• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Indonesia

Dalam dokumen WAWASAN Antologi Esai Pengajaran Bahasa (Halaman 82-92)

Pada tahun 1970 H.B. Jassin sudah meresahkan pengajaran sastra yang terjadi di sekolah Indonesia. Paus Sastra Indonesia itu mengisyaratkan bahwa pengajaran sastra di sekolah masih dinilai gagal mengembangkan apresiasi sastra siswa.3 Tidak hanya H.B. Jassin yang gelisah dengan keadaan pengajaran sastra di sekolah, Taufiq Ismail pun mempunyai perasaan yang sama. Beliau mencoba mengurai akar permasalahan keterpurukan pengajaran sastra dengan membandingkan pengajaran sastra di tiga belas negara. Dapat disimpulkan dari tabel perbandingan berikut bahwa keter- purukan itu diawali dengan tidak adanya kewajiban membaca dan menulis sastra. Sekolah Indonesia membaca 0 (nol) buku dalam 60 tahun terakhir. Berikut adalah tabel perbandingannya.

Tabel Buku Sastra Wajib Baca di SMU 13 Negara, Selama 3 atau 4 Tahun Pelajaran

Sumber: Membaca, Menulis dan Sastra Diapresiasi: Segi Tiga yang Memang Sama Sisi.

(Ismail, 2008:693)

No. Asal Sekolah Buku

Wajib Nama SMU Kota Tahun

1. SMU Thailand Selatan 5 Judul Narathiwat 1986-1991

2. SMU Malaysia 6 Judul Kuala Kangsar 1976-1980

3. SMU Singapura 6 Judul Stamford College 1982-1983 4. SMU Brunei Darussalam 7 Judul SM Melayu I 1966-1969

5. SMU Rusia, Soviet 12 Judul Uva 1980-an

6. SMU Kanada 13 Judul Canterbury 1992-1994

7. SMU Jepang 15 Judul Urawa 1969-1972

8. SMU International, Swiss 15 Judul Jenewa 1991-1994 9. SMU Jerman Barat 22 Judul Wanne-Eickel 1966-1975

10. SMU Perancis 30 Judul Pontoise 1967-1970

11. SMU Belanda 30 Judul Middleburg 1970-1973

12. SMU Amerika Serikat 32 Judul Forest Hills 1987-1989 13. AMS Hindia Belanda-A 25 Judul Yogyakarta 1939-1942

14. AMS Hindia Belanda-B 15 Judul Malang 1929-1932

15. SMU Indonesia 0 Judul Di Mana Saja 1943-1932

Sebuah kesimpulan dari Taufiq Ismail (2008:694) mengenai keterpurukan pengajaran sastra di Indonesia berikut ini telah me- nohok dunia pendidikan.

Tugas membaca buku sastra yang sudah berlangsung ideal di AMS Hindia Belanda, yang tarafnya setara dengan SMU Eropa dan Amerika Serikat hari ini, tidak dilanjutkan sesudah penye-

Siswanto

rahan kedaulatan. Begitu juga dengan pengajaran mengarang. Di mana-mana literasi dimulai dengan penumbuhan kecintaan mem- baca buku sastra. Besar dugaan saya pemotongan tugas membaca buku sastra di SMA kita, termasuk dipangkashabisnya penyedia- an penyediaan buku sastra di perpustakaan SMA kita sesudah 1950, adalah karena pemerintah lebih memberi prioritas pada jurusan eksakta dan ilmu sosial.

Di samping itu, pengajaran bahasa dan sastra di SMU lebih dititikberatkan ke sisi linguistiknya (80--85%). Guru yang disiap- kan IKIP juga guru tata-bahasa, yang canggung mengajar sastra karena SKS-nya sangat kecil. Mereka juga tidak cukup terlatih

membimbing siswa untuk mengarang.4

Dengan demikian, pada dasarnya, masalah utama dalam pem- belajaran sastra di Indonesia adalah masalah baca-tulis yang tidak mendapat bagian secara proporsional.

2. Pembahasan

Lantas, bagaimana membangkitkan pembelajaran sastra yang terpuruk saat ini? Ada tiga hal pokok yang perlu dipersiapkan, yaitu guru, murid, dan fasilitas pendukung. Pada tataran pertama, Taufiq Ismail mempunyai catatan mengenai hal tersebut. Berikut adalah kutipannya.

Dari titik Nol Buku, agar dapat melompat kembali ke 25 atau 15 buku, yang pernah dialami AMS-A dan AMS-B sebelum Perang Dunia II, diperlukan kerja keras meyakinkan semua pihak yang bersangkut-paut dengan hal ini, misalnya Depar- temen Pendidikan & Kebudayaan (waktu itu, yang kini Depar- temen Pendidikan Nasional) dan Bappenas. Meyakinkan mere- ka bahwa pengunggulan berlebihan kepada jurusan eksakta sudah harus ditinggalkan, bahwa peradaban bangsa ditentukan oleh penanaman literasi buku di sekolah yang dimulai lewat buku sastra, yang sama saja baik untuk jurusan non-eksakta maupun jurusan eksakta, tidak akan mudah. Diperlukan lobi yang gigih dan stamina kuat, yang walaupun sudah terlambat lewat setengah abad, perbaikan harus simulai. Sebagai langkah pertama, kita harus menyiapkan guru.5

Secara umum, beban peningkatan mutu pembelajaran sastra di sekolah ditanggung oleh para guru sebab bagaimanapun guru adalah sosok yang tak tergantikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Apapun materi pelajarannya, guru adalah mediator pro- ses pembelajaran. Dengan demikian, sebagaimana yang diung- kapkan oleh Taufiq Ismail, guna membangkitkan kembali ruh sastra di sekolah, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyadar- kan guru dari perbuatan ‘dosa’nya terlebih dahulu.

Ada sepuluh ‘dosa’ besar yang dilakukan oleh guru dalam mendidik anak-anaknya, yakni (1) guru mengajar, murid belajar, (2) guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa, (3) guru ber- pikir, murid dipikirkan, (4) guru bicara, murid mendengarkan, (5) guru mengatur, murid diatur, (6) guru memilih dan memak- sakan pilihannya, murid menuruti, (7) guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru, (8) guru memilih materi yang diajarkan, murid menyesuai- kan diri, (9) guru mengacaukan wewenang wawasan yang dimiliki- nya dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentang- kannya dengan kebebasan murid, dan (10) guru adalah subjek pro- ses belajar, murid objeknya (Suyatno, 2004:5--6).

Adapun proses pembelajaran Bahasa Indonesia di masa lalu cenderung menggunakan pendekatan struktural dengan pokok bahasan yang menekankan bunyi, kosakata, dan kalimat. Akibat- nya, adalah (1) guru lebih menekankan teori dan pengetahuan bahasa daripada keterampilan berbahasa, (2) bahan pelajaran tidak relevan dengan kebutuhan siswa untuk berkomunikasi, (3) struktur bahasa dibahas secara lepas, (4) evaluasi banyak mene- kankan aspek kognitif, dan (5) proses belajar-mengajar lebih di- dominasi guru daripada berpusat pada siswa (Suyatno, 2004:9). Berdasarkan tipe pembelajaran yang demikian, pantas kira- nya apabila dalam pembelajaran sastra para siswa rabun membaca dan pincang mengarang. Mereka juga menolak untuk disalahkan karena keadaan yang memaksa mereka menjadi seperti itu. Ke- adaan ini telah disuguhkan oleh Taufiq Ismail secara dramatis

Siswanto

dalam salah satu puisinya. Berikut petikan bait terakhir dari puisi yang ditulis pada tahun 1997. 6

“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata

Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja Mana ada dididik mengembangkan logika

Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra Pak Guru sudah tahu lama sekali

Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”

Setelah guru sadar dengan ‘dosa-dosa’nya, perlu diingatkan kembali peran dan tugas guru. Darmodiharjo (Marno dan Idris, 2008:19) menyebutkan ada tiga tugas yang diemban oleh guru, yaitu mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik lebih mene- kankan pembentukan jiwa, karakter, dan kepribadian berdasarkan nilai-nilai. Mengajar lebih menekankan pengembangan kemam- puan penalaran. Melatih menekankan pengembangan kemampuan menerapkan teknologi melalui berbagai keterampilan. Dengan demikian, untuk melaksanakan tugas tersebut guru perlu memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, kredibilitas moral, dedikasi yang tinggi, kedewasaan, dan keterampilan teknis meng- ajar serta kemampuan membangkitkan etos dan motivasi anak didik dalam belajar dan meraih kesuksesan.

Yang perlu juga diingat bahwa masyarakat selalu bergerak dalam perubahan. UNESCO telah memprediksi bahwa pendidik- an pada abad 21 akan berbeda dengan abad sebelumnya. Meng- antisipasi perubahan sosial masyarakat yang menuntut adanya perubahan paradigma pendidikan, UNESCO merekomendasikan empat pilar pendidikan yakni learning to know, learning to do, lear- ning to live together, dan learning to be.7Learning to know menuntut penerapan teknologi pembelajaran dan teknologi informasi dalam pembelajaran serta penerapan prinsip pendidikan sepanjang hayat (live long education). Penerapan Learning to do di masa depan adalah

mengembangkan kemampuan keterampilan fisik yang dibarengi dengan kemampuan menjalin hubungan interpersonal yang terlihat dari kecerdasan emosional yang terbentuk. Perwujudan learning to live together merupakan keniscayaan untuk membekali siswa agar berempati terhadap keragaman budaya sekaligus memelihara kebudayaan sendiri. Adapun learning to be bertujuan untuk mem- bentuk pengajar dan pembelajar memiliki integritas kepribadian dalam hubungannya dengan orang lain sekaligus memiliki kearifan dalam menyikapi lingkungannya.

Setelah menyiapkan guru, tahap berikutnya adalah memper- siapkan siswa. Persiapan yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma proses pembelajaran. Siswa harus menjadi subjek pem- belajar dan guru menjadi fasilitator. Siswa bukan orang dewasa dalam bentuk mini, melainkan individu-individu yang unik, se- hingga perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Proses pengembangan diri dapat dilakukan dengan memotivasi siswa agar membaca dan menulis karya sastra.

Sebagai langkah awal, siswa dipersilakan membaca buku sastra apa saja yang mereka sukai. Kata kunci yang perlu ditekankan di sini adalah rasa suka siswa terhadap bacaannya sebab yang ingin dicapai adalah kecintaan siswa dalam membaca. Oleh karena itu, siswa diperkenankan bebas memilih berbagai macam bacaan karya sastra, baik puisi, cerpen, maupun novel. Bahan bacaan ini seyogianya juga tidak ditentukan dahulu apakah sastra kanon ataukah sastra populer. Serahkan saja kepada siswa. Termasuk mereka akan memilih pengarang dari genre sastra yang mana. Setelah siswa membaca pada tahap awal, langkah kedua siswa diberi tugas membuat review hasil bacaannya. Langkah ketiga, siswa mempresentasikan hasil bacaannya di depan kelas. Jika setiap bulan siswa diwajibkan membaca satu buku, berarti siswa membaca 12 buku per tahun. Hal ini berarti pula jumlah 36 buku yang dibaca oleh siswa dalam tiga tahun. Bukankah angka tersebut cukup fantastis apabila bisa dilaksanakan dengan baik? Kemudian, da- lam tiap bulannya, di akhir bulan siswa mengumpulkan hasil

Siswanto review dan presentasi untuk diberi nilai. Mungkin, pada awalnya hal ini akan dirasakan sebagai siksaan bagi siswa, tetapi ‘keter- paksaan’ tersebut laiknya pil pahit yang harus ditelan agar orang sembuh dari penyakitnya.

Selain mempersiapkan guru dan siswa, yang perlu dilakukan adalah membenahi fasilitas pendukung yang masih berkait dengan pembelajaran sastra dan memengaruhi kondusif tidaknya pembelajaran sastra di sekolah. Misalnya, merombak kurikulum dan memisahkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia— sebagaimana diusulkan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, me- nyediakan ruang-ruang ekspresi sastra di media elektronik dan cetak8, mengadakan lomba dengan hadiah yang menarik9, memberi motivasi kepada siswa dengan mengajak mereka masuk ke dalam ranah sastra secara langsung dalam sebuah pertunjukan sastra10, dan yang terakhir adalah memberi apresiasi dan penghargaan yang menarik kepada sastrawan, seperti terjadi pada penyair Rusia yang bernama Andrei Voznesensky yang dibayar 1000 dolar untuk satu kali reading oleh panitia.11 Apabila Indonesia mampu membuat sastra sebagai sesuatu yang dapat dijual sebagaimana ledakan industri musik saat ini, tentunya selain para sastrawannya sejah- tera, para siswa pun ketika ditanya cita-citanya apa, mereka tidak akan segan-segan dan dengan tegas menjawab: sastrawan!

Membaca dan Membaca Lagi lalu Menulis dan Menulis Lagi!

Taufiq Ismail dalam salah satu puisinya memunyai ungkap- an favorit: Horison sudah mengirim sastra berbobot 17 ton 400 kilogram ke sekolah-sekolah. Dengan gerakan “membaca dan membaca lagi lalu menulis dan menulis lagi!” buku-buku kiriman yang berada di perpustakaan tidak akan bertumpuk debu. Tidak ada lagi kutu dalam buku yang menggerogoti dan merusak buku, melainkan ‘kutu buku’ yang selalu menikmati isi buku. Kutu buku jenis terakhir ini yang diharapkan muncul dari pembelajaran sastra yang kondusif dan generatif.

Pada akhirnya, segala jenis langkah dan cara di atas dapat disarikan menjadi dua hal mendasar yang harus dilakukan agar pembelajaran sastra di sekolah tidak lagi mati suri, yakni dengan mengadakan gerakan di sekolah yang berupa ‘membaca dan mem- baca lagi lalu menulis dan menulis lagi!’ Semoga dengan bertum- buhnya gerakan ini di sekolah akan menghasilkan generasi sastra yang mumpuni, berdedikasi, dan berprestasi, sebagaimana Abdurrahman Faiz, bocah berumur 8 tahun yang menjadi peme- nang pertama “Lomba Menulis Surat untuk Presiden RI “ pada Hari Anak Nasional 2003 silam. Berikut ini adalah dua di antara puisi- puisi Faiz yang menunjukkan kekuatan orisinal yang luar biasa bagi seorang bocah.

AYAH BUNDA kucintai kau berdua seperti aku

mencintai surga

Semoga Allah mencium ayah bunda dalam tamanNya terindah

nanti

(Januari 2002)

JALAN BUNDA bunda

engkaulah yang menuntunku ke jalan kupu-kupu

(September 2003)

3. Penutup 3.1 Simpulan

Indonesia mengalami keterpurukan pembelajaran sastra se- telah masa penyerahan kedaulatan (1949). Keterpurukan pembe- lajaran sastra diakibatkan oleh sikap yang menganggap kegiatan

Siswanto

baca-tulis tidak penting. Selama 60 tahun Indonesia membaca 0 (nol) buku bila dibandingkan dengan 13 negara lain yang men- capai 5-32 buku tiap 3-4 tahun. Peningkatan pembelajaran sastra di sekolah dapat dilakukan dengan empat tahapan. Dua tahapan berkaitan langsung dengan sekolah dan dua tahapan lainnya di luar lingkungan sekolah, namun masih tetap terkait erat dengan pembelajaran sastra di sekolah, yakni (1) meningkatkan kualitas guru, (2) mempersiapkan kondisi siswa, (3) menggalakkan kegiat- an sastra di luar sekolah, dan (4) memberi penghargaan dan apre- siasi kepada sastrawan sehingga sastrawan menjadi sejahtera.

3.2 Saran

Pembelajaran sastra di sekolah tidak akan terlepas dari masa- lah kurikulum pendidikan. Dengan demikian, kurikulum pendi- dikan bahasa dan sastra perlu dikaji ulang, terutama dalam masa- lah baca-tulis dan apresiasi karya sastra. Selain itu, perlu direali- sasikan pemberian apresiasi dan penghargaan yang layak kepada para sastrawan yang berprestasi guna memacu motivasi siswa untuk lebih mencintai sastra dan sastrawan.

Catatan

1 Ayat tersebut menjelaskan bahwa kunci dari segala ilmu pengetahuan

adalah baca-tulis dan merupakan wahyu pertama dalam agama Islam.

2 Ayat ini memperkuat keutamaan baca-tulis yang telah diwahyukan

sebelumnya.

3 “Para Petinggi Kita Produk Ringkasan Novel”, sebuah wawancara

Republika dengan Taufiq Ismail yang dimuat pada tanggal 17 Maret 1996.

4 “Membaca, Menulis dan Sastra Diapresiasi: Segi Tiga yang Memang Sama

Sisi” dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit (2008).

5 Agar Anak Bangsa tak Rabun Membaca tak Pincang Mengarang, Pidato Peng-

anugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendi- dikan Sastra, Universitas Negeri Yogyakarta, 8 Febuari 2003.

6 “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang” dalam Antologi Puisi Malu (Aku)

jadi Orang Indonesia.

7 Strategi & Metode Pengajaran (2008:24).

8 TVRI dan RRI sudah berusaha menyediakan ruang sastra seperti “Bincang

ini masih sangat minim. Demikian juga dengan beberapa surat kabar yang tiap hari Minggu mempunyai ruang ekspresi sastra baik puisi mau- pun cerpen. Meski belum memadai, tidak ada salahnya kita bersyukur bahwa telah ada ruang ekspresi bagi para siswa untuk lebih mencintai sastra.

9 Balai Bahasa sebagai salah satu lembaga pemerintah juga sudah rutin

mengadakan lomba kebahasaan dan keasastraan setiap tahunnya. Sudah selayaknya guru memotivasi para siswa untuk mengikuti lomba ini. Paling tidak sebagai tegur sapa para peminat sastra antarsekolah yang kelak diharapkan mampu membuat sebuah komunitas sastra yang solid serta mampu menghidupkan budaya literer yang saat ini terasa masih di awang-awang.

10 Sebagaimana dalam dunia sepak bola ada anak gawang yang diajak

masuk ke tengah lapangan, maka setiap ada penampilan pertunjukan para siswa sebaiknya juga diajak masuk ke dalam panggung. Dengan demikian, mereka akan mencintai dunia sastra.

11 Hal ini juga akan memotivasi siswa bahwa dunia sastra juga dapat dijadi-

kan mata pencaharian hidup yang menjanjikan.

Daftar Pustaka

Marno & M. Idris. 2008. Strategi & Metode Pengajaran: Menciptakan Keterampilan Mengajar yang Efektif dan Edukatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: SIC.

Ismail, Taufiq. 1998. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: Yaya- san Ananda.

—————. 2008. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3: Him-

punan Tulisan 1960--2008. Jakarta: Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horison.

Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

1. Pendahuluan

Dewasa ini pelajaran menulis atau mengarang di sekolah me- rupakan pelajaran yang cukup berat dirasakan oleh siswa. Meski- pun program membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sudah diajarkan sejak awal anak kepada siswa di sekolah, namun masih sangat sedikit anak di negeri ini yang memiliki kebiasaan mem- baca dan menulis. Tak heran jika kemudian banyak instansi di nege- ri ini berusaha untuk mengadakan program peningkatan minat baca-tulis.

Kegiatan membaca dan menulis bukanlah suatu kegiatan yang mudah dan ringan untuk dilakukan. Kegiatan ini memerlukan sa- ngat banyak energi. Apabila seorang pembaca buku perlu meng- ingat, menyerap, mengaitkan, dan memaknai apa yang dibacanya, maka menulis merupakan kegiatan yang lebih berat. Seorang pe- nulis disamping harus memaknai dan mengingat apa yang pernah dibaca, ia juga harus memunyai keterampilan menyempaikan pesan lewat tulisannya (Hernowo, 2004:49).

Sampai saat ini, kegiatan menulis di sekolah diwujudkan da- lam sebuah pokok bahasan mengarang, baik karangan narasi, fiksi maupun argumentasi.

Pelajaran mengarang sudah sering kali diajarkan, tetapi masih saja dirasa berat oleh peserta didik. Berdasarkan hasil observasi

Kegiatan Menggambar Ilustrasi:

Dalam dokumen WAWASAN Antologi Esai Pengajaran Bahasa (Halaman 82-92)

Dokumen terkait