• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Saran penulis dari penelitian ini adalah:

6.2.1 Kepada bagian poli anak agar memberikan penyuluhan kepada orang tua tentang gejala-gejala pneumonia dan faktor risiko pneumonia sehingga orang tua segera membawa anak ke pelayanan kesehatan ketika anak mengalami gejala pneumonia untuk mendapat penanganan yang cepat dan tepat.

6.2.2 Kepada orang tua yang memiliki anak dengan penyakit penyerta harus lebih diawasi untuk mencegah anak dari ISPA khusunya pneumonia. 6.2.3 Kepada pihak rekam medik untuk melengkapi pencatatan riwayat berat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Infeksi Pernapasan Akut

Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA. Istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut dengan pengertian sebagai berikut: (Yudarmawan, 2012 dalam Gapar, 2015)

2.1.1 Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusiadan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. 2.1.2 Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru- paru) dan organ adneksa saluran pernapasan, dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory tract). 2.1.3 Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

ISPA merupakan penyakit yang sering dijumpai dengan manifestasi ringan sampai berat.ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. ISPA berlangsung sampai 14 hari, pada organ pernapasan berupa hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. ISPA yang

8

mengenai jaringan paru-paru atau ISPA berat, dapat menjadi pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi penyebab kematian utama, terutama pada balita (Kemenkes, 2013).

Hasil Riskesdas tahun 2013 menjelaskan bahwa lima provinsi dengan ISPA tertinggi di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan 2007 (25,5%). Period prevalence ISPA tersebut dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir.

2.2 Pengertian Pneumonia

Pneumonia adalahperadangan parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisame seperti bakteri virus, jamur atau parasit. Namun pneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan kimia ataupun karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi. Peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh penyebab selain mikroorganisme (fisik, kimiawi, alergi) sering disebut pneumonitis (Djojodibroto, 2009).

Pada umumnya pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara, dengan sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman dalam bentuk droplet ke udara pada saat batuk atau bersin. Untuk selanjutnya, kuman penyebab pneumonia masuk ke saluran pernapasan melalui proses inhalasi (udara yang dihirup) atau dengan cara penularan langsung, yaitu percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat

9

batuk, bersin, dan berbicara langsung terhirup oleh orang di sekitar penderita, atau memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (WHO 2013 dalam Anwar,2014).

Pneumonia sebenarnya dapat disembuhkan dengan tuntas asal cepat ditangani sehingga peradangan yang terjadi tidak meluas. Karena tanda dan gejala hampir serupa dengan penyakit batuk dan pilek biasa, orang tua cenderung tidak waspada dan biasanya enggan membawa anaknya ke pelayanan kesehatan. Padahal pneumonia dapat menyebabkan kematian bila peradangannya semakin meluas sehingga paru-paru tidak dapat melakukan fungsi pertukaran oksigen dengan baik. Akibatnya tubuh anak mengalami kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Sefrina, 2015).

2.3 Patogenesis Pneumonia

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imunitas) inang, mikroorganisame yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu ama lain.Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris serta prognosa dari pasien (Dahlan, 2010).

Pneumonia dapat menyebar dengan berbagai cara.Virus dan bakteri yang biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak dan menginfeksi paru- paru menyebar melaui udara seperti batuk atau bersin.Selain itu, pneumonia pada anak dapat menyebar melalui darah, terutama selama dalam kandungan (masa kehamilan <30 minggu khususnya oleh Respiratory Syncytial Virus ) dan segera setelah lahir (WHO, 2012).

10

Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernapasan secara percikan (droplet). Menurut Hassan, 2005 bahwa proses radang pneumonia dapat dibagi atas empat stadium yaitu:

a. Stadium kongesti

Pada stadium ini kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih, bakteri dalam jumlah banyak, beberapa neutrofil dan makrofag.

b. Stadium hepatisasi merah

Pada stadium ini lobus dan lobules yang terkena menjadi padat dan tidak mengandung udara, warna menjadi merah dan perabaan seperti hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit neutrofil, eksudat dan banyak sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.

c. Stadium hepatisasi kelabu

Pada stadium ini lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin sedangkan alveolus terisi fibrin dan leukosit yang menjadi tempat fagositosis serta kapiler yang tidak lagi kongestif.

d. Stadium resolusi

Pada stadium ini eksudat mulai berkurang. Di dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan degenerasi lemak sedangkan fibrin diresorbsi dan menghilang. Secara anatomi bronkopneumonia berbeda dari pneumonia lobaris dalam hal lokasi sebagai bercak-bercak dengan distribusi yang tidak teratur. Pengobatan

11

dengan antibiotik yang tepat maka akan mencegah penderita sampai pada stadium ini.

Pada anak, mikroorganisme penyebab pneumonia umumnya menyebar melalui udara dan aliran darah. Pneumonia yang terjadi pada bayi yang berusia di bawah 3 minggu biasanya terinfeksi dari ibunya saat bersalin memalui jalan lahir atau terkena cairan yang sudah terinfeksi. Mikroorganisme tersebut akan berkembang dengan pesat dan langsung menyerang paru-paru. Hal tidak akan terjadi pada bayi yang memiliki kondisi kesehatan yang baik dengan daya tahan yang kuat terhadap penyakit (Prihaningtyas, 2015).

Masa inkubasi patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi, bergantung pada tipe virus dan bakteri yang menginfeksi. Misalnya pada Respiratory Syncytial Virus, masa inkubasinya 4-6 hari sedangkan pada virus influenza hanya 18-72 jam. Melalui penangan yang tepat, pneumonia yang disebabkan oleh bakteri dapat disembuhkan antara 1-2 minggu, sedangkan pada pneumonia yang disebabkan oleh virus masa penyembuhannya lebih lama sekitar 4-6 minggu untuk bisa benar-benar sembuh (Chomaria, 2015).

Khusus pneumonia yang disebabkan oleh Respiratory Syncytial Virus dapat bertransmisi melalui droplet, muntahan dan kontak langsung dengan penderita serta sering kali ditularkan secara nosokomial di rumah sakit (Radji, 2015).

12

2.4 Klasifikasi Pneumonia

Menurut Maryunani, 2010 secara anatomi untuk semua umur, pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu:

a. Pneumonia Lobaris, dimana yang terserang adalah seluruh atau segmen yang besar dari satu atau lebih lobus pulmonary. Apabila kedua paru yang terkena, maka hal ini sering disebut sebagai bilateral atau “double” pneumonia (pneumonia lobular).

b. Broncho pneumonia (pneumonia lobular) yang dimulai pada terminal bronchioles menjadi tersumbat dengan eksudat mucopurulent sampai membentuk gabungan pada daerah dekat lobulus.

c. Interstitial pneumonia yang mana adanya suatu proses inflamasi yang lebih atau hanya berbatas di dalam dinding alveolar (interstitium) dan peribronchial dan jaringan inter lobular.

13

Gambar 2.1 Bentuk-bentuk Pneumonia

Terdapat berbagai klasifikasi pneumonia dan tidak ada klasifikasi yang memuaskan. Demikian juga klasifikasi berdasarkan gambaran anatomis (radiografis) yang hanya akan memberi sedikit informasi praktis mengenai penyebab pneumonia tersebut. Berikut klasifikasi pneumonia menurut Ward, 2008 yang secara luas diterima.

a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia, CAP) meliputi infeksi saluran napas bawah yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti inimerupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia yang banyak disebabkan bakteri Gram positif.

14

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial) (hospital acquired pneumonia, HAP)meliputi setiap infeksi saluran napas bawah yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit yang banyak disebabkan bakteri Gram negatif aerob. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.

c. Pneumonia Aspirasi/ Anaerob meliputi infeksi saluran napas bawah yang terjadi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi isi orofaringeal.

d. Pneumonia Oportunistik meliputi infeksi saluran napas bawah pada pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid, kemoterapi, HIV) sehingga mudah mengalami infeksi oleh virus dan jamur.

Ikatan Dokter Paru Indonesia (IDPI), 2003 mengklasifikasikan pneumonia berdasarkan penyebab atau etiologi menjadi empat jenis yaitu:

a. pneumonia bakterial / tipikal yang dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyaitendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b. pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia c. pneumonia virus, dan

d. pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).

15

2.5 Gejala Klinis

Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut selama beberapa hari. tanda dan gejala pneumonia bergantung pada agen penyebab, umur anak, daya tahan tubuh anak, luasnya daerah paru yang terkena serta tingkat kerusakan atau peradangannya. Pneumonia pada anak yang disebabkan oleh bakteri menyebabkan rasa sakit yang lebih cepat seperti tiba-tiba mengalami demam tinggi serta napas yang menjadi tidak teratur dengan dengkuran sedangkan pneumonia yang disebabkan oleh virus, gejalanya muncul lebih perlahan dan tidak begitu menyakitkan (Chomaria, 2015).

Trias pneumonia adalah tiga gejala yang terlihat pada anak penderita pneumonia yaitu demam, nyeri dada dan sesak napas (pernapasan cuping hidung). Gejala klinis penyakit pneumonia pada anak dibagi menjadi gelaja umum dan khusus sebagai berikut:

2.5.1 Gejala Umum

a. Anak mengalami demam dan suhu tubuh meningkat mendadak yaitu 38,5 - 40ºC, kadang-kadang disertai kejang karena demam yang tinggi (Scott, 2012).

b. Anak mengalami batuk yangbisa diawali dengan batuk kering sampai dengan batuk produktif berdahak (sputum) kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Dahak bahkan bisa bercampur darah atau nanah (Biomed, 2013).

c. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, muntah dan menolak untuk makan(Scott, 2012).

16

2.5.2 Gejala Khusus

a. Anak bernapas cepat dengan frekuensi yang lebih banyak dari biasanya. Tabel 2.1 Batas Napas Cepat Sesuai Golongan Umur

Umur Anak Takipnea (napas cepat) <2 bulan ≥ 60 kali per menit 2-11 bulan ≥ 50 kali per menit 1-5 tahun ≥ 40 kali per menit

Sumber: Modul Tatalaksana Standar Pneumonia (Kemenkes 2012)

b. Anak mengalami sesak napas (dispne) yaitu kesulitas bernapas yang disebabkan karena suplai oksigen ke dalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh (Rab, 1996).

c. Adanya retraksi (penarikan dinding dada bagianbawah ke dalam (severe chest indrawing) saat bernapas bersamaan dengan frekuensi napas), suara napas melemah dan terdengar ronki saat menarik napas (Depkes RI, 2010). d. Pada kasus serius, bibir dan dasar kuku pasien terlihat membiru akibat

17

2.6 Epidemiologi Pneumonia

2.6.1 Distribusi Pneumonia pada Balita menurut Orang

Infeksi saluran pernafasan akut, terutama pneumonia, adalah penyebab umum kesakitan dan penyebab kematian pada anak balita di seluruh dunia. Berdasarkan kelompok umur penduduk, Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya.

Hasil SDKI tahun 2012 menunjukkanbahwa prevalensi paling tinggi pneumonia terjadi pada kelompok umur 36 – 47 bulan yaitu 7 per 100 balita dan prevalensi tersebut lebih tinggi terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 6 per 100 balita sedangkan perempuan sebesar 5 per 100 balita.

Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan insiden pneumonia menurut kelompok umur adalah 0-11 bulan sebesar 14 per 1.000 balita, 12-23 bulan sebesar 22 per 1.000 balita, 24-35 bulan sebesar 21 per per 1.000 balita, 36-47 bulan dan 48-59 bulan sebesar 18 per 1.000 balita. Berdasarkan jenis kelamin insidens tertinggi pneumonia balita adalah pada laki-laki sebesar 19 per 1.000 balita dan perempuan 18 per 1.000 balita.

2.6.2 Distribusi Pneumonia pada Balita menurut Tempat

Hasil Riskesdas tahun 2013 menjelaskan bahwa Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%).

18

Hasil SDKI tahun 2012 menunjukkan bahwa prevalensi pneumonia pada balita di daerah perkotaan sebesar 5 per 100 balita dan di daerah pedesaan sebesar 6 per 100 balita sedangkan hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 38 per 1.000 balita , Aceh sebesar 36 per 1.000 balita, Bangka Belitung dan Sulawesi Barat sebesar 35 per 1.000 balita,serta Kalimantan Tengah sebesar 33 per 1.000 balita.Period prevalence pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita pneumonia yang berobat hanya 1,6 per mil.

2.6.3 Distribusi Pneumonia pada Balita menurut Waktu

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012 sampai 2014 menjelaskan bahwa jumlah penderita pneumonia pada balita pada tahun 2012 sebanyak 549.708 balita, tahun 2013 sebanyak 571.547 balita dan pada tahun 2014 sebanyak 657.490 balita. Jumlah penderita pneumonia tertinggi adalah pada tahun 2014 dan cenderung meningkat setiap tahun. Namun angka kematian akibat pneumonia pada balita tahun 2014 sebesar 0,08%, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013 yang sebesar 1,19%.

2.6.4 Determinan Pneumonia a. Faktor Host

a.1 Umur

Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus dan bakteri melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia (Maryunani, 2010).

19

a.2 Jenis Kelamin

Ada kecenderungan anak laki-laki lebih sering terserang infeksi dari pada anak perempuan, tetapi belum diketahui faktor yang mempengaruhinya (Depkes RI, 2010).

a.3 Status Gizi

Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabakan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kurang gizi. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak –anak yang bergizi buruk sering menderita pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dengan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi (Maryunani, 2010).

a.4 Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapatkan kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian anak akibat ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang

20

mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat (Maryunani, 2010). Kebanyakan anak yang sehat dapat melawan infeksi dengan pertahanan alami mereka, anak-anak yang sistem kekebalan tubuh terganggu beresiko lebih tinggi terkena pneumonia. Sistem kekebalan tubuh seorang anak dapat dilemahkan oleh malnutrisi atau kekurangan gizi, terutama pada bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif (WHO, 2015).

a.5 Berat Badan Lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkangkan dengan berat badan lahir normal terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena infeksi, terutama pneumonia dan penyakit saluran napas lainnya. Anak dengan riwayat berat badan lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernapasan tetapi mengalami lebih berat infeksinya (Maryunani, 2010).

a.6 Penyakit Penyerta

Campak, pertusis dan difteri merupakan penyakit penyerta pada pneumonia balita oleh karena itu imunisasi DPT dan campak merupakan salah satu Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang telah dilaksanakan oleh pemerintah selama ini untuk menurunkan proporsi kematian balita akibat pneumonia. Rudan, 2008 dalam Hartati, 2011 menyatakan bahwa faktor

21

risiko lain penyebab pneumonia adalah penyakit penyerta misalnya diare, penyakit jantung, penyakit ginjal dan asma.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mustofa AZ. pada tahun 2004 menyatakan bahwa ada pengaruh penyakit penyerta terhadap kematian balita penderita pneumonia di Rumah Sakit Cibabat Cimahi dan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Balita penderita pneumonia disertai penyakit penyerta berisiko 3,38 kali dibandingkan dengan balita tanpa disertai penyakit penyerta. b.Faktor Agent

Pneumonia dapat disebabkan karena infeksi berbagai bakteri, virus dan jamur. Namun, penyakit pneumonia yang disebabkan karena jamur sangatlah jarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia disebabkan oleh bakteri. sulit untuk membedakan penyebab pneumonia karena virus dan bakteri. Sering kali terjadi infeksi yang didahului oleh infeksi virus kemudian terjadi tambahan infeksi bakteri dan sebaliknya. Kematian pada pneumonia berat, terutama disebabkan karena infeksi bakteria (Kartasasmita, 2010).

Penetapan etiologi pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di negara berkembang Streptococcus pneumonia dan Hemofilus influenza tipe b (Hib) dan Staphyloccus aureus (S aureus) merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah.Dewasa ini pneumonia pada anak di negara maju umumnya disebabkan oleh virus yaitu Respiratory Syncial Virus (RSV). Pada bayi yang terinfeksi HIV, Pneumocystis jiroveci adalah

22

salah satu penyebab paling umum pneumonia, setidaknya seperempat dari seluruh kematian pneumonia pada bayi yang terinfeksi HIV (Depkes RI, 2012).

Ada banyak jenis mikroorganisme penyebab pneumonia. Klasifikasi mikrobiologis pneumonia tidak mudah dilakukan karena organisme penyebab mungkin tidak terindentifikasi atau penegakan diagnosis memerlukan waktu beberapa hari. Etiologi pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Bakteri

Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus,

Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander. 2. Virus

Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus, virus sitomegalik. 3. Mycoplasma pneumonia

4. Jamur

Hitoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans, Blastomyces dermatitides, Coccidioides immitis, Aspergillus species, Candida albicans.

5. Aspirasi

Makanan, kerosen (bensin, minyak tanah), cairan amnion dan benda asing (Hassan, 2005).

c. Faktor Lingkungan

Berdasarkan pendapat Maryunani (2010) dapat disimpulkan bahwa status kesehatan bayi dan anak balita erat hubungannya dengan kondisi lingkungan rumah meliputi pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah dan kepadatan hunian rumah karena mereka lebih lama berada dirumah bersama-sama

23

dengan ibunya. Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi timggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan tata ruangan yang tidak baik seperti letak dapur dengan ruang tidur atau ruang anak yang berdekatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siska pada tahun 2013 di wilayah kerja Puskesmas Tambakrejo Kecamatan Simokerto, Surabaya menyimpulkan bahwa kesehatan lingkungan rumah berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita (p <0,05). Selain itu variabel komponen rumah, sarana sanitasi, dan perilaku penghuni sama-sama memiliki hubungandengan kejadian pneumonia pada balita (p <0,05), namun hanya variabel perilaku penghuniyang memiliki pengaruh terhadap kejadianpneumonia pada balita yaitu signifikasi 0,000 (sig<α).

2.7 Pencegahan Pneumonia 2.7.1 Pencegahan Primer a. Surveilans Sentinel Pneumonia

Sejak pertengahan tahun 2007 Pengendalian ISPA telah mengembangkan Surveilans Sentinel Pneumonia di 10 provinsi masing-masing 1 kabupaten/kota (10 Puskesmas, 10 Rumah Sakit). Pada tahun 2010 telah dikembangkan menjadi 20 provinsi masing-masing 2 kabupaten/kota (40 Rumah Sakit, 40 Puskesmas). Secara bertahap akan dikembangkan di semua provinsi, sehingga pada 2014 lokasi sentinel menjadi 132 lokasi (66 Rumah Sakit dan 66

24

Puskesmas). Biaya operasional sentinel ini dibebankan pada anggaran rutin ISPA. Tujuan dibangunnya sistem surveilans sentinel pneumonia ini adalah:

a.1 mengetahui gambaran kejadian pneumonia dalam distribusi epidemiologi menurut waktu, tempat dan orang di wilayah sentinel, a.2 mengetahui jumlah kematian, Case Fatality Rate (CFR) pneumonia usia

0–59 bulan (Balita) dan ≥ 5 tahun,

a.3 tersedianya data dan informasi faktor risiko untuk kewaspadaan adanya sinyal epidemiologi episenter pandemi influenza, dan

b. Penyuluhan tentang pencegahan serta penanggulangan ISPA dan pneumonia di kalangan masyarakat. Peran keluarga/masyarakat dalam menanggulangi ISPA dan pneumonia sangat pentingdengan mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA dan pneumonia saat anak sakit (Maryunani, 2010).

c. Menjauhkan anak dari paparan asap rokok dan polusi udara lainnya yang berpotensi mengganggu sistem pernapasan (Weinberger, 2008).

d. Hindarkan anak dari orang-orang yang mengalami infeksi saluran pernapasan dan memisahkan perlengkapan makan penderita dengan anggota keluarga yang sehat untuk mencegah penyebaran patogen (Chomaria, 2015).

e. Ajarkan sedini mungkin pada anak tentang kebiasaan hidup bersih dan sehat. Kebiasaan tersebut diantaranya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, mencuci tangan setelah memegang benda-benda kotor atau bermain, membuang sampah pada tempatnya serta menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah (Sefrina, 2015).

25

f. Peningkatan gizi melalui pemberian makan bergizi setiap hari termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zink sebagai upaya meningkatkan imunitas tubuh anak (Kartasasmita, 2010).

g. Membawa anak imunisasi ke posyandu atau dokter spesialis anak terdekat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian akibat pneumonia pada balita dapat dicegah, sedangkan imunisasi pertusis mampu mencegah 6% kematian akibat pneumonia pada balita (Maryunani, 2010). Ada juga imunisasi Hib (untuk memberikan kekebalan

Dokumen terkait