• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Ada rasa takut dan khawatir kala masalah hidup datang silih berganti. (hlm. 14)

2. Santri itu mengaduh dan minta ampun. (hlm. 30) 3. Maling jangan diberi ampun. (hlm. 30)

4. Namun di tahun kedua, ayahnya di Indonesia meninggal dunia karena kecelakaan. (hlm. 32)

5. Beberapa kali tidak naik tingkat. (hlm. 32)

6. a. Ruh entrepreneur sejati yang dimaksud antara lain semisal, kreatif menciptakan dan mengemas ide baru untuk kemakmuran diri dan orang-orang yang dicintainya (kreatif-inovatif), berani mengambil resiko, menyukai tantangan, memiliki daya tahan hidup luar biasa, pantang menyerah dan putus asa, selalu ingin menjadi dan menyuguhkan yang terbaik, dan memiliki visi yang jauh ke depan. (hlm. 33)

b. Ruh entrepreneur sejati yang dimaksud antara lain semisal, kreatif menciptakan dan mengemas ide baru untuk kemakmuran diri dan orang-orang yang dicintainya (kreatif-inovatif), berani mengambil resiko, menyukai tantangan, memiliki daya tahan hidup luar biasa, pantang menyerah dan putus asa, selalu ingin menjadi dan menyuguhkan yang terbaik, dan memiliki visi yang jauh ke depan. (hlm. 33)

7. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung, menara-menara, dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. (hlm. 39)

8. Ya, kelak ketika masa muda mereka harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Cinta. (hlm. 40)

9. Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya. (hlm. 40)

10. Bergelombang naik turun. (hlm. 40)

11. Selain karena ia memang putri seorang duta besar yang cerdas dan fasih

berbahasa Inggris dan Prancis. (hlm. 43)

12. Meskipun ia sudah berulang kali ke Alexandria, namun keberadaanya di Alexandria kali ini ia rasakan begitu istimewa. (hlm. 43)

13. Ia jinakkan lautan, yang jika Ia berkehendak, Ia bisa menitahkan ombak untuk menenggelamkan kapal itu dan bahkan meluluhlantakkan seluruh isi Kota Alexandria. (hlm. 45)

14. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan menciumi pasir-pasir pantai yang putih nan bersih. (hlm. 46)

15. Matahari juga tak pernah bermain-main, berlari-lari kesana kemari di langit seperti anak kecil bermainbola atau petak umpet. (hlm. 48)

16. Atau kemungkinan kedua, Tuhan-tuhan itu bekerja sama menciptakan matahari. (hlm. 49)

17. Untuk menciptakan matahari saja mereka harus bekerja sama. (hlm. 49) 18. Matahari hilang tenggelam. (hlm. 50)

19. Ia buru-buru meralat ucapannya dan meminta maaf. (hlm. 54)

20. Dan aku datang menjumpai Mas untuk minta tolong kepada Mas menyiapkan ikan bakar itu. (hlm. 55)

22. Apa tidak sebaiknya Mbak salat Maghrib dulu kalau belum salat. (hlm. 56) 23. Atau kambing mereka cepat beranak pinak. (hlm. 58)

24. Lalu dua mangkok berisi air untuk cuci tangan. (hlm. 66)

25. Tahun pertama di Mesir ia naik tingkat dengan nilai lebih baik dari anak konglomerat Jakarta itu. (hlm. 67)

26. Azzam menghela napas panjang. (hlm. 68)

27. Tapi kuliahnya belum tuntas dan adik-adiknya masih memerlukan dirinya untuk bekerja keras. (hlm. 69)

28. Saya memang harus bekerja keras. (hlm. 70)

29. Maka satu-satunya jalan adalah saya harus bekerja keras di sini. (hlm. 70) 30. Teruslah bekerja keras Mas. (hlm. 71)

31. Teruslah bekerja keras Mas, setahu saya yang membedakan orang yang berhasil dengan yang tidak berhasil adalah kerja keras. (hlm. 71)

32. O ya, bagaimana kalau besok habis salat Subuh kita ngobrol-ngobrol sambil jalan-jalan di sepanjang pantai. (hlm. 72)

33. Berkali-kali ia meminta ampun pada Dzat yang menguasai hatinya. (hlm. 78)

34. a. Ia juga bersumpah untuk segera menemukan orang yang tidak kalah hebatnya dengan Eliana, tapi berjilbab rapat, salehah, bisa berbahasa Arab

dan berbahasa Inggris. (hlm. 78)

b. Ia juga bersumpah untuk segera menemukan orang yang tidak kalah hebatnya dengan Eliana, tapi berjilbab rapat, salehah, bisa berbahasa Arab dan berbahasa Inggris. (hlm. 78)

35. a. Ia masih punya kesempatan buang hajat dan sikat gigi. (hlm. 79) b. Ia masih punya kesempatan buang hajat dan sikat gigi. (hlm. 79) 36. Ia teringat belum salat Witir. (hlm. 79)

37. Menyapa gelombang yang naik turun. (hlm. 80)

38. Seolah-olah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Saw. menerima ayat-ayat Al-Quran. (hlm. 82)

39. Ini kemungkarannya malah dipropagandakan, dibangga-banggakan. (hlm. 87)

40. Jalan-jalan sudah mulai dipenuhi kendaraan yang lalu lalang. (hlm. 88) 41. Aku yang harus bertanggung jawab. (hlm. 90)

42. Pak Ahmad membutuhkan sopir pribadi yang bisa berbahasa Inggris. (hlm. 91)

43. Sebab sekian tahun aku berumah tangga tidak juga punya keturunan. (hlm. 93)

44. Nanti kalau dia mau cari istri baru akan bapak kasih tahu. (hlm. 95)

45. Dan Anna lebih memilih munutup diri dari kegiatan-kegiatan yang bersifat glamour. (hlm. 97)

46. Berulang kali Eliana menelpon kamar Azzam. (hlm. 101)

47. Ia memperhatikan dengan seksama orang-orang yang duduk dan lalu lalang

di situ. (hlm. 102)

48. Cepat-cepatlah kamu minta maaf. (hlm. 103) 49. Minta maaf atas apa Mi? (hlm. 103)

50. Yang penting minta maaf. (hlm. 103) 51. Apa sih beratnya minta maaf? (hlm. 103) 52. Sebaiknya kau minta maaf. (hlm. 105)

53. Kalau dia sudah makan pagi bagaimana? (hlm. 106) 54. Percayalah, dia belum makan pagi. (hlm. 106) 55. Orang kalau sedang marah malas makan. (hlm. 106) 56. Percayalah dia belum makan pagi. (hlm. 106)

57. Eh, ngomong-ngomong, Mbak Eliana sudah makan pagi? (hlm. 108) 58. Saya khawatir Mbak eliana salah paham. (hlm. 109)

59. Sepertinya Mbak Eliana harus berterima kasih pada Mas Khairul. (hlm.111)

60. Mestinya Mbak berterima kasih sama dia. (hlm. 111)

61. Oh iya, sama minta maaf atas sikap saya yang mungkin tidak berkenan tadi malam. (hlm. 118)

62. Meskipun bisa beristighfar, meminta ampun kepada Allah tetap saja bibir ini pernah kotor, pernah ternoda, pernah melakukan dosa yang menjijikkan. (hlm. 120)

63. Ia salat Maghrib di Mesjid Ridhwan. (hlm. 122)

64. Belasan orang terjaga menikmati musim semi dengan minum kopi, menghisap shisa, main kartu dan berbincang tentang apa saja. (hlm. 130) 65. Ia menghela napas dalam-dalam. (hlm. 132)

66. a. Sebelum merebahkan badannya di atas tempat tidur, terlebih dahulu ia sempatkan dirinya untuk salat Tahajut dua rakaat lalu salat Witir. (hlm. 133)

b. Sebelum merebahkan badannya di atas tempat tidur, terlebih dahulu ia sempatkan dirinya untuk salat Tahajut dua rakaat lalu salat Witir. (hlm. 133)

67. Di depan pintu kamarnya berdiri seorang pemuda berkaca mata. (hlm. 133) 68. Nanti saja kita bicarakan setelah salat Subuh ya. (hlm. 133)

69. Setelah salat Subuh. (hlm. 134)

70. Pemuda berkaca mata itu beranjak ke kamarnya. (hlm. 134) 71. Untuk ke kuliah pun sering kali ia memilih jalan kaki. (hlm. 137) 72. Saat melahirkannya, ibunya meninggal dunia. (hlm. 139)

73. Masyithah sudah bisa berbahasa arab sejak kecil. (hlm. 140) 74. Maka wajar jika ia paling fasih berbahasa Arab. (hlm. 140)

75. Selain bahasa Arab, ia juga fasih berbahasa Indonesia dan aceh. (hlm. 140) 76. Usai salat subuh, Azzam tetap di mesjid, demikian juga Hafez. (hlm. 141) 77. Mahasiswa Indonesia sering menertawakan orang Mesir begini, “Kita saja

orang Indonesia yang memiliki taman sangat luas, replika dari suku bangsa Indonesia, untuk mengitarinya tidak cukup dengan jalan kaki. (hlm. 145) 78. Sedangkan orang Mesir selalu percaya diri. (hlm. 145)

79. Aku mau sedikit minta tolong padamu Dik. (hlm. 146)

80. Aku minta tolong sampaikanlah keadaanku ini pada Kak Fadhil. (hlm. 146) 81. Jika yang murka adalah ibumu, kau bisa minta maaf. (hlm. 151)

82. Jika di akhirat bisakah minta maaf kepada Allah saat itu? (hlm. 151)

83. Si kecil Ilham seperti tidak merasakan sakit pada jarinya saat ia ajak main

bongkar pasang balok susun. (hlm. 152)

84. Nanti setelah salat Zuhur ia akan ke Daarut Tauzi’, membeli beberapa buku dan kitab. (hlm. 155)

85. Setelah salat Maghrib, ia mau mengajak orang satu rumah makan di Palace, restoran milik mahasiswa Thailand di kawasan Rab’ah El Adawea yang terkenal Tom Yam dan nasi gorengnya. (hlm. 155)

86. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia diberi tahu Mbak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang ingin mengkhitbahnya. (hlm. 157)

87. Mengenai bule yang menggandengnya ia tidak mau berpurba sangka. (hlm. 160)

88. Tapi ia minta maaf tidak bisa banyak bicara, sebab banyak yang harus ditulisnya. (hlm, 164)

89. Saya ingin mengundang Anda makan malam bersama. (hlm. 164) 90. Ya makan malam bersama?” (hlm. 164)

91. Terus baru sekali bertemu sudah berani mengundang makan malam. (hlm. 185)

92. Seketika ada tanda tanya besar dalam kepala Furqan, kenapa gadis yang baru begitu ia kenal itu mengundangnya makan malam? (hlm. 165)

93. Ah, sekarang salat, makan siang, istirahat lalu belajar dengan tenang. (hlm. 166)

94. Usai salat Zuhur di Masjid Al Azhar, Azzam melangkahkan kakinya menuju kampus Fakultas Ushuluddin, Al Azhar University. (hlm. 167)

95. Letak Masyikhatul Azhar yang baru dan Daarul Ifta’ tidak begitu jauh dari kampus Al Azhar, masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. (hlm. 168) 96. Namun fungsinya sebagai tempat menguburkan orang yang meninggal

dunia juga masih berjalan. (hlm. 170)

97. Ada pintu kecil tempat penjaga itu keluar masuk dan ada jendela tempat melayani mahasiswa yang beli muqarrar, termasuk dirinya. (hlm. 171) 98. Beberapa mahasiswa lalu lalang. (hlm. 177)

99. Ia tidak pernah protes dipanggil “Kang Insinyur”, atau “Kang Ir.”, terkadang ada juga yang membahasa-arabkan jadi “Kang Muhandis”. (hlm. 177) 100. Keduanya lalu berjabat tangan. (hlm. 178)

101. Kalau mau datang, salat Maghrib di sana. (hlm. 179) 102. Setiap hari habis salat Zuhur. (hlm. 182)

103. Seorang mahasiswa berkulit hitam sedang melepas sepatunya. (hlm. 183) 104. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, jika kamu bekerja keras

dan tidak keburu mati dulu. (hlm. 191)

105. Karena waktu sudah dekat Asar, ia akan mengambil barangnya setelah salat Asar. (hlm. 195)

106. Ia hendak ke Masjid salat Asar dulu. (hlm. 197)

107. Ia merasa perutnya sangat lapar, tapi tak ada waktu lagi buat makan siang.

(hlm. 198)

108. Tetangga saya yang baru haji tahun ini yang memberitahukan hal ini kepada saya. (hlm. 201)

109. Sebab, pada hari Jumat kawasan ini berubah menjadi tempat jual beli mobil bekas terbesar di Cairo. (hlm. 210)

110. Ada juga mahasiswa berkulit hitam. (hlm. 211) 111. Fadhil sama Ali lagi main bola. (hlm. 216)

112. Lalu nanti malam setelah salat Isya ia harus mulai menggarap daging sapinya untuk dijadikan bakso. (217)

113. Ia teringat sebuah nasihat dari seorang shaikh muda, ketika ia salat Jumat

di Masjid Ar Rahman Masakin Utsman. (hlm. 218)

114. Khutbah Jumat, ceramah beberapa menit dari imam masjid setelah salat, talaqah membaca Al-Quran setelah salat Subuh adalah tempat utamanya menimba ilmu. (hlm. 220)

115. Usai salat Maghrib, Azzam langsung ke dapur memasak air di panci untuk menggarap kacang kedelainya. (hlm. 225)

116. Bahkan jika ada orang KBRI pindah rumah ia sering jadi jujugan minta tolong. (hlm. 228)

117. Sebab setelah salat Isya ia harus mengolahnya jadi bola-bola bakso. (hlm. 229)

118. Setelah salat Isya nanti aku beli firakh masywi. (hlm. 231)

119. Tadi sudah aku bilang untuk nelpon lagi setelah salat Magrib. (hlm. 233) 120. Begini, dua bulan lagi saya mau ulang tahun. (hlm. 234)

121. Iya, putrinya Pak Dubes itu mau ulang tahun minta dibikinkan Soto Lamongan. (hlm. 235)

122. Ia memilih untuk makan malam sendiri di restoran hotel. (hlm. 243) 123. Rambutnya gondrong, berkaca mata minus agak tebal. (hlm. 244)

124. “Anda bisa berbahasa Indonesia?” tanyanya dengan nada heran. (hlm. 244) 125. Anda juga bisa berbahasa Arab. (hlm. 244)

126. Sejarahlah yang memberi tahu kepada kita siapa sebenarnya kedua orangtua kita. (hlm. 249)

127. Sejarah jugalah yang memberi tahu kepada kita tempat dan tanggal lahir kita. (hlm. 249)

128. Sejarah juga yang akan memberitahukan kepada generasi mendatang bahwa mereka ada sebab kita lebih dulu ada. (hlm. 249)

129. Jika mereka maju, maka sejarah yang akan memberitahukan kepada mereka bahwa kemajuan yang mereka capai tidak lepas dari keringat kita dan orang-orang yang lebih dulu ada. (hlm. 249)

130. Yang lain main kartu. (hlm. 252)

131. Dan Allah tidak akan menyengsarakannya karena bekerja keras. (hlm. 252) 132. Justru sebaliknya, Allah akan memberikan keberkahan karena bekerja

keras. (hlm. 252)

133. Dalam hati Azzam minta maaf melakukan hal itu. (hlm. 256)

134. a. Bukan ia berburuk sangka pada pemuda Mesir itu, tetapi bersikap waspada adalah jalan terbaik untuk tidak berburuk sangka pada siapa saja. (hlm. 256)

b. Bukan ia berburuk sangka pada pemuda Mesir itu, tetapi bersikap waspada adalah jalan terbaik untuk tidak berburuk sangka pada siapa saja. (hlm. 256)

135. Jangan tinggalkan salat malam! (hlm. 261)

136. Namun sebagai kepala rumah tangga ia harus bertanggung jawab. (hlm. 265)

137. Jika ada apa-apa dengan temanku ini, kalian harus bertanggung jawab.

(hlm. 265)

138. Di kamar Fadhil, Azzam memberi tahu kepada Ali dan Nanang agar lebih banyak diam. (hlm. 266)

139. Tenang, aku akan bertanggung jawab jika ada apa-apa dengan temanmu yang penakut itu. (hlm. 266)

140. Kami minta maaf atas kelancangan kami malam ini. (hlm. 270)

141. Kalau kalian tidak mau bertanggung jawab, kasus ini akan kami angkat ke pernukaan. (hlm. 270)

142. Sudah jam setengah empat lebih dan ia belum salat malam. (hlm. 271) 143. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia bangun tidur dengan kondisi yang

menurutnya sangat memalukan. (hlm. 276)

144. Tuan Furqan, begitu bangun tidur Anda pasti kaget dengan keadaanmu dan dengan apa yang kautemukan. (hlm. 278)

145. Mereka berjalan kaki menuju jalan raya. (hlm. 285)

146. Karena itulah, begitu selesai makan roti dan kabab, ia mengajak Wail jalan kaki ke Tub Ramli. (hlm. 286)

147. Baru kali ini ia bertatap muka dan melihat langsung wajah adik perempuan Fadhil yang membuat Hafez nyaris gila. (hlm. 289)

148. Aku dan teman-teman salat Asar dulu. (hlm. 290)

149. Azzam beranjak keluar memanggil dua gadis Aceh, lalu mengajak teman satu rumahnya salat Asar. (hlm. 290)

150. Untuk jaga malam, Nasir dan Ali menawarkan diri. (hlm. 290)

151. Namun baru sore itu ia bertatap muka dengan gadis yang kata Fadhil, saat di Madrasah Aliyah pernah menjuarai MTQ se-Tanah Rencong, Aceh. (hlm. 291)

152. Ustadz Mujab kembali menarik napas dan berkata, “Yang paling penting, kau harus menginstropeksi dan me-muhasabah-i dirimu sendiri.” (hlm. 295) 153. Menurut hematku, kita tetap harus minta tolong pada pihak keamanan

Mesir. (hlm. 297)

154. Sebab kita tidak minta tolong pada polisi biasa. (hlm. 297) 155. Tapi kita langsung minta tolong pada mabahits. (hlm. 297)

156. Yang demi membiayai dirinya menuntut ilmu, beliau sampai mencopot atap rumahnya, lalu menjual papannya. (hlm. 300)

157. Ia tidak punya kekuatan untuk mengusut apalagi sampai memaksa Letnan Kolonel itu bertanggung jawab. (hlm. 304)

158. Saya akan bekerja keras menuntaskan kasus ini. (hlm. 306) 159. Tiara menghela napas. (hlm. 308)

160. Dia sealu naik tingkat dengan predikat jayyid tiap tahun. (hlm. 311)

161. Dia sempat marah-marah karena tidak diberi tahu kalau Fadhil masuk rumah sakit. (hlm. 312)

162. Dia yang tadi memberi tahu kalau sampeyan sedang berjalan. (hlm. 313) 163. Hafez kembali mencuri pandang ke wajah Cut Mala. (hlm. 315)

164. Beberapa kali tidak naik tingkat. (hlm. 319)

165. Kemarin dia baru bekerja keras dapat order bikin bakso. (hlm. 319)

166. Dialah yang selama ini bekerja keras menghidupi adik-adiknya. (hlm. 319) 167. Jika pulang ke Indonesia, belum tentu bisa dapat masukan sebesar ketika dia

bekerja keras di Cairo. (hlm. 320)

168. Lebih baik kamu menunaikan amanah abahmu agar kamu belajar dan

menuntut ilmu dengan serius. (hlm. 320)

169. Kak Tiara mendapat telpon dari ayahnya di Aceh yang memberi tahu

170. Ayah Kak Tiara memberi tahu, Ustadz Zulkifli pernah satu pesantren dengan Kak Fadhil. (hlm. 322)

171. Sebaiknya dia salat Istikharah dulu. (hlm. 323) 172. Sebaiknya dia salat Istikharah dulu. (hlm. 326)

173. Bahkan Kak Fadhil tetap meminta Kak Tiara untuk salat Istikharah. (hlm. 326)

174. Kak Tiara jangan salah paham. (hlm. 326)

175. Selesai salat Maghrib, Cut Mala langsung menghubungi kakaknya lewat telpon. (hlm. 328)

176. Ia hanya bisa menghela napas dan memejamkan mata. (hlm. 328) 177. Kami sangat berterima kasih dan bangga kepadamu Kak. (hlm. 334) 178. Aku sendiri masih ingat surat kakak ketika kakak berhasil naik tingkat

tahun pertama di Al Azhar. (hlm. 334)

179. Saya masih ingat Kak, begitu membaca surat kakak ayah langsung sujud syukur dan menangis haru dan bahagia. (hlm. 334)

180. Ibu yang memang sering sakit dan tidak bisa lagi bekerja keras sering menangis, aku yakin ibu menangis haru bercampur bangga, setiap kali menerima transferan uang dari kakak. (hlm. 335)

181. Kakak bekerja keras membuat tempe, berjualan tempe dan membuat bakso demi kami. (hlm. 335)

182. Lia titip salam. (hlm. 337)

183. Sujud syukur kepada Allah Swt. (hlm. 337)

184. Seminarnya kan memakai bahasa Inggris, jadi moderatornya harus benar-benar yang bisa berbahasa Inggris. (hlm. 345)

185. Beberapa hari yang lalu saya minta putri saya, Sara, untuk mengundangmu

makan malam. (hlm. 354)

186. Para mahasiswa yang mengenalnya silih berganti berdatangan mengucapkan selamat kepadanya. (hlm. 355)

187. Dan di tahun pertama ia satu-satunya mahasiswa Indonesia yang jayyid jidan, sementara Furqan naik tingkat dengan predikat hanya maqbul. (hlm. 358)

188. Ia menghela napas dalam-dalam. (hlm. 363)

189. Di Masakin Utsman, Cut Mala dan teman-temannya sudah jarang keluar rumah. (hlm. 378)

190. Kami benar-benar minta maaf atas insiden yang tidak kami inginkan ini. (hlm. 387)

191. Sebaliknya, bagi yang tidak hafal, atau belum hafal, masuk gerbang kampus saja telah membuatnya berkeringat dingin. (hlm. 388)

192. Jelas doktor berkaca mata tebal itu. (hlm. 390) 193. Aku tidak salah lihat Mas. (hlm. 393)

194. Tolong jujurkah padaku agar aku tidak berburuk sangka padamu. (hlm. 394)

195. Setelah salat Tahajud, ia mengharubiru bermunajat kepada Tuhannya. (hlm. 397)

196. Maka paginya setelah salat Subuh dan itikaf sampai Dhuha tiba ia keluar masjid dan berjalan sepanjang jalan untuk membagi sedekah pada orang Mesir yang memerlukannya. (hlm. 398)

198. Beri tahu ibunda Mas Khairul. (hlm. 411)

199. Kalau perlu beri tahukan kepada ibunda Mas Khairul bahwa yang menjadi pemain utamanya adalah teman baik Mas Khairul. (hlm. 411)

200. Nanti kalau saya kirim kabar ke Indonesia saya beri tahu mereka. (hlm. 411)

201. Sore itu Azzam menyempatkan bermain bola di Madi Kahruba. (hlm. 412) 202. Sudah sangat jarang ia bermain bola. (hlm. 412)

203. Ia merasa perlu bermain bola untuk kenangan hari-hari terakhir di Mesir. (hlm. 412)

204. Sore itu kemampuannya bermain bola ia perlihatkan di lapangan. (hlm. 413)

205. Ketika asyik-asyiknya main bola, ada suara yang memanggil-manggil namanya dari jauh. (hlm. 413)

206. Hafez duduk di trotoar sambil mengawasi orang-orang yang bermain bola

di atas aspal. (hlm. 413)

207. Dan seperti biasa, seperti yang sudah-sudah Lia titip salam. (hlm. 415) 208. Dan sebelum aku memberi tahu kamu apa hasilnya kamu jangan banyak

tanya ya. (hlm. 417)

209. Bakda salat Isya ia tetap di masjid untuk mengaji kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari dengan Adil Ramadhan. (hlm. 420)

210. Fadhil menghela napas. (hlm. 426)

211. Pagi itu setelah salat Subuh ia menulis sepucuk surat untuk Fadhil. (hlm. 433)

212. Aku memberitahukan kepada kakak, dengan harapan kakak memberikan ketegasan. (hlm. 437)

213. Memberikan harapan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. (hlm. 437) 214. Tiara menghelanapas panjang. (hlm. 447)

215. Dalam hati ia berkata, “Seharusnya memang dia yang mencarikan mahar untukku dan dia pula yang akad nikah denganku” (hlm. 449)

216. Hadirin bertepuk tangan. (hlm. 452)

217. Seluruh hadirin bertepuk tangan . (hlm. 453)

218. Empat rapa’i terus ditabuh mengedor-gedor jiwa, seurune kale terus bersuara naik turun menyayat jiwa. (hlm. 454)

219. Azzam langsung sujud syukur. (hlm. 458)

220. Sampai di Mutsallats Azzam langsung ke tempat Adil Ramadhan

memberitahukan bahwa dua hari lagi ia akan meninggalkan Cairo. (hlm. 458)

221. tidak lupa Azzan juga memberitahukan dan berpamitan kepada bapak-napak KBRI yang selama ini menjadi langganannya. (hlm. 458)

222. Ketika ia memberi tahu Pak Amrul Zeinu ihwal kepulangannya, atase perdagangan itu langsung memintanya datang menemuinya. (hlm. 459) 223. Kepada Pak Ali ia memberitahukan kepulangannya ke Indonesia yang

tinggal dua hari lagi. (hlm. 461)

224. Nanti saya beri tahu Eliana. (hlm. 461)

225. Dan dalam akad jual beli itu, ada satu syarat, yaitu jika ternyata dalam satu tahun berikutnya Azzam kembali ke Cairo, meskipun kemungkinan itu kecil, maka Azzam akan kembali membayar harga yang sama dan semuanya kembali ke tangan Azzam. (hlm. 463)

226. “Aku tahu, ya Nasir gengsi lah menjodohkan adiknya dengan penjual tempe dan penjual bakso yang terkenal sering tidak naik tingkat. (hlm. 466)

227. “Jangan kaget ya...” sahut Nasir sambil menaikturunkan alisnya. (hlm. 467)

Dokumen terkait