• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengembangkan penelitian selajuntnya yang masih dalam ruang lingkup yang sama.

2. Bagi Guru

Bagi giru bahasa dan sastra Indonesia SMA, novel

Pulang dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran sastra

karena novel tersebut mengandung banyak nilai pendidikan moral yang tercermin dari tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel tersebut.

3. Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan dapat mempermudah siswa dalm memahami unsur instrinsik dan nilai moral dalam novel. Selain itu, dapat memberikan pelajaran mengenai nailai moral untuk diterapkan pada kepribadian siswa dalam kehidupan sehari-hari.

Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.

Ginanjar, Nurhayati. 2012 a. Apresiasi Prosa Fiksi. Suarakarta: Cakrawala Media _______2012 b. “Pengkajian Prosa Fiksi Teori dan Praktik”. Modul.

Https://www.google.co.id/.unnes.ac.id.

Hotamah, Ari. 2015. “Nilai Moral Pada Novel Hafalan Sholat Delisa Karya Tere Liye Dan Skenario Pembelajarannya Di SMA.” Skripsi: PBSI Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Ibrahim, Abdul Syukur. (Ed.). 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Liye, Tere. 2015. Pulang. Jakarta: Republika.

Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Teknik Analisis Bahasa; Pengantar Penelitian

Wahana Kebudayaan secara LInguistik. Yogyakarta: Sanata Dharma

University Press.

Sufanti, Main. 2012. Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta: Yuma Pustaka.

Sugiarti,Tri. 2015. “Nilai Moral Novel Tahajud Cinta Di Koa New York Karya Arumi Ekowati Dan Skenario Pemebelajarannya Di Kelas XI SMA.” Skripsi: PBSI Universitas Muhammadiyah Purworejo.

ditubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati mamak, dibanding di matanya.”

Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit.

Pulang, sebuah kata yang mengartikan sesuatu itu kembali. Demikianlah novel karya Tere liye ini bercerita, tentang seorang pemuda yang pulang pada keadaan yang pernah dilalui sebelumnya. Adalah Bujang, mengawali perjalanan di dunia hitam setelah ia berhasil mengalahkan Pemimpin Babi Hutan seorang diri di dalam Rimba Bukit Barisan, pedalaman Sumatera. Hingga julukan “Si Babi Hutan” melekat padanya. Usai kejadian perburuan di dalam Rimba, Bujang ikut dengan Tauke Muda, pemimpin pemburu dari kota. Mamak dengan berat hati melepas kepergiannya setelah memberi sebuah pesan. Pesan yang akan menjadi janji hidup seorang Bujang.

“Mamak tahu kau akan jadi apa di kota sana. . . Mamak tahu. . . Tapi,

tapi apapun yang akan kau lakukan disana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan memakan daging babi atau anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram. Berjanjilah kau akan menjaga perutmu dari semua itu, Bujang. Agar . . . Agar besok lusa, jika hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.”

seperti kebanyakan anak jalanan yang Tauke rekrut lainnya.

Awal kehidupan di rumah besar itu, Bujang dibuat kesal dengan berbagai pelajaran dari Frans, guru pribadinya yang Tauke rekrut dari Amerika. Ya, Bujang disekolahkan. Ia memberontak, ia ingin dijadikan tukang pukul seperti Basyir, teman sebaya yang pertama kali ia kenal di rumah itu. Meski awalnya tidak memperbolehkan Bujang menjadi tukang pukul, Tauke akhirnya takluk atas saran Kopong, kepala tukang pukul keluarga Tong, supaya Bujang juga turut berlatih bersamanya, agar dia juga bisa membela diri kelak, tanpa perlu meninggalkan sekolahnya dengan Frans. Setelah berhasil belajar dengan Kopong, Bujang juga belajar menembak dengan guru Salonga, penembak jitu asal Manila, juga belajar samurai dengan guru Bushi, ninja terbaik di Jepang.

Siapa sangka, Bujang ternyata adalah keturunan jagal, darah jagal nomer satu mengalir deras di tubuhnya. Kakek dari bapaknya adalah jagal nomer satu, lantas diteruskan oleh bapaknya yang tak kalah hebat, dan berlanjut pada Bujang. Fakta ini membuat Bujang semakin percaya diri menjadi bagian dari keluarga Tong.

Setelah berhasil membawa gelar sarjana ekonomi dari Amerika, Bujang mendapat sebuah pekerjaan yang paling ia inginkan di keluarga Tong. Penyelesaian konflik tingkat tinggi, yang sering terjadi antar keluarga besar shadow economy di asia-pasifik. Diawali dengan konflik keluarga Tong dengan keluarga Lin disebuah

White putra Frans dan Yuki-Kiko si kembar cucu guru Bushi, mudah saja bagi Bujang untuk mengambil kembali alat pemindai kesehatan itu di markas besar keluarga Lin di Makau.

Konflik dengan keluarga Lin, bukanlah satu-satunya konflik menegangkan di novel ini. Karena justru konflik lain yang tak kalah mengejutkan terjadi di dalam keluarga Tong itu sendiri, penghianatan. Pembaca akan dibuat geleng-geleng kepala untuk kejutan selanjutnya, dimana Basyir menghianati keluarga Tong setelah Tauke memungutnya dari jalanan, membesarkan dengan baik, mengizinkan Basyir belajar langsung dengan sosok suku bedouin di timur tengah. Tepat saat Tauke sakit parah. Pertarungan besar terjadi di markas besar keluarga Tong yang sudah pindah ke ibu kota. Basyir membawa keluarga Lin yang masih memiliki dendam pada Bujang, karena telah membunuh pemimpin keluarga Lin saat mengambil alat pemindai kesehatan. Bujang kalah cepat dari Basyir, ia kalah dengan khanjar Basyir, senjata khas suku bedouin. Tukang pukul yang masih setia dengan Tauke juga kalah jumlah, melawan tukang pukul keluarga Lin dan tukang pukul keluarga Tong yang turut berkhianat.

Bujang dan Parwes selamat dari serangan Basyir dan keluarga Lin, setelah Tauke menekan benda kecil semacam remote control di tangannya, lantas seketika lantai dibawah ranjang Tauke merekah, ranjang itu melaju dalam hitungan detik, masuk ke dalam lorong rahasia. Parwes sendiri adalah orang kepercayaan Tauke

Bujang terkejut ketika ia siuman dan berada di tempat yang asing, ia dibawa jauh dari Ibu kota oleh orang tua yang menolongnya. Kesedihan menjalar di hati Bujang saat mengetahui Tauke meninggal.

Di tempat asing inilah, kejutan berikutnya disuguhkan oleh penulis, dimana Bujang mengetahui sebuah fakta yang terpendam puluhan tahun lamanya, orang tua pemilik rumah yang menolongnya ini adalah Tuanku Imam, kakak dari mamaknya, orang tua itu memanggil Bujang dengan nama Agam, hanya sedikit orang yang tahu nama aslinya. Kejutan menariknya, Bujang ternyata masih keturunan Tuanku Imam Agam. Darah ulama termahsyur di daratan Sumatera yang berhasil melawan dan mengusir tentara Balanda, mengalir deras di tubuh Bujang.Sepeninggalan Tauke, Bujang kembali memiliki rasa takut yang ia anggap ada tiga lapis tembok yang menutupi rasa takut di dalam hatinya, ketika ibu dan bapak meninggal tembok rasa takut itu runtuh satu persatu, terahir adalah meninggalnya Tauke, yang sekaligus meruntuhkan tembok terahir, rasa takut kembali terlihat di hati Bujang.

Melalui momen matahari terbit, penulis akan mengajak kita sejenak menikmati pemandangan indah, mensyukuri banyak hal atas kesempatan baik, kesempatan bertemu hari baru. Momen inilah yang menjadi cover depan , sekaligus momen yang digunakan Tuanku Imam untuk mengajak Bujang jalan-jalan di lingkungan sekolah Agama, lantas berhenti di puncak menara masjid,

Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah seperti yang kau lihat sekarang. Mau sejijik apapun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya, membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah."

Bujang juga mendapat suntikan semangat untuk merebut kembali apa yang sudah dimiliki keluarga Tong dari tangan Basyir. Tepat jam sepuluh malam, peperangan hebat itu terjadi, awalnya tim Bujang kalah jumlah, hingga menyisakan separuh tukang pukul yang masih setia pada keluarga Tong, namun tim terbaik kedua datang tepat waktu, yakni Salonga dan puluhan murid tembaknya.

Pertarungan inilah akhir dari sebuah perjalanan pulang Si Babi Hutan. Pesan mamak agar tidak memakan makanan dan minuman haram, membuatnya berkesempatan untuk pulang, pulang pada hakikat yang sebenarnya, pulang pada panggilan Tuhan.

Selatan. Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara yang berasal dari keluarga petani. Tere Liye merupakan nama pena seorang penulis berbahasa Indonesia. Dari beberapa informasi yang beredar di internet nama aslinya adalah Darwis. Ia bisa di anggap salah satu penulis yang telah banyak menelurkan karya-karya best seller. Saat ini ia telah menghasilkan banyak karya, bahkan beberapa di antaranya telah di angkat ke layar lebar.

Pendidikan sekolah dasarnya ia lalui di SDN 2 Kikim Timur Sumasel, setelah lulus kemudian melanjutkan ke SMPN 2 Kikim Timur Sumsel lalu mengenyam pendidikan menengah atas di SMUN 9 Bandar Lampung. Terakhir ia kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Dari pernikahan Tere Liye dengan Ny.Riski Amelia di karunia seorang putra bernama Abdullah Pasai dan seorang puteri bernama Faizah Azkia. Saat menjadi penulis, Darwis menorehkan namanya dalam setiap karyanya namun dengan nama pena yang unik yakni Tere Liye. Tere Liye sendiri diambil dari bahasa India yang memiliki arti untukmu. Karya Tere Liye biasanya mengetengahkan seputar pengetahuan, moral dan Agama Islam. Penyampaiannya yang unik serta sederhana menjadi nilai tambah bagi tiap novelnya.

Karya Tere yang sudah diterbitkan: Hafalan Shalat Delisa (Penerbit Republika, 2005) Moga Bunda Disayang Allah (Penerbit Republika, 2005), Mimpi-Mimpi Si Patah Hati (Penerbit AddPrint, 2005), The Gogons Series: James & Incridible Incodents (Gramedia Pustaka Umum, 2006), Cintaku Antara Jakarta dan Kualal Lumpur (Penerbit AddPrint, 2006), Rembulan Tenggelam di Wajahmu (Grafindo 2006 & Republika 2009), Sang Penandai (Penerbit Serambi, 2007), Bidadari-Bidadari Surga (Penerbit Republika, 2008), Senja

(Bukan) Pembohong, (Gramedia Pustaka Utama, 2011), Sepotong Hati Yang Baru, (Penerbit Mahaka, 2012), Negeri Para Bedebah, (Gramedia Pustaka Utama, 2012), Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, (Gramedia Pustaka Utama, 2012), Berjuta Rasanya (Penerbit Mahaka, 2012), Negeri Di Ujung Tanduk, (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Amelia, Serial Anak-Anak Mamak 1, (Republika, 2013), Bumi, (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dan Pulang, (Penerbit Republika, 2015).

Tema

No Data Kutipan Novel Halaman

1

2

a. Masalah perjalanan pulang.

Dari sekian puluh ribu panggilan itu, kali ini aku baru memahaminya. Aku menyeka wajah yang basah oleh butiran air. Terlambat? Tidak juga. panggilan itu tidak pernah mengenal kata terlambat, panggilan itu selalu bekerja secara misterius.

“Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh dipusaramu, tapi juga telah pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apapun kehidupan menyesatkan, segelap apapun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selelu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang. (Pulang; 400)

b. Masalah pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit.

“Berjanjilah kau akan menjaga perutmu (dari makanan dan minuman haram dan kotor) itu, Bujang. Agar…. Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik yang putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.”

398

400

“Aku tidak takut. Jika setiap orang memiliki lima emosi, yaitu bahagia, sedih, takut, jijik, dan kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut.

Kalian kira itu omong kosong? Gurauan? Tidak. Lihatlah wajahku, lihat bola mataku. Kalian tidak akan menemukan walau semili rasa takut itu.”

“Aku mengusap pelipisku yang berkeringat. Aku tahu. Tanpa dia sebut pun aku tahu kalau waktuku akan dikurangi kembali. Itu logika biasa. Aku menggenggam pensil lebih erat, konsentrasi penuh, lalu mengertjakan soal-soal berikutnya dengan cepat.”

Kenapa? Master Dragon ingin tahu. Aku hanya menggeleng.

Itu pesan terakhir mamakku. Maka tidak setes pun aku akan meminumnya hingga mati.”

b. Samad

Bapak menggenggam jemari Mamak, kali ini berkata lirih, “Aku juga tidak ingin berpisah dengan anak kita Midah. Tapi kau seharusnya tahupersis bahwa ini adalah perjanjian masa lalu. Aku pernah bilang dengan kau, cepat atau lambat kau akan melihatnya, menyaksikannya. Cepat atau lambat kita akan kehilangan anak laki-laki kita. Biarkan dia pergi dengan restumu agar langkah kakinya ringan.”

c. Midah

“Kau boleh melupakan Mamak, kau boleh melupakan seluruh kampug ini. Meupakan seluruh didikan yang Mamamk berikan. Melupakan agama yang Mamak ajarkan diam-diam jika bapak kau tidak dirumah...”Mamak diam sejenak, menyeka hidung, “Mamak tahu kau akan jadi apa di kota sana... Mamak tahu... Tapi, tapi apapun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kaunakan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan

1

50

77

22

putih, dan semoga itu bergua. Memanggilmu Pulang.”

d. Tuanku Imam

“Tuanku Imam menatap sekitar, „Demi Allah, apa yang kalia inginkan? Samad dan Midah saling menyukkai. Kita tidak akan memisahkan mereka lagi. Aku mengenal Samad, sejak kecil dia beermalam di masjid ini, murid sekolah ini, dan aku menjadi temannya bermain bola”.

e. Basyir

“Kau tenang saja, Bujang.” Basyir tersenyum,”Biarkan aku da yang lain membereskan hal seperti ini. Aku pastikan, sekembalinya kau dari Hong Kong, situasi kembali normal. Dan keluarga kita bisa bersiap menyambut calon kepala keluarga baru. Aku munkgin tidak bisa lagi memanggil namamu langsung, aku harus mulai berlatih memanggilmu, “Tauke Muda.”

f. Kopong

“Aku harus mengakuinya, Bujang. Ternnyata aku rindu pula dengan kau.” Kopong menepuk-nepuk pundakku, “Astaga! Kalau saja aku tidak malu, aku hampir menangis, Bujang.”

g. Parwes

“Parwes menggeleng, mengusap dahi, “Aku sudah ke kamar mandi belasan kali, Bujang.... Aku bukan seperti kau atau Basyir, ini membuatku cemas. Aku membatalkan semua

meeting hari ini.”

h. Frans

“Sama dengan Kopong, Frans si Amerika menjadi sahabat baikku. Dia telaten mengajari, mencarika buku-buku yang harus kubaca, dan memastikan aku bisa enguasai buku itu dengan menceritakan ulang padanya. Frans juga megajariku

313

68

228

245

i. White

“Aku ikut tertawa, menggeleng tegas, lalu memasukkannya kembali ke dalam koper. Menurut hitunganku, sudah enam kali White menyelesaikan misi bersamaku, tapi tidak sekali pun dia bersedia menerima bayaran. Dia selalu menganggap itu bagian dari utang budi karena aku pernah menyelamatkanya dari Baghdad. Aku akan mencatat semua batang emas milik White. Besok lusa, itu tetap menjadi haknya.”

j. Tauke Muda

“Apa pun yang dimiliki keluarga ini adalah milikmu, Bujang, dan apa pun yang kau miliki adalah milik keluarga ini. Ada seratus orang yang tinggal di rumah keluraga Tong. Semua memiliki tugas masing-masing. Aku adalah pemimpin tunggal di rumah ini. Semua kataku adalah perintah. Lakukan tugas dengan baik, saling menghormati, dan respeks dengan penghuni rumah lain, maka kau akan mendapat masalah, Aku mengangguk lagi.

“Selamat beristirahat Bujang. Dia akan mengantarmu ke kamar.” Tauke Muda menyuruhku mangikuti pelayan itu, lantas kembali ke bangunan utama untuk menemui dokter.

162

belas tahun.

Sejak pagi, kampung tanah kelahiranku ramai. Dua bulan lagi ladang padi tadah hujan akan panen. Pucuk padi menghijau terlihat di lereng-lereng bukit. Hutan lebat mengadang di atasnya, berselimutkan kabut. Dedaunan masih basah, embun menghias tepi-tepinya. Udara terasa dingin, uap keluar setiap kali menghembuskan napas. Tiga mobil dengan dengan roda berkemul lumpur merapat di depan rumah bapak. Hanya mobil tertentu yang bisa melewati jalanan terjal Bukit Barisan, lepas hujan deras tadi malam.

b. Tahap Pemunculan Konflik

“Tidak ada yang perlu ditakutkan Midah. Anakmu hanya ikut berburu. Ada dua belas pemburu bersamanya, juga beberapa pemuda kampung. Mereka membawa senter besar dan senjata api. Paling anakmu hanya tergores duri, atau kakinya digigit lintah.”

Mamak melengos, menatap kuali berasap.

“Ayolah Midah. Tauke Muda memintanya sendiri, dan harus berapa kali aku bilang, kita tidak bisa menolak permintannya. Aku berhutang segalanya.”

Mamak hanya diam, menyeka pelipis. Tapi sepertinya dia bisa memahaminya, dan akhirnya mengalah. Hal yang jarang sekali dia berikan jika menyangkut diriku.

c. Tahap Peningkatan Konflik

“Sungguh jika manusia memiliki lima emosi, aku hanya memiliki empat karena tak lagi punya rasa takut. Namun, aku masih memiliki emosi sedih. Kertas kusam dengan bekas tetes air mata itu terjatuh dari tanganku, melayang hinggap di lantai bersamaan dengan tubuhku yang tertunduk di atas ranjang. Mamak telah pergi? Aku tidak percaya. Aku tidak mau menerima kenyataan ini. Surat ini pastilah dusta.”

2

6

Bapak telah membuat kertas ini menjadi kusam. Ya Tuhan... Aku menatap kosong. Mataku pedas, hatiku bagai diiris sembilu.

Aku sudah menunduk, menangis dalam senyap. Sayangnya ini bukan mimpi. Ini nyata sekali.

“Kau baik-baik saja Bujang?” Kopong menggoyangkan badanku—yang beberapa detik seperti kaku.

“Tentu saja dia tidak baik-baik saja, Kopong.” Tauke muda yang menjawab, kali ini berseru serak, menatapku iba, “Bapaknya mati. Bagai mana kau akan baik-baik saja dengan hal itu?”

Aku masih mencengkeram paha.

d. Tahap Klimaks

Aku terdiam. Kalimat Tuanku Imam benar sekali. Aku selalu melawan hari-hari itu. Aku selalu menyalahkan masa lalu, membenci hari-hari yang telah lewat yang sebenarnya tidak dapat aku ubah lagi,sekuat apa pun aku ingin mengubahnya. Aku menatap semburat di kaki langit dengan air mata mengalir. Kalimat lembut Tuanku Imam telah menghancurkan benteng egoku. Selarik cahaya matahari tiba di atas menara, menerpabulir air di pipiku.

“Ketahuilah, nak, hidup ini tidak perna tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini tidak pernah tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.”

e. Tahap Penyelesaian

Aku duduk di sebelah pusara mamak, tak jau dari bekasladang dan rerutuhan rumah. Sambil menatap gundukan tanah tanpa nisan, aku berkata lirih.

239

239

menjengukmu selama ini. Sungguh maafkan.

Mamak, Bujang pulang hari ini. Terima kasih banyak atas seluruh didikanmu, walau Mamak harus menangis setiap kali melihat Bapak melecut punggungku dengan rotan. Terima kaih banyak atas naihat dan peanmu.

Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pisaramu, tapi juga telah pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang.”

Latar

No Data Kutipan Novel Halaman

1. Latar tempat.

a. Kampung Talang Tadah Hujan Sumatra

Sejak pagi, kampung tanah kelahiranku ramai. Dua bulan lagi ladang padi tadah hujan akan panen. Pucuk padi menghijau terlihat di lereng-lereng bukit. Hutan lebat mengadang di atasnya, berselimutkan kabut. Dedaunan masih basah, embun menghias tepi-tepinya. Udara terasa dingin, uap keluar setiap kali menghembuskan napas. Tiga mobil dengan dengan roda berkemul lumpur merapat di depan rumah bapak. Hanya mobil tertentu yang bisa melewati jalanan terjal Bukit Barisan, lepas hujan deras tadi malam.

Kampung kami ini sebenarnya tidaklah seperti desa yang kalian kenal. Kami menyebutnya talang. Hanya ada dua atau tiga puluh rumah panggung dari kayu, letaknya berjauhan dipisahkan kebun halaman.

b. Singapura

Aku meletakkan tablet, melirik pergelangan tangan. Pesawat sudah hampir tiba di Singapura. Aku mengeluarkan telepon genggam, menghubungi seseoarang yang seharusnya sejak tadi sudah menunggu di sana. Aku menutup telepon. Dari

2

3

2.

c. Hong Kong

Pukul tujuh pagi saat pintu kamarku diketuk.

Aku melangkah turun dari tempat tidur, membuka tirai jendela sebentar, membiarkan cahaya pagi melewati kaca. Amparan kota Hong Kong langsung menyambutku melalui jendela kamar. Pagi yang mendung,dengan awan hitammenggelayut di langit. Tadi malam, sepulang makan malam dari jamuan Master Dragon, aku langsung meluncur ke salah satu hotel bintang lima untuk bermalam.

d. Makau

Pukul delapan lewat tiga puluh, pesawat jet Keluarga Tong mendarat di bandara Makau. Pemandangan pulau kecil Makau malam hari tidak kalah menakjubkan dengan Hong Kong, tapi aku datang ke sini tidak untuk plesir.

e. Ibu Kota

“Setahun setelah bapak kau wafat, aku memutuskan pindah ke Ibu Kota agar kau bisa menunaikan wasiat bapak kau. Putra tertuaku mengambil alih sekolah agama di kampung, dia menjadi Tuanku Imam yang selanjutnya. Aku mendirikan sekolah agama baru di Ibu Kota.”

Latar Waktu a. Pagi Hari

Sejak pagi, kampung tanah kelahiranku ramai. Dua bulan lagi ladang padi tadah hujan akan panen. Pucuk padi menghijau terlihat di lereng-lereng bukit. Hutan lebat mengadang di atasnya, berselimutkan kabut. Dedaunan masih basah, embun menghias tepi-tepinya. Udara terasa dingin, uap keluar setiap kali menghembuskan napas. Tiga mobil dengan dengan roda berkemul lumpur merapat di

Dokumen terkait