• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2. Saran

Maraknya kejadian hamil di luar nikah tidak lepas dari kurangnya norma yang ada dimasyarakat sebagai pengontrol setiap perilaku masyarakatnya. Dari semua kejadian yang ada, memang tidak ada alasan yang pasti diberikan oleh para remaja mengapa mereka bisa melakukan hubungan seks yang berujung pada terjadinya hamil di luar nikah. Adapun yang menjadi Saran dari penulis di urutkan menjadi beberapa bagian sebagai berikut;

 Membuat kesepakatan antar warga untuk membuat semacam norma untuk mengatur semua tingkah laku remaja tanpa harus mengekang aktivitasnya.

 Memberikan atau menciptakan dan menggiatkan kembali kegiatan positif bagi para remaja untuk mengisi kesehariannya setelah sekolah. Untuk sekolah misalnya perkuat fungsi ektrakulikuler disekolah, untuk keagamaan memperkuat peran remaja mesjid bagi islam dan mudamudi gereja bagi kristen, dan dilingkungan tempat tinggal coba sibukkan dengan kegiatan olahraga atau organisasi kepemudaan. Semakin banyak kegiatan yang dikonsep secara menarik, akan menjadikan para remaja memiliki kesibukan dan akan melupakan hal-hal negatif.

 Orang tua, Guru, dan Puskesmas harus berkordinasi dalam memberikan sosialisasi serta pengetahuan seks juga memberitahu bahaya dari kehamilan di luar nikah terlebih di usia muda.

 Memberikan pendidikan sejak dini tentang tata kramah, sopan santun, dan seperti apa kegiatan yang bermoral kepada anak sehingga generasi selanjutnya anak lebih hati-hati dalam bertindak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan hubungan seks pranikah

Ada banyak kejadian atau kasus kehamilan sebelum nikah pada remaja yang terjadi di Indonesia dimana dari tahun ketahun jumlahnya terus menerus meningkat dan terkesan sulit untuk dikendalikan. Terjadinya hal ini dikarenakan adanya peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis mereka dimana ini didasari dari adanya perubahan fisik dan masa puber yang dialami para remaja. Dalam perjalanannya, remaja akan berusaha mencari peluang agar dapat melakukan hubungan yang dimana menurut mereka ini merupakan sebuah bentuk bukti dan komitmen dalam melakukan hubungan pacaran, mulai dari sentuhan fisik, bercumbu dan tidak jarang diakhiri dengan hubungan seks pranikah. Dalam fenomena yang terjadi, didapat banyak faktor yang mempengaruhi remaja melakukan hubungan seks pranikah yang berujung pada terjadinya hamil diluar nikah. Faktor tersebut diklasifikasikan kedalam dua jenis faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

 Faktor Internal

Faktor internal sendiri terdiri dari pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, perilaku, kerentanan yang dirasakan terhadap resiko,kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri, usia, agama, dan status

perkawinan. Faktor ini lebih kepada pengembangan diri dan adaptasi diri terhadapm situasi dan keadaan dilingkungan sekitarnya. Faktor internal sebenarnya cenderung kepada satu aspek yaitu masalah pengetahuan dan pemahaman remaja akan hal tersebut, dimana dalam faktor internal ini pengetahuan dan pemahaman remaja tentang hubungan seks pranikah merupakan aspek yang secara langsung mempengaruhi para remaja dalam melakukan hubungan hubungan seks pranikah yang berujung pada terjadinya hamil diluar nikah. Katidaktahuan dan ketidakpahaman remaja menyebabkan mereka menjadi penasaran dan cenderung ingin mencari tahu seperti apa sebenarnya hubungan seks tersebut. Sedangakan ketika mereka sudah tahu dan paham tentang hal tersebut, ini cenderung menyebabkan keinginan untuk mengulanginya kembali karena adanya ketagihan yang dirasakan remaja tanpa berpikir seperti apa resikonya kedepan.

 Faktor Eksternal

Sedangkan Faktor eksternal sendiri adalah faktor selanjutnya yang mempengaruhi banyaknya terjadi kasus kahamilan ini, dimana dalam faktor ini di dapat beberapa bagian didalamnya yaitu kontak dengan sumber-sumber informasi, keluarga, sosial budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu. Atau dapat disingkatkan bahwa lingkungan juga dapat berperan dalam memberi pengaruh terhadap perilaku seseorang terutama remaja. Dalam faktor eksternal ini sendiri, hubungan antara remaja dan keluarga menjadi perhatian yang cukup besar dimana keadaan dan kondisi keluarga menjadi tolak ukur dari banyaknya kejadian hamil diluar nikah ini. Baik buruknya komunikasi antara

seorang remaja dengan anggota keluarga yang lain, akan jelas mempengaruhi sikap dan perilaku remaja di luar keluarganya dalam hal ini pergaulannya diluar keluarga. Semakin baik komunikasinya dengan keluarga, akan lebih sedikit kemungkinan seorang remaja itu mencari apa yang mereka sebut ketenangan diluar keluarga. Mereka akan cenderung menyelesaikan persoalan yang mereka alami bersama keluarga. Sebaliknya, semakin buruk komunikasi yang terjadi dalam keluarga, akan menyebabkan remaja itu mencari apa yang dapat menyelesaikan masalahnya diluar keluarga, bisa itu teman, atau pacar mereka yang dapat berujung kepada terjadinya hubungan seks pranikah itu sendiri (Ririn. Dkk, 2011).

Namun untuk faktor eksternal, selain keluarga ada beberapa hal lain yang juga dapat mempengaruhi remaja yaitu sumber informasi dimana dapat dirincikan yaitu perkambangan dunia media baik elektronik maupun suerat kabar. Dalam ha ini, media massa cenderung megarahkan para remaja ingin menjadi seperti apa dalam keseharian mereka. Televisi contohnya, dengan acara-acara dan iklan yang mereka buat akan memberikan kasan tersendiri bagi remaja tidak terkecuali hal-hal yang berbau pornografi dan seks (Suryanto dan Kuwatono, 2010). Ini akan menjadi faktor eksternal yang sangat mendasar yang mempengaruhi para remaja dalam berperilaku dan berinteraksi dalam kesehariannya.

2.2Peran Orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada remaja

Dalam pembahasan yang dilakukan Jumiatun menemukan fakta bahwa ternyata dari 327 responden yang pernal melakukan hubungan seks pranikah 3,1 % lebih beresiko mengalami KTD (kehamilan tidak diinginkan). Dalam penelitiannya juga dijelaskan bahwa kontrol terhadap anak saja tidak cukup, namun komunikasi yang baik juga harus dibangun. Ada 72,2% orang tua yang kurang terbuka jika berbicara tentang seks dan reproduksi, sedangkan yang kurang mengkomunikasikan tentang kesehatan reproduksi ada sekitar 70,9%, dan ada 63,6% orang tua yang tidak pernah mendiskusikan program televisi yang di tonton oleh remaja. Sedangkan dari intensitas komunikasi yang dilakukan orang tua dan remaja, ada 85% orang tua memberi tahukan kepada remaja hal-hal apa yang tidak boleh dilakukan, 79,5% orang tua memberitahukan batasan antara lawan jenis, namun ada 62,7% orang tua kurang berperan dalm penyelesaian masalah yang dihadapi oleh remaja. Kurangnya informasi yang didapat remaja dari orang tua menjadikan remaja cenderung mencari jawaban dari media yang ada. 71,6% remaja memilih media cetak majalah sebagai sumber informasi, 68,8% memilih koran, dan 50,5% memilih tabloid (Jumiatun, 2012).

Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa Keluarga merupakan elemen penting dalam pembentukan karakter seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga berperan sebagai pemberi arah dan kontrol bagi anggotanya sebagai sebuah institusi. Adanya peran-peran tertentu dalam keluarga mengharuskan adanya kelas-kelas tertentu yang disepakati dalam sebuah keluarga.

Tidak dapat diingkari lagi bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak lahir sampai datang ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal keluarganya. Oleh karena itu, sebelum mengenal norma-norma di-nilai dar masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya. Norma atau nilai itu dijadikan bagian dari kepribadiannya. Maka kita dapat menyaksikan tindak-tanduk orang suku tertentu yang berbeda dari suku lainnya dan di dalam suku tertentu itupun pola perilaku orang yang berasal dari kelas sosial atas berbeda dari yang kelas sosial bawah. Demikian pula agama dan pendidikan bisa mempengaruhi kelakuan seseorang. Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka secara turun-temurun. Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orang tua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya (Jumiatun,2012).

Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa kondisi keluarga sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan mental seorang remaja. Dalam hal itu ditemukan bahwa kebanyakan remaja yang terlibat ternyata adalah anak dari korban perceraian orang tua dimana anak merasa tidak membutuhkan orang tua dalam menjalani hidup, dan menurutnya siapa yang dapat memberinya

ketenangan adalah lebih pentig dibanding sosok orang tua. Tanpa adanya fungsi kontrol dari peran orang tua menjadikan pengaruh dari teman sepermainan maupun pacarnya yang kurang baik akan dengan mudah untuk diterima tanpa harus ada yang melarang dimana ini menjadi fungsi dari orang tua.

Ketika hal memilih teman juga menjadi hal yang sangat menarik jika dilihat kaitannya dengan fenomena hamil diluar nikah. Adanya kecenderungan bahwa teman sebagai tempat curhat dan bercerita tentang pengalawan antara teman yang satu dengan yang lainnya. Tidak jarang seorang teman mempengaruhi temannya yang lain untuk melakukan hal yang diperbuatnya dengan pacarnya dimana dalam hal ini hubungan sex pra nikah. Sedikit banyaknya teman tempatnya bercerita akan terpengaruh dan dan timbul keinginan untuk juga mencobanya. Di pahami dan disadari atau tidak, namun kondisi ini memang ada menurut beberapa literatur dan hasil penelitian yang banyak dilakukan bahwa pengaruh dari teman dan ceritanya sangat mempengaruhi perilaku sex pra nikah yang dilakukan para remaja (Khadijah. Dkk, 2012).

2.3 Pengaruh Pacaran di kalangan remaja dan kaitannya dengan fenomena hamil diluar nikah.

Berpacaran bukanlah budaya baru di indonesia, keberadaan hubungan ini diakui atau tidak sangat membantu dalam menentukan pasangan hidup dalam membangun hubungan rumah tangga. Namun dalam beberapa penelitian ditemukan fakta bahwa ternyata ikatan pacaran ini menjadi salah satu sebab meningkatnya fenomena kehamilan diluar nikah. Usia remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak menuju kaerah dewasa. Dengan peralihan ini, akan ada

perubahan baik secara fisik, mental dan hormon pada remaja. Perubahan inilah yang mendorong para remaja untuk melakukan hal yang sering mereka lihat di media elektronik maupun media cetak yaitu salah satunya adalah kebiasaan berpacaran. Hal ini disebabkan karena kebanyakan para orang tua menganggap pembicaraan tentang hubungan seks sangatalah tabu untuk diperbincangkan. Hal ini menyebabkan para remaja mencari jawaban dari keingintahuan mereka di media informasi dan cenderung langsung memperagakannya, mulai dari berpacaran, seperti apa berpacaran, dan apa saja yang dilakukan ketika berpacaran (Martia. Dkk,2012).

Riana (2012) menjelaskan dalam penelitiannya tentang pemahaman pacaran sehat bagi kalangan remaja yang dilakukan di SMA Teuku Umar di Semarang melihat dari 52 orang responden yang umur mereka di klasifikasikan antara lain remaja usia 16 tahun sebanyak 19 orang (36,5%), usia 17 tahun sebanyak 26 orang (50,0%), dan usia 18 tahun sebanyak 7 orang (13,5%). Dari tingkat pengetahuan tentang pacaran sehat ini, ada 12 orang responden (23,1%) memiliki pemahaman yang kurang, ada 17 orang (32,7%) memiliki pemahaman yang cukup dan untuk yang memiliki pemahaman yang baik berjumlah 23 orang (44,2%). Data ini memperlihatkan sebenarnya bahwa remaja di tempat tersebut memiliki pemahaman yang cukup tentang pemahaman yang baik. Namun hal ini sedikit berbeda dengan penelitian kecil yang di lakukan Riana sebelum penelitian ini di lakukan. Dari hasil sampel 15 siswa dan siswi didapatkan hasil 5 orang (33,3%) pernah melakukan cium bibir, 4 orang (26,67%) melakukan cium leher, 3 orang (20%) pernah melakukan petting atau bercumbu sampai menempelkan alat

kelamin dan hampir menjurus ke senggama, 2 orang (13,3%) hanya berpegangan tangan, dan hanya 1 orang (6,67%) siswa yang mengakui pernah melakukan senggama, mereka melakukan perilaku tersebut paling banyak di rumah ketika sedang sepi. Hal ini mereka lakukan atas dasar suka sama suka (Riana. Dkk,2012).

Adanya pemahaman bahwa hubungan pacaran ini adalah hubungan yang saling melengkapi, menjadikan benyak remaja yang menjadi salah persepsi dengan konsep pacaran yang mereka jalani. Tidak jarang remaja yang tidak memiliki pacar akan di ejek oleh teman-temannya karena dianggap tidak mampu mencari pasangan. Namun tidak cukup sampai disitu, setelah memiliki pacar pun akan ada pertanyaan lanjutan dimana akan ada yang bertanya “sudah sejauh apa hubungannya?” “sudah di cium belum?” sudah ini, sudah itu, dan banyak lagi daftar pertanyaan yang tidak akan selesai dari sebuah hubungan pacaran. Ini akan menjadi sebuah dorongan yang mengarahkan remaja melakukan hubungan yang dipertanyakan dan dianggap biasa dalam pacaran tanpa terkecuali hubungan sex pra nikah (Riana. Dkk, 2012).

Jumlah pacar yang dimiliki remaja juga dapat berpengaruh dalam meningkatnya kasus hamil diluar nikah. Semakin banyak pacar yang dimiliki remaja , akan semakin banyak kecenderungan remaja mencoba-coba gaya dan cara berpacaran yang berbeda dimasing-masing pacarnya. Setelah pacar pertama hanya sebatas ngobrol, pacar selanjutnya mulai berpegangan tangan, dan begitulah seterusnya hingga berhenti pada hubungan seks pranikah yang menjadikan petualangan remaja dalam pacaran terhenti. Namun tidak hanya

jumlah pacar yang memberikan pengaruhnya, lamanya waktu berpacaran juga dapat memberikan kemungkinan remaja melakukan hubungan seks pranikah (Dieng, 2007)

Pacaran memiliki problema tersendiri jika dikaitkan dengan semakin berkembangnya organ seksual pada remaja yang mengakibatkan adanya dorongan-dorongan untuk melakukan hubungan seksual. Seksual dan pacaran merupakan fenomena yang banyak ditemukan pada kalangan remaja saat ini. Hal ini dapat dilihat dari berubahnya orientasi berpacaran yang hanya sebagai jalan untuk mendapatkan kepuasan seks. Khafri (2013) dalam penelitiannya melihat bahwa adanya keterkaitan tentang pemahaman harga diri dalam berpacaran dengan perilaku seks pranikah dimana dia melihat bahwa semakin tinggi keinginan seorang remaja dalam mempertahankan harga dirinya dalam berpacaran, maka akan semakin kecil kemungkinaan hubungan seks pranikah dapat terjadi (Khafri Hidayat, 2013).

2.4. Pandangan dan Pemahaman Remaja Tentang Hubungan Seks Pranikah Adanya fenomena tentang perilaku remaja yang saat ini mulai tidak terkendali, tanpa terkecuali kasus hubungan seks pra nikah yang mana di beberapa daerah dianggap sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya remaja sebagai generasi penerus bangsa, tapi juga sebagai anak yang diagungkan dan di harapkan oleh orang tuanya agar menjadi orang yang berguna dan mampu membanggakan orang tuanya. Tidak hanya harapan orang tua yang terputus, namun raut kesedihan dan kekecewaan yang harus didapat oleh orang tua para remaja. Tingkat pemahaman remaja yang minim akan bahaya seks pranikah menjadi salah satu sebab yang

mendasar dari banyaknya fenomena hamil di luar nikah yang disebabkan hubungan seks pranikah. Dari 60 responden yang di teliti dimana 30 orang adalah pria dan 30 lainnya adalah wanita. Sebanyak 73,33% responden mengatakan bahwa seks merupakan kebutuhan dasar manusia. Sebanyak 51,67% responden mengatakan bahwa hubungan seks merupakan cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan seks. Sebanyak 36,67% responden mengatakan bahwa onani merupakan cara lain sebagai pengganti keinginan untuk melakukan hubungan seks. Semua responden (100%) berpendapat bahwa hubungan seks pada masa remaja hendaknya dihindari. Hanya 16,67% responden yang berpendapat bahwa onani tidak bertentangan dengan norma agama. Sebanyak 50,00% responden berpendapat bahwa onani pada wanita adalah tidak lazim, dan kalau ketahuan dianggap wanita nakal/genit. Sebanyak 88,33% responden menyatakan bahwa mereka ingin sekali melakukan hubungan seks, tapi takut resiko walaupun 88,33% responden mengaku pernah pacaran. Sebanyak 5,00% responden setuju dengan aborsi. Sebanyak 36,66% responden berpendapat bahwa kaum homoseks/lesbian perlu ditoleransi. Sebanyak 1,67% responden berpendapat bahwa pemerkosa tidak perlu dihukum berat ( I Wayan. Dkk,2007)

Dalam penelitian yang di lakukan Taufik di salah satu SMK di Samarinda pada tahun 2013 ini tentang persepsi remaja terhadap hubungan seks pranikah menunjukkan bahwa pemahaman remaja di samarinda tentang bahaya hubungan seks pra nikah sangatlah sedikit. Sehingga banyak kasus remaja hamil di luar nikah dan berujung pada banyak kemungkinan yang diambil orang tua, ada yang menikahkan anaknya di usia muda guna mengurangi rasa malu, namun ada juga

yang menggugurkan kandungannya dimana menggugurkan janin juga memiliki resiko buruk yang cukup besar bagi para remaja. Dalam penelitian ini juga di temukan bahwa sekolah juga tidak dapat memberikan perannya sebagai fungsi kontrol bagi remaja di luar keluarga. Sekolah cenderung canggung dalam memberikan pembelajaran tentang bahaya melakukan hubungan seks pranikah. Terlepas dari sekolah, pemahaman orang tua para remaja juga seharusnya diperbanyak tentang bahaya seks pranikah ini sehingga bisa memberikan pembelajaran terhadap remaja mereka (Ahmad Taufik,2013).

Dalam penelitian yang dilakukan Dieng, didapatkan 16,6% responden berperilaku seksual berisiko berat. Sebagian besar responden perempuan, pubertas normal, sikap relatif negatif. Tingkat pengetahuan sebanding antara relatif rendah dan tinggi. Sebagian besarresponden tidak melakukan komunikasi aktif dengan orang tua (64,9%) dan teman (52,6%), mempunyai orang tua yang masih lengkap (91,1%) dan menerapkan pola asuh demokratis (49,4%). Sebagian kecil responden memilikijumlah pacar lebih dari 3 kali dan lama pertemuan dengan pacar kurang dari 5 jam/minggu dan lebih dari 21 jam/minggu. Sebagian besar responden terpapar dengan media elektronik dan cetak. Sebagian besar responden (64,3%) sulit berkomunikasi dengan orang tua karena malu. Sebanyak 49,6% responden membicarakannya 3 minggu terakhir. Padaresponden yang berkomunikasi dengan orang tua (35,7%),dilakukan setiap ada kesempatan (75,2%).

Pemahaman remaja tentang bahaya seks pranikah juga kurang di tingkatkan oleh orang tua. Kebanyakan remaja mencari dimedia dalam menambah pemahaman mereka tentang bahaya seks pranikah dimana media tidak dapat

menjelaskan secara rinci tentang bahaya seks pranikah, malah banyak kesalahan yang dijelaskan oleh media namun hal itulah yang dipahami dan di praktekkan oleh para remaja, seperti iklan alat kontrasepsi dan lain sebagainya. Kehadiran media seperti televisi yang mungkin lebih lama dibandingkan kehadiran orang tua menjadikan remaja lebih percaya media dibanding apa yang dikatakan orang tuanya. Kurangnya pengawasan orang tua juga menjadi salah satu sebab yang cukup berpengaruh dalam meningkatnya kasus seks pranikah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dieng (2007) bahwa tidak hanya pemahaman yang benar yang harus ditanamkan, namun juga interaksi antara remaja dan orang tua juga harus ditingkatkan karena hal ini juga mampu mengurangi kecenderungan remaja melakukan hubungan seks pranikah (Dieng, 2007).

2.5. Pemahaman agama (religiusitas) pada remaja dan kaitannya dengan seks pranikah yang dilakukan remaja.

Adanya peralihan masyarakat dari tradisional kearah modern menjadikan perilaku panduduk khususnya remaja juga ikut beralih. Dengan demikian sebenarnya masyarakat harus mampu membentengi diri dengan hal-hal yang positif baik itu kegiatan yang positif maupun membentengi diri dengan pemahaman agama yang harus di tingkatkan seiring dengan kemajuan jaman. Namun tidak semudah itu, agama kian lama akan di tinggalkan seiring dengan majunya jaman. Lutfiah (2011) dalam penelitiannya melihat bahwa ada keterkaitan pemahaman agama dengan perilaku remaja yang melakukan hubungan seks pranikah. Dalam penelitian yang dilakukannya di salah satu SMA di mojokerto melihat bahwa semakin sedikit pemahaman remaja tentang agama,

maka akan semakin rentan remaja tersebut melakukan hubungan seks pranikah. Dari 173 responden yang di dapati bahwa ada 38,2% remaja yang memiliki perilaku seks bebas yang negatif karena kurangnya pemahaman agama, sedangkan untuk perilaku positifnya 0%. Sedangkan yang memiliki pemahaman agama yang cukup, hanya ada 5,8% yang berperilaku positif dan 17,3% berperilaku negatif dengan keseluruhan 23,1% dari jumlah responden. Dan bagi remaja dengan pemahaman agama yang baik, ada 31,2% yang berperilaku baik dan 7,5% yang berperilaku seks bebas yang buruk di manasemuanya menjadi38,7% dari jumlah responden. Ini di lihat dari data yang ditemukan bahwa persentase pemahaman agama yang baik (cukup) sejalan dengan persentase perilaku remaja yang positif. Agama sebagai fungsi kontrol dalam berperilaku dianggap masih sangat kompeten dalam menjadi benteng dari arus modernisasi yang tidak dapat dikontrol. Pemahaman agama yang baik akan menumbuhkan perilaku yang baik. Remaja memerlukan kemampuan pemecahan masalah yang baik, sehingga remaja mampu menyelesaikan masalahnya secara efektif. Orang tua dan lingkungan pendidikan harus mampu memberikan pemahaman agama kepada remaja guna menjadi pedoman para remaja dalam bergaul dilingkungannya.

Agama menjadi hal yang penting dalam menghadapi kemajuan zaman karena ajaran-ajarannya yang mengandung pesan moral dan mengarahkan manusia untuk selalu berbuat baik dan sebisa mungkin mengurangi perbuatan menyimpang yang tidak sesuai dengan ajaran agama dimana salah satunya adalah hubungan seks pranikah. Remaja yang religiusitasnya tinggi menunjukkan perilaku terhadap hubungan seksual bebas rendah (menolak), sedangkan remaja

yang religiusitasnya rendah menunjukkan perilaku terhadap hubungan seksual bebas tinggi (menerima). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara pemahaman tingkat agama (religiusitas) dengan perilaku seks bebas pada remaja, dimana semakin tinggi pemahaman tingkat agama (religiusitas) maka perilaku seks bebas semakin rendah, dan sebaliknya (Lutfiah. 2011).

2.6. Peran dan pengaruh media massa dalam memberikan pemahamaan tentang bahaya seks pranikah kepada remaja.

Martia dalam penelitiannya di salah satu SMA di kota Surakarta dengan 5(lima) media informasi yang terdiri media, orang tua, teman sebaya, guru, dengan bentuk informasi yang sama yaitu ciri-ciri remaja, mengenal organ-organ reproduksi, siklus reproduksi perempuan, proses reproduksi laki-laki, kehamilan,

Dokumen terkait