• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Secara umum, bagi peneliti sastra, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pembanding untuk melakukan penelitian agar dapat memecahkan masalah-masalah baru yang ditemukan dalam karya sastra, khususnya novel Jamangilak Tak Pernah Menangis. Selain itu novel Jamangilak Tak Pernah Menangis dapat dijadikan referensi dalam penelitian, sebagai objek penelitian untuk dikembangkan atau ditinjau kembali dari segi sastra, ekokritik, ekofeminisme, feminisme, postkolonial dan lain-lain.

DAFTAR RUJUKAN

Aleida, Martin. 2004. Jamangilak Tak Pernah Menangis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dewi, Novita. 2014. “Ekokritisisme dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia: Sebuah Usulan”. Makalah Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Diharja, J. Prapta. 2016. “Analisis Puisi ‘Rumah’ Karya Darmantao Jt, dengan Pendekatan Semiotik dan Ekologi Sastra. Yogyakarta: Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Politik Partisan. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Endraswara, Suwardi. 2016. Ekokritik Sastra: Konsep, Teori dan Terapan Yogyakarta: Morfolingua.

__________________. 2016. Metode Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan Penerapan. Yogyakarta: CAPS.

Fatimah. 2016. “Analisis Ekokritik Pada Tokoh Sean Anderson dalam Film The Journey 2: The Mysterious Island. Yogyakarta: Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Politik Partisan. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Fransiskus,. 2016. Laudato Si’. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Wali Gereja.

Fromm, Harold, and Cheryll Glotfelty, eds. 1996. Ecocriticism: Landmarks In Literary Ecology. Athens: University of Georgia Press. [online]. Tersedia

https://www.amazon.com/Ecocriticism-Reader-Landmarks-Literary-Ecology/dp/0820317810 [22 Mei 2017]

Harsono, Siswo. 2009. “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan” Semarang: Kajian Sastra; Jurnal Kebahasaan dan Kesusasteraan. [online]. Tersedia

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/kajiansastra/article/view/2702/2607 [22 Mei 2017]

Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ramadhani, Alfi Y. 2013. Relasi antara Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Novel Partikel Karya Dewi Lestari: Sebuah Kajian Ekokritisisme. [online]. Tersedia http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-03/S46846-Alfi%20Yusrina%20Ramadhani [2 Februari 2017]

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sayuti, Suminto. A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Jakob dan Saini K. M. 1985. Apresiasi Kesusastraan: Gramedia.

Supardi, I. 1985. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Bandung: Alumni

SINOPSIS NOVEL

Judul : Jamangilak Tak Pernah Menangis

Pengarang : Martin Aleida

Tahun Terbit : 2004

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tempat Terbit : Jakarta

Tebal : 241 halaman

Cetakan : ke-1

Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis mengisahkan tentang orang-orang yang berjuang menyelamatkan lingkungan hidupnya. Sungai yang menjadi sumber kehidupan manusia dan makhluk lain, serta menjadi penentu berputarnya roda kehidupan ekonomi masyarakat tercemar dan mendangkal. Keadaan lingkungan yang tidak mampu menjamin keberlanjutan kehidupan makhluk hidup ini, membangkitkan niat mereka untuk melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya. Namun tidak semua manusia sadar bahwa keadaan lingkungan akan semakin mengancam manusia jika tidak segera tidak dilakukan tindakan penyelamatan.

Dalam novel ini diceritakan Molek, seorang perempuan yang tidak terima akan keadaan sungai Asahan yang mendangkal akibat sebuah pabrik yang membuang

limbah ke sungai. Limbah pabrik itu mengalirkan lumpur yang mendangkalkan dasar sungai dan mencemari air. Sungai berubah menjadi keruh, berbau, membunuh ikan dan makhluk air lainya, serta tidak layak dilayari kapal besar yang biasa mengangkut barang-barang pertanian masyarakat ke kota.

Molek melakukan aksi protes dengan berdiri di tengah sungai dan memungut pasir, melemparkannya ke tepi sungai sambil menggumamkan kata-kata sesal. Molek dianggap tidak waras oleh warga, namun setiap hari ia tetap melakukan kegiatan anehnya itu. Suatu hari suaminya, Jabosi memilih pergi mencari peruntungan ke daerah lain karena pelabuhan dan sungai yang dulu mendukungnya sebagai pedagang tidak dapat diandalkan lagi. Molek tidak dapat menahan Jabosi. Ia tidak menyangka suaminya tidak setangguh kakeknya, Jamangilak seorang perantau ulung yang tidak mengenal kata menyerah menyeberangi separuh pulau Sumatera dan kemudian terkenal menjadi petani ulung di kota pelabuhan itu.

Setelah ditinggal suaminya, Molek mengubah bentuk protesnya dengan mendatangi rumah dan kantor bupati serta kantor Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Molek orang-orang yang mendiami gedung-gedung itulah yang bertanggung jawab membereskan masalah sungai. Pajak rakyat yang setia dibayarkan seharusnya dapat digunakan untuk mengeruk dasar sungai sehingga tidak lagi menjadi dangkal. Molek memang tidak mendapatkan jawaban pasti dari orang-orang yang ditemuinya di kantor pemerintah itu, namun ia tidak berkecil hati. Ia percaya akan ada jalan terbuka setelah apa yang ia lakukan hari itu.

Putra bungsu Molek yang bernama Hurlang kembali dari Jakarta, setelah bertahun-tahun menjadi tahanan politik di sana. kedatangan Hurlang membawa harapan bagi Molek bahwa ia tidak akan berjuang sendiri. Hurlang membawa cerita bagaimana ia menjalani hari-hari sebagai anggota sebuah partai politik. Hurlang memberi masukan bagaimana agar suara Molek dapat didengarkan oleh pemerintah. Masyarakat terdampak pencemaran sungai harus sadar bahwa diam saja tidak membawa perubahan bagi sungai yang mendangkal. Maka, Molek dan Hurlang melakukan sosialisasi ke wilayah-wilayah tepi sungai dan terdampak pencemaran sungai. mereka berhasil mengumpulkan banyak orang untuk melakukan rapat besar yang menghasilkan keputusan unruk mendesak pemerintah agar melakukan pengerukan terhadap sungai yang mendangkal.

Usaha Molek dan Hurlang berhasil menyadarkan masyarakat bahwa sungai masih bisa diandalkan sebagai sumber penghidupan dan kelacaran kegiatan ekonomi, asalkan pemerintah dapat menggunakan pajak yang dibayarkan masyarakat untuk mengeruk dasar sungai yang mendangkal, serta mengatasi pencemaran yang membunuh ikan-ikan. Rapat besar yang digagas Molek dan Hurlang melibatkan masyarakat yang menyemut di lapangan Padang Bundar menyebabkan mereka berdua diinterogasi. Mereka dicurigai mengadakan mufakat jahat dengan gerwani dan beberapa orang yang sudah meninggal pada tahun 1965. Molek diperbolehkan pulang pada malam itu, namun Hurlang ditahan selama delapan hari. Ia dibebaskan dengan syarat selalu melapor dan bekerja sama dengan aparat untuk memberi kabar tentang

orang-orang yang terlibat dalam partai komunis. Tidak hanya itu, aparat meninggalkan bekas luka yang masih mencair di punggung Hurlang sebagai hadiah untuk ibunya.

Sekembalinya Hurlang ke rumah, ibu dan anak itu melanjutkan berbagi kisah yang belum sempat terselesaikan ketika Hurlang kembali dari Jakarta. Hurlang bercerita bagaimana kehidupannya setelah bebas dari tahanan politik. Hurlang bercerita bahwa dirinya telah menjadi selingkuhan seorang wanita bersuami. Hal itu membuat Molek tak dapat menguasai amarahnya. Menurutnya Hurlang telah melakukan dosa yang ditabukan di dalam keluarganya. Dosa Hurlang tidak dapat diampuni. Ia harus dirajam dan dibakar. Molek membawa Hurlang ke tempat kelahiran Hurlang dan membakarnya di bekas bangunan rumah mereka. Tanpa sepengetahuan Molek, Hurlang selamat dari api hukuman yang dinyalakan Molek.

Kabar tentang rapat besar yang pernah diadakan oleh Molek dan masyarakat yang tumpah di Lapangan Padang Bundar telah tersiar ke Porsea, daerah di luar kota pelabuhan tempat Molek dan keluarganya tinggal. Mereka mengundang Molek membantu perjuangan masyarakat Porsea untuk menyelamatkan danau dan sungai-sungai yang tercemar limbah pabrik. Sungai yang sedang diperjuangkan oleh Molek adalah salah satu korban dari limbah pabrik yang juga mencemari danau di Porsea. Karena merasa sedang memperjuangkan hal yang sama, Molek berangkat ke Porsea bersama orang-orang yang menjemputnya. Di porsea, Molek dan gabungan masyarakat yang menolak berdirinya babrik bubur kayu yang mencemari danau,

sungai, udara dan tanah melakukan demonstrasi ke kantor kecamatan, menuntut agar pemerintah mau menutup pabrik bubur kayu yang telah meresahkan masyarakat.

Demontrasi yang dilakukan Molek dan masyarakat, disusupi provokator, sehingga demonstrasi yang di rencanakan berjalan damai, berakhir kacau. Molek, beberapa warga, dan beberapa siswa yang ikut berdemo di tahan oleh aparat. Molek dijatuhi hukuman dua tahun penjara dengan tuduhan menghasut penduduk untuk menyerang dan merusak kantor kecamatan, sedangkan Hurlang anaknya yang ternyata juga hadir dalam kegiatan demo itu dijatuhi hukuman empat tahun penjara karena ditemukan menyusup di antara demonstran, tanpa terlebih dahulu mendapat izin dari pemerintah setempat. Ribuan masyarakat yang menggantungkan harapan penyelamatan sungai pada Molek harus menunggu selama dua tahun.

BIOGRAFI PENULIS

Roswita Rambu Lodang lahir di Binatana, Sumba Tengah, Nusa tenggara Timur pada 2 Juni 1994. Memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Stella Matutina Katiku Loku, Sumba Tengah. Pada tahun 2006 lulus dari Sekolah Dasar Masehi Waibakul, Sumba Tengah, dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama St. Aloysius Weetebula, Sumba Barat Daya, lulus pada tahun 2009. Tahun 2012 lulus dari Sekolah Menengah Atas Katolik Andaluri, Waingapu, Sumba Timur. Tahun 2012, melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Lulus pada tahun 2017 dengan skripsi berjudul Relasi Antara Manusia Dengan Lingkungan Hidup dalam Novel Jamangilak Tak Pernah Menangis: Kajian Intrinsik dan Ekokritik.

Dokumen terkait