• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Berdasarkan penelitian ini peneliti memberi saran akan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Sebagian besar penelitian lain telah menunjukkan terdapat hubungan tumor infiltrating lymphocytes (TILs) dan nilai mitotic index terhadap metastasis pada melanoma maligna, namun berbeda dengan hasil yang ditunjukkan oleh penelitian ini yang hanya bisa menggambarkan distribusi frekuensi. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah studi lanjutan dengan desain penelitian cohort dengan sampel yang lebih besar agar mampu benar-benar menggambarkan keadaan populasi melanoma maligna secara nyata.

2. Berkaitan dengan hasil penelitian, rata-rata usia pasien melanoma maligna adalah 59 tahun dan pasien banyak yang mengalami metastasis. Oleh sebab itu, penulis berharap kesadaran masyarakat terhadap manifestasi klinis melanoma maligna berupa “ABCDEF” dan segera berobat.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Melanoma Maligna. 2.1.1. Definisi.

Melanoma maligna adalah sebuah kanker dari sel yang menghasilkan melanin. Oleh karena itu, bisa timbul pada kulit, mukosa, retina, dan leptomeninges (Chan dan Greenbaum, 2013). Melanoma maligna merupakan sebuah keganasan dari sel yang menghasilkan pigmen (melanosit), biasanya berada di kulit tapi juga ditemukan di telinga, saluran pencernaan, mata, mulut, mukosa genital, dan leptomeninges (McCourt, Dolan, dan Gormley, 2014).

2.1.2. Epidemiologi.

Meskipun melanoma maligna terhitung hanya 4% dari semua kanker kulit, melanoma maligna menyebabkan 80% kematian dari kanker kulit (Miller dan Mihm, 2006). Melanoma maligna terhitung 3% dari semua keganasan di seluruh dunia. Melanoma maligna kanker yang paling banyak pada dewasa muda (20-39 tahun) dan paling banyak menyebabkan kematian karena kanker (Chan dan Greenbaum, 2013).

Secara geografis, insiden dan mortalitas bervariasi di seluruh dunia. Kejadian melanoma maligna tertinggi dimana Negara yang populasinya didominasi oleh Caucasian (kulit putih) dan rendah pada Negara yang berpenduduk asli Asian atau African (de Vries et al., 2006). Semua Negara Eropa melaporkan insiden melanoma maligna tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Sebaliknya, di Australia dan Amerika Utara laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (MacKie, Hauschild, dan Eggermont, 2009) sedangkan untuk bagian tubuh yang sering ditemukan pada laki-laki adalah trunkus dan pada perempuan sering pada daerah tungkai dan trunkus. Jarang ditemukan pada bagian tubuh yang tertutup pakaian (Pasaribu, 2006).

Penyebab utama terjadi peningkatan insiden melanoma maligna secara umum adalah paparan radiasi ultraviolet (UV). Menurut Elwood et al. dalam MacKie, Hauschild, dan Eggermont (2009), terpapar sinar matahari yang

membakar kulit dalam waktu singkat tapi berulang-ulang diketahui sebagai faktor risiko utama (MacKie, Hauschild, dan Eggermont, 2009).

2.1.3. Faktor Risiko. a. Faktor Genetik

Berdasarkan hasil penelitian 25-40% dari anggota keluarga yang menderita melanoma maligna diidentifikasi terdapat germline mutation pada cyclin-dependent kinase inhibitor 2A (CDKN2A) dan juga sedikit didapatkan mutasi pada cyclin-dependent kinase 4 (CDK4). Terdapat dasar rasional untuk hubungan antara kejadian melanoma dan mutasi pada CDKN2A dan CDK4 karena kedua tersebut adalah tumor-suppresor genes (Miller dan Mihm, 2006). Lima sampai sepuluh persen dari semua melanoma maligna adalah dari pasien dengan familial atypical multiple mole melanoma syndrome (FAMMM). Pasien dengan FAMMM mempunyai risiko 70% selama hidup untuk berkembangnya sebuah melanoma maligna (Holterhues, 2011).

Mutasi pada tumor-suppressor genes seperti c-kit, p53, dan BRAF dilaporkan meningkatkan risiko melanoma maligna. Namun, masih belum jelas seberapa pentingya mutasi dari gen-gen ini dianggap sebagai faktor risiko melanoma maligna (Holterhues, 2011).

b. Faktor Lingkungan

Paparan radiasi ultraviolet (UV) dari matahari menjadi faktor penting dikaitkan dengan peningkatan kejadian melanoma maligna, terutama pada sinar matahari yang membakar kulit dalam waktu singkat tapi berulang-ulang (Putra, 2008). Dari hasil penelitian yang lain juga memperlihatkan bahwa paparan sinar matahari yang berlebihan, berulang-ulang tetapi dalam waktu singkat (intermittent), dan lama dapat menyebabkan terjadinya melanoma maligna. Terutama pada waktu intens terpapar oleh sinar matahari seperti membakar kulit pada waktu anak-anak ataupun remaja menjadi faktor risiko melanoma maligna (Holterhues, 2011).

Perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih menyukai berjemur ataupun karena pekerjaan yang memang harus terpapar matahari juga menjadi risiko terjadinya melanoma. Sama halnya dengan pemakaian sunbed (MacKie, Hauschild, dan Eggermont, 2009).

c. Fenotipe

Orang Caucasian, rambut pirang atau merah, banyak freckles (ephelides), terdapat lebih dari 50 banal melanocytic nevi, nevi besar, atypical nevi, dan dysplastic nevi merupakan faktor risiko melanoma maligna (MacKie, Hauschild, dan Eggermont, 2009).

d. Status Sosio-ekonomi

Melanoma maligna lebih sering pada orang yang memiliki status sosio-ekonomi tinggi memungkinkan mereka terkena terpapar sinar UV berulang-ulang tapi dalam waktu singkat yang tinggi dan berlebihan (olahraga outdoor, olahraga musim dingin, dan sunbathing). Peningkatan kekayaan pada Caucasian dalam waktu 6 dekade ini berkontribusi dalam peningkatan insiden melanoma maligna (de Vries et al., 2006).

e. Penyakit Dahulu dan Penyerta

Orang yang berisiko selanjutnya, yaitu orang yang pernah menderita melanoma maligna sebelumnya, yang menderita xeroderma pigmentosum, giant congenital pigmented naevus. Selain itu, orang yang dengan kondisi immune compromised seperti terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), Hodkin’s disease, dan orang yang mendapat terapi cyclosporine A berisiko menderita melanoma maligna (Chan dan Greenbaum, 2013).

2.1.4. Patofisiologi.

a. Proliferasi dari Melanosit (benign lesions)

Hal yang pertama terjadi yaitu sebuah proliferasi dari melanosit menjadi benign nevus. Secara klinis, nevi ini berbentuk datar dan sedikit menonjol dengan warna yang seragam atau gambaran teratur

dari pigmen dot-like pada sebuah latar yang cokelat atau hitam kecokelatan. Secara histologi, lesi ini memiliki peningkatan jumlah dari kumpulan melanosit yang bersarang sepanjang lapisan basalis (Paek et al., 2008).

b. Dysplastic Nevi (random atypia)

Selanjutnya perkembangan dari pertumbuhan yang abnormal. Ini mungkin terdapat pada tempat yang sebelumnya ada benign nevus atau pada tempat yang baru. Secara klinis lesi ini mungkin asimetris, batasan tidak rata, mengandung lebih dari satu warna, atau memiliki diameter yang lebih besar. Secara histologi, lesi ini memiliki sel yang abnormal bentuk yang bebas dan sel-selnya tidak berdampingan lagi (Miller dan Mihm, 2006).

c. Fase Radial-growth (pertumbuhan intraepidermal)

Selama fase radial-growth, sel-sel memiliki kemampuan untuk berproliferasi secara intraepidermal. Secara klinis, lesi ini kadang-kadang bisa menonjol. Lesi ini tidak lagi memperlihatkan sel abnormal yang bebas dan sebagai gantinya dia memperlihatkan bentuk sel kanker di seluruh lesi (Paek et al., 2008).

d. Fase Vertical-growth (invasi dermis)

Lesi yang berlanjut ke fase vertical-growth memiliki kemampuan untuk masuk ke dermis dan membentuk nodul besar, meluas ke papillary dermis. Sel-sel kanker bisa juga masuk ke reticular dermis dan sel adipose (Miller dan Mihm, 2006).

e. Metastasis Melanoma

Akhir dari semua perkembangan kanker yaitu berhasil menyebarkan sel-sel kanker ke bagian kulit lain dan organ-organ tubuh lainnya, dimana sel-sel tersebut bisa berproliferasi dan metastasis (Miller dan Mihm, 2006).

2.1.5. Manifestasi Klinis.

Manifestasi klinis ditemukan pada melanoma maligna sudah dikenal dengan “Melanoma Maligna ABCDEF”, sebagai berikut:

 A-Asymetry, yaitu bentuk tumor yang asimetris

 B-Border irregularity, yaitu garis batas yang tidak teratur

 C-Color variegation, yaitu memiliki lebih dari satu warna seperti cokelat atau hitam. Bisa juga merah, biru, abu-abu, hipopigmentasi atau depigmentasi

 D-Diameter, yaitu diameter tumor lebih dari 6 mm

 E-Evolution atau change, yaitu ada perubahan dari warna, ukuran, simetris, dan gejala

 F-Funny-looking lesions (Bandarchi et al., 2010; Holterhues, 2011) 2.1.6. Diagnosis.

a. Anamnesis

Memberikan pertanyaan riwayat terpapar sinar matahari yang lama, riwayat kulit terbakar yang berulang akibat paparan sinar matahari, riwayat menderita melanoma maligna sebelumnya ataupun keluarga yang pernah menderita melanoma maligna, riwayat immunosuppressant diseases, dan jika memang ada lesi ditanyakan sesuai Glasgow 7-point checklist dimana jika ada 2 poin dari kriteria mayor seperti perubahan ukuran, perubahan warna, dan perubahan bentuk dengan 1 poin dari kriteria minor seperti mengeluarkan darah, perubahan sensasi, inflamasi atau diameter lebih dari 7 mm. jika didapatkan 3 poin maka dicurigai terdapat keganasan kulit (McCourt, Dolan, dan Gormley, 2014).

b. Pemeriksaan Fisik

Ada 4 jenis melanoma maligna yang berbeda terlihat dari gambaran klinis:

Superficial Spreading Melanoma (SSM) merupakan 70% jenis melanoma maligna, biasanya berkembang pada tempat yang sebelumnya ada naevus, mengalami perubahan yang lambat hingga membutuhkan beberapa tahun, kemudian tumbuh secara

vertikal dan berkembang menjadi nodula biru kehitaman. Berupa plak berukuran 0,5 – 3 cm dengan tepi meninggi dan ireguler. Terdapat bermacam-macam warna, seperti abu-abu, biru, hitam, dan kemerahan (Swetter, Geller, dan Kirkwood, 2004).

Nodular melanoma (NM), terhitung 15% dari semua melanoma maligna dan bisa menjadi lebih agresif daripada SSM dengan permulaan klinis yang pendek. Lesi ini berasal dari de novo di kulit dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan, biasanya di

badan, kepala, atau leher. Biasanya berupa papula berwarna biru atau hitam, diameternya 1-2 cm, dan berbatas tegas (Chan dan Greenbaum, 2013).

Lentigo Maligna Melanoma (LMM), jenis ini jarang ditemukan di Indonesia, di Negara barat lokasi yang tersering pada wajah sekitar 4-10% dan umumnya pada usia tua, pertumbuhannya vertikal dan sangat lambat, berupa makula kecokelatan. LMM berhubungan dengan paparan sinar matahari yang panjang dan intens, lebih sering terkena perempuan daripada laki-laki (Goldstein dan Goldstein, 2001).

Acral Lentigo Melanoma (ALM), ini biasanya banyak ditemukan pada orang kulit berwarna. Biasa pada orang Asia terutama Jepang, terhitung insiden 70% di Jepang. Lesi ini berwarna dan sering ditemukan pada telapak tangan, telapak kaki, atau di bawah nail bed. Jenis ini dinyatakan paling agresif dibanding jenis yang lain (Bandarchi et al., 2010).

c. Pemeriksaan dermoskopi

Pemeriksaan ini dilakukan sesuai dengan manifestasi klinis “Melanoma Maligna ADCDEF” (Suyatno dan Pasaribu, 2010).

d. Pemeriksaan Histopatologi dengan Biopsi

Pemeriksaan histopatologi dengan biopsi ini merupakan standar diagnosis melanoma maligna. Apabila ditemukan lesi pigmentasi yang diduga melanoma maligna setelah lesi pigmentasi memenuhi 2 kriteria mayor dan 1 kriteria minor maka selanjutnya dilakukan biopsi eksisi luas. Semua lesi yang diduga melanoma maligna seharusnya dihilangkan sempurna vertikal dan horizontal (Suyatno dan Pasaribu, 2010). Prinsip biopsi harus sempurna, jenis biopsi tergantung pada ukuran dan lokasi anatomi lesi. Bila kurang dari 2 cm dilakukan eksisi tumor dengan batas tumor 2-5 mm sedangkan insisi tumor dilakukan ketika diameter lesi lebih dari 2 cm dan secara anatomi letak lesi sulit seperti di daerah wajah (Rager, Bridgeford, dan Ollila, 2005). Tindakan lymph node dissection dan terapi adjuvan dipengaruhi oleh kedalaman lesi. Untuk 5-6 mm punch biopsy dilakukan untuk mengambil lesi yang mencapai subcutaneous fat (Goldstein dan Goldstein, 2001)

Laporan histopatologi setidaknya memuat sesuai NIH Consensus Conference of 1992 dan the French Consensus Conference of 1995, sebagai berikut:

 Diagnosis lesi memang berasal dari sel melanosit dan konfirmasi keganasan

 Ketebalan tumor dalam milimeter (berdasarkan metode Breslow)

 Penilaian kesempurnaan eksisi

 Tingkat invasi (Clark)

 Ada dan luas regresi

 Ada dan luas ulkus Tambahan parameter, yaitu:

 Jenis histologi

 Bertempat di lesi sebelumnya

Mitotic index

 Tipe sel

Tumor infiltrating lymphocytes (TILs)

 Fase pertumbuhan; vertikal atau radial (Négrier et al., 2001)

Ketentuan metode Breslow (Suyatno dan Pasaribu, 2010), sebagai berikut:

 Golongan I : Ketebalan tumor < 0,76 mm

 Golongan II : Ketebalan tumor 0,76-1,5 mm

 Golongan III : Ketebalan tumor > 1,5 mm Tingkat invasi berdasarkan Clark (Herbst, 2014):

 Tingkat I : Sel melanoma maligna terletak di lapisan luar kulit (epidermis), disebut juga melanoma maligna in situ

 Tingkat II : Sel melanoma maligna tepat dibawah lapisan epidermis (papillary dermis)

 Tingkat III: Sel melanoma maligna sampai dengan perbatasan papillary dermis dan reticular dermis

 Tingkat IV: Sel melanoma maligna sampai ke lapisan reticular dermis

 Tingkat V : Sel melanoma maligna tumbuh sampai lapisan lemak di bawah kulit (subcutaneous fat).

2.1.7. Prognosis. a. Usia

Beberapa penelitian melaporkan bahwa seiring bertambah usia pasien menandakan prognosis buruk sesuai hubungannya dengan overall survival rates. Laki-laki dengan usia lebih dari 60 tahun memiliki mortalitas yang tinggi pada melanoma maligna. Seperti yang diketahui bahwa semakin bertambah usia berpengaruh terhadap penurunan mekanisme pertahanan imun tubuh (Nagore et al., 2006).

b. Jenis kelamin

Banyak dari penelitian telah melaporkan bahwa perempuan memiliki survival rates yang lebih baik daripada laki-laki, walau telah disesuaikan juga dengan tebal tumor dan letak tumor (de Vries et al., 2007).

c. Letak tumor

Letak melanoma maligna sesuai anatomi berbagai hasil dampaknya terhadap survival rate. Sesuai penelitian yang dilakukan AJCC, letak melanoma maligna di badan, kepala, dan leher berhubungan dengan prognosis buruk daripada letak melanoma maligna di ekstremitas (Garbe et al., 1995).

d. Ketebalan tumor

Ketebalan tumor beradasarkan metode Breslow dari tumor primer menunjukkan hubungan dengan survival rate pada penyakit stage I dan II. semakin meningkat ketebalan tumor semakin menurun survival rate. Sebelum AJCC 7th edition tahun 2009 di publikasikan, tingkat invasi Clark berpengaruh terhadap survival rate, namun sekarang sudah digantikan posisinya oleh mitotic index (de Vries et al., 2006).

e. Ulkus

Ulkus disebut sebagai faktor bebas prognosis di dalam AJCC 7th edition tahun 2009 yang mana sangat berhubungan dengan survival. Terdapat ulkus pada tumor primer berisiko berkembangnya penyakit lebih parah dan menurunkan survival rate. Ulkus berhubungan dengan ketebalan tumor, dimana ulkus jarang pada melanoma maligna yang tipis (6% untuk melanoma maligna < 1 mm) dan banyak pada melanoma maligna yang tebal (63% untuk melanoma maligna > 4 mm). pada penyakit stage III, ulkus berpengaruh yang signifikan pada overall survival (Balch et al., 2009).

f. Mitotic Index

Pada beberapa pustaka dan penelitian memperlihatkan hasil yang mendukung hubungan yang signifikan antara tumor mitotic index dengan

prognosis pada melanoma maligna. Mitotic index dihitung sebagai jumlah mitosis per millimeter kuadrat, ini biasanya dihitung jumlah mitosis yang nampak pada 5 lapangan pandang mikroskop daya kuat (x40), dimulai dari lapangan pandang yang paling banyak mitosis. Pada AJCC 7th edition tahun 2009 sudah dicantumkan mitotic index sebagai salah satu penentu staging. Pada pasien dengan mitotic index 0/mm² memiliki hasil yang signifikan untuk survival rate yang baik daripada pasien dengan mitotic index 1/mm² (Paek et al., 2008).

g. Faktor histologi lain

Faktor lain yang mungkin berpengaruh pada prognosis melanoma maligna seperti terdapat microsatellitosis, tumor infiltrating lymphocytes (TILs), regresi, tumor lymphamgiogenesis, dan radial versus vertical growth phase (Paek et al., 2008).

2.2. Mitosis. 2.2.1. Definisi.

Mitosis adalah pembelahan sel dari 1 sel induk membelah menjadi 2 sel anak yang mempunyai struktur genetika sama dengan sel induknya. Pada saat mitosis rantai ganda DNA yang merupakan pembawa informasi gen terbelah menjadi 2 rantai tunggal (Sukardja, 2000).

Pembelahan sel secara mitosis dilaksanakan untuk memperbanyak sel yang ada dalam tubuh makhluk hidup sehingga makhluk hidup ini dapat bertumbuh (Junowo dan Juniarto, 2000).

2.2.2. Fase. a. Profase

Pada profase didalam inti nampak terdapat kromosom yang berupa benang-benang halus. Dalam inti sel akan dapat dilihat bahwa nukleolus akan mulai mengecil dan akhirnya menghilang dan membran inti juga menghilang. Selain itu, sentriol menggandakan diri dan masing-masing menuju kutub. Fase ini berlangsung selama kurang lebih 1 jam (Sukardja, 2000).

b. Metafase

Sentriol yang ada di kutub nampak terdapat benang-benang halus menuju equator kromosom mengatur diri menuju equator dan membelah diri menjadi 2 bagian yang sama. Terbentuklah 2 sel anak yang sama besar. Fase ini berlangsung kurang dari 1 jam (Juwono dan Juniarto, 2000).

c. Anafase

Kromosom memisahkan diri di equator dan masing-masing menuju kutub-kutub pembelahan sel dan disamping itu membran plasma akan tampak mulai berubah sehingga sel akan tampak lebih memanjang. Fase ini berlangsung kurang lebih setengah jam (Sukardja, 2000).

d. Telofase

Pada fase ini akan terbentuk membran inti yang akan melingkupi kromosom pada masing-masing kutub pembelahan sel. Kromoson juga akan mulai tampak menipis dan akhirnya menjadi kromatin. Pembentukan membran inti diikuti dengan pemisahan sitoplasma berserta organel yang ada. pada akhirnya akan terbentuk 2 sel yang sama dalam bentuk dan sifatnya (Juwono dan Juniarto, 2000).

2.2.3. Siklus Sel.

Untuk sebuah sel membelah, DNA harus diduplikasi dan disebarkan merata ke sel-sel anak. Proses sintesis DNA dan mitosis dipisahkan oleh gaps, selama RNA dan protein dibentuk dan sel mengatur sel itu sendiri untuk proses pembelahan sel berikutnya, tahapan ini disebut siklus sel. Siklus sel terdiri dari 4 fase, yaitu fase Gap 1 (G1), fase Sintesis (S), fase Gap 2 (G2), dan fase mitosis (M) (King, 2000).

Pada fase G1, dimulai dari sel anak yang baru saja membelah. Pada kebanyakan sel, fase ini membutuhkan waktu antara 3-4 jam, tetapi beberapa jenis sel membutuhkan beberapa hari sampai beberapa bulan maupun tahun. Pada fase ini terjadi sintesis RNA yang akan diikuti oleh sintesis protein sehingga sitoplasma akan bertambah banyak dan sel akan tumbuh. Sintesis RNA awalnya terjadi dalam inti sel dimana RNA terbentuk berdasarkan model DNA yang ada

dalam inti sel sehingga sifat-sifat RNA juga akan spesifik sesuai dengan spesies makhluk hidup dan protein yang akan disintesis oleh RNA juga bersifat spesifik (Junowo dan Juniarto, 2000).

Pada fase G1 sel dewasa akan masuk ke zona perbatasan (restriction zone) yang menentukan apakah sel itu akan berhenti tumbuh atau tumbuh terus. Sel yang berhenti tumbuh akan masuk ke fase G0. Sel-sel yang masuk ke fase G0 ada 2 golongan, yaitu stem sel yang dapat tumbuh lagi jika ada rangsangan tertentu dan sel yang tetap tidak akan tumbuh sampai sel itu mati (Sukardja, 2000).

Selanjutnya sel yang akan tumbuh lagi masuk ke fase S. Pada fase ini terjadi sintesis DNA yang berlangsung selama 5-8 jam. Pada fase ini juga dibentuk enzim, protein, dan nucleotide triphosphate. Dalam fase ini, molekul-molekul DNA akan terbentuk melalui proses duplikasi dari molekul-molekul DNA yang sudah ada. Selain itu, pada fase ini juga terjadi pembentukan molekul histon yang menjadi protein dasar kromosom (King, 2000).

Kemudian masuk ke fase G2 yang merupakan fase akhir dari pertumbuhan sel. Pada fase ini sintesis RNA masih tetap berlangsung walaupun sudah mulai berkurang dan berhenti pada saat pembelahan sel. Fase ini hanya berlangsung 2-5 jam. Setelah itu, sel siap masuk ke dalam fase M dimana akan terjadi pembelahan sel sehingga terbentuk 2 sel anak dari 1 sel induk (Slingerland dan Tannock, 1998).

Regulasi primer checkpoint dari fase G1 terdiri dari 3 keluarga protein, yaitu cyclins, cyclin-dependent kinases (CDK), dan cyclin-dependent kinase inhibitors (CDKN). Gambaran molekul dari protein ini juga penting pada checkpoint fase G2 dan M. Kinases mengubah fungsi biologis dari regulasi protein melalui phosphorylation yang merupakan satu jalan umum dari fungsi regulasi. Pengaktifan protein oleh cyclin dan penghambatan protein oleh CDKN berperan dalam checkpoint ini (King, 2000).

Sebuah substrat penting dari kinase adalah protein hasil dari gen retinoblastoma Rb. Protein ini menghambat proliferasi sel pada checkpoint G1. Penekanan ini dilepaskan oleh phosphorylation protein dan didapatkan kembali

oleh dephosphorylation melalui phosphatases protein. Siklus phosphorylation/dephosphorylation berpengaruh dalam pengaturan mekanisme kecepatan proliferasi. Aktivasi CDK juga dihambat oleh CDKN, yang terdiri dari Cyclins Inhibitory Protein/Kinase inhibitory protein (CIP/KIP) protein (meliputi p21, p27, p57) dan keluarga Inhibitor of cyclin-dependent kinase 4 (INK4) yang mengikat pada CDK4 dan CDK6 (Slingerland dan Tannock, 1998).

2.2.4. Apoptosis.

Apoptosis merupakan kematian sel melalui mekanisme genetik dengan kerusakan atau fragmentasi kromosom atau DNA. Salah satu proses apoptosis melalui beberapa jalur, yaitu aktivitas p53, jalur sitotoksik, disfungsi mitochondria, dan kompleks Fas ligand. Apoptosis dipicu oleh aktivitas p53 karena sel mempunyai gen yang rusak karena dipicu oleh banyak faktor, seperti bahan kimia, radikal bebas, maupun virus. P53 merupakan faktor transkripsi terhadap pembentukan p21. Peningkatan p21 akan menghambat semua CDK dan cyclin, dimana siklus sel tergantung ikatan kompleks antara CDK dan cyclin. Apabila terjadi pengikatan p21, semua CDK akan terhambat, baik pada CDK-1 pada fase M maupun CDK4 dan CDK6 pada fase S, kemudian siklus sel akan berhenti sehingga p53 akan memicu aktivitas Bax. Protein Bax akan menekan Bcl-2 sehingga terjadi perubahan membran permeabilitas dari mitochondria yang mengakibatkan pelepasan cytochrome C ke cytosol sehingga akan mengaktivasi kaskade caspase. Caspase aktif ini akan mengaktifkan DNA-se yang akan menembus membrane inti dan merusak DNA, sehingga DNA akan terfragmentasi dan mengalami apoptosis (King, 2000; Slingerland dan Tannock, 1998).

2.2.5. Mitotic Index.

Pertumbuhan jaringan normal maupun jaringan tumor ditentukan oleh keseimbangan antara pembelahan sel atau mitosis, dan kematian sel oleh karena apoptosis. Interaksi antara pembelahan sel dan kematian sel bersifat dinamis. Pada sel jaringan tumor mengalami dedifferentiated dan proliferasi sel yang lebih cepat daripada jaringan normal. Aktivitas sel yang sedang berproliferasi dalam suatu populasi sel dapat diukur dengan mitotic index (King, 2000; Sukardja, 2000).

Pada AJCC 7th edition tahun 2009 mitotic index telah masuk kedalam staging pada melanoma maligna (Balch et al., 2009). Terlihat di tabel klasifikasi tumor primer, sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Primer Klasifikasi

T

Tebal (mm) Status ulkus/mitosis

T1 ≤1,0 a: tanpa ulkus dan mitosis

<1/mm²

b: dengan ulkus atau mitosis ≥1/mm² T2 1,01-2,0 a: tanpa ulkus b: dengan ulkus T3 2,01-4,0 a: tanpa ulkus b: dengan ulkus T4 >4,0 a: tanpa ulkus b: dengan ulkus

Perhitungan mitotic index dilakukan pada jaringan yang telah diwarnai hemtoxylin-eosin yang kemudian dilihat dengan mikroskop dengan pembesaran kuat 400x atau lensa objektif 40x yang mana setara dengan besar area 1 mm². kemudian dihitung jumlah sel yang mengalami mitosis pada 5 sampai 10 lapangan pandang mikroskop, setelah itu dirata-ratakan untuk mendapatkan angka mitotic index per millimeter kuadrat (Paek et al., 2008; Attis dan Vollmer, 2007).

Ada beberapa macam kategori nilai mitotic index dalam penelitian terdahulu. Pada suatu penelitian ada yang hanya mengkategorikan mitotic index menjadi 2 kategori, yaitu absent dan present (Hale et al., 2013). Dalam AJCC edisi ketujuh setidaknya 1/mm² berpengaruh terhadap prognosis melanoma dan juga menjadikan sebagai patokan <1/mm² dan ≥1/mm² sebagai klasifikasi tumor primer (Balch et al., 2009). Pada penelitian lain dapat dilihat pembagian nilai mitotic index setidaknya menjadi 3 kategori yang memilki nilai likelihood ratio lebih tinggi dibanding yang hanya 2 kategori maupun 4 kategori, seperti <1/mm²,

Dokumen terkait