• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd)

BAB IV PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM

B. Kontekstual

1. Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd)

Pada dasarnya, tidak semua hadis mempunyai latar belakang historis, karena ada hadis yang muncul begitu saja, tidak karena sebab tertentu. Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah meneliti apakah hadis yang akan dikaji itu mempunyai sabab al-wurûd atau tidak. Pemahaman terhadap hadis Nabi saw, sering kali memang tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan tekstual. Kondisi dan situasi saat hadis tersebut disampaikan oleh Nabi (asbâb al-Wurûd)31 harus pula diperhatikan.

Secara sederhana, sabâb al-Wurûd dapat diartikan sebagai sebab-sebab yang melatar-belakangi turunnya hadis. Menurut Jalâl al-Dîn al-Suyûti (w. 911 H), sabâb al-Wurûd berarti sesuatu yang menjadi Târiq (jalan) untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum dan khusus, mutlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatar-belakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa, maupun keputusan Nabi terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat.32 Menurut Ibnu Hamzah Asbâb al-Wurûd kadangkala disebutkan dalam hadis itu langsung, namun kadangkala disebutkan pada hadis lain.33

31 Sebab-sebab yang melatar-belakangi terjadinya hadis Nabi saw dalam ilmu hadis

dikenal dengan istilah asbâb al-Wurûd. Para ulama telah menghimpun hadis-hadis Nabi yang memiliki asbâb al-Wurûd dalam kitab-kitab tertentu, misalnya: al-Bayân wa al-Ta’rîf Fi

Asbâb Wurûd al-Hadîts al-Syarîf karya al-Sayyid al-Syarîf Ibrâhîm bin Muhammad Ibn

Hamzah al-Husaini dan asbâb Wurûd al-Hadîts karya Jalâl al-Din ‘Abd al-Rahmân bin Abi Bakr al-Suyûti.

32 Ali Mustafa Yaqub,

Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 153.

33 Ibnu Hamzah al-Husaini, Asbâb al-Wurûd; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan

Ali Mustafa menjelaskan bahwa tela’ah historis melalui sabâb al-Wurûd ini sangat penting dilakukan, karena sebagaimana dinyatakan al-Suyûtî, dengan mengetahui sabâb al-Wurûd seseorang akan bisa mengetahui mana hadis yang umum, khusus, mutlaq, dan mana hadis yang muqayyad, sehingga bisa menempatkan hadis sesuai porsinya. Jadi, mengetahui sabâb al-Wurûd itu sangat membantu dalam memahami hadis dan ayat, karena mengetahui sebab itu dapat mengetahui musabbab (akibat).34

Dengan mengetahui latar belakang lahirnya hadis, ajaran Islam juga bisa ditempatkan secara proporsional. Dengan sikap ini, seseorang bisa menyimpulkan isi kandungan sebuah hadis secara tepat. Bahkan pengamalan dan penerapannya akan lebih tepat pula. Misalnya, hadis yang diriwayatkan Imâm al-Bukhâri dari al-Barrâ bin Âzib, bahwa Rasulullah saw pada suatu ketika ditanya oleh seorang pemuda yang hendak masuk Islam, namun ia baru akan mengucapkan syahadat setelah ikut perang bersama Nabi saw, lalu beliau bersabda: “Masuk Islamlah kamu, kemudian berperanglah!”.35

Orang yang tidak mengetahui latar belakang munculnya hadis di atas, kemungkinan ia akan salah menyimpulkan. Dengan membaca hadis ini secara sepintas, bisa saja ada kalangan yang berasumsi bahwa Islam itu punya tradisi yang buruk, suka berperang, dan ajarannya memberatkan. Bahkan, tidak mustahil ada orang yang memahami, bila tidak berani berperang, tidak usah masuk Islam. Akan tetapi, bila dilihat dari latar belakang lainnya hadis

34 Ali Mustafa Yaqub,

Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 153.

35 Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi,

Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb ‘amal sâlih qabla qitâl, hadis nomor 2653, j. 3, h. 1034.

55

tersebut, dapat diketahui dengan jelas kepada siapa perintah yang ada di balik hadis itu dan dalam konteks apa ucapan itu lahir. Menurut al-Barrâ’, ternyata hadis itu diucapkan Nabi saw karena ada suatu peristiwa. Yaitu, peristiwa datangnya seorang laki-laki yang menemui beliau seraya berkata. “Ya Rasulullah saw, aku berperang kemudian barulah masuk Islam.” Kata Rasulullah saw, “Masuk Islamlah kemudian berperang!” akhirnya orang tersebut menyatakan masuk Islam, kemudian ia meloncat ke medan perang dan terbunuh di sana. Menyaksikan kejaidian itu, Rasulullah saw bersabda, “Dia beramal sedikit namun diberi pahala yang banyak.”36 Jadi, sekarang kita bisa mengetahui bahwa hadis tersebut terkait dengan sebuah peristiwa dan ditujukan kepada seorang tertentu juga. Dengan demikian, kesimpulan bahwa Islam itu suka berperang, tentu tidak tepat.37

Contoh lain, hadis yang diriwayatkan Imâm al-Bukhâri dan Imâm Muslim dari ‘Abdullâh bin ‘Âbbas. Nabi saw bersabda, “Apabila kamu sekalian hendak menunaikan salat jum’at, maka hendaklah (terlebih dahulu) mandi”.38 (HR. al-Bukhâri dan Muslim). Berdasarkan petunjuk hadis di atas, Ali Mustafa menukilkan bahwa Imâm Dâwud al-Zâhiri (w. 270 H/883 M) seorang pendiri madzhab al-Zâhiri menyatakan bahwa mandi pada hari Jum’at sebelum menunaikan salat Jum’at adalah wajib dan berlaku untuk siapa pun.

36 Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhâri al-Ja’fi,

Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb ‘amal sâlih qabla qitâl, hadis nomor 2653, j. 3, h. 1034.

37 M. Suwarta Wijaya,

Pengantar dalam Ibn Hamzah al-Husaini, Latar Belakang

Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, h. i-v.

38 al-Bukhâri,

Shahîh al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), bâb fadlu

al-ghusli yaum al-Jum‘ah, hadis nomor 837, j. 1, h. 299; Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûrî,

Ini dikarenakan beliau memahami hadis itu apa adanya, tanpa mengaitkannya dengan sebab yang melatarbelakangi kemunculannya.39

Ali Mustafa menjelaskan bahwa menurut riwayat yang ada, hadis itu memilki sebab khusus. Dalam sebuah riwayat, pada saat itu perekonomian para sahabat pada umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga mereka hanya mampu memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka juga banyak yang bekerja di kebun sebagai petani. Setelah berladang, banyak dari mereka yang langsung pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jum’at. Pada suatu Jum’at, cuaca sedang panas, sementara masjid sempit. Tatkala Nabi saw berkhutbah, aroma keringat dari orang yang berbaju wol kasar dan belum mandi itu menerpa hidung Nabi saw. Suasana hening di dalam masjid menjadi terganggu oleh aroma yang tidak sedap itu, sehingga Nabi saw pun mengatakan seperti tadi. Oleh karena itu, Ali Mustafa Yaqub menyimpulkan bahwa berdasarkan kondisi sosiologis di atas, Nabi saw hanya mewajibkan mandi Jum’at itu bagi orang-orang yang badannya kotor saja.40

Dokumen terkait