• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh

masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis

kata apotek. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang

terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna

untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko

kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan

mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan

apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat,

serangga. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari

pendingin.

Apotek harus memiliki : ruang tunggu yang nyaman bagi pasien,

materi informasi, ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi

dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien,

ruang racikan, tempat pencucian alat, perabotan apotek harus tertata rapi,

terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan

pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

c. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan lainnya.

Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya

dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan,

pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistem

FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out)

d. Administrasi.

Kegiatan administrasi di apotek meliputi: administrasi umum

(pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi

sesuai dengan ketentuan yang berlaku) dan administrasi pelayanan

(pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil

monitoring penggunaan obat)

2. Pelayanan

a. Pelayanan Resep

1). Skrining Resep. Apoteker melakukan skrining resep meliputi :

a). Persyaratan Administratif : nama, SIP dan alamat dokter, tanggal

penulisan resep, tanda tangan/paraf dokter penulis resep, nama,

alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien, cara pemakaian

b). Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,

inkompatibilitas, cara dan lama pemberian

c). Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,

kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada

keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter

penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif

seperlunya bila perlumenggunakan persetujuan setelah

pemberitahuan.

b. Penyiapan obat.

1). Peracikan. Harus dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dosis

yang diminta

2). Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

3). Kemasan Obat. Obat harus dikemas rapi dan dalam kemasan yang cocok

4). Penyerahan Obat.

Obat harus diperiksa sebelum diserahkan. Penyerahan obat dilakukan

oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada

pasien.

5). Informasi Obat.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah

dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat

pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara

penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan

6). Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,

pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat

memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari

bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk

penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma

dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling

secara berkelanjutan.

7). Monitoring Penggunaan Obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan

pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti

kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

3. Promosi dan Edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan

edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk

penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus

berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu

diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet /brosur, poster,

penyuluhan, dan lain lainnya.

4. Pelayanan Residensial (Home Care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan

dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini

apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

E. Pelayanan Informasi Obat

Pelayanan informasi obat yang baik didukung dengan mengaplikasikan

sistem informasi obat yang baik. Sistem informasi obat dan pengobatan adalah

kumpulan informasi obat maupun pengobatan yang dapat diandalkan

ketepatannya sehingga mudah diambil dan dimanfaatkan pada saat dibutuhkan

(Siregar dan Kumolasasi, 2005).

Informasi obat berfungsi sebagai penyegar pengetahuan sehingga

meningkatkan kemampuan pemberi informasi dalam mengambil keputusan

dalam memberikan informasi dan meningkatkan pengetahuan penerima informasi

tentang produk farmasi dengan tujuan untuk mengurangi penggunaan obat yang

tidak rasional (Siregar dan Kumolasasi, 2006).

Undang – Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 8 menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data

kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang

akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Pelayanan informasi obat merupakan pelayanan yang dilakukan apotek

untuk memberikan informasi yang akurat, rasional, tidak bias, dan terkini kepada

sesama tenaga kesehatan, maupun kepada masyarakat. Pelayanan informasi

obat sangat penting dalam upaya menunjang budaya pengelolaan dan

penggunaan obat secara rasional. Unit ini dituntut untuk dapat menjadi sumber

sumber daya yang bekerja di unit ini untuk menunjang pelayanan adalah:

menghimpun dan menyusun informasi obat yang berhubungan dengan perawatan

pasien yang up to date menggunakan sumber informasi obat yang akurat dan

terpercaya, memonitor dan mengevaluasi ceramah – ceramah tentang obat yang diselenggarakan oleh produsen, mengkaji manfaat informasi yang telah diberikan

dengan menghubungi kembali pihak penanya, memberikan pendidikan tambahan

kepada calon dokter spesialis, calon dokter, farmasis, dan perawat (Siregar dan

Amalia, 2004).

F. Sistematika Pemberian Informasi Obat

Sistematika pemberian informasi obat adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan permintaan informasi obat : mencatat data permintaan informasi,

mengkategorikan permasalahan, berdasarkan aspek farmasetik (identifikasi

obat, perhitungan farmasi, stabilitas dan toksisitas obat), ketersediaan obat,

harga obat, efek samping obat, dosis obat, interaksi obat, farmakokinetik,

farmakodinamik, aspek farmakoterapi, keracunan, perundang – undangan 2. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan: menanyakan lebih

dalam tentang karakteristik pasien, dan menanyakan apakah sudah diusahakan

mencari informasi sebelumnya

3. Penelusuran sumber data: melakukan penelusuran literatur jika diperlukan ,

dimulai dari tujukan umum, disusul dengan rujukan sekunder, bila perlu

diteruskan dengan rujukan primer, dan memberikan informasi secara sistematis

4. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan: menjawab pertanyaan pasien

kembali pada rujukan asal, dan tidak diperbolehkan memasukkan pendapan

pribadi

5. Pemantauan dan tindak lanjut: menanyakan kembali kepada penanya manfaat

informasi yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis. Hal – hal yang harus ditanya kembali: apakah jawaban sudah memenuhi keinganan penanya, apakah

jawaban sudah memberikan dampak positif kepada penanya, apakah masih

diperlukan informasi tambahan, dll (Depkes RI, 2006).

G. Jenis Informasi Obat

Salah satu tujuan pokok dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027

tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotekmengharuskan agar

para pengelola apotek dapat mengelola informasi tentang obat dan perbekalan

farmasi lainnya dengan baik. Informasi obat yang diserahkan oleh tenaga

penyerah obat (drug dispenser) kepada konsumen disebut berkualitas apabila

informasi yang diberikan mencakup keterangan mengenai obat yang mencakup

komponen informasi utama tentang obat.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004,

informasi yang diberikan sekurang – kurangnya meliputi : cara pemakaian dan penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan

minuman yang harus dihindari selama terapi.

Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922 tahun

1993, pelayanan informasi meliputi pengamatan dan pelaporan informasi

mengenai : khasiat, keamanan, bahaya atau mutu obat, dan perbekalan farmasi

H. Sumber Informasi

Banyaknya sumber informasi yang tersedia saat ini pada dasarnya sangat

membantu dalam menjawab pertanyaan yang diajukan pasien. Tetapi farmasis

harus bijak dan cermat dalam memilih dan menggunakan sumber informasi yang

ada. Sumber informasi yang digunakan harus akurat, terpercaya, dan terkini.

Berdasarkan penciptanya, terdapat tiga jenis sumber informasi yaitu :

1. Sumber primer (primer sources)

Sumber primer merupakan informasi yang berasal dari penemuan baru

atau ilmu pengetahuan baru. Sumber primer disebut juga informasi yang berasal

dari asalnya, yang dihasilkan penulis atau peneliti. Sumber primer, ada yang

diterbitkan dan ada yang tidak diterbitkan. Contoh sumber primer yang diterbitkan

adalah : laporan penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi (original research) .

Contoh sumber primer yang tidak diterbitkan adalah : berkas pribadi, berkas

lembaga, buku harian, dan memo (Siregar dan Amalia, 2004).

2. Sumber sekunder (secondary sources)

Sumber sekunder merupakan penilaian, ringkasan, atau kritikan terhadap

suatu karya atau penelitian seseorang. Sumber sekunder juga merupakan

informasi tentang sumber primer yang disusun secara sistematis supaya mudah

diakses. Contoh sumber sekunder adalah : abstract dari primary sources (medline,

pubmed) (Siregar dan Amalia, 2004).

Sumber tersier memuat informasi berupa saringan, rangkuman atau

kumpulan dari sumber primer dan sekunder. Contoh sumber tersier adalah :

textbook, review (Siregar dan Amalia,2004).

I. Konsumen

Kotler (2000) dalam bukunya berjudul Marketing Management

mengemukakan bahwa istilah konsumen berasal dari bahasa Inggris, yaitu

consumer atau bahasa belanda yaitu, consument. Secara harafiah arti kata

consumer adalah lawan dari produsen, setiap orang yang menggunakan barang atau jasa untuk tujuan tertentu. Batasan – batasan tentang konsumen menurut Nasution adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia di

dalam masyarakat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi,

keluarga, atau rumah tangganya, dan tidak untuk kepentingan komersial.

Menurut pasal 1 ayat 2 Undang – Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

kain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Hak konsumen

menurut UUPK pasal 4 ayat 1,2, dan 3, meliputi: hak atas kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa, hak untuk

memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut

sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, dan hak atas

informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan

J. Keterangan Empiris

Penggunaan obat yang tepat, aman, dan efektif selain ditentukan oleh

kualitas obat itu sendiri, juga dipengaruhi oleh informasi yang diberikan pada saat

penyerahan obat. Informasi obat diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan

konsumen dalam menggunakan obat. Kepmenkes RI No.1027 tahun 2004 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dikeluarkan pemerintah untuk

menjamin pelayanan kefarmasian dalam hal ini pelayanan informasi obat yang

diberikan apoteker kepada konsumen di apotek.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai

pelayananan informasi obat yang disampaikan oleh apoteker kepada konsumen di

Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman tahun 2014 dengan mengacu pada Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI No.1027 tahun

22

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional. Rancangan

penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian

observasional tidak dilakukan pemberian perlakuan atau manipulasi terhadap

subyek uji, subyek uji diobservasi menurut keadaan apa adanya (in nature)

(Praktiknya, 2001).

Dalam penelitian non-eksperimental deskriptif, penelitian diarahkan

untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan di dalam suatu

komunitas atau masyarakat. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering disebut

penelitian penjelajahan (exploratory study) (Notoatmodjo, 2005).

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah informasi - informasi yang

disampaikan apoteker di apotek di Desa Catur Tunggal kepada konsumen tentang

obat

2. Definisi operasional

a. Informasi yang disampaikan apoteker mengacu pada Kepmenkes RI No.

b. Informasi yang harus disampaikan berupa cara penyimpanan, cara pemakaian,

jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus

dihindari selama terapi

c. Informasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah informasi obat resep

d. Apoteker yang dimaksud pada penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek

e. Konsumen adalah orang yang membeli obat resep dan non resep di suatu apotek

f. Pengkategorian tabel berdasarkan izin dari apotek yang bersedia diobservasi

C. Bahan atau Materi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh apoteker pengelola apotek di

Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Menurut Data Dinas

Kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2010 di Desa Catur Tunggal terdapat 27

apotek, tetapi pada saat analisis situasi hanya ditemukan 24 apotek. Jadi, populasi

apotek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 apotek. Tabel mengenai

populasi Apotek di Desa Catur Tunggal Tahun 2014 dapat dilihat pada lampiran

2.

Menurut Sevilla, dkk (1993), sampel adalah bagian dari populasi yang

menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976) untuk

penelitian yang bersifat deskriptif, sampel yang diperlukan adalah 10% dari

populasi besar atau minimal 20% sampel untuk populasi yang sangat kecil. Tidak

ada batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan sampel yang besar

atau yang kecil. Jumlah sampel yang akan terkumpul nantinya juga bergantung

pada faktor – faktor lain seperti biaya, fasilitas, waktu yang tersedia, dan juga kebersediaan dijadikan sampel (Nasution, 2003).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menetapkan sampel sebesar

20% dari populasi yaitu sebanyak 4 apotek.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik puposive

sampling. Hakikat dari penggunaan teknik ini adalah pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu untuk mencapai tujuan dan maksud

tertentu sesuai yang diinginkan peneliti.

Subyek penelitian yang digunakan adalah Apoteker Pengelola Apotek di

apotek di Desa Catur Tunggal, Yogyakarta yang bersedia diwawancara dan

memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Subyek penelitian selanjutnya disebut

responden. Kriteria inklusi adalah Apoteker Pengelola Apotek pria maupun

wanita yang bekerja di apotek di Desa Catur Tunggal yang bersedia menjadi

responden dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan peneliti berdasarkan

daftar panduan wawancara. Kriteria Eksklusi adalah : Subyek yang tidak

menjawab salah satu atau beberapa pertanyaan yang diajukan peneliti berdasarkan

daftar panduan wawancara. Subyek yang digunakan pada penelitian adalah 4

orang.

D. Alat atau Instrumen Penelitian

Alat pengumpulan data berupa daftar panduan wawancara yang disusun

peneliti berdasarkan kemenkes. Daftar panduan wawancara berisi 30 pertanyaan,

yang terdiri atas 6 untuk mengetahui profil apotek, 4 pertanyaan untuk

mengetahui profil apoteker dan 20 pertanyaan mengenai profil apoteker dalam

memberikan pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang terdapat dalam daftar

yang dilakukan oleh 3 apoteker. Daftar panduan wawancara terlampir pada

lampiran 3.

E. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian

Empat apotek yang bersedia dijadikan tempat penelitian, yaitu :

1). Apotek A (Apotek ini tergolong dalam apotek kategori kecil dan apotek ini

bukan dimiliki oleh seorang APA)

2). Apotek B (Apotek ini tergolong dalam apotek kategori besar dan apotek ini

dimiliki oleh seorang APA)

3). Apotek C (Apotek ini tergolong dalam apotek kategori kecil dan apotek ini

bukan dimiliki oleh seorang APA)

4). Apotek D (Apotek ini tergolong dalam apotek kategori besar dan apotek ini

bukan dimiliki oleh seorang APA)

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari tahun 2014.

F. Tata Cara Penelitian 1. Tahap pra penelitian

Tahap ini merupakan tahap awal jalannya penelitian, meliputi :

a. Persiapan, Penentuan Lokasi penelitian, dan Pengajuan Izin

Persiapan yang dilakukan adalah studi pustaka mengenai penelitian yang

akan dilakukan sehingga diharapkan pelaksanaan penelitian dapat terarah dengan

digunakan untuk penelitian. Setelah itu dilakukan pengajuan izin permintaan data

jumlah dan demografi apotek kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dengan

mengajukan surat permohonan dari fakultas Farmasi USD. Selain itu, peneliti juga

mengajukan izin kepada Apoteker Pengelola Apotek di apotek di Kelurahan Catur

Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta agar bersedia dijadikan responden.

b. Analisis Situasi Lokasi Penelitian

Peneliti melakukan analisis situasi sesuai data yang diberikan oleh pihak

Dinas Kesehatan untuk mengetahui letak apotek secara pasti. Selain itu, analisis

situasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui jumlah kunjungan konsumen di

apotek setiap hari, jumlah tenaga kefarmasian yang bertugas di apotek, dan status

kepemilikan apotek.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan tahun 2010 tercatat jumlah

apotek di Desa Catur Tunggal adalah sebanyak 27 apotek. Hasil observasi

menunjukkan bahwa peneliti tidak menemukan 3 apotek yang alamatnya sesuai

dengan data dari Dinas Kesehatan dan terdapat 8 apotek yang tidak bersedia untuk

dilakukan observasi. Lalu, peneliti mengelompokkan apotek yang alamatnya

sesuai dengan Data Dinas Kesehatan ke dalam 2 kategori, yaitu apotek besar dan

apotek kecil. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan jumlah kunjungan

konsumen, di mana kisaran jumlah kunjungan per hari adalah antara 20 – 160 orang.

Kategori apotek besar atau kecil tidak bisa dinilai berdasarkan jumlah

di mana semakin banyak pengunjung yang membeli obat maka jumlah omset

yang dihasilkan akan semakin banyak.

Selanjutnya, peneliti mengambil nilai tengah dari kisaran tersebut untuk

menentukan pengkategorian apotek. Nilai tengah yang didapat adalah 90.

Berdasarkan nilai tengah tersebut, peneliti berasumsi bahwa apotek kategori besar

adalah apotek yang memiliki jumlah kunjungan per hari di atas 90 orang dan

apotek kategori kecil adalah apotek yang memiliki jumlah kunjungan per hari di

bawah 90 orang.

Berdasarkan 2 kategori besar tersebut, peneliti kemudian membagi

apotek ke dalam 4 kategori kecil. Pembagian kategori kecil tersebut dapat dilihat

pada gambar berikut :

Gambar 1. Pengkategorian Populasi Apotek di Desa Catur Tunggal yang Bersedia Memberikan Data Observasi

Dari 4 kategori di atas, peneliti memilih 1 apotek dari setiap kategori non

random untuk dijadikan tempat penelitian, apabila apotek yang dipilih tidak bersedia maka peneliti mengambil 1 apotek lagi dari kategori yang sama.

Pada penelitian ini, peneliti tidak mendapatkan izin dari 1 kategori yaitu

menggunakan 3 kategori apotek dan diantara 16 apotek yang bersedia diobservasi

hanya 4 apotek yang bersedia dijadikan tempat penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan apotek kategori besar dan

kecil karena peneliti bekerja sama dengan peneliti lain untuk menilai secara utuh

pelayanan kefarmasian yang dilakukan di apotek, baik dari sisi apoteker maupun

dari sisi konsumen. Peneliti menganalisis tentang pelayanan informasi obat yang

dilakukan oleh apoteker kepada konsumen, sedangkan peneliti lain menganalis

tentang kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan apotek. Pada saat peneliti

meminta izin untuk melakukan penelitian di apotek yang sama, dari 4 apotek yang

terpilih ada 2 apotek yang tidak mengizinkan untuk dijadikan tempat penelitian

secara bersamaan. Sehingga penelitian ini bukan merupakan satu kesatuan lagi

karena sampel apotek yang digunakan berbeda satu dengan yang lain.

c. Pembuatan Daftar Panduan Wawancara

Daftar panduan wawancara memuat pokok – pokok pertanyaan yang akan diajukan kepada responden terkait tujuan penelitian. Pokok – pokok pertanyaan memuat tentang pelayanan kefarmasian dalam hal informasi obat yang

diberikan oleh apoteker kepada konsumen yang mengacu pada Kepmenkes RI No.

1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Kriteria – kriteria tersebut antara lain cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka

waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus

dihindari selama proses terapi.

d. Pengujian Daftar Panduan Wawancara

1). Uji pemahaman bahasa

Fungsi uji pemahaman bahasa adalah untuk mengetahui sejauh mana

bahasa penyusun pertanyaan yang terdapat dalam daftar panduan wawancara

dapat dipahami oleh responden. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan

meminta beberapa teman untuk memahami cara peneliti membacakan daftar

pertanyaan yang sudah disusun.

2). Uji validitas isi

Daftar panduan wawancara perlu diuji validitasnya untuk mengetahui

kejelasan tujuan dan lingkup informasi yang hendak diungkap, yaitu sejauh

mana item – item pertanyaan yang ada dapat mencakup seluruh kawasan isi obyek yang hendak diukur. Jenis uji validitas yang digunakan adalah content

validity, instrumen yang dipakai telah mencakup semua hal yang perlu diukur

dan face validity, suatu instrumen nampak valid jika dibaca sepintas. Uji

validitas isi kuisoner dilakukan berdasarkan analisis rasional dengan

professional judgment oleh 3 apoteker.

2. Tahap pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan berupa metode wawancara

terstruktur. Metode wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilaksanakan

secara terencana menggunakan daftar panduan pertanyaan yang telah

dipersiapkan. Setiap hasil wawancara didengar dan dicermati dengan seksama, hal

– hal penting yang didapat pada saat wawancara dicatat oleh peneliti. Untuk mencegah terlewatnya informasi yang didapat pada saat wawancara, peneliti

kembali melakukan kroscek hasil wawancara dengan responden setelah selesai

melakukan wawancara. Untuk menjamin kebenaran mengenai informasi yang

diberikan responden pada saat wawancara, peneliti membuat surat pernyataan

kebenaran hasil wawancara untuk ditandatangani oleh responden.

3. Tahap pengolahan data

Pengolahan data meliputi: editing, coding, dan tabulating. Data yang

diperoleh selanjutnya dianalisis secara non statistik dengan membaca tabel – tabel, grafik atau angka yang tersedia lalu dilakukan penguraian. Gambar dan

tabel menggambarkan tingkat kehadiran responden, ketersediaan, dan

kelengkapan pelayanan informasi obat berdasarkan Kepmenkes RI No. 1027

tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

Dokumen terkait