno menulis :

“yang saya artikan dengan imperialisme ialah: kejadian pergaulan-hidup, yang terjadi karena modal-besar dari sesuatu negeri yang kebanyakan ada di bawah kekuasaannya bank-bank, memperusahakan politik-luar-negeri daripada negeri itu guna kepentingannya modal-besar itu sendiri. Kemajuan abad yang ke-sembilan-belas yang tepat itu sudahlah melahirkan suatu persaingan mati-matian di atas lapang perusahaan-tanah dan perusahaan-kepaberikan. Salah satu hasilnya

persaingan ini ialah bahwa, pada penghabisan abad itu, politik “melindungi negeri sendiri” makin lama makin laku. Kepaberikan-besar sudahlah lahir, jumlahnya barang-barang yang dibikin oleh kepaberikan-besar ini sangatlah tambahnya, tetapi di negeri-sendiri barang-barang itu takbisalah habis terjual, maka timbullah keperluan mencarikan pasar baginya di luar negeri sendiri16”.

Dalam tulisannya yang diberi judul “Mencapai Indonesia Merdeka” Soekarno menunjukkan perkembangan kapitalisme ke imperialisme. Ia menganalogikannya jika dalam konteks kapitalisme, pencarian rezeki (mengeksploitasi) masihlah sangat sederhana, yaitu mempekerjakan buruh dengan upah murah dan menjajah negara lain, maka ketika kapitalisme berganti bulu menjadi imperialisme cara mencari rezekinya semakin mengganas.

16

“…dan bukan saja bermulut sepuluh! Juga jalannya mencari rezeki ini bukan satu

jalan saja, tetapi jalan yang bercabang-cabang tiga-empat. Bukan lagi Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan barang-barang biasa sebagai di zamanya imperialisme tua, bukan lagi Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan pala atau cengkih atau kayu manis, atau nila, tetapi kini juga menjadi pasar penjualan barang-barang keluarannya pabrikan negeri asing, juga menjadi tempat penanaman modal asing, yang di negeri asing sendiri sudah kehabisan tempat, pendek kata: juga menjadi afzetgebied exploitatiegebied-nya surpluskapitaal.

Terutama jalan yang belakangan inlah, yakni “jalan” penanaman modal asing

disini, adalah paling hebat dan makin bertambah hebat17

Imperialisme juga merupakan suatu kenyataan bagi negara jajahan, imperialisme adalah suatu nafsu, suatu politik, suatu stelsel untuk menguasai (dan mempengaruhi) ekonomi bangsa lain, untuk overheersen (menggagahi) atau

beheersen (mendominasi) ekonomi atau negeri bangsa lain18. Imperialisme dengan kata lain adalah perpanjangan dari kapitalisme, sebagai sebuah syarat yang mengupayakan keberlangsungan eksistensi kapitalisme.

Bertolak dari pemahaman itulah Soekarno menolak kapitalisme-imperialisme karena bertentangan dengan sosio-nasionalisme indonesia. Sosio-nasionalisme Indonesia merupakan bentuk Sosio-nasionalisme yang mau memperbaiki ketimpangan ekonomi yang hidup dalam masyarakat.

Soekarno dalam pidato “Tahun Berdikari” yang disampaikan pada 17 Agustus 1965, menyebutkan bahwa berdikari pada prinsipnya merupakan usaha untuk menjadikan kekuatan sendiri sebagai landasan utama pembangunan ekonomi. Berdikari di lapangan ekonomi merupakan sebuah ide dari soekarno bagi Indonesia untuk menolak kapitalisme-imperialisme global.

17

Ibid. Hal. 366. 18

Swasono, Edi. Bung Karno Seorang Tokoh Besar Strukturalis. di dalam Iman Toto Kahardjo. Op. Cit. Hal. xxiii

“…berdikari dalam ekonomi! Apa yang lebih kokoh daripada ini, saudara-saudara? Seperti kukatakan di depan MPRS tempo hari, kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-semaksimalnya. Pepatah lama “ayam mati dalam lumbung” harus

kita akhiri, sekali dan buat selama-lamanya. Kita memiliki segala syarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah sandang-pangan kita. Barangsiapa merintangi pemecahan masalah ini, dia harus dihadapkan ke depan mahkamah rakyat dan sejarah. Alam kita kaya raya, rakyat kita rajin, tetapi selama ini hasil keringatnya dimakan oleh tuan-tuan tanah, tengkulak-tengkulak, lintah-lintah darat, tukang-tukang ijon dan setan-setan desa lainnya…sudah cukup usahaku memberi kesempatan bagi pelaksanaan landreform; batas waktunya malahan sudah kutunda dan kalau perlu aku bersedia memperpanjangnya dengan satu tahun lagi…tapi masih macet saja;…hanya dengan mengatasi kemacetan-kemacetan inilah kita bisa menerapkan azas berdikari dalam ekonomi19”.

Hal ini kembali dikuatkan Soekarno dalam pidato nya yang berjudul “Nawakarsa” pada 22 Juni 1966:

“Khusus mengenai prinsip berdikari ingin saya tekankan apa yang telah saya nyatakan dalam pidato 17 Agustus 1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling menguntungkan. Dan dilama rencana ekonomi perjuangan yang saya sampaikan bersama ini, maka saudara-saudara dapat membaca bahwa “Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan engara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau bekerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan20

Prinsip berdikari yang mendasarkan pada kemandirian suatu bangsa dan menjadikan rakyat sebagai faktor utama penggerak produksinya. Pemerintah dan rakyat harus mengoptimalkan potensi kekayaan alam Indonesia dengan beragam kegiatan pemberdayaan. Pada akhirnya diharapkan nilai ekspor akan membesar.

19

Ir. Soekarno. Op. Cit. Hal. 691-692.

20Pidato Presiden Soekarno Berjudul “Nawaksara” di Depan Sidang Umum ke-IV pada Tanggal 22 Juni

1966. Hal. 5. diakses di http://tempo.co.id/ang/min/02/05/nawaksara.htm pada tanggal 16 Desember 2015 pukul 01.06 WIB.

Koperasi dan perusahaan negara kemudian diharapkan menjadi motor penggerak dalam proses ini.

Hubungan kerjasama internasional apabila dilihat melalui prinsip berdikari dalam bidang ekonomi merupakan hal yang sah-sah saja dilakukan. Penekanan dalam kerjasama internasional tersebut adalah apabila kerjasama yang tercipta tidak merugikan disatu pihak, ataupun mengakibatkan suatu negara menggantungkan diri kepada pihak imperialis.

Soekarno menilai bahwa negara (bangsa) yang sudah dewasa adalah negara yang ekonominya tidak tergantung dengan negara lain. Jika sebuah negara secara ekonomi masih tergantung dengan negara lain, tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa negara yang bersangkutan adalah negara yang belum dewasa.

“…bahkan ada bangsa-bangsa yang di lapangan politik telah berdaulat, tetapi ekonominya belum berdikari. Ekonominya masih tergantung sama sekali daripada bangsa lain. Bagaimana kita bisa menamakan seorang anak yang katanya sudah dewasa, tetapi ia masih harus selalu disuap makanan oleh orang tuanya atau selalu harus dibantu oleh orang tuanya dalam urusan ekonomi sehari-hari? Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa anak ini sudah dewasa. Anak ini sebetulnya belum dewasa, saudara-saudara. Sebab, ia belum bisa stand on it‟s own feet. Begitu pula ada bangsa yang telah dikatakan berdaulat di bidang politik, tetapi ia belum berdikari di lapangan ekonmi, dan belum berkepribadian di lapangan kebudayaan. Segala sesuatu ia punya kebudayaan tidak berdasarkan atas kepribadian sendiri21”.

Berkepribadian Sendiri di Lapangan Kebudayaan

Gagasan mengenai diperlukannya sebuah kepribadian dalam bidang kebudayaan menurut Soekarno dilatarbelakangi oleh adanya tiga budaya yang patut dihilangkan dalam diri bangsa Indonesia, yang pertama budaya kapitalisme,

21

kedua budaya kolonialisme (belanda), dan ketiga adalah budaya imperialisme. Selama sisa hidupnya, soekarno menekankan bahwa perlu mengikis eksistensi budaya feodalisme, serta berusaha membatasi rembesan budaya kolonialisme dan imperialis.

…Berkepribadian dalam kebudayaan!...Bukan saja bumi dan air dan udara kita kaya raya, juga kebudayaan kita kaya raya…juga untuk membangun kebudayaan

baru Indonesia, kita memiliki segala syarat yang diperlukan. Kebudayaan baru itu harus berkepribadian nasional yang kuat dan harus tegas-tegas mengabdi kepada rakyat. Dengan menapis yang lama, kita harus menciptakan yang baru. Sikap kita terhadap kebudayaan lama harus menciptakan yang baru. Sikap kita terhadap kebudayaan lama maupun asing adalah sikapnya revolusi nasional-demokratis pula: dari kebudayaan lama itu kita kikis feodalismenya, dari kebudayaan asing kita punahkan imperialismenya22.”

Dalam amanat yang disampaikan melalui pidato pembukaan ulang tahun pertama konferensi sastra dan seni revolusioner (KSSR) di istana merdeka, Jakarta, pada 26 Agustus 1965, Soekarno menandaskan bahwa budaya adalah bentuk representasi dari kepentingan yang sedang berkuasa pada zamannya. Pada zaman feodalisme, kebudayaan merupakan representasi dari penguasa feodal, pada masa imperialisme budaya merupakan representasi dari penguasa imperialis, dan pada masa kolonial budaya merupakan representasi dari penguasa kolonial23. Soekarno menilai karena pada zaman penjajahan belanda, kebudayaan Indonesia didominasi oleh kebudayaan belanda, maka konsekuensinya adalah tindak-tanduk rakyat Indonesia “dipaksa” disesuaikan dengan kepentingan imperialistic belanda. Sementara itu kebudayaan bangsa Indonesia sendiri – asli Indonesia- dibunuh dan dihambat perkembangannya.

22

Ir. Soekarno. Op. Cit. Hal. 692. 23

Oleh karena itu jika rakyat Indonesia tidak mendorong kemunculan kebudayaannya sendiri dan kemudian melestarikannya, maka tidak berlebihan jika rakyat Indonesia dikatakan tidak berkepribadian, bangsa penjiplak, dan bangsa tanpa kreativitas. Lebih jauh lagi soekarno menilai bahwa bangsa yang tidak memiliki kepribadian dalam hal kebudayaan, penjiplak, dan tanpa kreativitas adalah bangsa yang belum atau tidak merdeka. Hal inilah yang disimpulkan oleh Soekarno, revolusi baru selesai apabila bangsa Indonesia telah merdeka dalam hal kebudayaan.

Terkait dengan hal kebudayaan, pandangan Soekarno mengenai kebudayaan asing adalah dalam ranah toleransi. Soekarno merumuskan bahwa berkepribadian dalam bidang kebudayaan tidak anti sama sekali dengan kebudayaan asing.

Kebudayaan asing, dalam pandangan soekarno masih bisa diterima atau ditoleransi dengan syarat kebudayaan yang datang dari asing tersebut tidak memiliki dampak merusak terhadap kebudayaan asli Indonesia. Intinya, soekarno mengharapkan antara budaya asing dan lokal bisa saling menghormati dan menguatkan kebmandirian dan kepribadian antara satu sama lain.

Intisari Trisakti sebagai sebuah gagasan yang dituangkan kedalam 3 aspek yaitu politik, ekonomi dan kebudayaan dapat disimpulkan sebagai berikut24:

a) Berdaulat dalam bidang politik

Pertama, mengelola pemerintahan tanpa adanya intervensi dari luar negara;

adanya intervensi asing memang rawan terjadi dalam menjalankan roda

24

Peter Kasenda, Trisakti Soekarno. (Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Kelompok Kerja Kedaulatan Politik – Temu Kader dan Tokoh Nasional Pemuda Demokrasi Indonesia, Jakarta, 2014). Hal. 11-12.

pemerintahan. Seingkali muncul komprador-komprador yang turut campur mengarahkan agenda negara sesuai dengan kepentingan asing

Visioner Soekarno mengenai adanya intervensionisme maupun relasi tidak seimbang tersebut justru terjadi dalam konstelasi global. Indikasinya adalah munculnya para jackal sebagai bentuk komprador-komprador asing yang bekerja atas nama kapitalis Barat di dunia ketiga. Hal itulah yang kemudian menciptakan adanya relasi patrimonialisme global yang kini sudah berkembang menjadi tatanan dunia dimana negara maju senantiasa mengarahkan kebijakan negara berkembang. Relasi antar negara kemudian menjadi tidak seimbang, manakala terjadi pemaksaan kepentingan nasional terhadap kepentingan nasional suatu negara lainnya.

Kedua, menjalin kerjasama dengan negara lain dalam tataran yang seimbang

dan menguntungkan kedua belah pihak. Ditemukannya relasi tidak seimbang dan justru mengarah pada parasitisme. Hal ini biasanya terjadi dalam relasi kasus antara negara dunia pertama dengan negara dunia ketiga dimana selalu saja terjadi pola dominasi maupun subordinasi antar keduanya.

b) Berdikari secara ekonomi

Hal ini diwujudkan dengan menetapkan ekonomi terpimpin sebagai sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia agar dapat memperkuat peran negara dalam perekonomian. Pemilihan sistem ekonomi terpimpin ini tidak terlepas dari posisinya yang berlawanan terhadap sistem ekonomi pasar atau kapitalisme.

Dalam sistem ekonomi terpimpin, perencanaan pembangunan merupakan bagian dari strategi dan kebijakan ekonomi. Dasar ekonomi terpimpin adalah untuk menyalurkan dan mengembangkan potensi rakyat. Karena itu, sektor yang harus dijadikan fokus utama adalah pertanian, perkebunan, dan pertambangan.

c) Berkepribadian dalam budaya

Penekanan terhadap revolusi mental yang hendak diubah dan dirombak. Mentalitas inlander inilah yang perlu untuk dilakukan pencerahan atau dalam bahasa Soekarno sendiri „mengarahkan kepada bentuk penemuan jati diri kembali‟. Jika dikaitkan dengan prinsip berdaulat dalam bidang politik, hal ini merupakan usaha untuk membentuk karakter bangsa yang disimbolkan dalam bentuk penghapusan mental terjajah atau inferior yang selama ini melekat dalam pembentukan manusia Hindia Belanda dalam skema kolonialisme Belanda.

1.6.2 Nawacita

Penelitian mengenai Nawacita merupakan suatu hal yang baru di Indonesia, hal ini tidak terlepas dari baru di implementasikannya Nawacita pada bulan Oktober 2014 silam, bersamaan dengan dilantiknya pemerintahan Jokowi-JK. Sehingga tidak terdapat penelitian terdahulu yang dapat dijadikan rujukan mengenai Nawacita.

Nawacita secara etimologis terdiri dari dua padanan kata, yakni kata Nawa yang dalam bahasa sansekerta berarti Sembilan (9) dan cita yang berarti harapan. Nawacita dalam konteks perpolitikan di Indonesia merupakan sebuah 9 program prioritas yang digagas oleh Jokowi-JK dalam pemerintahan saat ini.

Nawacita sebagai program prioritas didasarkan pada visi dan misi Jokowi-JK pada pilpres 2014 lalu. Jokowi-Jokowi-JK dalam visi-misi nya menyimpulkan terdapat tiga problem pokok yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Hal ini kemudian dinilai berimbas kepada pembangunan Indonesia kedepannya. Adapun 3 permasalahan pokok yang melatar belakangi Nawacita adalah sebagai berikut25: 1. Merosotnya kewibawaan negara, hal ini dilihat dari kondisi dimana negara tidak mampu memberikan perlindungan atau rasa aman terhadap segenap warga negara. Kondisi ini diperparah dengan munculnya krisis kepercayaan, yakni ketika masyarakat semakin tidak percaya kepada institusi public, dan pemimpin tidak memiliki kredibilitas yang cukup untuk menjadi teladan dalam menjawab harapan masyarakat. Harapan untuk menegakkan wibawa negara semakin pudar ketika negara mengikat diri pada sejumlah perjanjian internasional yang mencederai karakter dan makna kedaulatan, yang lebih menguntungkan bagi perseorangan maupun perusahaan multinasional ketimbang bagi kepentingan nasional.

2. Kelemahan sendi perekonomian bangsa, hal ini dilihat dari belum terselesaikannya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, dan ketergantungan dalam hal energi, keuangan dan pangan. Terkhusus permasalahan keuangan, kelemahan dalam sendi perekonomian dapat dilihat dari bagaimana sikap pemrintahan yang kurang tanggap dalam

25

Visi misi dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014. 2014. Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang

Dokumen terkait