• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini masih dapat dikembangkan dengan mengombinasikan metode atau teknik lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi dengan tujuan mengefisiensikan waktu dalam pengubahan bentuk graf tetapi juga mendapatkan hasil kualitas graf yang lebih baik sehingga hasil abstrak bahan bacaan dapat menggambarkan keseluruhan bacaan.

Bagi mahasiswa yang berminat untuk membuat sebuah algoritme atau menjadikan

sebuah program komputer, dapat

menggunakan metode ini karena sistematika penentuan kata benda dan frasa benda dalam bahasa Indonesia sudah memiliki bentuk aturan yang terpola, sedangkan database kata benda sudah ada yang membuatnya. Jadi harapannya dengan hasil penelitian ini, dapat memudahkan pengimplementasian ke dalam bentuk software yang memang dalam pembuatannya tidak semudah dengan apa yang dituliskan.

DAFTAR PUSTAKA

Aji GB. 2008. Mencermati Kebijakan

Ketahanan Pangan.

http://www.infoanda.com/linksfollow.php ?lh=VlEGV1FcAlsG. [3 Maret 2012]. Anonim. 2009. Jenis-jenis Paragraf

http://www.sentra-

edukasi.com/2009/09/jenis-jenis- paragraf.html

.

[8 Juni 2010] Anonim. 2010. Paragraf Deduktif.

http://cap-cip-

cupzz.blogspot.com/2010/04/paragraf- deduktif-tugas-b-indonesia-2.html. [16 juni 2010]

Anonim. 2011. Letak Kalimat Topik dalam Paragraf. http://binakubinamu.blogspot.com/2011/0 3/letak-kalimat-topik-dalam- paragraf.html. [3 Maret 2012] Anonim. 2011. Alinea. http://chadul.blogspot.com/2011/11/alinea .html. [3 Maret 2012]

Arindriarini NW. 2010. Persyaratan Paragraf yang baik (Kepaduan, Kesatuan dan Kelengkapan).

http://nugrahantiwindi.blogspot.com/2010 /04/persyaratan-paragraf-yang-baik- kepaduan.html

.

[8 Juni 2010]

Aryamdini W. 2003. Modul Bahasa

Indonesia. Pusat Pengembangan Bahan Ajar, Universitas Mercu Buana. Bandung. [UMB]

http://www.scribd.com/doc/52636090/990 09-8-555911592468. [8 juni 2010] Berg H van den. 1993. Knowledge graph and

logic: one of two kinds. [disertasi]. Enschede, The Netherlands: University of Twente. ISBN 909006360-9

Chaer A. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer A. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.

Chartrand G, Oellermann OR. 1993. Applied and Algorithmic Graph Theory. New York: McGraw-Hill.

Darus Altin. 2008. Meng-INSENTIF-kan PETANI.

www.ubb.ac.id. [8 Juni 2010]

[Depdiknas] Departemen Pendidikan

Nasional, Pusat Bahasa. 2008a. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, ISBN: 978-979-689-779-1

http://akhdian.net/2008/02/18/kamus- besar-bahasa-indonesia-kbbi-versi- online/

.

[8 Juni 2010]

[Depdiknas] Departemen Pendidikan

Nasional, Pusat Bahasa. 2008b. Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka.

http://ebookbrowse.com/tesaurus-bahasa- indonesia-2008-pdf-d106931870. [8 Juni 2010]

Febriatmoko D. 2011. Abstraksi teks berbahasa Indonesia menggunakan teori knowledge graph. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hoede C, Nurdiati S. 2008a. On word graphs and structural Parsing, Memorandum 1871, University of Twente, ISSN: 1874- 4850.

Hoede C, Nurdiati S. 2008b. 25 Years Development of Knowledge Graph Theory: The results and The Challenge. Memorandum 1876, University of Twente, ISSN 1874-4850.

Hovy E. 2001. Automated Text

Summarization. Handbook of

Computation Linguistics, Oxford University Press.

http://www.isi.edu/natural-

language/people/hovy/papers/05Handboo k-Summ-hovy.pdf . [8 juni 2010]

Ikhwati A. 2007. Analisis masalah

kemiskinan menggunakan teori

knowledge graph. [skripsi]. Bogor. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Keraf G. 1982. Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas. Ende: Nusa Indah. Keraf G. 1993. Tata Bahasa Indonesia. Ende:

Nusa Indah.

Kramer M. 1996. Knowledge graphs making career in politics. [tesis]. The Netherlands: Twente University Press.

Lassa J. 2008. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005.

http://id.shvoong.com/humanities/179356 9-politik-ketahanan-pangan-Indonesia- 1950/. [8 Juni 2010].

Made GA.2010. Kalimat Pokok dan Penjelas.

http://gustiayumade.wordpress.com/2010/ 10/16/kalimat-pokok-dan-kalimat- penjelas. [8 Juni 2010]

Martaja. 2008. Solidaritas Nasional Ketahanan Pangan.

http://www.gizi.net/cgi-

bin/berita/fullnews.cgi?newsid113039325 8.18187. [8 Juni 2010]

Maulana A. 2003. Kamus Ilmiah Populer Lengkap dengan EYD dan Pembentukan Istilah serta Akronim Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Absolut.

Nero A. 2007. Bahasa Indonesia dalam Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Universitas Widyatama Bandung.

Rendi M. 2011. Alinea dan Gagasan Utama

http://sirendi.blogspot.com/2011/12/alinea -dan-gagasan-utama.html. [3 Maret 2012] Rusiyamti. 2008. Analisis teks berbahasa

Indonesia menggunakan teori knowledge graph. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sitorus Y. 2010. Contoh Paragraf Deduktif,

Induktif, Campuran dan Umum.

http://yantiesitoruzz.blogspot.com/2010/0 4/contoh-paragraf-deduktif-induktif.html

.

[8 Juni 2010]

Thoriq HW. 2008. Modul Tingkat Madya

http://herymulyanto-

trq.blogspot.com/2008_08_01_archive.ht ml. [8 Juni 2010]

Utomo P. 2010. Contoh Paragraf Deduktif

http://utomoutami.blogspot.com/2010/04/ contoh-paragraf-deduktif-ketika-

perang.html. [8 Juni 2010]

Wilson RJ, Lowell WB. 1979. Applications of Graph Theory. London New York: Academic Press.

Wulandari A. 2008. Algoritme pembentukan combined graph dan simplified graph dari dokumen berbahasa Indonesia. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zhang L. 2002. Knowledge Graph Theory and Structural Parsing. Enschede, The Netherlands: Twente University Press. Zikra H. 2009. Sistem peringkas teks

otomatis menggunakan algoritme

pagerank. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lampiran 1 Teks A

Ketahanan pangan menunjukkan eksistensinya, jika setiap rumah tangga selalu dapat mengakses, secara fisik maupun ekonomi, memperoleh pangan yang cukup aman dan sehat bagi seluruh anggotanya (FAO, 1996). Artinya, titik berat kondisi ketahanan pangan terletak pada tingkat rumah tangga.

Ketahanan pangan ini harus mencakup aksesibilitas, ketersediaan, keamanan dan kesinambungan. Aksesibilitas di sini artinya setiap rumah tangga mampu memenuhi kecukupan pangan keluarga dengan gizi yang sehat. Ketersediaan pangan adalah rata-rata pangan dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan konsumsi di tingkat wilayah dan rumah tangga. Sedangkan keamanan pangan dititikberatkan pada kualitas pangan yang memenuhi kebutuhan gizi.

Kesinambungan dalam konteks ini bukan hanya untuk memenuhi kecukupan pangan dalam jangka waktu tertentu, bahkan dirancang untuk masa/generasi mendatang, lebih-lebih akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 1 Oktober 2005 maka penanggulangan kemiskinan akan berkepanjangan. Ketahanan pangan merupakan basis ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional secara berkesinambungan.

Manakala pemenuhan kebutuhan pangan harus berkesinambungan, maka berbagai aktivitas pertanian harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan ini perlu adanya sistem ketahanan pangan yang handal, yang bertumpu pada optimalisasi pemanfaatan potensi keragaman sumber daya pangan lokal.

Untuk mencapai ketahanan ekonomi dan pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, perlu ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap rumah tangga. Guna mewujudkan ketahanan pangan perlu memperhatikan tiga subsistem yang saling terkait, yaitu subsistem produksi (produsen/petani sebagai pelaku), subsistem konsumsi (konsumen sebagai pelaku) dan subsistem distribusi (distributor dan pedagang).

Ketersediaan merupakan salah satu unsur penting dalam konsep ketahanan pangan. Tetapi bukan berarti bahwa itu telah menjamin terwujudnya ketahanan pangan. Kalau pun stok nasional cukup, hal itu tidak menutup kemungkinan merebaknya kasus busung lapar, karena kemiskinan juga dapat membatasi akses mereka mendapatkan pangan yang dibutuhkan.

SOLIDARITAS NASIONAL

Parameter kemiskinan dari World Bank berdasarkan pada perbandingan tingkat pendapatan penduduk/rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimum. Hanya saja, kemiskinan bukan hanya melibatkan kesejahteraan materi, tetapi mencakup perluasan akses dan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.

Melambungnya harga BBM mengakibatkan jumlah keluarga miskin membengkak secara drastis. Makanya, komitmen yang kuat dari pemerintah amat diperlukan, yakni dengan memprioritaskan program peningkatan ketahanan pangan yang terintegrasi dengan program peningkatan pendapatan dan penanggulangan kemiskinan. Ini tidak cukup dengan partisipasi petani atau kelompok tani, tetapi juga harus melibatkan pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian dan perguruan tinggi.

Kini pemerintah perlu merekonstruksi kebijakan pangan dari swasembada ke ketahanan pangan dengan memperhatikan ketersediaan kuantitas dan kualitas pangan. Selain itu, kemandirian dan kedaulatan pangan hendaknya dikembangkan dari ketahanan pangan keluarga ke ketahanan pangan komunitas, ketahanan pangan daerah, dan nasional. Artinya, pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan baru bisa terwujud, jika terjalin kerja sama kolektif dan sinergis di antara pihak-pihak terkait.

Khususnya masyarakat produsen, pengelola, pemasar dan konsumen pangan. Solidaritas nasional ketahanan pangan ini hendaknya segera disosialisasikan dan digalakkan mulai dari birokrat, legislatif hingga masyarakat luas. Semua komponen tadi harus memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah kemiskinan, kerawanan pangan dan kelaparan.

LUMBUNG DESA

Gerakan nasional peduli masyarakat miskin dan kerawanan pangan di tengah melonjaknya kenaikan harga barang dan jasa pasca-kenaikan harga BBM ini harus menjadi gerakan bersama, bukan hanya sebagai gerakan dari salah satu sektor. Kebanyakan petani di Indonesia adalah bagian

dari masyarakat miskin. Sektor pertanian kian berat untuk mengangkat kesejahteraan dan martabat para petani.

Jeritan petani terhadap kebijakan pemerintah yang tidak populis harus diakomodasi. Hal ini tak mungkin dilakukan hanya dengan bantuan tunai langsung Rp 100.000,- per bulan. Kebijakan yang tak berpihak pada petani selama ini antara lain penetapan harga dasar gabah dan beras yang selalu dikendalikan pemerintah, sementara harga barang dan jasa di luar produk pertanian tidak terkendalikan. Pemerintah perlu segera mengubah kebijakan yang merugikan petani tersebut. Jika tidak, ke depan kerawanan pangan akan tetap sulit teratasi.

Pemerintah perlu menumbuhkembangkan lumbung desa dengan penanganan secara profesional, karena eksistensinya di tingkat desa dan rumah tangga mampu mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini mendesak dilakukan menghadapi kerawanan pangan pasca-kenaikan harga BBM. Pengelolaan lumbung desa sangat bermanfaat sebagai cadangan pangan.

Sebaiknya pemerintah aktif melakukan penyuluhan dan pembinaan, serta memberikan informasi terlebih dulu agar masyarakat bisa mengetahui manfaat dan tujuannya secara jelas dan pasti. Peran aktif masyarakat pedesaan dalam mengembangkan cadangan pangan akan mendukung mantapnya ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.

Biasanya kesuksesan suatu program yang dicanangkan disertai demplot (demonstrasi plot) dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat di sekitarnya. Pendekatan model ini cukup ampuh dan besar pengaruhnya di masyarakat.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial-ekonomi, alumnus Australian National University) 26Oktober 2005

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1130393258.18187

Lampiran 2 Teks B

Bahwa swasembada beras identik dengan ketahanan pangan sudah sangat lama terjadi di Indonesia. Ini seperti mitos yang direproduksi ulang dari masa ke masa. Ketersediaan beras di gudang Bulog kerap di jadikan basis ketahanan pangan di level propinsi maupun kabupaten. Hal ini mengindikasikan pengutamaan beras sebagai Indikator ekonomi nasional. Beras telah menjadi sumber pangan dominan di Indonesia. Tingginya ketergantungan pada beras di daerah seperti Timor, Maluku, Papua, dan Kalimantan telah terjadi sejak jaman kolonial memberlakukan perdagangan antar pulau di Nusantara. Politisasi beras masa Suharto dibangun pada pola yang sudah terbawa sejak masa kolonial Karenanya, menuduh Soharto sebagai biang politisasi beras dan penyebab diskriminasi pangan lokal adalah tuduhan yang tidak sepenuhnya benar (Reid 1984 di dalam Lassa, 2005).

Lassa (2005), mengutip dari berbagai sumber, menyebutkan bahwa kebijakan harga beras telah menjadi basis kebijakan pangan dan beras lebih dari 300 tahun, sejak masa kolonial. Pemerintah Kolonial Belanda menginginkan harga buruh yang murah bagi investasi pertaniannya di Nusantara. Karena beras sangat penting bagi konsumsi keluarga, maka harga dasar pangan utama tersebut selalu ditekan rendah. Kebijakan yang sama di era presiden Sukarno dilandasi oleh motivasi dukungan politik, sementara di era pemerintahan Suharto beras dibaptis menjadi barometer ekonomi pembangunan sekaligus sebagai alat politik.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kebijakan pangan Indonesia sejak 1952 sampai sekarang selalu dalam kerangka untuk mencapai swasembada beras di tingkat nasional. Ketika penggunaan beras oleh sebagian besar masyarakat mulai dianggap memberatkan pemerintah, maka pemerintah (1969) mempopulerkan slogan pangan bukan hanya beras lewat project Applied Nutrition Program. Tujuannya, memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dengan memanfaatkan bahan pangan lokal sehingga tidak terjadi kelaparan. Pada saat yang sama, pemerintah juga mengenalkan beras tekad yang dibuat dari bahan pangan singkong, sebagai pengganti beras. Di tingkat nasional dibentuk panitia penganekaragaman menu makanan rakyat, dan pejabat pemerintah melakukan kampanye makan pangan nonberas oleh para pejabat maupun sang istri yang sayang sekali tidak menyentuh masyarakat luas. Tetapi, upaya penganekaragaman yang dilakukan pemerintah tampak paradoks karena di saat yang sama semua pegawai negeri, termasuk TNI, mendapat jatah beras.

Kelahiran Badan Urusan Logistik (Bulog) tahun 1967, sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme: stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Bulog berfungsi sebagai pengontrol harga beras dengan

akhir 1980, Bulog tetap ditugasi untuk memerankan kontrol pasar perberasan Indonesia tetapi sedikit diperluas untuk menangani komoditas pangan lain seperti gula pasir, gandum, jagung, kedelai dan sejumlah komoditas lainnya. Order Baru sempat mengganti orientasi kebijakan pangan dari swasembada beras ke swasembada pangan secara umum pada Repelita 3 dan 4 (1979 – 1989). Hasilnya sempat dirasakan pada tahun 1984 dimana Indonesia mencapai level swasembada pangan. Akan tetapi, pencapaian swasembada pangan tahun 1984 ini tidak mampu dijaga secara berkelanjutan.

Kebijakan revitalisasi pertanian yang dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) berupaya mencapai swasembada beras maupun pangan alternatif nonberas seperti jagung, singkong. Pembangunan sektor agribisnis juga dilakukan dalam revitalisasi pertanian, untuk terciptanya nilai tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan akses atas pangan yang lebih baik. Akan tetapi, upaya mencapai swasembada pangan tersebut tidak disertai oleh upaya penguatan ketahanan pangan. Peristiwa kelaparan dan malnutrisi di berbagai tempat di Indonesia menunjukan hal ini.

Produksi pangan sebagaimana yang menjadi target dari swasembada pangan hanya salah satu dari faktor penentu dari ketahanan pangan. Ketahanan pangan bukan persoalan produksi semata tetapi juga pada soal management investasi pada sektor-sektor nonpangan dan nonpertanian sebagai bagian integral dari pencapaian ketahanan pangan. Oleh karenanya, swasembada tingkat nasional tidak serta merta menjawab persoalan distribusi pangan dan akses atas pangan secara adil dan merata. Terkait dengan globalisasi perdagangan, beberapa negara mengubah kebijakan ketahanan pangannya. Sebagai contoh, Malaysia mendefinisikan ulang ketahanan pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional dan 40% sisanya didapatkan dari impor pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh. Ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda. Tingginya tingkat urbanisasi menyebabkan naiknya tingkat kemiskinan perkotaan, yang sangat membutuhkan pangan murah.

Untuk pemenuhan ketahanan pangan kota, tidak mudah bagi Indonesia untuk mengabaikan perdagangan pangan global, kecuali ketergantungan pada produksi pangan domestik bisa menjamin harga pangan murah bagi kaum miskin kota. Tapi pada saat yang sama harus menghadapi cara bagaimana memproteksi petani kecil dan miskin dari dampak perdagangan pangan global. Dilema bagi Indonesia adalah bahwa petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil. Sayangnya harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan. Sedangkan kaum miskin kota, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun justru membutuhkan pangan yang murah, demi akses yang lebih baik bagi kaum miskin.

http://id.shvoong.com/humanities/1793569-politik-ketahanan-pangan-Indonesia-1950/

Lampiran 3 Teks C

Pemerintah tampaknya belum menentukan respons strategis atas situasi krisis pangan yang mengguncang dunia saat ini. Sebagaimana diketahui harga pangan dunia khususnya beras melambung di atas 1.000 dolar AS per ton.

Kalangan internasional mengibaratkan krisis ini sebagai silence tsunami yang mengancam ketahanan pangan, konflik, dan kelaparan hingga akhir tahun ini. Di dalam negeri walaupun harga beras masih bisa ditekan pada kisaran 500 dolar AS per ton, gelombang krisis yang panjang bisa menyebabkan kelangkaan pangan dunia dan memengaruhi ketahanan pangan nasional kita. Apalagi, jika produksi beras nasional tidak bisa dipertahankan pada level aman akibat laju alih fungsi lahan dan perubahan iklim global yang memicu bencana alam, seperti banjir dan kekeringan.

Alih-alih menentukan sikap dan respons nasional untuk melindungi kelompok yang paling rentan dari kemungkinan jahatnya liberalisasi di balik situasi krisis pangan dunia ini, persepsi antara Presiden dan Menteri Pertanian belum sama. Sebagaimana terlihat pada kunjungannya ke Palangkaraya beberapa waktu lalu, Presiden mengimbau agar masyarakat tidak gamang karena Indonesia memiliki potensi lahan (yang luas) yang bisa digunakan untuk meningkatkan produksi.

Sebelumnya, Mentan menulis artikel di sebuah media cetak nasional yang merisaukan keterbatasan lahan pertanian kita dan kecepatan alih fungsinya saat ini yang mencapai 3,1 juta ha. Atas persoalan keterbatasan lahan itu, Mentan meyakini bahwa optimalisasi modernisasi pertanian, bukan perluasan lahan, yang akan menentukan ketahanan pangan nasional kita ke depan.

Pilihan optimalisasi modernisasi pertanian di tengah situasi krisis sebagaimana yang diyakini oleh Mentan sekarang juga menjadi pilihan rasional banyak negara yang terutama dimotori oleh AS. Hal ini antara lain terlihat dari solusi baru yang ditawarkan oleh berbagai perusahaan rekayasa genetik khususnya di bidang pangan untuk mengatasi situasi krisis sekarang ini melalui penggunaan bibit hibrida.

Keyakinan seperti itu bukannya belum pernah dijalankan di negeri ini. Sejak akhir 1960-an sampai dengan 1980-an, pemerintah telah dengan sangat gencar memperkenalkan program modernisasi pertanian utamanya melalui penggunaan bibit unggul yang kemudian ditunjang dengan teknologi pertanian baru dikemas dalam program Bimas dan Inmas.

Keberhasilan program ini mulai dirasakan sejak awal 1970-an berupa peningkatan hasil produksi padi yang berimbas pada pembangunan desa-desa. Namun, keberhasilannya itu diikuti dengan kegagalan yang dirasakan hingga sekarang.

Sebagaimana dijelaskan oleh Frans Husken (1998), ketimpangan penguasaan lahan dan naiknya harga bibit, pupuk, obat, dan fasilitas kredit pertanian akhirnya hanya menguntungkan petani kaya yang mampu. Namun, telah merugikan petani kecil yang merupakan mayoritas.

Sukses program modernisasi pertanian secara nasional telah diikuti oleh proses diferensiasi sosial yang luas di daerah-daerah perdesaan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila produksi beras nasional mengalami kecukupan, tetapi banyak penduduk miskin di daerah perdesaan kekurangan pangan, bahkan menderita gizi buruk dan busung lapar. Hal ini karena mereka terjerat harga-harga dan fasilitas kredit pertanian yang diberikan oleh pemerintah.

Perluasan lahan

Ide mengenai perluasan lahan pertanian sesungguhnya telah dimulai sejak Presiden Soekarno. Dalam pidatonya, beliau pernah menyarankan agar dilakukan program intensifikasi pertanian di lahan yang tidak produktif, seperti lahan kering dan lahan gambut termasuk yang ada di Kalimantan. Ide brilian ini mengombinasikan program modernisasi pertanian (nonliberalisasi) dengan tuntutan reformasi agraria.

Ide serupa tampaknya pernah diwujudkan oleh Presiden Soeharto melalui pembukaan lahan gambut sejuta hektare walaupun akhirnya gagal. Meski demikian, terlepas dari kegagalannya itu perlu dicatat bahwa ada political will untuk melakukan perluasan lahan pertanian.

Hal ini penting mengingat rata-rata penguasaan lahan pertanian hanya 0,3 hektare, sementara distribusi pemanfaatan lahan antara sektor pertanian, kehutanan dan perkebunan dirasakan kurang proporsional dalam konteks ketahanan pangan sekarang.

Persoalannya adalah apakah pemerintah sekarang mempunyai political will yang lebih besar dan berani melakukan terobosan baru melalui kombinasi antara jalan restrukturisasi pemanfaatan lahan dengan revitalisasi pertanian nonliberal yang lebih mengutamakan kearifan lokal? Jika ya, mungkin kita masih bisa berharap tercapainya swasembada pangan.

Namun, jika hanya modernisasi pertanian ala liberal yang menjadi tumpuan kebijakan dan strategi ketahanan pangan nasional sekarang, mungkin pemerintah bisa mengamankan stok atau produksi nasional tetapi jumlah penduduk miskin dari kelompok paling rentan di daerah-daerah perdesaan akan meningkat. Tentu akan pula diwarnai dengan berita kekurangan pangan serta kejadian gizi buruk dan busung lapar

http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VlEGV1FcAlsG

Lampiran 4 Langkah-langkah penentuan banyak kalimat yang terambil Didefinisikan:

N adalah banyak kalimat dalam suatu paragraf.

m adalah banyak kalimat yang diambil dari N kalimat dalam suatu paragraf. # Menentukan m  IF N genap {m = N/2} ELSE {m =(N+1)/2} ENDIF END

Lampiran 5 Langkah-langkah pengambilan kalimat tertentu Didefinisikan:

N adalah banyak kalimat dalam suatu paragraf.

m adalah banyak kalimat yang diambil dari N kalimat dalam suatu paragraf. Ki adalah kalimat ke – i.

KBKi adalah jumlah kata benda yang ada dalam kalimat dengan

i adalah urutan kalimat dalam suatu paragraf (i = 1,…,N). Xj adalah kalimat yang terambil yang terambil dengan

j adalah urutan kalimat yang terambil (j=1,2,…,m).

IF N genap {m = N/2} ELSE {m = (N+1)/2}  FOR i = 1… N AND j = 1…m DO {  IF N = 1

{ Ambil kalimat tersebut (X1=K1) }

IF N = 2

{ IF jumlah kata benda (KBKi) kedua kalimat berbeda

{ ambil kalimat yang memiliki jumlah kata benda minimum (min(KBKi ≠ 0) X1 = Ki)} ELSE

{ ambilkalimat pertama (X1 = K1)}}

IF N = 3

{ IF jumlah kata benda (KBKi) ketiga kalimat berbeda

{ambil sebuah kalimat yang memiliki jumlah kata benda minimum (min(KBKi ≠ 0) X1 =

Ki) AND sebuah kalimat yang memiliki jumlah kata benda maksimum (max(KBKi) X2 =

Ki) }

ELSE IF dua kalimat dengan jumlah kata benda (KBKi) minimum yang sama

{ ambil sebuahkalimat dengan jumlah kata benda minimum yang memiliki urutan terdepan dalam paragraf (min(KBKi ≠ 0) X1 = Ki) AND sebuah kalimat yang memiliki jumlah kata

benda maksimum (max(KBKi) X2 = Ki)) } ELSE

{ambil kalimat pertama (X1 = K1) dan kalimat terakhir (X2 = K3)}}

IF N = 4

{ IF jumlah kata benda (KBKi) keempat kalimat berbeda

{ ambil sebuah kalimat yang memiliki jumlah kata benda minimum(min(KBKi ≠ 0) X1 =

Ki) AND sebuah kalimat yang memiliki jumlah kata benda maksimum (max(KBKi) X2 =

Ki)) }

ELSE IF dua atau tiga kalimat dengan jumlah kata benda (KBKi) minimum yang sama

{ ambil sebuah kalimat dengan jumlah kata benda minimum yang memiliki urutan terdepan (min(KBKi ≠ 0) X1 = Ki) AND sebuah kalimat yang memiliki jumlah kata benda

maksimum (max(KBKi) X2 = Ki))} ELSE

{ambil kalimat pertama (X1 = K1) dan kalimat terakhir (X2 = K4)}}

ENDIF

IF N = 5

{ IF jumlah kata benda (KBKi) kelima kalimat berbeda

{ambil sebuah kalimat yang memiliki jumlah kata benda minimum (min(KBKi ≠ 0) X1 =

Ki) AND dua buah kalimat yang memiliki jumlah kata benda maksimum yang diurutkan

(max(KBKi) X2 , X3 = Ki )}

ELSE IF terdapat dua atau empat kalimat dengan jumlah kata benda (KBKi) minimum yang

Dokumen terkait