i
EVALUASI PEMBERIAN INFORMASI OBAT DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK DI DESA CATUR TUNGGAL, DEPOK,
SLEMAN TAHUN 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Tirzayana Angelien Tarawatu NIM : 108114028
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Halaman Persembahan
Sebagai ungkapan rasa hormat dan baktiku, karya Sederhana ini
kupersembahkan untuk :
Tuhan Yesus Kristus, Sahabat Sejatiku
Orang tuaku Bp. L. Tarawatu Djaga & Ibu Betseba D. Mude Adik – Adikku Ina, Grenhard, George
Keluarga besar
Sahabat dan teman – temanku tercinta
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Evaluasi
Pemberian Informasi Obat Dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek Di Desa
Catur Tunggal, Depok, Sleman Tahun 2014. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bimbingan,
pengarahan, dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang telah berkenan membantu dalam
penyediaan data jumlah apotek untuk keperluan data populasi penelitian.
2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
3. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt dan Drs. Djaman G. Manik, Apt selaku
dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, semangat,
kritik, dan saran dalam penyusunan skripsi
4. Keempat responden yang telah menyediakan waktu dan tempat untuk dilakukan
wawancara. Tuhan Yesus memberkati kerja kalian
5. Kedua orang tua bapak L. Tarawatu Djaga dan ibu Betseba. D. Mude atas
doa, motivasi, dan kesabaran yang tiada habisnya.
6. Adik – Adik Ineke Wuda Tarawatu, Grenhard Djaga Mesa, dan George Lero
viii
selalu menanyakan kapan penulis selesai kuliah biar cepat kerja dan kasih
uang jajan.
7. Mama Ibu, mama tomi, dan semua keluarga besar yang selalu memberikan
semangat, doa, dan perhatian selama penyusunan skripsi.
8. Saudara - saudara di Yogya, Erzy, Shanty, Arto, Victor Lede, Anggy, Victor
Etan, Marlin, Elsy, Rizal, Mendi, Amry, Kak Risto, Ari, Kak Eka, Kak Edi,
terkhusus adikku Shintia Negu Mude yang membantu dalam penelitian.
Semangat buat kuliahnya semoga selesai tepat waktu. GBU all
9. Partner skripsiku Angelina Pangala, terima kasih buat suka duka yang telah
kita lewati bersama
10. Teman - teman Paduan Suara KBU GKI Gejayan (Penulis tidak bisa sebutkan
satu per satu, hehe) yang memberikan semangat dan doa
11. Teman – teman FKK A 2010 atas semua kebersamaan, bantuan, semangat.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi
ini untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 09 Juni 2014
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI ... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Permasalahan ... 3
2. Keaslian penelitian ... 3
3. Manfaat penelitian ... 4
x
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A. Apotek ... 6
1. Tugas dan fungsi apotek ... 6
2. Pelaksanaan apotek ... 6
B. Apoteker ... 7
C. Pharmaceutical Care ... 9
D. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek...` 11
E. Pelayanan Informasi Obat ... 15
F. Sistematika Pemberian Informasi Obat ... 16
G. Jenis Informasi Obat ... 17
H. Sumber Informasi ... 18
I. Konsumen ... 19
J. Keterangan Empiris ... 20
BAB III. METODE PENELITIAN ... 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 21
C. Bahan atau Materi Penelitian ... 22
D. Alat atau Instrumen Penelitian ... 23
E. Tempat dan Waktu Penelitian ... 24
F. Tata Cara Penelitian ... 24
1. Tahap pra penelitian ... 24
2. Tahap pengumpulan data ... 28
xi
4. Keterbatasan Penelitian... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
A. Karakteristik Apotek dan Profil Kehadiran Responden di Apotek ... 30
1. Jam buka apotek ... 31
2. Jam sibuk ... 31
3. Jam kehadiran dan lama waktu keberadaan responden di apotek... 32
4. Alasan responden tidak bisa hadir di apotek ... 33
5. Pengganti responden apabila berhalangan hadir ... 33
B. Karakteristik Demografi Responden ... 35
1. Umur ... 35
2. Jenis kelamin ... 36
3. Pendidikan terakhir ... 37
4. Lama masa kerja ... 38
5. Pekerjaan lain ... 39
6. Penghasilan per bulan ... 40
C. Profil Responden dalam Memberikan Pelayanan Informasi Obat ... 42
1. Jenis pelayanan yang diberikan Responden pada saat bertugas... 42
2. Keterlibatan apoteker dalam pelayanan obat resep dan obat non resep... 42
3. Komponen informasi yang diberikan kepada konsumen ... 46
4. Pentingnya informasi obat menurut responden ... 48
xii
6. Faktor – faktor yang mempengaruhi responden dalam memberikan
pelayanan informasi obat ... 50
7. Upaya pribadi responden dalam meningkatkan pelayanan informasi obat kepada konsumen ... 54
8. Hasil evaluasi komponen informasi obat yang disampaikan responden berdasarkan standar ... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
LAMPIRAN ... 67
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Karakteristik Apotek dan Profil Kehadiran Responden ... 30
Tabel II. Alasan Ketidakhadiran Responden di Apotek ... 33
Tabel III. Pengganti Responden Apabila Berhalangan ... 34
Tabel IV. Karakteristik Demografi Responden ... 35
Tabel V. Jenis Pelayanan yang Diberikan Responden pada saat Bertugas ... ... 42
Tabel VI. Komponen Informasi Obat Resep yang Disampaikan Responden Berdasarkan Jumlah Sampel ... 47
Tabel VII. Persentase Jumlah Komponen Informasi Obat Resep yang Disampaikan Responden per Apotek ... 47
Tabel VIII. Faktor – Faktor yang Mendukung Responden dalam Memberikan Pelayanan Informasi Obat ... 50
Tabel IX. Keuntungan yang Diperoleh Responden dalam Memberikan Pelayanan Informasi Obat ... 51
Tabel X. Faktor – Faktor yang Menghambat Responden dalam Memberikan Pelayanan Informasi Obat ... 51
Tabel XI. Cara Penyimpanan Obat ... 55
Tabel XII. Cara Pemakaian Obat ... 56
Tabel XIII. Jangka Waktu Pengobatan ... 58
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pengkategorian Populasi Apotek di Desa Catur Tunggal
yang Bersedia Memberikan Data Observasi ... 26
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Bappeda ... 69
Lampiran 2. Daftar Populasi Apotek di Desa Catur Tunggal,
Berdasarkan Dinas Kesehatan Sleman Tahun 2010 ... 70
Lampiran 3. Daftar Panduan Wawancara Penelitian ... 71
Lampiran 4. Daftar Cek Komponen Informasi Obat yang Disampaikan
Responden pada saat Bertugas ... 77
Lampiran 5. Hasil Penelitian mengenai Komponen Informasi Obat
Non Resep berdasarkan jumlah sampel... 78
Lampiran 6. Persentase Jumlah Komponen Informasi Obat Resep
Yang Disampaikan Reseponden per Apotek... 78
xvi
INTISARI
Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak memenuhi standar. Seluruh tenaga kefarmasian dalam melaksanakan tugas profesinya harus mengacu pada standar. Untuk mengetahui sejauh mana peran dan tanggungjawab apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian maka dilakukan evaluasi pemberian informasi obat yang diberikan oleh apoteker kepada konsumen di apotek di Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman tahun 2014.
Jenis penelitian observasional dengan rancangan deskriptif pendekatan kualitatif. Sampel diambil secara purposive sampling, dari 16 apotek yang didatangi, didapatkan 4 responden. Data berupa informasi yang diberikan responden. Pengambilan data menggunakan metode wawancara terstruktur. Data disajikan secara deskriptif dibandingkan dengan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Berdasarkan hasil penelitian, komponen pelayanan informasi obat yang disampaikan adalah cara pemakaian (100%), cara penyimpanan, efek samping, khasiat (75%), jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (50%), jumlah obat, kontraindikasi (25%), dan tidak terdapat responden yang menyampaikan aktivitas yang harus dihindari selama terapi. Faktor pendukung terbesar adalah rasa tanggung jawab terhadap sumpah profesi, faktor penghambat terbesar adalah kurang update-nya pengetahuan yang dimiliki responden, background konsumen, konsumen terburu – buru dan umur konsumen. Tidak terdapat responden yang memberikan informasi obat secara lengkap sesuai dengan ketentuan.
xvii
ABSTRACT
Indonesian standard of pharmaceutical services that issued 2004 aims to protect the public from unprofessional service. The entire task force in the profession of pharmacy must comply with the standards. Evaluation of the provision of drug information provided by pharmacist to consumers at pharmacies in Catur Tunggal Village, Depok, Sleman, 2014, aims to determine the extent to which the roles and responsibilities of pharmacists in conducting pharmaceutical service.
Type of the study was observational descriptive using the qualitative approach. Samples were taken by purposive sampling, from 16 pharmacies were visited, obtained 4 respondents. Data is the information provided by respondents. Retrieval of data using a structured interview method. Data are presented descriptively compared to Standar Pharmaceutical Service in Pharmacy.
Based on the results of the study, the drug information service component delivered is how to use (100%), how to store, side effects, efficacy (75%), duration of treatment, food and beverages that should be avoided during therapy (50%), number of medications, contraindications (25%), and there are no respondents who deliver activities that should be avoided during therapy. Biggest supporting factor is a sense of responsibility to the profession of vows, the biggest obstacle is respondents have less knowledge, the background of consumers, consumers are very hasty, and the age of the consumer. There were no respondents who provided complete information in accordance with the provisions.
1
BAB I PENGANTAR
A.Latar Belakang
Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian
dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya. Penanggungjawab
apotek adalah apoteker. Pelayanan kefarmasian yang mengacu pada
pharmaceutical care yang bertujuan untuk mewujudkan peran profesi farmasi di
apotek masyarakat pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien.
Sebagai upaya untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada
masyarakat maka dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Apoteker berkewajiban menjamin konsumen yang berkunjung di apotek untuk
mengerti, dan mematuhi cara menggunakan obat sehingga diharapkan
penggunaan obat secara rasional dapat ditingkatkan (Kepmenkes No. 1027, 2004).
Direktorat Jenderal Bina Farmasi Depkes RI (2006) tentang Pedoman
Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana Kesehatan menyatakan bahwa
keberhasilan terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat yang
tepat, tetapi juga oleh kepatuhan (compliance) konsumen untuk mengikuti terapi
yang ditentukan. Kepatuhan terapi antara lain ditentukan oleh pelayanan informasi
obat yang diberikan.
Selain berdasarkan pernyataan Direktorat Jenderal Bina Farmasi Depkes
terapi, alasan lain yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian mengenai
evaluasi pemberian informasi obat adalah karena informasi obat merupakan hal
yang mudah ditemui dan dapat dilakukan dimana saja, dan informasi obat penting
untuk mencegah adanya penyalahgunaan dan penggunasalahan obat oleh
konsumen (masyarakat) mengingat begitu banyak obat baru yang beredar
sekarang ini (Hendra, 2013).
Apoteker sebenarnya menyadari kewajiban untuk memberikan informasi
mengenai penggunaan obat secara rasional kepada konsumen, namun mereka
jarang melakukan kewajiban tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Sihombing
tahun 2007 tentang Gambaran Pelayanan Informasi Obat oleh Apoteker kepada
Pengunjung di 25 Apotek di Kota Yogyakarta diketahui bahwa 96% apoteker
terlibat dalam pelayanan resep, 88% apoteker tidak terlibat secara aktif saat
penyerahan obat dan digantikan oleh asisten apoteker, 56% apoteker tidak
memberikan informasi obat dengan 16% apoteker beralasan bahwa pembeli
dianggap sudah tahu dari kemasan atau brosur. Padahal, menurut WHO tahun
2004, apoteker sebagai pekerja kesehatan harus mampu memberikan informasi
tambahan untuk kembali menegakkan instruksi yang tertera pada etiket obat
dengan tepat kepada pasien dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
oleh pasien.
Berdasarkan hasil penelitian dari Soedarsono (2006) tentang Pelaksanaan
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kabupaten Sleman belum
sepenuhnya melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek. Hasil
yang juga merupakan salah satu bagian dari pelayanan kefarmasian di apotek
belum memenuhi standar yang ditetapkan dalam KepMenkes No.1027 tahun
2004.
Hasil penelitian Soedarsono mendasari peneliti untuk memilih Kabupaten
Sleman dan berdasarkan data Dinas Kesehatan tahun 2010 Kabupaten Sleman
memiliki jumlah apotek paling tinggi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
sebanyak 171 apotek. Demikian juga dengan Desa Catur Tunggal, yang menurut
Data Dinas Kesehatan Tahun 2010 merupakan desa dengan jumlah apotek
terbanyak di Yogyakarta sebanyak 27 apotek.
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang ada
dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Jenis informasi apa sajakah yang diberikan apoteker dalam melakukan
pelayanan kefarmasian di apotek?
b. Apakah terdapat kesesuaian antara informasi yang diberikan dengan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1027 tahun 2004?
c. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi apoteker dalam memberikan
pelayanan kefarmasian dalam hal pemberian informasi obat?
2. Keaslian penelitian
Sejauh penelusuran pustaka yang telah dilakukan, penelitian mengenai
Evaluasi Pemberian Informasi Obat dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek di
Penelitian terkait ketersediaan pelayanan informasi obat sebelumnya
adalah: Gambaran Pelayanan Informasi Obat Oleh Apoteker Kepada Pengunjung
di-25 Apotek di Kota Yogyakarta Periode Juli – September 2004 (Sihombing,
2007), penelitian tersebut menitikberatkan pada informasi obat oleh apoteker
kepada masyarakat. Hasilnya 96% apoteker terlibat dalam pelayanan resep, 88%
apoteker tidak terlibat secara aktif saat penyerahan obat dan digantikan oleh
asisten apoteker, 56% apoteker tidak memberikan informasi obat dengan 16%
apoteker beralasan bahwa pembeli dianggap sudah tahu dari kemasan atau brosur.
Penelitian Purba (2012) tentang Evaluasi Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat
Resep Captopril Sebagai Anti Hipertensi di Apotek – Apotek Wilayah Kota
Yogyakarta, penelitian ini menitikberatkan pada pelayanan informasi obat
captopril. Penelitian lainnya berupa Evaluasi Ketersediaan Pelayanan Informasi
Obat Resep Glibenklamid sebagai Anti Diabetes Oral di Apotek – Apotek
Wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta (Butar - Butar, 2012), penelitian ini
menitikberatkan pada pelayanan informasi obat Glibenklamid. Hasil dari
penelitian Purba dan Butar – Butar adalah bahwa tidak apoteker yang
menyampaikan informasi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kepmenkes
RI No.1027 tahun 2004.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya dalam
beberapa hal, yaitu waktu penelitian, tempat penelitian, populasi penelitian, teknik
pengambilan sampel penelitian, metode pengumpulan data, dan teknik analisa
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengembangan bagi ilmu
pengetahuan khususnya di bidang farmasi tentang pelayanan informasi obat
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan agar apoteker dapat mengerti cakupan
informasi minimal yang harus diberikan kepada konsumen berdasarkan
Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004, untuk mendapatkan informasi tentang:
(1) apakah informasi yang diberikan apoteker sudah sesuai dengan standar
Kepmenkes atau belum, (2) faktor apa saja yang mempengaruhi apoteker
dalam memberikan pelayanan informasi obat.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran dan
tanggung jawab apoteker dalam melakukan pelayanan informasi obat terhadap
konsumen di apotek di Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman tahun 2014
Tunggal dengan mengacu pada standar pemberian informasi obat menurut
Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004
2. Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini berguna untuk :
a. Mengetahui profil dan karakteristik apotek dan apoteker di apotek di Desa
b. Mengidentifikasi jenis informasi obat yang diberikan apoteker kepada
konsumen pada saat konsumen membeli obat
c. Mengidentifikasi jenis informasi obat yang diberikan apoteker di apotek di
Desa Catur Tunggal dengan mengacu pada Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1027 tahun 2004?
d. Mengidentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi apoteker dalam
7
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Apotek
Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian menyebutkan bahwa apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian,
tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker.
1. Tugas dan fungsi apotek
Menurut Peraturan Pemerintah tugas dan fungsi apotek adalah sebagai
tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan,
sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian, untuk
memproduksi dan distribusi sediaan farmasi antara lain obat, bahan baku obat,
obat tradisional, dan kosmetika, dan sarana pembuatan dan pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamatan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
pelayanan obat atas resep dokter, dan pelayanan informasi obat (PP No. 51, 2009).
2. Pelaksanaan apotek
Apotek dilaksanakan oleh perusahaan milik negara yang ditunjuk
pemerintah, lembaga/instansi pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di
pusat dan di daerah, dan farmasis/apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan
telah memperoleh surat izin kerja dari Menteri Kesehatan (Permenkes RI No.922,
1993).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 922 tahun 1993 :
berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.
Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin
Apotek (SIA), Apoteker Pendamping (Aping) adalah apoteker yang bekerja
disamping APA dan atau menggantikannya pada jam – jam tertentu pada hari
buka apotek, Apoteker Pengganti adalah apoteker yang menggantikan APA
selama APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus
menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai APA di
apotek lain, dan Asisten Apoteker (AA) yang disebut juga tenaga teknis
kefarmasian adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang – undangan
yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker
(Permenkes No.922 tahun 1993).
Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA) adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat
melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian. Setiap
tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki
surat tanda registrasi. Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) adalah surat izin praktik
yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran
(Permenkes No.889,2011).
B. Apoteker
Apoteker menurut Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1027 tahun 2004
sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Kemenkes RI Nomor 1027,
2004).
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 pasal 108 pekerjaan kefarmasian di
bagi menjadi 2 fungsi yaitu : fungsi pelayan berupa pelayanan resep dokter dan
informasi obat dan fungsi manajer berupa penyusunan prosedur tetap, pengelolaan
obat, sumber daya manusia, peralatan, dan keuangan di apotek (UU RI Nomor 36,
2009).
Setiap apotek harus memiliki Apoteker Pengelola Apotek (APA). APA
dibantu oleh apoteker pendamping dan apoteker pengganti. Apoteker pendamping
bekerja di samping APA dan atau menggantikannya pada jam – jam tertentu pada
hari buka apotek sedangkan apabila APA dan Apoteker Pendamping karena hal –
hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA dapat menunjuk apoteker
pengganti (Kepmenkes RI Nomor 1332, 2002).
Apoteker sebagai tenaga profesional yang melakukan pelayanan
kefarmasian di apotek harus memiliki kompetensi, sebagai berikut : mampu
menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik artinya apoteker harus dapat
memberikan pelayanan yang mengacu pada standar pelayanan kefarmasian untuk
mengambil keputusan, mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan
berdasarkan pada efikasi, efektifitas, dan efisiensi terhadap penggunaan obat dan
alat kesehatan , mampu berkomunikasi dengan baik kepada pasien, sesama profesi
atau profesi lain secara verbal atau non verbal, menempatkan diri sebagai
tepat dan efektif, dapat mengkomunikasikannya dan mengelola hasil keputusan
tersebut, mempunyai kemampuan dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik,
anggaran) dan informasi secara efektif serta dapat juga dipimpin dan memimpin
orang lain dalam tim kesehatan, selalu belajar sepanjang karir baik pada jalur
formal maupun informal, sehingga ilmu dan keterampilan yang dipunyai selalu
baru (up to date), dan membantu memberi pendidikan dan peluang untuk
meningkatkan pengetahuan, artinya apoteker mempunyai tanggung jawab untuk
mendidik dan melatih sumber daya yang ada untuk meningkatkan keterampilan
dan pengalaman (Depkes, 2006).
C. Pharmaceutical Care
Pharmaceutical care adalah suatu praktek kefarmasian yang dilakukan
oleh apoteker yang berkaitan dengan pengobatan (medication related), pelayanan
(care) yang secara langsung diberikan (directly provided) kepada pasien,
pelayanan tersebut diberikan untuk mendapatkan outcome yang pasti (definite
outcome), outcome tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
(quality of life), dan apoteker sebagai penyedia layanan tersebut bertanggung
jawab (responsibility) secara personal terhadap outcome tersebut (Cipolle, Strand,
dan Morley, 2004).
Medication related artinya pharmaceutical care tidak hanya
menyediakan terapi obat (perbekalan farmasi) namun juga keputusan mengenai
penggunaan obat pada seorang pasien. Care artinya apoteker harus peduli dengan
kebiasaan pasien dalam menjaga kesehatan, penggunaan obat terutama yang
berhubungan dengan cara minum obat (Cipolle, Strand, dan Morley, 2004).
Komitmen dan tanggung jawab tersebut dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
apoteker memberikan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien sesuai
kondisi penyakit, artinya apoteker menjamin semua terapi yang diterima oleh
pasien adalah terapi yang sesuai, paling efektif, paling aman, dan praktis dan
apoteker membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan yang telah diberikan
kepada pasien secara berkesinambungan, artiya apoteker selalu siap untuk
mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah permasalahan mengenai terapi
yang diberikan yang akan menghambat pelaksanaan tanggung jawab pada poin
yang pertama (Cipolle, Strand, dan Morley, 2004).
Secara prinsip, pharmaceutical care terdiri dari beberapa tahap yang
harus dilaksanakan secara berurutan, yaitu : penyusunan informasi dasar atau
database pasien, evaluasi atau pengkajian (assessment), penyusunan Rencana
Pelayanan Kefarmasian (RPK), implementasi RPK, monitoring implementasi, dan
tindak lanjut (follow up).
Keseluruhan tahap pelayanan kefarmasian ini dilakukan dalam suatu
proses penyuluhan dan konseling kepada pasien mengenai penyakit yang
dideritanya. Program pharmaceutical care dapat menurunkan kejadian merugikan
pada penggunaan obat, terutama obat untuk pengobatan jangka panjang dan
meningkatkan kesadaran pasien akan efek yang merugikan dari obat (Cipolle,
D. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek 1. Pengelolaan sumber daya Manusia
a. Sumber Daya Manusia
Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola
oleh seorang apoteker yang profesional, memiliki kemampuan menyediakan
dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat,
mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan
dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif,
selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan
memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
b. Sarana dan Prasarana
Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh
masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis
kata apotek. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang
terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna
untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko
kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan
mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan
apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat,
serangga. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari
pendingin.
Apotek harus memiliki : ruang tunggu yang nyaman bagi pasien,
materi informasi, ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi
dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien,
ruang racikan, tempat pencucian alat, perabotan apotek harus tertata rapi,
terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan
pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.
c. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan lainnya.
Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan,
pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistem
FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out)
d. Administrasi.
Kegiatan administrasi di apotek meliputi: administrasi umum
(pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku) dan administrasi pelayanan
(pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil
monitoring penggunaan obat)
2. Pelayanan
a. Pelayanan Resep
1). Skrining Resep. Apoteker melakukan skrining resep meliputi :
a). Persyaratan Administratif : nama, SIP dan alamat dokter, tanggal
penulisan resep, tanda tangan/paraf dokter penulis resep, nama,
alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien, cara pemakaian
b). Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian
c). Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada
keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter
penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif
seperlunya bila perlumenggunakan persetujuan setelah
pemberitahuan.
b. Penyiapan obat.
1). Peracikan. Harus dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dosis
yang diminta
2). Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
3). Kemasan Obat. Obat harus dikemas rapi dan dalam kemasan yang cocok
4). Penyerahan Obat.
Obat harus diperiksa sebelum diserahkan. Penyerahan obat dilakukan
oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada
pasien.
5). Informasi Obat.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat
pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara
penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan
6). Konseling.
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,
pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari
bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk
penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma
dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling
secara berkelanjutan.
7). Monitoring Penggunaan Obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.
3. Promosi dan Edukasi.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan
edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk
penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu
diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet /brosur, poster,
penyuluhan, dan lain lainnya.
4. Pelayanan Residensial (Home Care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini
apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).
E. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat yang baik didukung dengan mengaplikasikan
sistem informasi obat yang baik. Sistem informasi obat dan pengobatan adalah
kumpulan informasi obat maupun pengobatan yang dapat diandalkan
ketepatannya sehingga mudah diambil dan dimanfaatkan pada saat dibutuhkan
(Siregar dan Kumolasasi, 2005).
Informasi obat berfungsi sebagai penyegar pengetahuan sehingga
meningkatkan kemampuan pemberi informasi dalam mengambil keputusan
dalam memberikan informasi dan meningkatkan pengetahuan penerima informasi
tentang produk farmasi dengan tujuan untuk mengurangi penggunaan obat yang
tidak rasional (Siregar dan Kumolasasi, 2006).
Undang – Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 8
menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang
akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Pelayanan informasi obat merupakan pelayanan yang dilakukan apotek
untuk memberikan informasi yang akurat, rasional, tidak bias, dan terkini kepada
sesama tenaga kesehatan, maupun kepada masyarakat. Pelayanan informasi
obat sangat penting dalam upaya menunjang budaya pengelolaan dan
penggunaan obat secara rasional. Unit ini dituntut untuk dapat menjadi sumber
sumber daya yang bekerja di unit ini untuk menunjang pelayanan adalah:
menghimpun dan menyusun informasi obat yang berhubungan dengan perawatan
pasien yang up to date menggunakan sumber informasi obat yang akurat dan
terpercaya, memonitor dan mengevaluasi ceramah – ceramah tentang obat yang
diselenggarakan oleh produsen, mengkaji manfaat informasi yang telah diberikan
dengan menghubungi kembali pihak penanya, memberikan pendidikan tambahan
kepada calon dokter spesialis, calon dokter, farmasis, dan perawat (Siregar dan
Amalia, 2004).
F. Sistematika Pemberian Informasi Obat
Sistematika pemberian informasi obat adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan permintaan informasi obat : mencatat data permintaan informasi,
mengkategorikan permasalahan, berdasarkan aspek farmasetik (identifikasi
obat, perhitungan farmasi, stabilitas dan toksisitas obat), ketersediaan obat,
harga obat, efek samping obat, dosis obat, interaksi obat, farmakokinetik,
farmakodinamik, aspek farmakoterapi, keracunan, perundang – undangan
2. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan: menanyakan lebih
dalam tentang karakteristik pasien, dan menanyakan apakah sudah diusahakan
mencari informasi sebelumnya
3. Penelusuran sumber data: melakukan penelusuran literatur jika diperlukan ,
dimulai dari tujukan umum, disusul dengan rujukan sekunder, bila perlu
diteruskan dengan rujukan primer, dan memberikan informasi secara sistematis
4. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan: menjawab pertanyaan pasien
kembali pada rujukan asal, dan tidak diperbolehkan memasukkan pendapan
pribadi
5. Pemantauan dan tindak lanjut: menanyakan kembali kepada penanya manfaat
informasi yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis. Hal – hal yang harus
ditanya kembali: apakah jawaban sudah memenuhi keinganan penanya, apakah
jawaban sudah memberikan dampak positif kepada penanya, apakah masih
diperlukan informasi tambahan, dll (Depkes RI, 2006).
G. Jenis Informasi Obat
Salah satu tujuan pokok dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027
tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotekmengharuskan agar
para pengelola apotek dapat mengelola informasi tentang obat dan perbekalan
farmasi lainnya dengan baik. Informasi obat yang diserahkan oleh tenaga
penyerah obat (drug dispenser) kepada konsumen disebut berkualitas apabila
informasi yang diberikan mencakup keterangan mengenai obat yang mencakup
komponen informasi utama tentang obat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027 tahun 2004,
informasi yang diberikan sekurang – kurangnya meliputi : cara pemakaian dan
penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan
minuman yang harus dihindari selama terapi.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922 tahun
1993, pelayanan informasi meliputi pengamatan dan pelaporan informasi
mengenai : khasiat, keamanan, bahaya atau mutu obat, dan perbekalan farmasi
H. Sumber Informasi
Banyaknya sumber informasi yang tersedia saat ini pada dasarnya sangat
membantu dalam menjawab pertanyaan yang diajukan pasien. Tetapi farmasis
harus bijak dan cermat dalam memilih dan menggunakan sumber informasi yang
ada. Sumber informasi yang digunakan harus akurat, terpercaya, dan terkini.
Berdasarkan penciptanya, terdapat tiga jenis sumber informasi yaitu :
1. Sumber primer (primer sources)
Sumber primer merupakan informasi yang berasal dari penemuan baru
atau ilmu pengetahuan baru. Sumber primer disebut juga informasi yang berasal
dari asalnya, yang dihasilkan penulis atau peneliti. Sumber primer, ada yang
diterbitkan dan ada yang tidak diterbitkan. Contoh sumber primer yang diterbitkan
adalah : laporan penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi (original research) .
Contoh sumber primer yang tidak diterbitkan adalah : berkas pribadi, berkas
lembaga, buku harian, dan memo (Siregar dan Amalia, 2004).
2. Sumber sekunder (secondary sources)
Sumber sekunder merupakan penilaian, ringkasan, atau kritikan terhadap
suatu karya atau penelitian seseorang. Sumber sekunder juga merupakan
informasi tentang sumber primer yang disusun secara sistematis supaya mudah
diakses. Contoh sumber sekunder adalah : abstract dari primary sources (medline,
pubmed) (Siregar dan Amalia, 2004).
Sumber tersier memuat informasi berupa saringan, rangkuman atau
kumpulan dari sumber primer dan sekunder. Contoh sumber tersier adalah :
textbook, review (Siregar dan Amalia,2004).
I. Konsumen
Kotler (2000) dalam bukunya berjudul Marketing Management
mengemukakan bahwa istilah konsumen berasal dari bahasa Inggris, yaitu
consumer atau bahasa belanda yaitu, consument. Secara harafiah arti kata
consumer adalah lawan dari produsen, setiap orang yang menggunakan barang
atau jasa untuk tujuan tertentu. Batasan – batasan tentang konsumen menurut
Nasution adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia di
dalam masyarakat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi,
keluarga, atau rumah tangganya, dan tidak untuk kepentingan komersial.
Menurut pasal 1 ayat 2 Undang – Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
kain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Hak konsumen
menurut UUPK pasal 4 ayat 1,2, dan 3, meliputi: hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa, hak untuk
memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, dan hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
J. Keterangan Empiris
Penggunaan obat yang tepat, aman, dan efektif selain ditentukan oleh
kualitas obat itu sendiri, juga dipengaruhi oleh informasi yang diberikan pada saat
penyerahan obat. Informasi obat diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan
konsumen dalam menggunakan obat. Kepmenkes RI No.1027 tahun 2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dikeluarkan pemerintah untuk
menjamin pelayanan kefarmasian dalam hal ini pelayanan informasi obat yang
diberikan apoteker kepada konsumen di apotek.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai
pelayananan informasi obat yang disampaikan oleh apoteker kepada konsumen di
Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman tahun 2014 dengan mengacu pada Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI No.1027 tahun
22
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional. Rancangan
penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian
observasional tidak dilakukan pemberian perlakuan atau manipulasi terhadap
subyek uji, subyek uji diobservasi menurut keadaan apa adanya (in nature)
(Praktiknya, 2001).
Dalam penelitian non-eksperimental deskriptif, penelitian diarahkan
untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan di dalam suatu
komunitas atau masyarakat. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering disebut
penelitian penjelajahan (exploratory study) (Notoatmodjo, 2005).
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah informasi - informasi yang
disampaikan apoteker di apotek di Desa Catur Tunggal kepada konsumen tentang
obat
2. Definisi operasional
a. Informasi yang disampaikan apoteker mengacu pada Kepmenkes RI No.
b. Informasi yang harus disampaikan berupa cara penyimpanan, cara pemakaian,
jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi
c. Informasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah informasi obat resep
d. Apoteker yang dimaksud pada penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek
e. Konsumen adalah orang yang membeli obat resep dan non resep di suatu apotek
f. Pengkategorian tabel berdasarkan izin dari apotek yang bersedia diobservasi
C. Bahan atau Materi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh apoteker pengelola apotek di
Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Menurut Data Dinas
Kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2010 di Desa Catur Tunggal terdapat 27
apotek, tetapi pada saat analisis situasi hanya ditemukan 24 apotek. Jadi, populasi
apotek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 apotek. Tabel mengenai
populasi Apotek di Desa Catur Tunggal Tahun 2014 dapat dilihat pada lampiran
2.
Menurut Sevilla, dkk (1993), sampel adalah bagian dari populasi yang
menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976) untuk
penelitian yang bersifat deskriptif, sampel yang diperlukan adalah 10% dari
populasi besar atau minimal 20% sampel untuk populasi yang sangat kecil. Tidak
ada batasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan sampel yang besar
atau yang kecil. Jumlah sampel yang akan terkumpul nantinya juga bergantung
pada faktor – faktor lain seperti biaya, fasilitas, waktu yang tersedia, dan juga
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menetapkan sampel sebesar
20% dari populasi yaitu sebanyak 4 apotek.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik puposive
sampling. Hakikat dari penggunaan teknik ini adalah pemilihan sekelompok
subyek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu untuk mencapai tujuan dan maksud
tertentu sesuai yang diinginkan peneliti.
Subyek penelitian yang digunakan adalah Apoteker Pengelola Apotek di
apotek di Desa Catur Tunggal, Yogyakarta yang bersedia diwawancara dan
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Subyek penelitian selanjutnya disebut
responden. Kriteria inklusi adalah Apoteker Pengelola Apotek pria maupun
wanita yang bekerja di apotek di Desa Catur Tunggal yang bersedia menjadi
responden dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan peneliti berdasarkan
daftar panduan wawancara. Kriteria Eksklusi adalah : Subyek yang tidak
menjawab salah satu atau beberapa pertanyaan yang diajukan peneliti berdasarkan
daftar panduan wawancara. Subyek yang digunakan pada penelitian adalah 4
orang.
D. Alat atau Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data berupa daftar panduan wawancara yang disusun
peneliti berdasarkan kemenkes. Daftar panduan wawancara berisi 30 pertanyaan,
yang terdiri atas 6 untuk mengetahui profil apotek, 4 pertanyaan untuk
mengetahui profil apoteker dan 20 pertanyaan mengenai profil apoteker dalam
memberikan pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang terdapat dalam daftar
yang dilakukan oleh 3 apoteker. Daftar panduan wawancara terlampir pada
lampiran 3.
E. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian
Empat apotek yang bersedia dijadikan tempat penelitian, yaitu :
1). Apotek A (Apotek ini tergolong dalam apotek kategori kecil dan apotek ini
bukan dimiliki oleh seorang APA)
2). Apotek B (Apotek ini tergolong dalam apotek kategori besar dan apotek ini
dimiliki oleh seorang APA)
3). Apotek C (Apotek ini tergolong dalam apotek kategori kecil dan apotek ini
bukan dimiliki oleh seorang APA)
4). Apotek D (Apotek ini tergolong dalam apotek kategori besar dan apotek ini
bukan dimiliki oleh seorang APA)
2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari tahun 2014.
F. Tata Cara Penelitian 1. Tahap pra penelitian
Tahap ini merupakan tahap awal jalannya penelitian, meliputi :
a. Persiapan, Penentuan Lokasi penelitian, dan Pengajuan Izin
Persiapan yang dilakukan adalah studi pustaka mengenai penelitian yang
akan dilakukan sehingga diharapkan pelaksanaan penelitian dapat terarah dengan
digunakan untuk penelitian. Setelah itu dilakukan pengajuan izin permintaan data
jumlah dan demografi apotek kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dengan
mengajukan surat permohonan dari fakultas Farmasi USD. Selain itu, peneliti juga
mengajukan izin kepada Apoteker Pengelola Apotek di apotek di Kelurahan Catur
Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta agar bersedia dijadikan responden.
b. Analisis Situasi Lokasi Penelitian
Peneliti melakukan analisis situasi sesuai data yang diberikan oleh pihak
Dinas Kesehatan untuk mengetahui letak apotek secara pasti. Selain itu, analisis
situasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui jumlah kunjungan konsumen di
apotek setiap hari, jumlah tenaga kefarmasian yang bertugas di apotek, dan status
kepemilikan apotek.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan tahun 2010 tercatat jumlah
apotek di Desa Catur Tunggal adalah sebanyak 27 apotek. Hasil observasi
menunjukkan bahwa peneliti tidak menemukan 3 apotek yang alamatnya sesuai
dengan data dari Dinas Kesehatan dan terdapat 8 apotek yang tidak bersedia untuk
dilakukan observasi. Lalu, peneliti mengelompokkan apotek yang alamatnya
sesuai dengan Data Dinas Kesehatan ke dalam 2 kategori, yaitu apotek besar dan
apotek kecil. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan jumlah kunjungan
konsumen, di mana kisaran jumlah kunjungan per hari adalah antara 20 – 160
orang.
Kategori apotek besar atau kecil tidak bisa dinilai berdasarkan jumlah
di mana semakin banyak pengunjung yang membeli obat maka jumlah omset
yang dihasilkan akan semakin banyak.
Selanjutnya, peneliti mengambil nilai tengah dari kisaran tersebut untuk
menentukan pengkategorian apotek. Nilai tengah yang didapat adalah 90.
Berdasarkan nilai tengah tersebut, peneliti berasumsi bahwa apotek kategori besar
adalah apotek yang memiliki jumlah kunjungan per hari di atas 90 orang dan
apotek kategori kecil adalah apotek yang memiliki jumlah kunjungan per hari di
bawah 90 orang.
Berdasarkan 2 kategori besar tersebut, peneliti kemudian membagi
apotek ke dalam 4 kategori kecil. Pembagian kategori kecil tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut :
Gambar 1. Pengkategorian Populasi Apotek di Desa Catur Tunggal yang Bersedia Memberikan Data Observasi
Dari 4 kategori di atas, peneliti memilih 1 apotek dari setiap kategori non
random untuk dijadikan tempat penelitian, apabila apotek yang dipilih tidak
bersedia maka peneliti mengambil 1 apotek lagi dari kategori yang sama.
Pada penelitian ini, peneliti tidak mendapatkan izin dari 1 kategori yaitu
menggunakan 3 kategori apotek dan diantara 16 apotek yang bersedia diobservasi
hanya 4 apotek yang bersedia dijadikan tempat penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan apotek kategori besar dan
kecil karena peneliti bekerja sama dengan peneliti lain untuk menilai secara utuh
pelayanan kefarmasian yang dilakukan di apotek, baik dari sisi apoteker maupun
dari sisi konsumen. Peneliti menganalisis tentang pelayanan informasi obat yang
dilakukan oleh apoteker kepada konsumen, sedangkan peneliti lain menganalis
tentang kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan apotek. Pada saat peneliti
meminta izin untuk melakukan penelitian di apotek yang sama, dari 4 apotek yang
terpilih ada 2 apotek yang tidak mengizinkan untuk dijadikan tempat penelitian
secara bersamaan. Sehingga penelitian ini bukan merupakan satu kesatuan lagi
karena sampel apotek yang digunakan berbeda satu dengan yang lain.
c. Pembuatan Daftar Panduan Wawancara
Daftar panduan wawancara memuat pokok – pokok pertanyaan yang
akan diajukan kepada responden terkait tujuan penelitian. Pokok – pokok
pertanyaan memuat tentang pelayanan kefarmasian dalam hal informasi obat yang
diberikan oleh apoteker kepada konsumen yang mengacu pada Kepmenkes RI No.
1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Kriteria –
kriteria tersebut antara lain cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama proses terapi.
d. Pengujian Daftar Panduan Wawancara
1). Uji pemahaman bahasa
Fungsi uji pemahaman bahasa adalah untuk mengetahui sejauh mana
bahasa penyusun pertanyaan yang terdapat dalam daftar panduan wawancara
dapat dipahami oleh responden. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan
meminta beberapa teman untuk memahami cara peneliti membacakan daftar
pertanyaan yang sudah disusun.
2). Uji validitas isi
Daftar panduan wawancara perlu diuji validitasnya untuk mengetahui
kejelasan tujuan dan lingkup informasi yang hendak diungkap, yaitu sejauh
mana item – item pertanyaan yang ada dapat mencakup seluruh kawasan isi
obyek yang hendak diukur. Jenis uji validitas yang digunakan adalah content
validity, instrumen yang dipakai telah mencakup semua hal yang perlu diukur
dan face validity, suatu instrumen nampak valid jika dibaca sepintas. Uji
validitas isi kuisoner dilakukan berdasarkan analisis rasional dengan
professional judgment oleh 3 apoteker.
2. Tahap pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan berupa metode wawancara
terstruktur. Metode wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilaksanakan
secara terencana menggunakan daftar panduan pertanyaan yang telah
dipersiapkan. Setiap hasil wawancara didengar dan dicermati dengan seksama, hal
– hal penting yang didapat pada saat wawancara dicatat oleh peneliti. Untuk
kembali melakukan kroscek hasil wawancara dengan responden setelah selesai
melakukan wawancara. Untuk menjamin kebenaran mengenai informasi yang
diberikan responden pada saat wawancara, peneliti membuat surat pernyataan
kebenaran hasil wawancara untuk ditandatangani oleh responden.
3. Tahap pengolahan data
Pengolahan data meliputi: editing, coding, dan tabulating. Data yang
diperoleh selanjutnya dianalisis secara non statistik dengan membaca tabel –
tabel, grafik atau angka yang tersedia lalu dilakukan penguraian. Gambar dan
tabel menggambarkan tingkat kehadiran responden, ketersediaan, dan
kelengkapan pelayanan informasi obat berdasarkan Kepmenkes RI No. 1027
tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Jika digambarkan, maka alur jalan penelitian adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Alur Jalan Penelitian 4. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah pengkategorian populasi berdasarkan
jumlah kunjungan adalah atas dasar perkiraan apoteker.
Menentukan Lokasi Penelitian dan Mengajukan Izin Observasi Lokasi Penelitian Merumuskan masalah
Studi Literatur
Merumuskan keterangan empiris
Mendesain Penelitian
Sampling
Alat ukur
Mengumpulkan Data
Mengolah Data
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini terdiri dari 3 bagian, yaitu : Karakteristik Apotek
dan Profil Kehadiran Responden di Apotek, Karakteristik Demografi Responden,
dan Profil Responden dalam Memberikan Pelayanan Informasi Obat.
A. Karakteristik Apotek dan Profil Kehadiran Responden di Apotek
Pada tabel I diketahui jam kehadiran responden di apotek paling lama
adalah 8,5 jam, jam buka apotek paling lama adalah 24 jam, terdapat dua apotek
yang memiliki 2 jam sibuk pagi dan sore, alasan ketidakhadiran paling banyak
adalah karena sakit, dan 3 dari 4 responden digantikan oleh apoteker pendamping
apabila berhalangan hadir.
Tabel I. Karakteristik Apotek dan Profil Kehadiran Responden di Apotek Nama
Alasan Ketidakhadiran responden* Adanya Apoteker Pendamping A 13.00 – 19.00 08.00 –21.00 Pagi : 09.00 – 11.00
Sore : 17.00 – 18.30
(a) Shift sore, Sakit, pekerjaan lain, workshop dan seminar
(b) Shift sore sehingga tidak hadir pada jam sibuk pagi
ada
B 07.30 – 15.00 07.30 –22.00 Pagi : 09.00 – 11.00 Sore : 17.00 – 20.00
(a) Shift pagi, sakit, urusan keluarga, seminar
(b) Shift pagi sehingga tidak hadir pada jam sibuk sore
Tidak ada
C 08.00 – 15.00 07.00 – 22.00 16.00 – 21.00 (a) Shift pagi, sakit, urusan keluarga (b) Shift pagi sehingga tidak hadir pada
jam sibuk
ada
D 08.00 – 15.00 24 jam 20.00 – 22.00 (a) Shif t pagi, sakit, tugas yang tidak bisa diwakilkan
(b) Shift pagi sampai sore jadi tidak bisa hadir pada jam sibuk
ada
Keterangan : * alasan ketidakhadiran responden pada waktu jam buka apotek (a)
Penjelasan mengenai jam buka apotek, jam sibuk, jam kehadiran dan
lama waktu keberadaan responden di apotek, alasan dan pengganti ketidakhadiran
dapat dibaca pada uraian berikut:
1. Jam buka apotek
Jam buka setiap apotek bervariasi tergantung pada kebijakan setiap
pengelola apotek. Data jam buka apotek digunakan untuk mengetahui seberapa
lama apotek buka dalam satu hari. Semakin lama suatu apotek memiliki jam buka
maka kebutuhan konsumen akan pelayanan kefarmasian pun diharapkan akan
semakin terpenuhi. Selain itu, APA juga dituntut untuk selalu hadir pada setiap
jam buka apotek untuk bertanggungjawab dan mengawasi setiap manajemen dan
pelayanan kefarmasian yang berlangsung di apotek tersebut dan apabila
berhalangan hadir dapat menunjuk Aping atau apoteker pengganti untuk
menggatikan.
Penelitian di 4 apotek didapatkan hasil bahwa rata – rata jam buka
apotek adalah 13 – 24 jam dan tidak semua responden hadir selama jam buka
apotek. Jam kehadiran responden di apotek A, B, dan C terbagi menjadi 2 shift,
sedangkan untuk apotek D terbagi menjadi 3 shift.
2. Jam sibuk
Jam sibuk adalah jam dimana jumlah kunjungan konsumen relatif lebih
banyak dibandingkan jam lain dan biasanya pelayanan kefarmasian ditingkatkan
pada jam sibuk, misalnya dengan menambah jumlah tenaga kefarmasian. Untuk
jika ada konsumen yang ingin berkonsultasi kepada apoteker maka apoteker
dituntut harus selalu hadir pada saat jam sibuk.
Berdasarkan hasil penelitian, konsumen lebih banyak berkunjung pada
sore sampai malam hari, mengingat aktivitas bekerja dilakukan pada pagi sampai
sore hari. Selain itu, jam buka praktek dokter biasanya terjadi pada sore hari
sehingga setelah selesai memeriksakan diri konsumen langsung membeli obat di
apotek. Apotek A dan B memiliki 2 jam sibuk, yaitu pagi dan sore hari sedangkan
Apotek C dan D hanya memiliki 1 jam sibuk, yaitu pada sore sampai malam hari.
Responden apotek B selalu hadir pada jam sibuk pagi dan tidak hadir pada jam
sibuk sore, sedangkan responden apotek A tidak hadir pada jam sibuk pagi tetapi
hadir pada jam sibuk sore. Responden apotek D dan tidak lagi hadir pada saat jam
sibuk karena jam kehadiran mereka di apotek hanya sampai jam 15.00.
3. Jam kehadiran dan lama waktu keberadaan responden di apotek
Seharusnya apoteker harus hadir selama jam buka apotek sebab apotek
bukan hanya sekedar tempat jual beli obat, melainkan tempat melakukan
pelayanan kefarmasian dalam hal ini khususnya untuk pelayanan informasi obat
dan apoteker bertanggungjawab atas semua pelayanan kefarmasian yang diberikan
kepada konsumen di apotek.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lama waktu keberadaan
apoteker di apotek adalah antara 6-8 jam, sedangkan jam buka apotek adalah
diatas 10 jam sehingga sebagian aktivitas pelayanan kefarmasian di apotek
4. Alasan responden tidak bisa hadir di apotek
Berdasarkan hasil penelitian didapat beragam alasan mengapa responden
tidak bisa hadir di apotek pada saat jam kerja. Alasan yang paling banyak
dikemukakan adalah sakit, lalu adanya tugas yang tidak bisa ditinggalkan,
misalnya mengajar di suatu universitas, rapat pekerjaan, adanya urusan keluarga,
misalnya ada keluarga yang meninggal, dan menikah, dan alasan lain
ketidakhadiran adalah responden mengikuti seminar, workshop yang tentu saja
dapat menambah wawasan responden mengenai pelayanan kefarmasian. Alasan
ketidakhadiran responden dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel II. Alasan Ketidahadiran Responden di Apotek
5. Pengganti responden apabila berhalangan hadir
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 Tahun 2002, dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian APA dibantu oleh apoteker pendamping
dan apoteker pengganti. Apoteker pendamping bekerja di samping APA dan atau
menggantikannya pada jam – jam tertentu pada hari buka apotek sedangkan
apabila APA dan Apoteker Pendamping karena hal – hal tertentu berhalangan
melakukan tugasnya, APA dapat menunjuk apoteker pengganti. Tetapi,
berdasarkan hasil penelitian tidak semua responden ketika berhalangan hadir
No Alasan Responden Tidak Bisa Hadir di Apotek Jumlah (n = 4)
1. Sakit 4 responden
2. Tugas atau Pekerjaan lain yang tidak bisa diwakilkan 2 responden
3. Urusan Keluarga 2 responden
digantikan oleh Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti, responden
apotek B ketika berhalangan hadir, tugas kefarmasiannya digantikan oleh Asisten
Apoteker karena sudah 6 bulan Apoteker Pendamping tidak lagi bertugas di
apotek tersebut dengan alasan Apoteker Pendamping sedang melanjutkan studi
dan apotek ini tidak memiliki Apoteker Pengganti.
Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.922 Tahun
1993 pasal 22 yang menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan apotek,
APA dapat dibantu oleh Asisten Apoteker dan dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian di apotek Asisten Apoteker berada di bawah pengawasan APA,
artinya keberadaan Asisten Apoteker di apotek bukan untuk menggantikan APA
melainkan untuk membantu APA dalam melakukan pekerjaan kefarmasian.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa secara kompetensi,
AA dapat menggantikan APA melayani informasi obat sedangkan secara hukum
tidak diperbolehkan.
Data mengenai pengganti responden apabila berhalangan hadir di apotek
disajikan pada tabel berikut :
Tabel III. Pengganti Responden Apabila Berhalangan Hadir di Apotek
No Nama Apotek Pengganti Keterangan
1. Apotek A Apoteker Pendamping
2. Apotek B Asisten Apoteker Apoteker Pendamping sedang melanjutkan studi dan tidak memiliki apoteker pengganti
3. Apotek C Apoteker Pendamping
B. Karakteristik Demografi Responden
Profil responden yang diteliti dalam penelitian ini adalah : umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, lama masa kerja, pekerjaan lain, dan penghasilan per
bulan.
Pada tabel IV diketahui bahwa umur responden masih berada pada umur
produktif, kebanyakan responden adalah perempuan dengan pendidikan terakhir
profesi apoteker, tergolong berpengalaman dalam bekerja (3 – 11 tahun), 3 dari 4
responden tidak memiliki pekerjaan lain, dan besar penghasilan yang didapat
sudah sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR).
Tabel IV. Karakteristik Demografi Responden No Nama
Penjelasan mengenai karakteristik demografi responden secara lengkap
akan diuraikan sebagai berikut :
1. Umur
Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kemampuan kerja
dan produktivitas seseorang. Seseorang akan mengalami peningkatan kemampuan
kerja seiring dengan meningkatnya umur, akan tetapi selanjutnya akan mengalami
penurunan kemampuan kerja pada titik umur tertentu. Berdasarkan hal tersebut
umur dimana seseorang dapat berpenghasilan untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya, kehidupannya akan ditanggung oleh kelompok umur produktif.
Widjajanta dan Widyaningsih (2012)mengemukakan bahwa usia produktif adalah
antara 15 - 64 tahun, pada rentang usia ini seseorang masih memiliki semangat
yang tinggi dan mudah mengadopsi hal – hal baru.
Berdasarkan hasil penelitian umur responden berkisar antara 27 – 37
tahun. Hal ini menandakan bahwa responden yang bekerja di Apotek di Desa
Catur Tunggal berada pada umur produktif sehingga memungkinkan bagi para
responden tersebut bekerja lebih baik, bersemangat, dan mempunyai motivasi
yang tinggi. Selain itu, pada umur tersebut responden masih mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan inteligensia sehingga mampu berpikir kritis
dalam menghadapi masalah yang dihadapi terkhusus masalah dalam hal
pelayanan kefarmasian kepada konsumen. Pada umur produktif, responden
diharapkan dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang terbaik kepada
konsumen (Azwar, 2003).
2. Jenis kelamin
Faktor jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi pemilihan jenis
pekerjaan. Jenis kelamin seorang apoteker juga berpengaruh terhadap
produktivitas kerja. Hal ini dikarenakan kekuatan fisik yang berbeda antara
apoteker pria dengan apoteker wanita. Perbedaan kekuatan fisik ini berpengaruh
Semakin tinggi hasil kerja yang diperoleh maka tingkat produktivitas pun akan
semakin tinggi (Azwar,2004).
Komposisi angkatan kerja mengalami berbagai perubahan terutama yang
terkait dengar gender, ras, usia, nilai, dan norma budaya. Dengan berkembangnya
kesetaraan gender maka semakin banyak pekerja perempuan yang memasuki
lapangan kerja dalam berbagai profesi dalam hal ini profesi apoteker dan posisi
baik pada lini bawah, menengah, maupun atas (Azwar, 2004).
3. Pendidikan terakhir
Pendidikan merupakan dasar seseorang untuk memiliki kemampuan
dalam melakukan sesuatu. Pendidikan yang lebih tinggi walaupun sifatnya tidak
mutlak diasumsikan dapat mempengaruhi inteligensi atau pola pikir seseorang
mengenai masalah kesehatan (Notoadmodjo, 2003).
Seseorang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung akan
mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
mempunyai tingkat pendidikan formal yang lebih rendah. Pengetahuan akan
mempengaruhi pola pikir seseorang, selain itu kemampuan kognitif akan
membentuk cara berpikir sesorang, meliputi kemampuan untuk mengerti dan
menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi dalam kehidupannya (Notoadmodjo,
2003).
Di kalangan apoteker dikenal istilah nine star pharmacist, yang salah
satunya adalah tentang life long learner. Life long learner artinya seorang