• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Dari hasil penelitian pengaruh periode subkultur terhadap kadar saponin akar adventif tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) disarankan untuk menggunakan periode subkultur 2 minggu untuk meningkatkan kadar saponin yang terdapat pada akar adventif tanaman ginseng jawa (Talinum

paniculatum Gaertn.). Selain itu untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan elisitor untuk meningkatkan kadar saponin dan menggunakan TLC scanner dalam menganalisis kadar saponin secara kuantitatif.

Daftar Pustaka

Abbas, B., 2011, Prinsip-prinsip teknik kultur jaringan, Penerbit Alfabeta, Bandung

Abidin, Z., 1983, Dasar-dasar pengetahuan tentang zat pengatur tumbuh, Penerbit Angkasa, Bandung

Aina, N., 2008, Induksi akar dari eksplan hipokotil dan epikotil tanaman ginseng Jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) dengan zat pengatur tumbuh auksin dan BAP, Skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya

Arnelia, 2004, Fito-kimia Komponen Ajaib Cegah PJK, DM dan Kanker Puslitbang Gizi Bogor

Aslam, J., A. Mujib., S.A. Nasim, dan M.P. Sharma, 2009, Screening of vincristine yield in ex vitro and in vitro somatic embryo derived plantlets of Catharanthus roseus L. (G) Don. Scientia Horticulturae 119: 325-329 Bhad, M. A., S. Ahmad, A. Junaid, A Mujib, dan M. Dufan, 2008, Salinity stress

enchanced production of solasodine in Solanum ningrum L. Chem. Pharm. Bull. 56 (1) : 17-21

Bhojwani, S.S. dan M.K. Razdan., 1996, Plant Tissue Culture: Theory and Practice, a Revised Edition, Elsevier

Cahyo, A.N., 2011, Yang Serba Menakjubkan dari Ginseng, Buku biru, Yogyakarta

Dahlan, M.S., 2011, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 5, Penerbit Salemba Medika, Jakarta

Fitriyah, R., 2008, Induksi akar eksplan hipokotil ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) dengan zat pengatur tumbuh auksin secara in vitro, skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya Fowler, M.W. (1983). Commercial application and economics aspects of plant

mass cell culture, Dalam Mathius, N.T., Reflini., H. Nurhaimi., J. Santoso., dan A.P. Roswiem., 2004, Kultur akar rambut Cinchona ledgeriana dan C. succirubra dalam kultur in vitro, Menara Perkebunan, 72(2), 72-87

Harmanto, N., 2007, Herbal Untuk Keluarga: Jus Herbal Segar & Menyehatkan, PT Elex Media Komputindo kelompok Gramedia, Jakarta

Hendaryono, D.P.S., dan A. Wijayani., 1994, Teknik kultur jaringan, pengenalan dan petunjuk perbanyakan tanaman secara vegetatif modern, Kanisus, Yogyakarta

Hidayat, S., 2005, Ginseng multivitamin alami berkhasiat, Penebar Swadaya, Bogor

Itakura Y., M. Ichikawa., Y. Mori., R. Okino., M. Udayama dan T. Morita, 2001, How to Distinguish Garlic from the Other Allium Vegetables, Journal Nutrition 131: 963S-967S

Kadarwati, 2006, Pengaruh akar ginseng (wild ginseng) dalam ransum mencit (Mus musculus) terhadap jumlah anak dan pertumbuhan anak dari lahir sampai dengan sapih, skripsi, Program Studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Keng, C.L., K.S. See., L.P. Hoon., dan B.P. Lim., 2008, Effect of Plant Growth Regulators and Subculture Frequency on Callus Culture and the Establishment of Melastoma malabathricum Cell Suspension Cultures for the Production of Pigments, Journal Biotechnology 7 (4): 678-685 Khristyana, L., E. Anggarwulan., Marsusi., 2005, Pertumbuhan, Kadar Saponin

dan Nitrogen Jaringan Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.) pada Pemberian Asam Giberelat (GA3), Jurnal Biofarmasi 3 (1): 1693-2242. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Komatsu, M., 1982, Studies on the Constituens of Talinum paniculatum Gaertener, Yakugaku. Zasshi. Vol.102 (5)

Kimball, J.W., 1983, Biologi, Penerbit Erlangga, Jakarta

Kurz, W.G.W., dan. F. Constabel., 1991, Produksi dan isolasi metabolit sekunder, Dalam Wetter, L.R dan F. Constabel (ed), Metode Kultur Jaringan Tanaman, Penerjemah: Widianto dan B. Mathilda, Penerbit ITB, Bandung

Kusumo, S., 1984, Zat Pengatur Tumbuh Tanaman, Penerbit CV. Yasaguna, Jakarta

Lakitan, B., 1996, Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Murashige, T., dan F. Skoog, 1962, A revised medium for rapid growth and biomassays with tobacco tissue culture, dalam Wetter, L.R. dan Constabel, F, Metode kultur jaringan tanaman, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Nio, O.K., 1989, Zat-zat Toksik yang Secara Alamiah Ada pada Bahan Makanan Nabati, Cermin Dunia Kedokteran 58: 24-30

Nugroho, Y.A., L. Widowati, Pudjiastuti, dan B. Nuratmi, 2005, Toksisitas Akut dan Khasiat Ekstrak Som Jawa (Talinum paniculatum Gaertn) sebagai stimulan, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 3 (1): 17-20

Pitojo, S., 2006, Talesom, Sayuran Berkhasiat Obat. Penerbit Kanisus, Yogyakarta

Prakoeswa, S.A., Ribkahwati., dan D.R. Suryaningsih., 2009, Teknik Kultur Jaringan Tanaman; Implementasi Beserta Aplikasi, dan Hasil Penelitian, CV. Dian Prima Lestari, Sidoarjo

Prihatman, K., 2001, Saponin Untuk Pembasmi Hama, TTG BUDIDAYA PERIKANAN, Jakarta

Rahmawati, E.S., 1999, Variasi Kadar Kalium Dihidrogenafosfat dalam Medium MS Terhadap Sintesis Minyak Atsiri pada Tunas Hasil Kultur in vitro Daun Nilam Aceh (Pogostemon cablin), Skripsi, Fakultas Biologi UGM Yogyakarta

Rijhwani, S.K., and J.V. Shanks, 1998, Effect of subculture cycle on growth and indol alkaloid production by Catharanthus roseus hairy root cultures. Journal Enzyme and Microbial Technology 22: 606-611, 1998

Robinson, T, 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Penerbit ITB, Bandung

Roedyarto, 1997, Budidaya Pisang Ambon. Trubus angrisarana, Surabaya

Rostiana, O, dan D. Seswita., 2007, Pengaruh indole butyric acid dan naphtalane acetic acid terhadap induksi perakaran tunas Piretrum [Chrysanthemum cinerariifolium (Trevir.) Vis.] Klon Prau 6 secara in vitro. Buletin Littro. vol. XVII No. 1: 39-48.

Rubatzky, V.E., 1998, Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi dan Gizi Edisi kedua, ITB press, Bandung

Salisbury, F., Dan Ros C.W., 1995, Fisiologi tumbuhan jilid 3, ITB, Bandung Sa’roni, N.Y., dan Adjirni, 1999, Pengaruh infus akar som jawa (Talinum

paniculatum Gaertn.) terhadap jumlah dan motilitas spermatozoa pada mencit, Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5 (4): 13- 14

Simpson, Michael. G., 2006, Plant Systematics. Elsivier Academic Press, USA. Sitompul, S.M., dan B. Guritno., 1995, Analisis Pertumbuhan Tanaman, UGM

Press, Yogyakarta

Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, ITB Bandung

Sukardiman, 1996, Perbandingan Profil Kandungan Kimia Akar Talinum paniculatum Gaertn dan Talinum triangulare Wild dengan metode KLT densitometri, Prosiding Seminar Nasional Pokjanas Tanaman Obat Indonesia XI, Surabaya, Hal 52

Suskendriyati, H., Solichatun, dan A.D. Setyawan, 2004, Growth and saponin production Talinum paniculatum gaertn callus cultures with a variety of carbon sources, Biosmart. 6: 19-23

Syahid, S.F., N.N. Kristina., dan D. Seswita, 2010, Pengaruh Komposisi Media Terhadap Pertumbuhan Kalus dan Kadar Tannin dari Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Secara in vitro, Jurnal Littri 16 (1): 1-5 Trimulyono, G., Solichatun, dan S.D. Marliana, 2003, Pertumbuhan Kalus dan

Kandungan Minyak atsiri Nilam (Pogostemon cablin (Blanco) Bth.) dengan Perlakuan Asam α-Naftalen Asetat (NAA) dan Kinetin. Jurnal Biofarmasi 2 (1): 9-14 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.

van Steenis, C.G.G.J., 2002, Flora, Pradnya paramita, Jakarta

Wattimena, G. A., 1992, Bioteknologi Tanaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, IPB Bogor

Wetter, L.R. dan Constabel F., 1991, Metode kultur jaringan tanaman, Bandung, ITB

Widiyani, T, 2006, Efek Antifertilitas Ekstrak Akar Som Jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) pada Mencit (Mus musculus L.) Jantan, Buletin. Penelitian Kesehatan 34 (3): 119-128

Widowati, L., Pudjiastuti, dan B. Nuratmi, 1999, Efek stimulan susunan syaraf pusat infus akar som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) pada mencit putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5 (4): 20-22

Wijayakusuma, H.M., 1994, Tanaman Berkhasiat Obat Indonesia, Jilid 3, Pustaka Kartini, Jakarta

Yachya, A., 2012, Pengaruh Laju Aerasi dan Kerapatan Inokulum Terhadap Biomassa dan Kandungan Saponin Kultur Akar Rambut Ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) dalam Bioreaktor Tipe Balon, Thesis, Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya

Yann, L.K., N.B. Jelodar., dan C.L. Keng, 2012, Investigation on The Effect of Subculture Frequency and Inoculum Size on The Artimisin Content in a Cell Suspension Culture of Artemisia annua L., Australian Journal of Crop Science, ISSN : 1835-2707

Yusnita, 2004, Kultur jaringan, Cara memperbanyak tanaman secara efisien, Agromedia pusat, Jakarta

RINGKASAN

PENGARUH PERIODE SUBKULTUR

TERHADAP KADAR SAPONIN AKAR ADVENTIF TANAMAN GINSENG JAWA (Talinum paniculatum Gaertn.)

Lina Ironika, Y. Sri Wulan Manuhara, Dwi Kusuma Wahyuni Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh periode subkultur terhadap berat kering dan kadar saponin akar adventif tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.). Akar diinduksi dari daun di dalam media Murashige dan Skoog (MS) padat ditambah zat pengatur tumbuh IBA 2 mg/L. Akar adventif yang berumur 11 hari (± 2 cm) disubkultur dengan periode subkultur 2, 3, dan 4 minggu dalam media Murashige dan Skoog (MS) semisolid. Kultur dipelihara selama 10 minggu (70 hari) dan masing-masing perlakuan diulang 10x. Pengambilan data berupa berat segar, berat kering, dan kadar saponin dilakukan pada akhir periode subkultur. Analisis data berat kering menggunakan ANOVA satu arah dan dilanjutkan dengan Uji LSD (taraf signifikasi 5%). Kadar saponin dianalisis deskriptif menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitian menunjukkan rerata berat kering paling tinggi didapatkan pada periode subkultur 4 minggu yaitu 0,0332 gram, luas noda paling tinggi didapatkan pada subkultur 2 minggu yaitu 47 mm2/0,1 g berat kering, dan kadar saponin paling tinggi yaitu 3235 mg/g didapatkan pada subkultur 4 minggu. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu ada pengaruh periode subkultur terhadap berat kering dan kadar saponin akar adventif tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.). Rerata berat kering paling tinggi didapatkan pada periode subkultur 4 minggu yaitu 0,0332 gram. sedangkan kadar saponin paling tinggi ditunjukkan dengan rerata luas noda paling besar pada plat KLT yaitu 47 mm2/0,1 g berat kering.

ABSTRACT

The aims of this study were to determine the effect of subculture period on dry weight and saponin content in adventitious roots ginseng plant of java (Talinum paniculatum Gaertn.). Roots induced from leaves in solid Murashige and Skoog medium (MS) were added growth regulators IBA 2 mg / L. Adventitious roots that were 11 days (± 2 cm) were subjected to period of subculture 2, 3, and 4 weeks in semisolid Murashige and Skoog medium (MS). Cultures maintained for 10 weeks (70 days) and each treatment was repeated 10 times. Retrieval of data in the form of fresh weight, dry weight, and saponin content at the end of subculture period. The data of dry weight were analyzed using one-way ANOVA followed by LSD Test (significance of 5%). Saponin content was descriptive analyzed using Thin Layer Chromatography (TLC) and Spektrofotometer UV-Vis. The results of this study showed that highest average of dry weight obtained at 4-weeks subculture period was 0.0332 gram, the highest average of spot wide obtained at 2-weeks subculture period was 47 mm2 / 0.1 g dry weight, and the highest saponin content was 3235 mg/g obtained at 4-weeks subculture period. The conclusion of this study were there was the influence of subculture period on dry weight and saponin content in adventitious roots ginseng plant of java (Talinum paniculatum Gaertn.). Highest average dry weight obtained at 4-weeks subculture period was 0.0332 gram, while the highest saponin content indicated by the mean area of the spot on a TLC plate was 47 mm2 / 0.1 g dry weight.

Keyword: adventitious roots, saponin, subculture, Talinum paniculatum Gaertn.

PENDAHULUAN

Di Indonesia dunia obat-obatan berkembang cukup pesat, terbukti dengan semakin banyaknya obat-obatan yang beredar di masyarakat. Tanaman ginseng sudah dikenal terutama di negara Cina dan Korea sebagai obat sejak 5.000 tahun yang lalu. Meskipun demikian, ginseng tidak hanya dapat tumbuh di Korea. Di berbagai negara lainnya, seperti Amerika Serikat, Cina, Kanada, bahkan Pulau Jawa, ginseng dapat tumbuh dengan jenis dan kualitas yang berbeda.

Umbi atau akar ginseng jawa mempunyai kandungan senyawa kimia yang berkhasiat bagi kesehatan manusia (Rubatzky, 1998). Senyawa kimia yang terdapat dalam akar tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) di antaranya adalah golongan terpenoid dan steroid yang berpotensi sebagai bahan pengganti ginseng korea (Panax sp.) yang masih diimpor dari Cina dan Korea (Sukardiman, 1996; Hidayat, 2005). Secara tradisional ginseng jawa digunakan

untuk diare, anti radang, aprodisiaka (obat kuat), dan penambah vitalitas (Wijayakusuma, 1994). Dari penelitian fitokimia diketahui ginseng jawa mempunyai kandungan kimia saponin, triterpen, polifenol, minyak atsiri (Komatsu, 1982). Kandungan kimia yang paling penting dan dominan dalam akar tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) adalah saponin (Cahyo, 2011). Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang mampu menghambat pertumbuhan kanker kolon dan membantu kadar kolesterol menjadi normal (Arnelia, 2004).

Budidaya tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) dapat dilakukan dengan cara generatif (biji), vegetatif (stek batang) dan teknik kultur jaringan (Hendaryono & Wijayani, 1994). Kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman dalam kondisi aseptik dalam medium buatan (Wetter dan Constabel, 1991). Di dalam medium kultur jaringan harus terdapat unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan tanaman diantaranya adalah penambahan zat pengatur tumbuh (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Aplikasi zat pengatur tumbuh mempunyai peluang yang cukup besar karena dapat memanipulasi metabolit sekunder seperti senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin yang dikandungnya. Salah satu penggunaan zat pengatur tumbuh tersebut, di antaranya adalah auksin. Fitriyah (2008) telah berhasil menginduksi akar tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) dengan zat pengatur tumbuh auksin IBA 2 ppm secara in vitro.

Di dalam teknik kultur jaringan tanaman, nutrisi dan suplai oksigen yang diberikan dalam jumlah yang terbatas. Hal ini menyebabkan akar lama kelamaan pertumbuhannya akan terhenti (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Oleh karena itu diperlukan suatu teknik subkultur dalam memenuhi nutrisi dan oksigen yang diperlukan oleh jaringan tersebut untuk tumbuh. Rijhwani, dan Shanks (1998) telah berhasil melakukan penelitian tentang efek dari siklus subkultur terhadap pertumbuhan dan produksi indol alkaloid pada akar rambut Catharanthus roseus.

Pada saat ini penelitian tentang pengaruh periode subkultur terhadap kadar saponin ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) belum pernah dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memberikan informasi tentang

pengaruh periode subkultur yang terbaik untuk meningkatkan kadar saponin akar adventif tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.).

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Juli 2012 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga Surabaya.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian meliputi eksplan daun ginseng jawa, bahan penyusun media Murashige dan Skoog (1962), zat pengatur tumbuh auksin IBA 2 ppm, larutan KOH, clorox 10 %, alkohol 70 %, saponin (Calbiochem), etanol 96 %, anisaldehid, asam asetat glacial, asam sulfat pekat, dan 2-propanol. Alat yang digunakan meliputi autoclave, Laminar Air Flow (LAF), oven, timbangan analitik, magnetic stirer, dan waterbath, botol kultur, pinset, scalpel, alat-alat dari gelas (erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, gelas beker labu ukur, corong), bunsen, spatula, sprayer, kompor listrik, mortar, mikropipet, plat Kromatografi Lapis Tipis silica gel GF254 (Merck), oven, dan kamera.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan periode subkultur (tanpa subkultur, subkultur 2 minggu, subkultur 3 minggu, dan subkultur 4 minggu) dengan menggunakan 10 replikasi pada masing-masing perlakuan. Pengulangan yang dilakukan merupakan pengulangan cawan petri dengan masing-masing cawan petri berisi 6 eksplan. Untuk semua perlakuan didapatkan pengulangan sebanyak 4 x 10 yaitu 40 pengulangan.

Prosedur kerja

Eksplan daun tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) dilakukan sterilisasi bertingkat dengan menggunakan larutan detergen selama 3 menit dan larutan klorox 10 % selama 4 menit kemudian dibilas dengan menggunakan akuades sebanyak tiga kali. Daun yang telah disterilisasi kemudian

dipotong 1-2 cm dan ditanam dalam media MS padat yang mengandung zat pengatur tumbuh auksin IBA 2 ppm di dalam botol kultur selama 11 hari. Akar adventif kemudian dilakukan subkultur di dalam cawan petri (satu cawan petri berisi 6 eksplan) sesuai dengan perlakuan periode subkultur 2, 3, dan 4 minggu, sedangkan pada kontrol tidak dilakukan subkultur. Akar adventif yang telah berumur 70 hari kemudian ditimbang berat segar dan berat kering akar. Berat kering akar didapatkan dengan memasukkan ke dalam oven pada suhu 500C selama 7 hari kemudian akar ditimbang. Sebanyak 0,1 gr berat kering akar kemudian dilakukan ekstraksi menggunakan 10 ml etanol 96 % dan dipanaskan di dalam waterbath pada suhu 800C selama 45 menit kemudian dipekatkan sampai volume 0,2 ml (Stahl, 1985). Hasil ekstraksi kemudian dianalisis kadar saponin secara semikuantitatif dan kuantitatif. Secara semikuantitatif menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), sedangkan kuantitatif menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada λ = 365 nm (Stahl, 1985).

Analisis kadar saponin secara semikuantitatif dilakukan dengan menotolkan 5 µL pada plat silica gel GF254 kemudian dilakukan elusi menggunakan larutan propanol:air (14:3) (Yachya, 2012). Untuk mengetahui noda saponin digunakan pereaksi penyemprot anisaldehid-asam sulfat. Analisis kadar saponin secara kuantitatif menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada λ = 365 nm (Stahl, 1985). Untuk mengetahui kandungan saponin yang didapatkan, maka terlebih dahulu dibuat kurva standar saponin dengan konsentrasi 2,5; 5; 7,5; 10 ppm dengan panjang gelombang 365 nm. Kurva standar yang diperoleh menunjukkan hubungan antara nilai absorbansi dengan konsentrasi saponin, sehingga dapat diketahui kandungan saponin sampel dari nilai absorbansinya. Untuk mengetahui nilai saponin dalam mg/g (Suskendriyati et al., 2004)maka digunakan rumus:

S = Saponin di dalam sampel x fp Berat sampel

fp = faktor pengenceran Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini berupa berat kering dan kadar saponin. Berat kering dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji

parametrik menggunakan one way ANOVA dengan taraf signifikasi 5%. Selanjutnya dilakukan analisis Post Hoc Test dengan Uji LSD dengan taraf signifikasi 5 % untuk mengetahui perbedaan nyata antar variabel.

Analisis kadar saponin dilakukan secara deskriptif menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Spektrofotometer UV-Vis pada λ 365 nm. Analisis menggunakan Kromatografi Lapis Tipis dengan menotolkan ekstrak etanol akar adventif yang sudah dipekatkan ke Plat silica gel GF254. Noda saponin yang terbentuk diukur dan dihitung luasnya/0,1 g berat kering sampel. Data luas noda saponin merupakan gambaran kadar saponin pada sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Pada periode subkultur 2 minggu didapatkan rerata berat segar akar 0,4298 gram, sedangkan pada perlakuan periode subkultur 3 minggu dan 4 minggu berturut-turut yaitu 0,3074 dan 0,4578 gram. Rerata berat segar pada kontrol relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan berat segar hasil dari perlakuan periode subkultur yaitu 0,4706 gram. Rerata berat kering akar pada perlakuan periode subkultur 2 minggu relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa subkultur) yaitu 0,0318 gram pada perlakuan dan 0,0319 gram pada kontrol. Hal ini terjadi juga pada periode subkultur 3 minggu yaitu 0,0251 gram. Sedangkan pada periode subkultur 4 minggu rerata berat kering yang dihasilkan bila dibandingkan dengan kontrol relatif lebih tinggi yaitu 0,0332 gram (Tabel 1). Tabel 1. Rerata berat segar dan berat kering akar adventif tanaman ginseng jawa

(Talinum paniculatum Gaertn.) pada berbagai periode subkultur (n=10).

Periode subkultur Rerata berat segar akar (g) Rerata berat kering akar (g)

Tanpa subkultur 0,4706 ± 0,112 0,0319 ± 0,007a

2 minggu 0,4298 ± 0,052 0,0318 ± 0,003a

3 minggu 0,3074 ± 0,049 0,0251 ± 0,004b

4 minggu 0,4578 ± 0,137 0,0332 ± 0,008a

Keterangan : Huruf a,b,c yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan berdasarkan Uji LSD (taraf signifikansi 5 %).

Gambar 1. Spot (noda) saponin akar adventif pada plat kromatografi lapis tipis silica gel GF254 menggunakan eluen isopropanol:air (14:3), (S) saponin standart, (K) Tanpa subkultur, (A) Subkultur 2 minggu, (B) Subkultur 3 minggu, (C) Subkultur 4 minggu. Skala 1 cm.

Dari gambar 1. diketahui bahwa pada saponin standart (Calbiochem) terdapat 2 jenis saponin. Hal ini dibuktikan dengan adanya 2 noda berwarna hijau. Sedangkan pada akar adventif tanaman ginseng jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) baik pada kontrol maupun pada perlakuan tidak hanya terdapat senyawa metabolit sekunder saponin, tetapi juga didapatkan beberapa senyawa metabolit sekunder yang lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya warna biru-keunguan pada plat KLT yang telah disemprot menggunakan penampak noda anisaldehide-H2SO4

setelah dipanaskan selama 7-10 menit pada suhu 100-1100C (Gambar 1).

Tabel 2. Rerata berat kering dan kadar saponin pada berbagai periode subkultur yang berbeda.

Periode

subkultur Rerata berat kering (g) saponin Kadar (ppm)

Kadar saponin

(mg/g)

Rerata luas noda saponin (mm2/0,1 g berat kering) Tanpa subkultur 0,0319 ± 0,007 478 2390 18,75 ± 2,475 2 minggu 0,0318 ± 0,003 570 2850 47 ± 2,828 3 minggu 0,0251 ± 0,004 518 2590 46 ± 1,414 4 minggu 0,0332 ± 0,008 647 3235 28,5 ± 12,021

Dari tabel 2 diketahui bahwa kadar saponin yang paling tinggi terdapat pada periode subkultur 4 minggu 3235 mg/g, sedangkan kadar saponin paling rendah terdapat pada kontrol 2390 mg/g. Kadar saponin pada periode subkultur 2 minggu lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar saponin pada periode subkultur 3 minggu yaitu 2850 mg/g, sedangkan pada periode subkultur 3 minggu 2590 mg/g. Urutan kadar saponin dari yang terbesar hingga terkecil adalah 3235; 2850; 2590; 2390 mg/g.

Rerata luas noda saponin relatif lebih tinggi pada perlakuan periode subkultur bila dibandingkan dengan kontrol. Pada periode subkultur 2 minggu rerata luas noda saponin yang dihasilkan adalah 47 mm2/0,1 g berat kering, sedangkan pada periode subkultur 3 minggu rerata luas noda saponin yang dihasilkan adalah 46 mm2/0,1 g berat kering dan pada periode subkultur 4 minggu rerata luas noda saponin adalah 28,5 mm2/0,1 g berat kering (Tabel 2).

Pembahasan

Dari tabel 1 diketahui bahwa rerata berat kering paling tinggi terdapat pada perlakuan periode subkultur 4 minggu bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa subkultur). Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi dan oksigen yang terdapat di dalam media mampu mendukung pertumbuhan optimal akar adventif tanaman ginseng jawa sampai 4 minggu, sehingga perlakuan subkultur berpengaruh dalam menyuplai nutrisi dan oksigen untuk pertumbuhan akar. Hal ini sesuai dengan penelitian Yann, et al., (2012) bahwa subkultur 4 minggu secara terus-menerus mampu meningkatkan biomassa kalus pada Artemisia annua L. Keng, et al., (2008) juga menyebutkan bahwa periode subkultur 4 minggu yang dilakukan hingga lima kali periode subkultur mampu meningkatkan biomassa kalus pada Melastoma malabathricum.

Sedangkan pada subkultur 2 minggu dan 3 minggu didapatkan rerata berat kering yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rijhwani dan Shanks (1998) yaitu berat kering yang didapatkan dari perlakuan subkultur 2 minggu dan 3 minggu lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode subkultur 4 minggu. Hal ini dikarenakan

pada penelitian Rijhwani dan Shanks (1998) berat kering akar diukur mulai umur akar 0 hari hingga akar berumur 35 hari, dimana pertumbuhan akar rambut masih dalam fase eksponensial, sedangkan pada penelitian ini berat kering diukur pada umur akar 10 minggu (70 hari) sehingga pertumbuhan akar adventif sudah mencapai fase stasioner atau bahkan fase kematian. Abbas (2011) menyatakan kebutuhan hara untuk pertumbuhan optimal eksplan yang dikultur secara in vitro bervariasi di antara tiap-tiap spesies tanaman.

Kadar saponin dalam ekstrak etanol ginseng jawa dideteksi dengan membandingkan nilai Rf (retardation factor) noda yang terbentuk pada ekstrak etanol akar adventif ginseng jawa dengan larutan saponin standar (Calbiochem) dan warna noda setelah mendapat perlakuan pereaksi penampak noda anisaldehid-asam sulfat. Nilai Rf diperoleh dari perbandingan antara jarak titik pusat noda dari titik awal dengan jarak garis depan dari titik awal (Stahl, 1985). Menurut Yachya (2012) kedua zat dikatakan sama bila perbandingan fingerprint sampel dengan sebuah standar obat, jumlah, sekuen, posisi dan warna dari zona identik atau sama.

Dokumen terkait