• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENUTUP

B. Saran

Berdasarkan hasil peneltian yang telah dilakukan peneliti, berikut saran yang diberikan peneliti atas pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance yang sekiranya perlu bagi instansi terkait. Adapun saran sebagai berikut:

1. Lebih banyak melakukan sosialisasi, pendidikan dan pelatihan terkait dengan penerapan prinsip GCG dengan kemasan yang kreatif agar tidak monoton sehingga setiap insan PGN dapat langsung memahami prinsip tersebut. Selain itu, mungkin juga perlu adanya pajangan dinding mengenai prinsip dan manfaat GCG sebagai pengingat bagi pegawai dan bahan bacaan oenting bagi tamu.

2. Sosialisasi mengenai kejelasan struktur organisasi perlu menjadi perhatian khusus bagi perusahaan karena dengan adanya transformasi yang baru berlaku membuat pegawai perlu menyesuaikan kembali dengan perubahan tersebut. Selain itu, peran Satuan Pengawas Internal sebenarnya juga dibutuhkan untuk tiap masing-masing wilayah khususnya di distribusi wilayah III ini, untuk tetap mengawasi kinerja pegawai.

Secara umum teori adalah konsep abstrak yang nantinya akan mengindikasikan adanya hubungan dari konsep-konsep yang ada untuk memahami suatu fenomena yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual utnuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan tindakan selanjutnya. Dalam Sofian Effendi (2012:35) Kerlinger mendefiniskan teori adalah serangkaian konsep, konstruk, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara mengonstruksi hubungan antara konsep dan proposisi dengan menggunakan asumsi dan logika tertentu.

Menurut Arikunto (1996:92) Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat dimana peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan tentang variabel pokok, sub variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan–batasan tentang teori–teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan.

Sebagai landasar berpikir dalam menyelesaikan dan memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu memberikan referensi dalam penelitian. Adapaun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

8

A. Kebijakan Publik

Secara etimologi, kebijakan publik terdiri atas dua kata, yaitu kebijakan dan publik. Dari kedua kata yang saling berkaitan tersebut, H. Hugh Heglo dalam Said Zainal (2002:21) menyebutkan kebijakan sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan, rencana, program atau cara, keputusan, dan dampak yang kemudian diuraikan oleh Jones dalam kaitannya dengan beberapa isi dari kebijakan. Pertama, tujuan yakni tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai. Kedua, rencana atau proposals yang merupakan alat untuk mencapainya. Ketiga adalah program, yakni cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program. Dan kelima, adalah dampak yakni pengaruh yang timbul dari suatu program dalam masyarakat.

Sedangkan W. Wilson dalam buku Parsons (2008:15) memandang hal lain

dari makna modern gagasan “kebijakan” (policy), yaitu seperangkat aksi atau

rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna “administration”. Kata policy mengandung makna kebijakan sebagai rationale, sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Sementara itu, gagasan tentang publik berasal dari Bahasa Inggris yaitu public yang berarti (masyarakat) umum dan juga rakyat. Menurut Parsons (2008:3), publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama.

Jika digabungkan, rumusan kebijakan publik seperti yang dikemukakan R.S. Parker dalam Solichin Abdul (2008:20) adalah suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas tertentu, atau tindakan tertentu dari tindakan-tindakan pemerintah sebagai subyek telaah perbandingan dan telaah yang kritis, yang meliputi antara lain berbagai tindakan dan prinsip-prinsip yang berbeda dan menganalisis secara cermat kemungkinan hubungan sebab dan akibat dalam konteks suatu disiplin berfikir tertentu semisal ekonomis, sains, atau politik.

Dari beberapa pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan nasional yang nantinya akan berguna bagi masyarakat banyak. Dalam penyusunan suatu kebijakan tidak dikenal kata gagal, karena akan ada evaluasi yang terus menerus akan dilakukan untuk memperbaharui kebijakan tersebut.

Menurut Holwet dan M. Ramesh (dalam Subarsono, 2006:13) berpendapat bahwa proses kebijakan publik terdiri atas lima tahapan yaitu:

1. Penyusunan atau penetapan agenda kebijakan, yakni proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.

2. Formulasi kebijakan, yakni proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.

3. Pembuatan kebijakan, yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.

4. Implementasi kebijakan, yakni proses untuk melaksanakan kebijakan agar mencapai hasil.

10

5. Evaluasi kebijakan, yakni proses untuk memonitor dan menilai kinerja atau hasil suatu kebijakan.

B. Implementasi Kebijakan Publik

Pemerintah merumuskan kebijakan publik karena ada sesuatu hal yang

urgent dan berpengaruh dengan kepentingan publik. Dalam perumusan suatu

kebijakan (program) selalu diiringi dengan suatu implementasi. Hessel Nogi dalam S. Tangkilisan (2003:2) berpendapat bahwa jika sebuah kebijakan diambil secara tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi, jika proses implementasi tidak tepat. Bahkan sebuah kebijakan yang brilian sekalipun jika diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan para perancangnya. Dalam Solichin (1990:4), Thomas R. Dye mengatakan public

policy is whatever governments do, why they do it, and what different it makes.

Dari definisi tersebut, Dye tampak berfokus pada pendeskripsian dan penjelasan tentang sebab dan akibat terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah. Kebijakan publik yang sudah dibuat dengan tepat harus dapat diimplementasikan dengan baik bila ingin mencapai sasaran yang ditargetkan.

Dalam Solahuddin (2010:97), James Anderson menyatakan bahwa implementasi kebijakan/program merupakan bagian dari administrative process (proses administrasi). Proses administrasi ini digunakan untuk menunjukkan desain atau pelaksanaan sistem administrasi yang terjadi setiap saat, dengan konsekuensi terhadap pelaksanaan, isi dan dampak suatu kebijakan. Secara lebih luas, Solahuddin mendefinisikan implementasi sebagai proses administrasi hukum (statuta) yang didalamnya tercakup keterlibatan berbagai macam aktor, organisasi,

prosedur, dan teknik yang dilakukan agar kebijakan yang telah ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya tujuan kebijakan.

Setidaknya menurut Tangkilisan (2003:19) ada dua hal mengapa implementasi kebjakan publik pemerintah memiliki relevansi. Pertama, yaitu secara praktis akan memberikan masukan bagi pelaksanaan operasional program sehingga dapat dideteksi apakah program telah berjalan sesuai dengan yang telah dirancang serta mendeteksi kemungkinan tujuan kebijakan negatif yang ditimbulkan. Kedua untuk memberikan alternatif model pelaksanaan program yang lebih efektif.

Dari beberapa pemahaman tersebut maka terlihat dengan jelas bahwa implementasi merupakan suatu rangkaian aktifitas dalam rangka pelaksanaan suatu kebijakan yang telah dibuat oleh pemangku kebijakan dan ditujukan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Berbicara mengenai implementasi berarti melihat sejauh mana sebuah kebijakan yang telah direncanakan dapat dijalankan. Dapat dirumuskan juga bahwa fungsi dari implementasi sendiri adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan atau sasaran kebijakan publik diwujudkan sebagai

outcome atau hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

1. Model Implementasi Kebijakan

a. Model George C. Edward III (1980)

Dalam buku Subarsono (2005:90), model implementasi Edward III memiliki empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau

12

kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor komunikasi, sumber daya, struktur birokasi, dan disposisi.

1. Komunikasi

Persyaratan pertama ketika menjalankan suatu kebijakan yang efektif adalah mereka sebagai pelaku pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang mereka lakukan. Terutama dalam mengambil suatu keputusan kebijakan, harus disosialisasikan kepada personil-personil yang tepat sebelum keputusan tersebut diikuti. Secara umum Edward membahas tiga indikator penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni 1). Transmisisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula; 2). Kejelasan, yakni komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan harus jelas dan tidak membingungkan; 3). Konsistensi, yakni perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan.

2. Sumber Daya

Sumber daya adalah faktor yang paling penting dalam implementasi kebijakan agar efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya finansial. Tanpa adanya sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

3. Disposisi

Pengertian disposisi menurut Edward III dikatakan sebagai “kemauan, keinginan dan kecenderungan para perlaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan”. Edward III dalam Widodo (2010:104-105) mengatakan bahwa:

Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan

tersebut”

4. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya rincian tugas dan prosedur pelayanan yang telah disusun oleh organisasi. Rincian tugas dan prosedur pelayanan menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Struktur birokasi ini menurut Edward III dalam Widodo (2010:106) mencangkup aspek-aspek seperti struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organnisasi dan sebagainya.

14

Gambar. 2.1

Model Implementasi Kebijakan Publik George C. Edward III

b. Model Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)

Model kebijakan yang dikemukan oleh Van Meter dan Van Horn dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu: a) Standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh; b) Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi; c) Komunikasi internal organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai; d) Karakteristik pelaksana, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang menentukan berhasil tidaknya suatu program; e) Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan; f) Sikap pelaksana dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

Gambar 2.2 Communication Bureaucratic Structure Resource Disposition Implementation

Model Implementasi Kebijakan Publik Van Meter dan Van Horn

Dari gambar tersebut, variabel-variabel kebijaksanaan bersangkutan dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal. Sedangkan komunikasi antar organisasi terkait berserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan dalam lingkungan sistem politik dengan kelompok-kelompok sasaran. Van Meter dan Van Horn (dalam Samodra, 1994:19) menegaskan bahwa pada dasarnya kinerja dari implementasi kebijakan adalah penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran kebijakan tersebut.

C. Konsep Corporate Governance Ukuran dan Tujuan

Kebijakan

Sumber-sumber Kebijakan

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan

pelaksanaan

Ciri badan pelaksana Sikap para pelaksana P R E S T A S I K E R J A Lingkungan: Ekonomi, Sosial, Politik

16

Untuk memahami konsep prinsip-prinsip good corporate govevrnance kita perlu membahas terlebih dahulu konsep corporate governance. Konsep CG sendiri telah lama ada semenjak tahun 1840-an pada saat sistem koperasi di Inggris, Eropa dan Amerika Serikat mulai berkmembang. Istilah Corporate

Govevrnance ini diperkenalkan oleh Cadburry Committee pada tahun 1992 dalam

laporan yang dikenal sebagai Cadburry Report. Menurut Cadburry Report dalam Tjarger (2003:24) corporate governance adalah : “A set of rules that define the relationship between shareholder, managers, creditors, the government, employees and others internal and external stakeholders in respect to their rights

and resposibilities”.

Definisi CG juga dikemukakan oleh Center for European Policy Studies (CEPS). Menurut CEPS corporate governance merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (rights), proses serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholder, bukan terbatas pada stakeholder saja, secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan

stakeholder menerima informasi yang diperlukan seputar kegiatan aneka

perusahaan.

Sementara itu definisi Corporate Governance sesuai dengan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor : Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang penerapan praktik GCG pada BUMN adalah: “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan

usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika”

(DepKeu, 2006:10)

Definisi lain dari CG juga diungkapkan oleh Tricker (1994) dalam Chambers (2005), yaitu CG terkait dengan bagaimana cara pengelolaan perusahaan, yang berbeda dari cara mengelola bisnis yang ada dalam perusahaan tersebut. CG menunjukkan permasalahan yang dihadapi oleh board of directors, seperti halnya interaksi dengan manajemen puncak dan hubungannya dengan pemegang saham dan pihak-pihak lain yang terkait dengan perusahaan. Sedangkan Monks dan Minow (2003) mendefinisikan CG sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value

added) untuk semua stakeholder.

Dari beberapa konsep tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa corporate

governance adalah sebuah sistem yang dibentuk untuk mengelola perusahaan

mulai dari hak, proses, serta pengendalian demi tercapainya profesionalisme perusahaan agar dapat mempertahankan eksistensinya, terlebih untuk memperhatikan kepentingan stakeholdes lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat.

18

1. Definisi Good Corporate Governance

Agar terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang ada maka diperlukan suatu sistem yang mengikat agar keteraturan dapat terlaksana. Berdasarkan pembahasan Corporate

Governance diatas, terdapat konsep turunan dari definisi tersebut yakni konsep

GCG. GCG menjadi salah satu sistem yang dapat mengatur jalannya suatu organisasi. Menurut Tumbul dalam Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan (Vol. 10, No. 2, hlm. 130), GCG dapat didekati dengan berbagai disiplin ilmu antara lain ilmu makroekonomi, teori organisasi, teori informasi, akuntansi, keuangan, manajemen, psikologi, sosiologi dan politik. Dalam penerapannya GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dengan jasa dunia usaha (KNKG, 2006).

Istilah GCG pertama kali diperkenalkan oleh Cadburry Committee, sebuah lembaga bentukan Bank of England dan London Stock Exchange pada tahun 1992, yang kemudian menggunakan istilah sebagai Cadburry Report. Cadburry Committee of United Kingdom mendefinisikan GCG adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah dan karyawan serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

Syakhroza (2003:14) mendefenisikan GCG sebagai suatu mekanisme tata kelola organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumberdaya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis ataupun produktif dengan prinsip-prinsip terbuka, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independen, dan adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Tata kelola organisasi secara baik apakah dilihat dalam konteks mekanisme internal organisasi ataupun mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme internal lebih fokus kepada bagaimana pimpinan suatu organisasi mengatur jalannya organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip diatas sedangkan mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi organisasi dengan pihak eksternal berjalan secara harmoni tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi.

Sementara The Organization for Economic and Development (OECD) mendefinisikan GCG sebagai sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, pengurus (board), pemegang saham dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. GCG mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. GCG juga dapat memberikan rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan, dan pemegang saham harus memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan menggunakan sumber daya yang lebih efisien.

Mengacu pada beberapa pendapat mengenai defenisi GCG diatas, dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan sistem atau seperangkat peraturan yang mengendalikan dan mengkoordinasikan berbagai

20

partisipan dalam menjalankan bisnis perusahaan sehingga jalannya bisnis perusahaan tersebut dapat memfasilitasi perusahaan untuk: a) Menunjukkan akuntabilitas dan tanggung jawab; b) Menjamin adanya keseimbangan di antara berbagai kepentingan dari pemangku Kepentingan (memberikan perlakuan yang adil bagi seluruh pemangku kepentingan), termasuk menghargai hak dari pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya; c) Melakukan pengungkapan dan transparan dalam setiap informasi (seperti informasi tentang kinerja perusahaan, kepemilikan, maupun pemangku kepentingan), termasuk juga transparan dalam membuat suatu keputusan.

2. Tujuan dan Manfaat Prinsip Good Corporate Governance

Berdasarkan berbagai definisi dan prinsip-prinsip GCG yang disampaikan diatas dapat diketahui ada lima hal yang menjadi tujuan utama Good Corporate

Governance (Tjager, 2003) yaitu:

1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;

2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders

nonpemegang saham;

3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham;

4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board

of Directors dan manajemen perusahaan, dan

5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan.

Sedangkan dalam Peraturan Menteri Negeri BUMN Nomor : Per-09/MBU/2012 Bab II Pasal 4 yang menjadi dasar kewajiban BUMN untuk menerapkan GCG secara konsisten dan berkelanjutan, dijabarkan tujuan penerapan prinsip-prinsip GCG pada BUMN sebagai berikut:

1. Untuk mengoptimalkan nilai BUMN agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional, sehingga mampu mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan untuk mencapai maksud dan tujuan BUMN;

2. Untuk mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, efisien, dan efektif, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Organ Persero/Organ Perum;

3. Untuk mendorong agar Organ Persero/Organ Perum dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial BUMN terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan di ser BUMN;

4. Untuk meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional; 5. Untuk meningkatkan iklim yang kondusif bagi perkembagan investasi

nasional.

Banyak manfaat yang ditimbulkan dari penerapan prinsip GCG dalam suatu perushaan yang tidak hanya berdampak pada unit usahanya saja tetapi juga bagi

stakeholder. Seperti yang dikemukakan oleh Sutojo dan Aldrige (2008), GCG

22

perusahaan sesuai dengan tujuan yang diinginkan pemiliknya. Selain itu, Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec. Ak, guru besar Ilmu Akuntansi Manajemen Universitas Sumatera Utara, dalam penelitian Hermanto (2011) mengungkapkan berbagai keuntungan yang didapat dari penerapan prinsip GCG, seperti:

1. Dengan GCG proses pengambilan keputusan akan berlangsung secara lebih baik sehingga akan menghasilkan keputusan yang optimal, dapat meningkatkan efisiensi serta terciptanya budaya kerja yang lebih sehat. 2. GCG akan memungkinkan dihindarinya atau sekurang-kurangnya dapat

diminimalkan tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pihak direksi dalam pengelolaan perusahaan.

3. Nilai perusahaan di mata investor akan meningkat sebagai akibat dari meningkatnya kepercayaan mereka kepada pengelolaan perusahaan tempat mereka berinventasi.

4. Bagi para pemegang saham, dengan peningkatan kinerja sebagaimana disebut pada poin 1, dengan sendirinya juga akan menaikan nilai saham mereka dan juga nilai dividen yang akan mereka terima. Bagi negara juga akan menaikan jumlah pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan yang berarti akan terjadi peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak. 5. Karena dalam praktik GCG karyawan ditempatkan sebagai salah satu

stakeholder yang seharusnya dikelola dengan baik oleh perusahaan, maka

motivasi dan kepuasan kerja karyawan juga diperkirakan akan meningkat.

3. Konsep Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance

Pelaksanaan GCG dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional. GCG menjadi suatu pola hubungan, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (direksi, dewan Komisari, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder. Untuk mencapai hal tersebut, perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG telah diterapkan dengan baik. Menurut Tjager (2003:40-52) terdapat empat prinsip utama GCG berdasarkan pendapat OECD (Organization for Economic Corporation and Development) yaitu:

1. Kesetaraan (Fairness), yaitu jiwa untuk memonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan; 2. Keterbukaan informasi (Transparency), yaitu komitmen untuk

memastikan ketersediaan dan keterbukaan informasi kepada berbagai pihak berkepentingan dengan perusahaan mengenai keadaan dan pengelolaan keuangan secara akurat, jelas dan tepat waktu;

3. Dapat dipertanggungjawabkan (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan terhadap pelaksanaan secara efektif;

4. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian (kepatuhan) didalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku disini termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial,

24

perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat

Sedangkan secara khusus, Peraturan Menteri Negeri BUMN Nomor : Per-09/MBU/2012 Bab II Pasal 3 mengamanatkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) yang diterapkan pada BUMN meliputi:

1. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan;

2. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana

Dokumen terkait