BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.2 Saran
a. Perlu dilakukan evaluasi secara rutin terhadap perputaran obat dan ketersediaannya agar keperluan obat bagi para pelanggan selalu tersedia, tetapi barangnya tidak over stock.
b. Perlu adanya seorang Apoteker pendamping yang selalu ada di apotek agar pengawasan dan pelaksanaan pelayanan kefarmasian dapat berjalan lebih baik. c. Pelatihan pemberian informasi obat perlu diberikan pada karyawan apotek agar
DAFTAR ACUAN
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1978). Peraturan Menteri Kesehatan No.28/Menkes/PER/1978 tentang Penyimpanan Narkotika. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1981). Keputusan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 1981 Tentang Penyimpanan dan Pemusnahan Resep. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek . Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1993a). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 918/Menkes/Per/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi (PBF). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1993b). Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/Menkes/Per/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1993c). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/PER/IX/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1993d). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (1999). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 992/Menkes/PER/X/1993 Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan
RI No.1027 Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 889 tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Umar, Muhammad. (2007). Manajemen Apotek Praktis cetakan kedua. Jakarta: Nyohoka Brothers.
Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Jakarta : Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta : Presiden Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta : Presiden Republik Indonesia.
Lampiran 9. Struktur Organisasi Apotek Erra Medika
Apoteker Pengelola Apotek Dra .Alfina Rianti, M.Pharm., Apt.
Asisten Apoteker Ira sari Ja tining Pra tiwi
Asisten Apoteker Ya nuarita Mustika Asisten Apoteker Ba by Nova Juru Resep Supra ptini Pemilik Sa ra na Apotek dr. Erla ng Setia wa n, Sp. PA
Lampiran 15. Contoh Pelaporan Narkotika
Nomor : 01/VIII/AEM/14 Lampiran : 1 (satu) lembar Hal : Laporan Narkotika
Depok, 8 Agustus 2014 Kepada
Yth. Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok c.q. Seksi Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Depok
Ruko Depok Mas Blok A 7 - 9 Jl. Margonda Raya no. 42
Depok
Dengan hormat,
Dengan ini kami kirimkan Laporan Narkotika bulan Juli 2014, sebanyak 1 (satu) lembar.
Harap diterima dengan baik.
Hormat kami,
Apoteker Pengelola Apotek Apoklin Erra Medika,
Dra. Alfina Rianti, Apt., M Pharm.
Tembusan :
1. Balai Besar POM, Jl. Pasteur no. 25, Bandung 2. Arsip
Lampiran 17. Contoh Pelaporan Psikotropika
Nomor : 02/VIII/AEM/14 Lampiran : 1 (satu) lembar
Hal : Laporan Psikotropika
Depok, 8 Agustus 2014 Kepada
Yth. Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok c.q. Seksi Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Depok
Ruko Depok Mas Blok A 7 - 9 Jl. Margonda Raya no. 42
Depok
Dengan hormat,
Dengan ini kami kirimkan Laporan Psikotropika bulan Juli 2014, sebanyak 1 (satu) lembar.
Harap diterima dengan baik.
Hormat kami,
Apoteker Pengelola Apotek Apoklin Erra Medika,
Dra. Alfina Rianti, Apt., M Pharm.
Tembusan :
1. Balai Besar POM, Jl. Pasteur no. 25, Bandung 2. Arsip
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS KEJADIAN PRESCRIBING ERROR TERHADAP
RESEP DOKTER DI APOTEK ERRA MEDIKA
SELAMA BULAN JUNI 2014
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI APOTEK ERRA MEDIKA RUKO SUKMAJAYA
JALAN TOLE ISKANDAR NOMOR 4-5 DEPOK
PERIODE 10-29 AGUSTUS 2014
SITI DZATIR ROHMAH, S.Farm.
1306502850
ANGKATAN LXXIX
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS KEJADIAN PRESCRIBING ERROR TERHADAP
RESEP DOKTER DI APOTEK ERRA MEDIKA
SELAMA BULAN JUNI 2014
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI DI APOTEK ERRA MEDIKA RUKO SUKMAJAYA
JALAN TOLE ISKANDAR NOMOR 4-5 DEPOK
PERIODE 10-29 AGUSTUS 2014
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
SITI DZATIR ROHMAH, S.Farm.
1306502850
ANGKATAN LXXIX
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR LAMPIRAN ...v
BAB 1. PENDAHULUAN ...1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ...2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...3 2.1 Apotek ... 3 2.1.1 Pengertian Apotek ...3 2.1.2 Tugas dan Fungsi Apotek ...3 2.1.3 Pelayanan Apotek ...3 2.2 Apoteker ...5 2.3 Resep ...6 2.3.1 Pengertian Resep ...6 2.3.2 Pelayanan Resep ...8 2.4 Medication Error ...10 2.4.1 Kategorisasi Medication Error ...11 2.4.2 Jenis Medication Error ... 12
BAB 3. METODOLOGI PELAKSANAAN ... 16 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 16 3.2 Metode Pengumpulan Data ... 16 3.3 Cara Kerja... 16 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17 4.1 Benar dan Jelas Penulisan Resep ... 21 4.2 Benar Obat ... 24 4.3 Benar Dosis ... 24 4.4 Benar Waktu, Frekuensi dan Durasi ... 24 4.5 Benar Rute Pemberian ... 26 4.6 Duplikasi Terapi ... 26 4.7 Interaksi Obat ... 28 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 31 5.1 Kesimpulan... 31 5.2 Saran ... 32 DAFTAR ACUAN ... 33 LAMPIRAN ... 35
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Contoh dan Bagian Resep...7 Gambar 4.1 Perbandingan Resep Biasa, Narkotik dan Psikotropik Selama Bulan
Juni 2014 di Apotek Erra Medika ...18 Gambar 4.2 Perbandingan Resep Racikan dan Resep Non Racikan Selama Bulan
Juni 2014 di Apotek Erra Medika ...19 Gambar 4.3 Grafik Hasil Analisis 7 Benar Pada Resep di Apotek Erra Medika
Selama Bulan Juni 2014...20 Gambar 4.4 Grafik Persentase Kelengkapan Resep di Apotek Erra Medika Selama
Bulan Juni 2014...22 Gambar 4.5 Diagram Hasil Analisis Benar Waktu, Durasi dan Frekuensi
Penggunaan Obat Pada Resep di Apotek Erra Medika Selama Bulan Juni 2014 ...25 Gambar 4.6 Grafik Prescribing Error Kejadian Duplikasi Pengobatan Pada Resep
di Apotek Erra Medika Selama Bulan Juni 2014 ...27 Gambar 4.7 Perbandingan Persentase Resep dengan Interaksi Obat dan Resep Tanpa
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Data hasil Analisis 7 Benar Pada Resep di Apotek Erra Medika Selama Bulan Juni 2014...20 Tabel 4.2 Data Hasil Analisis Benar Waktu, Durasi dan Frekuensi Penggunaan
Obat Pada Resep di Apotek Erra Medika Selama Bulan Juni 2014...25 Tabel 4.3 Interaksi Obat yang Paling Banyak Terjadi Pada Resep di Apotek Erra
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kelengkapan Resep Non Narkotik Psikotropik...35 Lampiran 2. Kelengkapan Resep Non Narkotik Psikotropik (Lanjutan)...36 Lampiran 3. Kelengkapan Resep Narkotik ...37 Lampiran 4. Kelengkapan Resep Psikotropik ...38 Lampiran 5. Evaluasi Prescribing Error Berdasarkan Adanya Duplikasi Terapi...39 Lampiran 6. Evaluasi Prescribing Error Berdasarkan Adanya Interaksi Obat ...40
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan obat-obatan saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Namun, penggunaan obat yang semakin berkembang ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kesalahan dalam pengobatan atau dikenal dengan istilah medication error. Medication error adalah semua kejadian yang dapat menyebabkan pengobatan tidak sesuai atau yang dapat mencelakakan pasien dimana prosedur pengobatan tersebut masih berada di bawah kontrol praktisi kesehatan (Fowler, 2009). Medication error dapat membahayakan kondisi pasien bahkan mengancam nyawa pasien sehingga peluang terjadinya hal ini harus dapat dicegah oleh tenaga kesehatan khususnya apoteker. Apoteker sebagai seorang tenaga ahli kefarmasian harus dapat menjamin keselamatan pasien di sarana praktik kefarmasian. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama dalam pelayanan kefarmasian karena konsep pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi berorientasi kepada pasien (patient oriented). Apoteker harus dapat memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan atau medication error dalam pelayanan kefarmasian sehingga apoteker harus melakukan pelayanan di apotek sesuai dengan standar yang berlaku untuk mencegah terjadinya medication error yang dapat merugikan pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2004). Medication error dapat terjadi dalam 4 fase yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing, dan fase administrasion oleh pasien (Cohen,1991). Prevalensi kejadian medication error cukup tinggi baik di rumah sakit, apotek maupun sarana praktik kefarmasian lainnya.
Medication error yang paling umum terjadi dalam praktik pelayanan kesehatan adalah pada fase prescribing atau dikenal dengan istilah prescribing error (Kuo dkk., 2008). Prescribing error merupakan salah satu bentuk medication errors yang dibuat oleh penulis resep saat menuliskan permintaan suatu obat untuk pasien kepada farmasis. Kesalahan ini meliputi ketidaktepatan pemilihan obat (berdasarkan indikasi, KI, interaksi obat, dan lain-lain), dosis, bentuk sediaan, rute pemakaian,
aturan pemakaian, resep yang tidak bisa dibaca. Kesalahan penulisan resep dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasien, diantaranya adalah kerugian waktu, biaya dan kematian.
Apotek sebagai tempat praktik pelayanan kefarmasian di mana salah satu jenis pelayanan yang dilakukan adalah pelayanan resep baik resep asli dari dokter maupun salinannya. Sebagai seorang apoteker, untuk mencegah terjadinya medication error pada tahap prescribing, apoteker harus melakukan skrinning terhadap resep yang diterima. Berdasarkan hal itu, pada Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Erra Medika bulan 10-29 Agustus 2014 ini penulis menyusun tugas khusus tentang analisis terjadinya prescribing error pada resep yang masuk ke Apotek Erra Medika selama bulan Juni 2014. Analisis prescribing error ini mencakup 7 (tujuh) benar yaitu benar dan jelas penulisan resep, benar obat, benar dosis, benar waktu dan frekuensi pemberian, benar rute pemberian, duplikasi pengobatan dan interaksi obat.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan tugas ini adalah untuk mengkaji dan membuat daftar kejadian prescribing error yang mencakup 7 (tujuh) benar yaitu benar dan jelas penulisan resep, benar obat, benar dosis, benar waktu dan frekuensi pemberian, benar rute pemberian, duplikasi pengobatan dan interaksi obat terhadap resep yang masuk ke Apotek Erra Medika bulan Juni 2014.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Apotek
2.1.1 Pengertian Apotek
Apotek berasal dari bahasa yunani, aphoteca yang secara harfiah berarti penyimpanan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, apotek merupakan tempat meramu dan menjual obat berdasarkan resep dokter serta memperdagangkan barang medis. Anief mengatakan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasiaan dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1027 tahun 2004 menyatakan bahwa Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 mendefinisikan pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Salah satu fasilitas pelayanan kefarmasian adalah Apotek.
2.1.2 Tugas dan Fungsi Apotek
Apotek memiliki tugas dan fungsi sebagai (Syamsuni, 2005) :
1. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. 2. Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.
3. Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam penyebaran obat-obatan yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
2.1.3 Pelayanan Apotek
Pelayanan kefarmasian di apotek, meliputi (Permenkes RI No. 922/Menkes/Per/X/1993) :
1. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek, sesuai dengan keahliaan profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apotek wajib menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan sahih.
3. Apotek tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat bermerek dagang. Namun resep dengan obat bermerek dagang atau obat paten boleh diganti dengan obat generik.
4. Apotek wajib memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak memenuhi syarat mengikuti ketentuan yang berlaku, dengan membuat berita acara. Pemusnahan ini dilakukan dengan cara dibakar atau dengan ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Badan POM.
5. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat yang lebih tepat. 6. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat
secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.
7. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau menambahkan tanda tangan di atas resep.
8. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.
9. Resep harus dirahasiakan dan disimpan serta disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun.
10. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan, atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. 11. Apoteker dibolehkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebagai
Daftar Obat Wajib Apotek, yang ditetapkan oleh Menkes RI.
Pelayanan yang dilakukan di apotek, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 tahun 2014, harus menerapkan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical
care) yaitu suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Untuk mewujudkan pelayanan kefarmasian, apoteker harus menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian dan pencatatan serta pelaporan, sedangkan pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian resep, dispensing, Pelayanan Info rmasi Obat (PIO), konseling, Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO) dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
2.2. Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker merupakan profesional kesehatan terakhir yang menemui pasien. Apoteker memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pasien mengerti maksud dari terapi obat dan cara penggunaannya yang tepat. Untuk mencapai tujuan ini, apoteker wajib mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk mengkomunikasikan informasi obat dan untuk memotivasi pasien supaya taat pada masa terapinya. Apoteker yang gagal mendiskusikan kontraindikasi dan reaksi merugikan obat tertentu, dapat dituntut secara hukum jika suatu reaksi yang signifikan terjadi (Kurniawan dan Chabib, 2010).
Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, analisis farmasi, dan tenaga menengah farmasi atau asisten apoteker (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009). Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian harus senantiasa memiliki kemampuan menyediakan dan memberi pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antarprofesi, menempatkan diri sebagai pimpinan multidisipliner, kemampuan mengelola sumber daya manusia secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009).
2.3 Resep
2.3.1 Pengertian Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyiapkan atau membuat, meracik dan menyerahkan obat kepada pasien. Resep juga merupakan perwujudan hubungan profesi antara dokter, apoteker, dan pasien (Joenoes, 2001). Menurut undang-undang yang diperbolehkan menulis resep adalah dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Bagi dokter umum dan dokter spesialis tidak ada pembatasan mengenai jenis obat yang boleh diberikan kepada penderitanya. Resep yang memerlukan penegasan segera, maka dokter dapat memberi tanda di bagian kanan atas resep dengan kata-kata: Cito (segera), Statim (penting), Urgen (sangat penting), P.I.M (periculum in mora) artinya berbahaya jika ditunda. Di apotek, bila obatnya sudah diserahkan kepada penderita menurut peraturan pemerintah, kertas resep tersebut harus disimpan dan diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan serta harus disimpan sekurang-kurangnya selama 3 tahun (Joenoes, 2001).
Resep harus ditulis dengan lengkap dan jelas agar tidak terjadi salah persepsi antara dokter dan apoteker dalam mengartikan sebuah resep. Resep terdiri dari bagian-bagian resep yaitu, inscriptio, invocatio, praescriptio/ordonatio, signatura dan subsciptio. Berikut adalah contoh dan bagian-bagian resep, (Syamsuni, 2006).
dr. supriyadi SIP. No. 228/K/84
Jl. Budi kemuliyaan No. 8A Telp 1234567 Jakarta Inscriptio Jakarta, 13 - 05 – 2006 invocatio
R/
Acetosal mg 500 Codein HCl mg 20 praescriptio C.T.M mg 4 S.L qs. m.f. pulv.dtd. No XV da in caps. s.t.d.d caps I signaturasubcriptio paraf/ tanda tangan dokter
Pro : Tn. Marzuki (dewasa) Jl. Merdeka 10 Jakarta
Gambar 2.1. Contoh dan Bagian Resep
Resep yang lengkap harus memuat aspek sebagai berikut (Syamsuni, 2006) : 1. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter.
2. Tanggal penulisan resep (inscriptio).
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio) 4. Nama setiap obat dan komposisinya (praescriptio/ordonatio). 5. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signatura).
6. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (subscriptio).
8. Tanda seru atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis maksimal.
Penelitian Cheung dkk (2009) menyebutkan bahwa ada enam tipe dari kesalahan pengobatan yang bisa terjadi pada serangkaian pelayanan farmakologi dan farmasetika bagi pasien yaitu, kesalahan pemberian informasi obat, kesalahan penulisan resep, kesalahan dalam penulisan salinan resep, kesalahan pemberian obat, kesalahan adnimistrasi, dan kesalahan peracikan obat. Ketidaklengkapan dan ketidakjelasan penulisan dalam bagian resep dapat menyebabkan terjadinya medication error.
2.3.2 Pelayanan Resep
Alur atau rantai pelayanan obat dimulai dari penulisan resep oleh dokter, penerimaan resep, skrining resep (persyaratan administrasi, kesesuaian farmasetik, pertimbangan klinis), status dan data pasien, etiket, penyiapan obat, pemanggilan pasien, penyerahan obat, informasi/konseling. Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MenKes/SK/IX/2004 menetapkan bahwa pelayanan yang ada di apotek meliputi salah satunya yaitu pelayanan resep. Pelayanan resep ini dimulai dengan skrining resep terlebih dahulu oleh Apoteker.
1. Skrining resep.
A. Persyaratan Administrasi.
Adapun persyaratan administrasi meliputi: a) Nama, SIP dan alamat dokter.
b) Tanggal penulisan resep.
c) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
d) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. e) Cara pemakaian yang jelas.
B. Kesesuaian Farmasetik.
Adapun Kesesuaian farmasetik adalah bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
C. Pertimbangan Klinis.
Adapun pertimbangan klinis yaitu adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep
dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
2. Penyiapan Obat. A. Peracikan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus di buat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
B. Etiket.
Etiket harus jelas dan dapat dibaca, untuk obat luar digunakan etiket berwarna biru dan untuk obat dalam digunakan etiket berwarna putih.
C. Kemasan Obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
3. Penyerahan Obat.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.
4. Informasi Obat.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas, serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
5. Konseling.
Apoteker bertanggung jawab atas kesembuhan pasien. Untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat atau pasien apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan obat. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
6. Monitoring Penggunaan Obat.
Setelah penyerahan kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya.
7. Promosi dan Edukasi.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri untuk penyakit ringan dengan