• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTU

V.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan saran, diantaranya:

1. Secara praktis, peneliti menyadari bahwa sebuah berita tidak hanya tersaji begitu saja tanpa adanya konstruksi dari penulis. Oleh karena itu peneliti menyarankan agar khalayak memiliki kesadaran akan hal ini dan bisa mencermati sebuah naskah berita sebelum membuat pemahaman tertentu atas informasi yang didapat dari media massa.

2. Secara akademis, peneliti menyarankan agar ada suatu pemahaman lebih dalam mata kuliah Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU mengenai penelitian dengan metode kualitatif serta tentang paradigma konstruktivis dan kritis. Selain itu juga adanya pembahasan mengenai jurnalistik yang lebih mendalam seperti genre dan teknik peliputan. Hal ini guna mencetak alumni Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang mumpuni dalam mencermati media sebagai dasar literasi media. Saran bagi peneliti lain yang tertarik dengan tema serupa adalah untuk melihat latar belakang media tempat sebuah naskah berita dihasilkan. Hal ini berguna untuk melihat ideologi media yang bisa saja mempengaruhi konten media.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 40). Fungsi teori dalam suatu riset penelitian adalah membantu peneliti dalam menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Kristayanto, 2008: 43).

Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok likiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1995: 40). Ketika suatu masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah tersebut dengan teori-teori yang dipilihnya yang dianggap mampu menjawab penelitian (Bungin, 2008: 31). Teori yang relevan dalam penelitian ini adalah :

II.1 Paradigma

Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan, kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang (Mulyana, 2003: 9).

Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara / mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3)

Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96 – 97).

Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Level ontologi , paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi, paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan menggabungkannya dalam sebuah konsensus.

II.2 Teori Fenomenologi

Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859 - 1938). Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah (atau objektif) bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang (Suyanto, 2005: 178 - 179).

Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang. Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku. (Bungin, 2003).

Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan (Ardianto, 2007: 129)

Dalam proses memproduksi berita, Eriyanto (2002: 106) menuliskan bahwa pemahaman wartawan erat kaitannya dengan pengertian dan anggapan persepktif wartawan dalam melihat beragam fenomena yang terjadi pada masyarakat. Ada semacam standar yang harus ditaati wartawan agar laporan yang ia berikan mempunyai nilai yang akan diinformasikan kepada masyarakat. Nilai tersebut tidaklah bersifat personal melainkan dihayati bersama dengan lembaga-lembaga yang dipercaya dalam mengontrol kerja wartawan.

II.3 Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial

Realitas Sosial adalah hasil kostruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak terlepas dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Beger dan Thomas Luckman. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality : A Treatise in The

Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial

dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).

Bagi kaum konstruktivis, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.

Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga

membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Menurut persepektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi ; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi (Bungin, 2008: 188). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap meyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi: Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media massa, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun

penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan kontruksi.

Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstrusinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas.

Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (news values) dan unsur kelayakan berita (news worthy) dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam keseluruhan teks berita. Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan.

Ada empat teknik framing yang biasa dipakai wartawan untuk membingkai ketiga bagian tersebut, yaitu : (1) Cognitive dissonance (ketidaksesuaian sikap dan perilaku) ; (2) Emphaty (membentuk pribadi khayal) ; (3) Packing (daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan) ; dan (4) Association (menggabungkan kondisi, kebijakan dan objek yang sedang aktual dengan fokus berita).

Proses Konstruksi Sosial Media Massa

Gambar 1. Proses Konstruksi Sosial Media Massa

II.4 Faktor-Faktor yang Membentuk Isi Media

Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam

Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content,

menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media, seperti dalam bagan berikut:

Gambar 2. Model Hierarki Teori Pengaruh Isi Media

II.4.1 Level Individual

Terdapat tiga faktor instrinstik pada pekerja media yang dapat mempengaruhi isi media. Pertama ialah karakteristik pekerja, personaliti dan latar belakang pekerja. Kedua, ialah pertimbangan sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Contohnya ialah keperpihakan politik jurnalis atau keyakinan agama jurnalis. Ketiga ialah orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh apakah jurnalis akan mempersepsikan diri mereka sebagai penyimpan kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif dalam membangun cerita (Shoemaker, 1996: 64)

Pada AtjehPost tulisan yang dimuat merupakan hasil produksi anggotanya.

Anggota yang notabanenya adalah reporter mereka terdiri dari orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Hal tersebut turut mempengaruhi mereka dalam memproduksi berita tentang Putri.

Gambar 3. Cara Kerja Faktor Instrinstik Pekerja Media Mempengaruhi Isi Media

Gambar di atas menunjukkan hubungan diantara faktor-faktor instrinstik jurnalis yang melatarbelakangi isi media. Karakteristik, latar belakang dan pengalaman individu mempengaruhi sikap, nilai dan keyakinan yang dimiliki jurnalis dan juga mempenagruhi pengalaman dan latar belakang dalam profesinya. Sebagai contoh, pendidikan terakhir, lingkungan tempat jurnalis dibesarkan, dan karakter pribadi jurnalis akan mempengaruhi sikap, nilai, dan keyakinan yang dipegangnya selama menjadi seorang jurnalis dan juga akan mempenagruhi pengalaman dan dedikasinya sebagai seorang jurnalis. Pengalaman dan dedikasi selama menjadi jurnalis kemudian membentuk bagaimana peranan dan etika jurnalis yang secara langsung mempengaruhi isi media. Sedangkan sikap, nilai dan keyakinan jurnalis secara tidak langsung mempengaruhi isi media sebatas wewenang jurnalis tersebut dalam organisasi media (Shoemaker, 1996: 65).

II.4.2 Level Rutinitas Media

Karl Manheim, sosiolog Jerman, mengatakan bahwa tiap individu tidak berfikir dengan sendirinya. Seseorang hanya berpartisipasi dalam memikirkan

lebig jauh apa yang telah dipikirkan oleh orang lain sebelumnya. Mereka berbicara dalam bahasa kelompoknya, dan berfikir dengan cara pikir kelompoknya. Hal tersebut serupa dengan rutinitas yang terdapat pada organisasi media massa. Rutinitas telah menciptakan pola sedemikian rupa yang terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacaukan. Hal-hal yang mempengaruhi rutinitas media ialah organisasi media itu sendiri (processor), sumber (supplier), dan target khalayak

(consumer) (Shoemaker, 1996: 105-108).

Gambar 4. Hubungan Tiga Sumber yang Mempengaruhi Rutinitas Media

II.4.3 Level Organisasi

Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang mempekerjakan pekerja media dalam usaha untuk memproduksi isi media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan mana yang bukan. Terdapat tujuan yang jelas yang menciptakan kesalingtergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur yang birokratis. Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang jelas dan peran yang terstandarisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki sebuah organsasi media

massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: Apa peran organisasi; Bagaimana organisasi terstruktur; Apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; dan bagaimana kebijakan tersebut dijalankan (Shoemaker, 1996: 142-144).

Dalam organisasi media terdapat tiga tingkatan posisi. Pertama ialah pekerja garda depan seperti penulis, reporter, staf kreatif yang bertugas mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkat menengah, yaitu manajer, editor, produser, dan lainnya yang bertugas mengkoordinasikan proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan saat dibutuhkan melindungi pekerjanya dari tekanan luar (Shoemaker, 1996: 151).

II.4.4 Level Ekstra Media

Selain faktor individu dan karakteristik organisasi media tersebut, isi media juga dipengaruhi oleh faktor di luar media tersebut. Faktor-faktor di luar organisasi media yaitu:

a. Sumber informasi berita. Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media. b. Sumber pendapatan, seperti pemasangan iklan dan audiens, bisa juga

berupa pelanggan/ pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak

memberitakan kasus yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak. c. Pihak eksternal seperti institusi sosial lain yang meliputi organisasi

bisnis dan pemerintah, lingkungan ekonomi dan teknologi. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalammenentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut sistem liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.

II.4.5 Level Ideologi

Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita mempersiapkan dunia kita dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi adalah level yang paling besar dalam model hierarki pengaruh isi media (Shoemaker, 1996: 222).

Raymond William (dalam Eriyanto, 2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.

a. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh sekelompok atau kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalambentuk yag koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demonstrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemonstrasi mengganggu

kelangsungan produksi. Oleh karenanya, demonstrasi tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, mengganggu kemacetan lalu lintas, dan membuat perusahaan mengalami kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi disini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

b. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat -ide palsu atau kesadaran palsu- yang biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural dan diterima sebagai kebenaran. Disini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan politik sampai media massa.

c. Proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.

II.5 Analisis Framing

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat ‘bagaimana’ (how). Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur

kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 200: xv)

Salah satu pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana adalah analisis framing yang tergolong dalam pandangan konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis – empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebaga faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media massa.

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing

adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana persepektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika meyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).

Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.

Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan merekomendasi penanganannya (Entman, 1993: 52). Framing secara esensial, menurut Robert M Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan.

Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan, yaitu apa yang dipilih (include) dan apa yang dibuang (exclude). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu, penempatan yang menyolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi simplifikasi dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.

Prinsip analisis framing menyatakan bahwa pada fakta yang diberitakan dalam media terjadi proses seleksi dan penajaman terhadap dimensi-dimensi tertentu. Fakta tidak ditampilkan secara apa adanya, namun diberi bingkai (framing) sehingga menghasilkan konstruksi yang spesifik.

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis

Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis

framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan

dikonstruksi dan denegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol , menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2002: 252).

Menurut Pan dan Kosicki ada dua konsepsi framing yang saling berkaitan yaitu konsepsi psikologi (internal individu) dan konsepsi sosiologis (sosial). Bagaiman kedua konsepsi yang berlainan tersebut dapat digabungkan dalam suatu model dijelaskan dan dilihat dari bagaimana suatu berita diproduksi dan peristiwa dikonstruksi oleh wartawan. Model Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa setiap

Dokumen terkait