• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI PUSTAKA STUDI PUSTAKA

D. Distribusi Zakat

1. Sasaran Distribusi Zakat

Berkaitan dengan sasaran distribusi dana zakat, maka tidak ada berpedaan pendapat dikalangan para ulama dari madzhab manapun. Sebab sasaran alokasi dana zakat telah disebutkan dengan jelas di dalam al-Qur‟an yaitu di dalam surat at-Taubah ayat 60:َ

ىِف َو ْم ُهُب ْولُق ِةُ فَل َؤ ُمَّ لا َو ا َهْيْ لَع َنْي ِل ِم ٰعَ لا َو ِنْي ِك ٰس َمْ لا َو ِءۤا َرْ قَفُلِل ُتْ ق َد َّٰ صلا اَمَّنِا ۞

ٌمْيِلَع ُللّٰا َوِۗ ِه للّٰا َن ِِّم ه ًة َضْي ِرَ

ف ِِۗلْيِب َّسلا ِنْبا َو ِللّٰا ِلْيِب َس ْيِف َو ه َنْيِم ِر ٰغلا َو ِباْ ق ِِّرلاَ

ِك َح

ٌمْي

٦٠

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, untuk orang-orang yang berhutang, untuk perkara dijalan Allah,dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan.

Adapun, rincian atas delapan asnaf yang disebutkan dalam al-Qur‟an tersebut adalah sebagai berikut:

a. Orang-orang fakir, yaitu orang-orang yang pada dasarnya tidak memiliki harta dan kemampuan untuk bekerja, atau mereka memiliki harta dan kemampuan untuk bekerja akan tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokoknya (sandang, pangan, papan) dimana setengah dari total kebutuhan pokoknya pun tidak mampu ia penuhi.42 Misalnya: kebutuhan pokoknya adalah Rp 20.000, tetapi penghasilannya tidak mencapai Rp 10.000, maka ia disebut sebagai fakir.

b. Orang-orang miskin, yaitu orang-orang yang memiliki harta dan memiliki kemampuan bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya akan tetapi penghasilannya tidak memenuhi seluruh kebutuhan pokoknya, tetapi ia mampu memenuhi lebih dari setengah kebutuhan pokoknya bisa ia penuhi. Misalnya total seluruh kebutuhan pokoknya adalah Rp 20.000 dan

42 Zain bin Ibrohim, at-taqrirotu as-sadidah fii al masaili al mufidah, (Daaru al-ulum al-islamiyah, 2004), hal. 423

penghasilannya lebih dari Rp 10.000 tetapi tidak sampai Rp 20.000, maka ia disebut miskin.

c. Amil Zakat, disebut juga sebagai as-sa‟iy (orang yang berupaya mencari dan mengumpulkan dana zakat di masyarakat), yaitu orang yang ditugaskan oleh hakim (pemerintah) untuk mengambil zakat dari orang-orang memiliki kewajiban membayar zakat dan disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam konteks masa kini, termasuk amil zakat adalah orang yang melakukan pengadministrasian dan pembinaan terhadap para mustahiq zakat secara tidak terstruktur maupun secara terstruktur dibawah naungan Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat manapun. Amil zakat tetap mendapatkan bagian dari dana zakat meskipun dia orang kaya, hal ini jika hakim (pemerintah) menugaskan dia sebagai amil zakat. namun, jika pemerintah mengganti seseorang untuk mengumpulkan dana zakat dimana gajinya diambilkan dari Baitul Mal, maka petugas zakat tadi tidak boleh mengambil bagian dari dana zakat yang dikumpulkannya.43 Untuk konteks saat ini, Amil Zakat ini adalah orang-orang yang bekerja di Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah maupun lembaga amil zakat yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang bertugas sebagai pengumpul, pendistribusi, administrasi,

43 Zain bin Ibrohim, at-taqrirotu as-sadidah fii al masaili al mufidah, (Daaru al-ulum al-islamiyah, 2004), hal. 424

maupun pada bagian pembinaan dan pengontrolan para mustahiq zakat. Amil zakat harus seorang muslim menurut pendapat para jumhur ulama dari berbagai madzhab. Memang ada pendapat lain yang mengatakan bahwa amil zakat diperbolehkan diambil dari non muslim apabila dia memiliki kemahiran dan diangkat oleh seorang imam (khalifah). Hal ini sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Imam al-Mawardi. Akan tetapi pendapat ini menurut Imam Nawawi perlu ditinjau ulang.

d. Muallaf yang dibujuk hatinya, yaitu orang-orang yang dipandang oleh negara bahwa kalau mereka diberi zakat maka akan bermanfaat bagi mereka yaitu menguatkan diri mereka dalam memeluk islam.44 Menurut Zain bin Ibrahim, ada empat kategori al-muallafatu qulubuhum yang diberikan zakat, yaitu: 1) orang yang masuk islam dan niatnya memeluk islam masih sangat lemah, 2) orang yang masuk dan sebelum masuk islam, ia memiliki kedudukan yang tinggi (mulia) di tengah-tengah kaumnya. Pemberian zakat kepadanya akan menguatkan keislamannya dan kaumnya yang melihatnya akan ikut memeluk islam, 3) umat islam yang memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat sehingga para pembangkang tadi mau membawa zakatnya kepada Imam (Khalifah), 4)

orang-orang yang memerangi orang-orang kafir yang berpaling

atau yang menjadi bughot (membangkang pada

negara/Khalifah). Diberikan zakat kepada mereka akan mempermudah pengiriman pasukan militer dalam melawan para pembangkang (pemberontak). Abu Bakr bin Muhammad menegaskan bahwa muallafati qulubahum di indonesia dikenal dengan istilah mualaf) yang merupakan salah satu ashnaf zakat itu ada dua kategori yaitu kaum muslim sebagai mana dengan ketentuan-ketentuan diatas dan orang-orang kafir (selain kafir harbi).

e. Ar-Riqab. Menurut an-Nabhani, yang dimaksud dengan

ar-riqab adalah para budak, dimana mereka diberi harta dari zakat

agar dapat memerdekakan diri. Sedangkan menurut Zain bin Ibrahim, budak yang dimaksud adalah budak mukaatab, yaitu budak yang melakukan perjanjian tertulis dengan tuannya bahwa dia akan dibebaskan jika mampu membayar sejumlah uang yang diminta oleh tuannya. Maka diberikan dana zakat kepada tuannya dalam rangka membebaskannya atau mempercepat pembebasan budak tersebut. 45 Dalam islam memang mengakui adanya perbudakan sebagai kosekuensi dari perang dan perbudakan ini sudah terjadi jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi utusan Allah SWT. Namun,

4545 Taqiyuddin an-Nabhany, Nizham al-Iqtishody fii al-islam, (Dar al-Ummah, 2004), hal. 241-242., Zain bin Ibrohim, at-taqrirotu as-sadidah fii al masaili al mufidah, (Daaru ulum al-islamiyah, 2004), hal. 424.,

datangnya islam menjadi kabar gembira bagi para budak karena islam membawa syariat yang mulia dimana salah satu syariatnya adalah anjuran kepada pemeluknya untuk membebaskan budak agar menjadi orang yang merdeka.

f. Al-Gharim adalah orang yang mempunyai hutang (yang digunakan bukan pada perkara maksiat) dan tidak mampu untuk melunasinya. Maka diberikan dana zakat untuk melunasinya. Zain bin Ibrahim menggambarkan al-gharim yang wajib diberikan zakat ini dengan empat keadaan, yaitu: 1) orang yang berhutang karena mencegah terjadinya fitnah diantara dua pihak yang saling bermusuhan maka diberikan dana zakat walaupun dia kaya. 2) orang yang berhutang karena menjamu tamu, membangun masjid, atau yang semisalnya. Maka diberikan dana zakat kepadanya untuk melunasi hutangnya walaupun dia kaya. 3) orang yang berhutang karena belanja kebutuhannya atau kebutuhan keluarganya. 4) menjamin orang lain, maka diberikan zakat jika penjamin itu dalam keadaan terjepit yaitu hutang orang yang dijaminnya jatuh tempo sementara orang tersebut (yang berhutang) dalam keadaan yang sulit (tidak mampu membayar hutangnya).

g. Orang-orang yang berjuang dijalan Allah. Zain bin Ibrahim dan an-Nabhani sepakat bahwa yang dimaksud dengan fii sabilillah

adalah para penakluk atau orang-orang yang terjun dimedan jihad. Mereka ini diberi dana zakat meskipun mereka kaya. h. Ibnu sabil yaitu para musafir yang kehabisan bekal.

Dalam pembahasan delapan ashnaf yang berhak memerima zakat ini, ada perbedaan pendapat diantara para ulama yang bermadzhab syafii‟ dan ulama yang bermadzhab malik dalam mendudukan antara fakir dan miskin. Menurut madzhab syafi‟i fakir itu lebih melarat daripada miskin sebagaimana keterangan diatas. Sedangkan menurut madzhab malik, miskin itu lebih melarat daripada fakir. Oleh karena itu, orang fakir dalam madzhab syafi‟i, disebut sebagai miskin dalam madzhab malik dan orang miskin dalam madzhab syafi‟i, disebut fakir dalam madzhab malik.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, selain delapan asnaf ini sama sekali tidak boleh diberi zakat. Zakat juga tidak boleh dialokasikan untuk urusan perekonomian negara (yang tidak bersangkutan langsung dengan delapan asnaf diatas). Apabila tidak ada satupun dari delapan asnaf yang ditemukan maka zakat tidak boleh dikeluarkan untuk urusan yang lain, akan tetapi tetap disimpan di Baitul Mal untuk diberikan kepada delapan

asnaf tersebut jika dikemudian hari ditemukan dan dibayarkan oleh

seorang imam atau wakilnya.46 Imam yang dimaksud an-Nabhani dalam bab ini adalah imam kaum muslimin atau disebut juga dengan istilah imaroh atau khalifah. Khalifah/Imam/imarah adalah nama jabatan dari seorang pemimpin negara yang menerapkan syariat islam dalam

menjalankian seluruh tatanan pemerintahannya atau dalam mengatur rakyatnya.

Adapun syarat-syarat untuk penerima zakat (mustahiq), menurut ulama yang bermadzhab syafi‟i ada enam:

a. Beragama islam, maka tidak boleh dana zakat diberikan kepada orang yang tidak beragama islam kecuali amil (amil zakat yang nonmuslim yang lebih mahir dalam urusan administrasi zakat)47 dan orang kafir yang sangat miskin dan ingin dibujuk hatinya agar masuk islam.

b. Merdeka, maka tidak boleh memberikan zakat kepada budak muslim walaupun dia budak muba‟ad karena tuannya sudah mencukupi kebutuhannya. Dikecualikan dari hal ini, adalah budak mukattab sebab budak mukattab mendapat bagian dari zakat sebagai upaya untuk memerdekakannya atau mempercepat kemerdekaannya.

c. Penerima zakat tidak boleh orang kaya, kecuali dalam beberapa masalah yang sudah disebutkan diatas (seperti amil, orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang berhutang karena menjamu tamu, dan lain sebagainya).

d. Bukan orang yang dalam tanggungan wajibnya orang lain dimana pihak penanggung adalah orang yang mampu. Seperti: seorang istri (dimana dia adalah tanggungan suaminya), anak

47 Ini menunjukan amil zakat boleh dari non muslim karena memang amil zakat adalah perkara urusan administrasi.

yang belum menikah (dimana ia dalam tangunggung orang tuanya), dan lain sebagainya.

e. Bukan keluarga atau keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Makanya para habaib tidak boleh menerima dana zakat sebab mereka adalah keturunan Rasulullah SAW (Bani Hasyim). Mereka (Bani Hasyim dan Bani Muthallib) tidak mendapatkan dana zakat namun kepada mereka diberikan 1/5 dari khumus. Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib boleh diberikan dan menerima dana zakat jika mereka tidak mendapatkan haknya (yaitu 1/5 dari khumus).

Dokumen terkait