• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap perkembangan kajian hadis Kontemporer di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap perkembangan kajian hadis Kontemporer di Indonesia"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ni’ma Diana Cholidah NIM: 107034000208

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB TERHADAP PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ni’ma Diana Cholidah NIM: 107034000208

Pembimbing,

Dr. Bustamin, M.Si NIP. 19630703 199803 1 003

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)
(4)
(5)

iii Ni’ma Diana Cholidah

Kontribusi Ali Mustafa Yaqub

Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia

Berbicara tentang perkembangan kajian hadis kontemporer di Indonesia, yang berkaitan dengan pemahaman tekstual dan kontekstual pemikiran Ali Mustafa Yaqub-sampai hari ini ternyata masih cukup relevan untuk dibincangkan dan diteliti. Di Indonesia, kegiatan mengkaji dan meneliti hadis belum nampak menjadi salah satu prioritas kajian keislaman sejak abad-abad awal islamisasi di Indonesia yang diperkirakan berawal pada abad ke-13.

Penelitian tentang hadis di Indonesia dalam taraf perkembangannya dikatakan mudah. Beberapa literatur yang ada tentang pembelajaran hadis dan sejumlah akademisi hadis terlihat telah berhasil membuktikan pernyataan ini. Ali Mustafa Yaqub adalah tokoh yang punya pengaruh besar terhadap corak keberagaman sebagian umat Islam Indonesia, terutama dalam kajian di bidang hadis.

Skripsi ini membahas tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia dengan fokus kepada studi Pemikiran Ali Mustafa Yaqub. Sumber utama (Primary Resources) penelitian adalah buku-buku yang ditulis Ali Mustafa. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, data-data yang telah dikumpulkan dari beberapa sumber, diseleksi dan dirangkaikan ke dalam hubungan-hubungan fakta, sehingga membentuk pengertian-pengertian, yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk penulisan deskriptif-analitis.

(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah

memberikan kekuatan rohani, jasmani, taufik, rahmat dan hidayah-Nya kepada

penulis, serta berbagai kemudahan dan kesabaran untuk menjalani berbagai

rintangan selama penyelesaian skripsi ini. Penulis yakin benar bahwa hanya

dengan pertolongan-Nya skripsi ini selesai disusun. Untuk itu sudah sepatutnya

bagi penulis untuk mengakui kebesaran dan kedermawanan-Nya. Shalawat dan

salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah mengajak

umatnya kepada jalan yang diridhai Allah SWT supaya mendapatkan kebahagiaan

dan keselamatan di dunia dan di akhirat.

Skripsi ini merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan penulis

dalam rangka mencapai gelar Sarjana Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Tafsir Hadis.

Judul skripsi ini adalah “KONTRIBUSI ALI MUSTAFA YAQUB

TERHADAP PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS KONTEMPORER DI INDONESIA”. Dalam hasil penelitian ini, penulis menyadari banyak kekurangan yang sangat memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka pintu

lebar-lebar untuk menerima kritik dan saran yang sifatnya konstruktif. Dalam

proses penyusunan ini, penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik

berupa sumbangan pikiran, tenaga maupun materil. Maka sepatutnyalah dalam

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.

(7)

v

membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Dr. Lilik Ummi Kaltsum,

MA., (sekretaris Jurusan Tafsir Hadis) yang telah memberikan kemudahan

kepada penulis dalam melengkapi persyaratan administratif selama

penyusunan skripsi ini.

2. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan

Tafsir Hadis yang dengan penuh keikhlasan telah mencurahkan ilmu dan

pengetahuannya selama penulis dalam masa studi.

3. Segenap pengelola perpustakaan, baik Fakultas Ushuluddin, perpustakaan

utama UIN Syarif Hidayatullah maupun Iman Jama’ yang telah

memberikan berbagai fasilitas yang penulis butuhkan.

4. Kedua orangtua penulis, Ibu Nurnihayah dan Bapak H. Mas ‘Udi, S.Ag.

yang telah dan masih mendidik penulis sejak buaian hingga sekarang serta

senantiasa memberikan do’a dan motifasi kepada penulis. Semoga penulis

selalu mendapatkan rida mereka, dan dapat berbakti kepada keduanya.

(Allâhumma irhamhumâ wa ihfazhumâ kamâ rabbayânî sagîran, waballig

maqâsidahumâ wa tawwil ‘umûrahumâ fî tâ’âtik)

5. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA.; yang telah meluangkan waktunya

untuk diwawancara guna melengkapi data-data kajian skripsi ini dan

selaku khâdim ma’had Dârus-Sunnah, yang telah mendidik penulis dengan

penuh kesabaran dan keikhlasan. (Jazâhullâh wa hafizahu wanafa’anâ

bi’ulûmih); juga Ibu Hj. Ulfah Uswatun Hasanah (istri Prof. Dr. Ali

Mustafa Yaqub) yang telah membantu penulis dalam menentukan waktu

(8)

vi

6. Segenap keluarga, Mbah Hj. Sa’idah, Mas Mujib dan Bule’ Tutik yang

selalu memberikan bantuan moril maupun materil dan mengajarkan makna

kesungguhan guna menuntaskan kewajiban. Terima kasih atas motivasi

yang telah diberikan kepada penulis.

7. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA. Terima kasih atas masukan-masukan

yang telah diberikan, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

8. Bapak Dr. M. Isa HA Salam, MA (penguji I) dan bapak Maulana, MA

(penguji II). Terima kasih atas kritikan dan saran-sarannya.

9. Segenap civitas akademika Darus-Sunnah High Institute For Hadith

Sciences, mahasantri khususnya K’ Rika, Teh Aan, The Iwi, Alya, Iin dan

Syifa berikut alumninya. (Allahumma waffiqna fî kulli khayr).

10.Teman-teman penulis di manapun berada dan sahabat-sahabat Tafsir Hadis

TH-B angkatan 2007 khususnya May, Risti, Ajeng, Nuril, Eva, k’ Ana,

Zahro, Ni’mah dan Nisa’. Teman-teman seperjuangan KKN HASTA,

teman-teman bisnis MLM (Ita, Arma, Teh Zizah, Hanim, k’ Aunur dan k’

Nia Amalia) dan sahabat satu almamater (Indri Yulianti) yang selalu

mendampingi penulis dalam segala keadaan dan yang selalu memberikan

(9)

vii

Allah membalas pengorbanan dan kebaikan mereka semua dengan

sebaik-baiknya balasan.

Seberapa maksimal pun penulis mengerjakan skripsi ini tentu tak akan

luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari mereka

yang sudi membaca skripsi ini amat penulis harapkan untuk perbaikan penulis

selanjutnya.

Wallah al-Hadî ilâ Sirât al-Mustaqîm

Ciputat, 09 Maret 2011

(10)

viii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... ii

Abstrak ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... viii

Pedoman Transliterasi ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah ... 5

C. Kajian Pustaka ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 8

F. Metodologi Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan... 9

BAB II BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB ... 11

A. Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan ... 11

B. Sumber Pemikiran ... 15

C. Aktivitas dan Karya ... 18

(11)

ix

B. Pembagian Hadis ... 30

C. Kajian Hadis di Indonesia ... 35

BAB IV PEMIKIRAN ALI MUSTAFA YAQUB DALAM PEMAHAMAN HADIS ... 45

A. Tekstual ... 46

1. Perkara Ghaib (al-Umur al-Ghaibiyyah)... 50

2. Ibadah Murni (al-‘Ibadah al-Mahdhah) ... 51

B. Kontekstual ... 52

1. Sebab-Sebab Turunnya Hadis (Asbâb al-Wurûd) ... 54

2. Lokal dan Temporal (Makâni wa Zamâni) ... 57

3. Kausalitas kalimat (‘Illat al-Kalâm) ... 58

4. Sosio Kultural (Taqâlid) ... 59

BAB V PENUTUP ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran-saran ... 62

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia. Di

Indonesia banyak lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat Taman

Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Demikian juga organisasi Islam

tersebar di seluruh nusantara. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah

ulama dan pemikir Islam sejak dahulu sampai sekarang. Tapi sayangnya,

kegiatan mengkaji dan meneliti hadis belum nampak menjadi primadona

kajian keislaman di Indonesia. Padahal, sebagai salah satu sumber pokok

ajaran Islam umumnya dan syariat khususnya, hadis seharusnya menduduki

posisi penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah

al-Qur’an, hadis tidak boleh diabaikan. Karena itu, hadis di tengah masyarakat

Islam perlu dikaji.1

Memahami dan menjabarkan prinsip umum ajaran Islam berikut

penjelasannya akan menemukan kesulitan, jika tanpa bantuan hadis-hadis

Nabi Saw yang diyakini sebagai penjelas. Maka, sebuah kemestian jika

kemudian di Indonesia bermunculan para tokoh-tokoh yang secara intens

ataupun tidak yang memasyarakatkan atau mengembangkan hadis, baik secara

individual ataupun kelompok.

1 Ramli Abdul Wahid, “

Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan

Organisasi Masyarakat Islam”, al-Bayan; Jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, Vol: IV, No: 4,

(13)

Dari uraian di atas dapat kita pahami dari arti kebutuhan masyarakat

Islam di Indonesia terhadap pengetahuan ajaran Islam dengan baik khususnya

dalam bidang kajian hadis, karena seseorang tidak hanya dituntut mampu

memahami dan mendalami hadis Nabi saw dari segi matannya saja, juga

dituntut untuk mengetahui tentang sanad dan para periwayatnya. Dalam kajian

ini, pengetahuan tentang berbagai istilah, kaidah, metode penelitian dalam

ilmu hadis yang berhubungan erat dengan hadis yang dikajinya itu perlu

dipahami dengan baik. Karena cukup banyak dan rumit pengetahuannya yang

berkaitan erat dengan hadis tersebut, maka dapat dimaklumi bila ulama dan

para sarjana Islam yang memiliki keahlian tentang hadis relatif tidak banyak.

Di Indonesia pun, ulama dan sarjana Islam yang ahli tentang hadis amatlah

minim.

Usaha untuk memahami hadis Nabi saw2 agar bisa dimengerti dan

diamalkan secara benar juga banyak dilakukan. Mengetahui beragam fungsi

yang Rasulullah saw perankan ikut menjadi faktor penting dalam menciptakan

pemahaman yang baik. Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad saw.

selain dinyatakan sebagai Rasulullah, juga dinyatakan sebagai manusia biasa.

2 Memahami hadis Nabi dengan baik agar bisa diamalkan secara benar adalah satu

hal yang harus dilakukan seorang muslim, walaupun Hadis merupakan wahyu sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam firmannya: ﻰﺣﻮﯾ ﻲﺣو ﻻإ ﻮھ نإ .ىﻮﮭﻟا ﻦﻋ ﻖﻄﻨﯾ ﺎﻣو“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya,ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan”. (QS. Al-Najm/53: 3-4). Menurut Syuhudi Ismail ada beberapa pengecualian

tertentu dari keadaan Rasul yang tidak wajib diteladani. Yang disimpulkan dalam tiga hal,

Pertama, karena adanya dispensasi dari Allah swt terhadap pribadi Rasulullah saw. Seperti

Rasulullah saw beristri lebih dari empat. Kedua, yang berhubungan dengan masalah dunia. Sesuai sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah ra: ﻢﻛﺎﯿﻧد رﻮﻣﺄﺑ ﻢﻠﻋأ ﻢﺘﻧأ

“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Contohnya pada waktu sebelum perang

(14)

3

Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Imran ayat 144 dan al-Kahf ayat

(15)

Dalam wacana kaijian hadis kontemporer di Indonesia dikenal

beberapa nama.3 Salah satunya adalah Ali Mustafa Yaqub. Beliau adalah

ulama hadis di Indonesia yang cukup disegani dan diperhitungkan kredibilitas

dan intelektualitasnya. Buku-bukunya banyak dibaca kaum muslimin

Indonesia dewasa ini, baik yang berkaitan dengan Hadis, Fiqih dan Dakwah.

Tidak kurang dari 32 karya Ali Mustafa Yaqub dalam bentuk buku beredar di

kalangan umat Islam Indonesia.

Menurut Hidayat Nurwahid, buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul

Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal adalah buku fatwa khas Indonesia

yang memang meng-Indonesia.4

Ali Mustafa Yaqub yang penulis ambil sebagai salah satu tokoh yang

memahami kebutuhan umat Islam di Indonesia terhadap kajian hadis maupun

Ilmu Hadis, melalui karya-karya inovatifnya yang telah dipublikasikan

merupakan salah satu solusi kesulitan dalam memahami ajaran Islam. Kiranya

sejalan dengan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk

mengkaji, selanjutnya penulis merumuskan tema penelitian ini dalam sebuah

judul skripsi ini yaitu: “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap

Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer Di Indonesia”.

Alasan penulis memilih Ali Mustafa Yaqub sebagai tokoh yang dikaji,

lebih didasarkan pada anggapan bahwa beliau banyak menekuni dan

mendalami hadis, baik meneliti kualitasnya, menjelaskan makna dan

3 Seperti Mahmûd Yûnus, Syuhudi Ismâ’îl, Daud Rasyid, Lutfi Fathullah, Yunahar

Ilyas, Abdul Qâdir Jawwâz, Afif Muhammad, ‘Abdurrahman, Muhibbin Noor, Ahmad Sutarmadi, dan masih banyak lagi.

4 Hidayat Nurwahid, “Pengantar” dalam Ali Mustafa Yaqub, Fatwa-Fatwa Imam

(16)

5

kandungannya, dan mendidik Jama’ah (santrinya) untuk mendalami hadis dan

Ilmu Hadis. Namun di sisi lain banyak juga yang mempermasalahkan

kapasitas ilmiah dan kredibilitasnya dalam Ilmu Hadis. Sehingga muncul

pendapat-pendapat, baik yang mendukung maupun yang menentang

pemikirannya. Terlepas dari semua itu, peranan beliau dalam membumikan

sunnah Rasulullah saw dengan kekhasan beliau perlu mendapat apresiasi.

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah

Berangkat dari Latar Belakang Masalah tersebut di atas, muncul

permasalahan mendasar yang menjadi pokok (major research question)

penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah dinamika kajian hadis kontemporer di

Indonesia yang diperankan Ali Mustafa Yaqub ? pokok masalah tersebut

selanjutnya dapat dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan (minor research

questions) sebagai berikut:

1. Apa saja kontribusi dan gagasan-gagasan Ali Mustafa Yaqub sebagai

upaya pelestarian dan pengembangan pemikiran dan kajian Hadis di

Indonesia ?

2. Bagaimanakah tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) akademisi

maupun non akademisi terhadap gagasan pemikiran Ali Mustafa Yaqub ?

Dari identifikasi masalah tersebut terdapat beberapa hal yang menjadi

batasan penulis, yaitu:

Pertama, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan

(17)

Biografi Ali Mustafa Yaqub; 2. Sekilas Mengenai Kajian Hadis; 3. Pemikiran

Ali Mustafa Yaqub dalam Pemahaman Hadis.

Kedua, Komentar para tokoh yang relevan untuk mengetahui sejauh

mana peranan dan kiprah Ali Mustafa Yaqub diakui masyarakat akademis.

Maka rumusan masalahnya adalah apa “Kontribusi Ali Mustafa Yaqub

Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia ?”

C. Kajian Pustaka

Sejauh ini, penulis menemukan jurnal al-Qur’an dan al-Hadis, dalam

jurnal itu terdapat tulisan Ramli Abdul Wahid yang berjudul Perkembangan

Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Organisasi Masyarakat Islam;

Pemikiran Syuhudi Ismail Tentang Hadis Nabi saw. Karya Arifuddin Ahmad.

Di dalam tulisannya ini Arifuddin mengelaborasi pemikiran Ali Mustafa

Yaqub tentang peran Ilmu Hadis dalam pembinaan hukum Islam. Tetapi

karena kepentingan Arifuddin hanya untuk tinjauan pustaka disertasinya,

sehingga tulisannya tentang Ali Mustafa Yaqub tersebut hanya sedikit saja dan

tidak mendalam; Kajian Hadis di Indonesia: Profil Literatur Hadis di

Indonesia Dari Tahun 1955 sampai tahun 2000 karya Andriansyah. Di dalam

tulisannya ini, Andriansyah membahas tiga karya Ali Mustafa Yaqub, yaitu

Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam, Kritik Hadis, serta Imam

Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis sebagai karya yang patut

diperhitungkan dalam deretan literatur hadis di Indonesia. Namun Adriansyah

(18)

7

dalam ke dua bukunya tersebut ataupun hal lain yang terkait dengan Ali

Mustafa Yaqub.

Dengan demikian, kajian ini berbeda dengan kajian yang telah ada.

Kajian ini merupakan kajian tentang Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap

Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia. Tidak sekedar

mengemukakan kualitas dan kapasitas intelektual di bidang hadis, tetapi juga

yang lebih utama adalah mengungkapkan peran dan pemikirannya.

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian dalam proposal skripsi

ini adalah:

1. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama yang

berhubungan dengan hadis.

2. Mengetahui kontribusi dan gagasan-gagasan baru yang dikemukakan dan

dilakukan tokoh-tokoh hadis di Indonesia dalam hal ini Ali Mustafa Yaqub

sebagai upaya pelestarian dan pengembangan hadis.

3. Mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum

intelektual) terhadap gagasan-gagasan Ali Mustafa Yaqub dalam masalah

hadis.

4. Tujuan akademis, yaitu memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi

(19)

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Kiranya hasil penelitian ini akan berguna untuk memberikan informasi

yang memadai kepada para peminat dan pemerhati kajian hadis serta kepada

masyarakat umum mengenai Kontribusi Ali Mustafa Yaqub Terhadap

Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia, sebagai satu kajian

[image:19.612.114.511.135.501.2]

terhadap tokoh-tokoh hadis melalui karya-karyanya, diharapkan muncul

gambaran objektif dan penilaian yang jujur.

F. Metodologi Penelitian

Sebagaimana karya-karya ilmiah pada sebuah disiplin ilmu, setiap

pembahasan masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk

menganalisa permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan

berpijak dalam mengelaborasinya sehingga dapat dijelaskan secara mendetail

dan dapat dipahami.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan

(library research), yaitu sebuah penelitian berasal dari buku-buku karangan

Ali Mustafa Yaqub dan buku-buku yang diberikan kata pengantar oleh Ali

Mustafa Yaqub. Oleh karena itu sumber datanya diperoleh dari berbagai buku

yang telah ditelaah oleh peneliti, sehingga dengan melakukan hal itu

diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan valid tentang

kajian yang sedang dibahas.

Selanjutnya, pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode

(20)

9

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.5

Atau dengan ungkapan lain menguraikan dengan kata-kata dan menganalisis

satu persatu hal-hal yang menyangkut pokok permasalahan.

Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),” UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2007”.6

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima

bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

identifikasi, rumusan dan batasan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,

signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, untuk memberikan gambaran umum tentang Kontribusi

Ali Mustafa Yaqub Terhadap Perkembangan Kajian Hadis Kontemporer di

Indonesia maka pada pembahasan ini akan dipaparkan biografi Ali Mustafa

Yaqub yang terdiri dari: sosio kultural, sumber pemikiran, aktivitas dan hasil

karya, serta aliran theologi Ali Mustafa Yaqub.

Bab Ketiga, Pada bagian ini akan membahas sekilas mengenai kajian

hadis yang terdiri dari: dua istilah yang popular, pembagian hadis, dan kajian

hadis di Indonesia.

5 Lexy J. Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda

Kaya, 2004), h. 4

6 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan

(21)

Bab Keempat, pemikiran Ali Mustafa Yaqub terhadap pemahaman

hadis Nabi Muhammad saw secara tekstual dan kontekstual.

Bab Kelima, Penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik

kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab

(22)

11 BAB II

BIOGRAFI ALI MUSTAFA YAQUB

A. Sosio Kultural dan Sosio Keagamaan

Ali Mustafa Yaqub lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa

Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ali hidup dalam

lingkungan keluarga yang taat beragama dan berkecukupan. Masa kecil Ali

tiap hari sehabis belajar di sekolah dasar (SD) di desa tempat kelahirannya, ia

habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di lereng-lereng

bukit pesisir Utara Jawa Tengah.1 Kebiasaan ini kelak membentuk karakter

dan kepribadian Ali yang tegas, kritis, dan peduli.

Ayahnya bernama Yaqub, seorang mubaligh terkemuka pada

zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah, misinya “Menegakkan

Amar Ma’ruf dan memberantas Kemungkaran”. Sejak matahari terbit sampai

terbenam ayahnya melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Mayoritas

penduduk di lingkungan rumahnya sebagian besar adalah orang yang belum

mengerti agama secara mendalam. Akhirnya ayah dan kakeknya mendirikan

sebuah pondok pesantren yang para santrinya adalah penduduk sekitar. Ayah

beliau mengajar tanpa pamrih dan hanya mengharap rida Allah swt, berjiwa

besar dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah swt.2

Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan Ibu rumah tangga

yang ikut membantu perjuangan suaminya (Yaqub). Ibu Ali meninggal pada

1 Ali Mustafa Yaqub,

Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003), h. 143.

(23)

tahun 1996. Beliau memiliki tujuh saudara, dari tujuh bersaudara tersebut, dua

di antaranya meninggal dunia, dan yang masih hidup lima bersaudara, salah

satu dari kakaknya yang bernama Ahmad Dahlan Nuri Yaqub mengikuti jejak

ayahnya sama seperti beliau, dan sekarang kakaknya sebagai pengasuh

Pondok Pesantren Darus Salam di Batang, Jawa Tengah.3

Semula Ali berminat ke pendidikan umum. Namun ayahnya

memasukkannya ke pesantren. Setelah belajar di SD dan SMP di desa tempat

kelahirannya, dengan diantar ayahnya ia mulai mondok untuk memperoleh

ilmu agama di pesantren Seblak, Jombang, sampai tingkat Tsanawiyah.

Rentang waktu 1966-1969. Kemudian ia nyantri lagi di pesantren Tebuireng

Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari pondok Seblak,

1969-1972. Selanjutnya pada pertengahan tahun 1972 ia melanjutkan

menuntut ilmu pada program studi syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari

Jombang dan selesai pada tahun 1975.4

Di Tebuireng ini ia banyak menekuni kitab-kitab kuning5 di bawah

asuhan para kiyai senior antara lain: KH. Idris Kamali, KH. Adhlan Ali, KH.

Shobari, dan KH. Syamsuri Badawi. Dari KH. Idris Kamali ia belajar

ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis dan tafsir dengan metode sorogan (individual)

dimana ia diwajibkan menghafal lebih dari sepuluh kitab, antara lain: Alfiyyah

3 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011. 4 Ali Mustafa Yaqub,

Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1997), h. 240.

5 Dinamakan kitab kuning karena buku tersebut dicetak di atas kertas berwarna

(24)

13

Ibnu Malik, al-Baiqûniyyah, al-Waraqât, dan lain-lain. Sebagai prasyarat

untuk boleh membaca kitab di hadapan beliau- dari KH. Adhlan ia belajar

ilmu akhlak dan lain-lain. Dari KH. Shobari ia belajar ilmu hadis dan ilmu

lain-lain. Sementara dari KH. Syamsuri Badawi ia belajar hadis dan ilmu usûl

al-Fiqh. Di tebuireng dia juga pernah belajar dengan Abdurrahman Wahid

(Gusdur)6 khususnya untuk bidang studi bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada.7

Di samping belajar, Ali Mustafa juga mendapat tugas mengajar di

almamaternya tersebut untuk kajian kitab-kitab kuning dan bahasa Arab,

sampai awal tahun 1976.

Pada pertengahan tahun 1976 atas beasiswa penuh dari pemerintah

Arab Saudi, Ali Mustafa mencari ilmu lagi di Fakultas Syari’ah Universitas

Islam Imâm Muhammad bin Sa’ûd, Riyâd, Saudi Arabia, sampai tamat

dengan ijazah Licance (Lc) tahun 1980. Masih di kota yang sama ia

melanjutkan studi lagi di Universitas King Sa’ud Departemen Studi Islam

jurusan Tafsir Hadis sampai tamat dengan ijazah master tahun 1985.

Dipilihnya Fakultas Syari’ah (S1) dan Departemen Tafsir Hadis (S2) oleh Ali

Mustafa bukanlah sebuah kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya kedua

ilmu ini (Syari’ah dan Hadis) sangat diperlukan masyarakat.8

6 Lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940, wafat di Jakarta, 30 Desember

2009 pada umur 69 tahun. Beliau adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Lihat Syamsul Hadi, Gus

Dur, KH. Abdurrahman Wahid; Guru Bangsa, Bapak Pluralisme, (Jombang: Zahra Book,

t.t.), h. 11.

7 Ali Mustafa Yaqub,

Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Hadis, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2000), h. 105.

(25)

Pada tahun-tahun Ali Mustafa kuliah di Saudi, program doktor belum

dibuka pada Universitas-universitas di Riyâd. Hal tersebut karena rendahnya

minat orang Arab Saudi untuk kuliah S2 waktu itu. Pihak universitas hanya

bersedia untuk membuka program doktor dengan syarat mahasiswa asli Saudi

harus lebih dari 50 persen. Tetapi, saat itu dari 20 orang mahasiswa program

S2 di Universitas King Sa’ûd Riyâd hanya dua orang saja yang asli saudi

sehingga program S3 tidak bisa diadakan.

Kondisi ini membuat Ali Mustafa tidak bisa langsung melanjutkan

kuliahnya pada program doktor, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk

pulang ke Indonesia.9 Baru pada tahun 2006 Ali Mustafa melanjutkan studi

doktoralnya di universitas Nizamia Hyderabad India di bawah bimbingan M.

Hasan Hitou,10 Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh universitas Kuwait dan

Direktur lembaga studi Islam International di Frankfurt Jerman. Pada

pertengahan tahun 2007 Ali Mustafa mampu menyelesaikan program

doktornya pada konsentrasi Hukum Islam universitas tersebut.11

9 Wawancara pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.

10 M. Hasan Hitou adalah orang yang paling berperan besar dalam studi S3 Ali

Mustafa di universitas Nizamia Hyderabad India. Kepakarannya dalam Fiqh Islam menjadi motivasi tersendiri bagi Ali Mustafa untuk secepatnya merealisasikan cita-citanya yang sempat tertunda sejak 1985. Bimbingan M. Hasan Hitou lah yang diharapkannya sehingga ia memilih kuliah S3 di India bukan di Timur Tengah. Wawancara Pribadi dengan Ali Mustafa Yaqub, Jakarta, 22 Januari 2011.

(26)

15

B. Sumber Pemikiran

Dalam perkembangan intelektual Ali Mustafa Yaqub, ada empat orang

gurunya yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Pertama, Syamsuri

Badawi, guru hadis dan Usûl Fiqh Ali Mustafa di pesantren Tebuireng

Jombang. Dari beliaulah Ali Mustafa banyak belajar sikap tawâdû’, ikhlas,

dan semangat untuk mendalami studi hadis. Dari beliau pula Ali memperoleh

sanad hadis-hadis sahîh al-Bukhâri dan sahîh Muslim dengan cara ijâzah12

yang bersambung kepada Nabi saw melalui jalur Hasyim Asy’ari. Kedua, Idris

Kamali, darinya Ali belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis, dan tafsir.

Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali Mustafa kemudian bisa

menelaah literatur-literatur berbahasa Arab. Ketiga, Muhammad Mustafa

al-A’zamî,13 guru hadis Ali Mustafa di Universitas King Sa’ûd Riyâd.

12 Ijazâh termasuk salah satu metode dalam

al-tahammul wa al-adâ’ (belajar) dalam

ilmu hadis. Hal ini diketahui dengan ungkapan seorang guru yang mengatakan, “Ajaztuka

sahîh al-Bukhari”/Aku ijazahkan kamu sahîh al-Bukhâri. Dengan ungkapan itu, seorang yang

mendapatkan ijazah telah mempunyai jalur sanad sebagaimana gurunya kepada pengarang kitab.

13 Muhammad Mustafa al-A’zamî, guru besar ilmu hadis Universitas King Sa’ûd,

Riyâd, Arab Saudi adalah salah satu ulama pengkaji hadis dalam pergulatan pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis. Sumbangan penting A’zamî adalah disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris yang berjudul “Studies in Early

Hadîtsh Literature” (1996), karena secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua

orientalis Yahudi Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A’zamî secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, yang berjudul; On Schacht’s Origins of

Muhammadan Jurisprudence. A’zamî telah berhasil menjaga hadis dengan argumentasi yang

(27)

Dari para guru itulah Ali Mustafa banyak belajar keistiqamahan,

semangat menulis karya ilmiah dalam bidang hadis, dan sikap kritis terhadap

orientalis. A’zamî dalam pandangan Ali Mustafa adalah satu contoh ulama

kontemporer yang punya karakter kuat. Walaupun kuliah di universitas

Cambridge Inggris yang saat itu menjadi salah satu sarangnya orientalis,

A’zamî sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi A’zamî

justru mengkritik dua tokoh utama orientalis dalam bidang hadis Ignaz

Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1920-1969). Sikap kritik ilmiah

A’zamî ini akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh

orientalis sendiri seperti Arthur John Arberry (1905-1969).14

Selama 9 tahun kuliah di Arab Saudi, Ali Mustafa juga rajin

menghadiri halâqah-halâqah di luar kampus, misalnya halâqah hadis al-Kutub

al-Sittah yang diasuh oleh Abdul Azîz bin ‘Adullâh bin Bâz (w. 1999) yang

berjarak 30 kilo meter dari tempat tinggal Ali di Riyâd. Nampaknya, dari

interaksi dengan halâqah inilah Ali Mustafa mendapat inspirasi untuk

mendirikan pesantren khusus hadis kemudian hari di tanah air. Di samping itu,

Ali Mustafa juga menghadiri perkuliahan-perkuliahan yang dibawakan oleh

‘Abdul Azîz dan tokoh-tokoh lain.

Kemampuan bahasa Inggris Ali Mustafa yang baik, menjadikan ia juga

bisa mengkaji karya tulis para orientalis Barat dengan baik seperti buku-buku

14 A. J. Arberry adalah orientalis Inggris yang ahli di bidang tasawwuf Islam dan

(28)

17

Ignaz Goldziher (1850-1921), Joseph Schacht (1902-1969), David Samuel

Margoliouth (w. 1940), Junyboll (L. 1935), A. Guillaume, dan lain-lain.

Namun pembacaan tersebut bukan membuat Ali Mustafa menjadi terpengaruh

oleh pemikiran mereka. Tetapi malah ia mencari karya tandingan sebagai

komparasi terhadap teori-teori yang mereka bangun.

Hal tersebut melahirkan sikap kritis Ali Mustafa terutama terhadap

orientalis. Sikap kritis Ali Mustafa tersebut banyak dipengaruhi oleh Mustafa

al-Sibâ’î (Guru besar Universitas Damaskus) yang menulis buku al-Sunnah

wa Makânatuhâ Fi al-Tasyrî’ al-Islâmi (1949), Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb

yang menulis buku al-Sunnah Qabla Tadwîn (1964), dan Muhammad Mustafa

al-‘Azami (l. 1932) yang menulis Studies in Early Hadith Literature (1966).

Ali Mustafa sangat kagum terhadap pembelaan yang mereka lakukan terhadap

hadis Nabi saw. Mustafa al-Sibâ’î dikenal dengan sikap berani dan sportif

karena ia tidak segan dan gentar untuk mendatangi langsung Joseph Schacht di

universitas Leiden Belanda untuk mendiskusikan keculasan dan ketidak

jujuran Ignaz Goldziher dalam mengutip teks-teks sejarah.

Muhammad ‘Ajâj al-Khatîb menurut Ali Mustafa juga memiliki

kontribusi besar dalam membela eksistensi hadis Nabi dari serangan orientalis.

Sementara ‘Azami dalam pandangan Ali Mustafa adalah sosok intelektual

yang istiqamah dan punya dedikasi tinggi terhadap usaha pembelaan atas

ajaran Islam. Walaupun ia belajar di komunitas orientalis, namun ‘Azami

sama sekali tidak terpengaruh oleh mereka. Bahkan disertasi ‘Azami justru

(29)

(1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Sikap kritik ilmiyah ‘Azami ini

akhirnya mendapat pengakuan dan pujian dari tokoh-tokoh orientalis sendiri

seperti Arthur John Arberry (1905-1969).

Sikap kritis dan kritis Ali Mustafa tidak pandang bulu. Bukan hanya

tokoh-tokoh orientalis yang menjadi sasaran kritiknya, ulama besar seperti

Nâsir al-Dîn al-Bânî (w. 1999 M) tidak luput dari kritik tajam Ali Mustafa.

Menurutnya, pemikiran al-Bânî banyak yang melawan arus. Hadis yang sudah

di-sahîh-kan oleh ulama ahli hadis justru di-daif-kan oleh al-Bânî. Sebaliknya,

ia juga sering men-daif-kan hadis yang sebelumnya sudah sahîh. Seperti fatwa

al-Bânî tentang diharamkannya perhiasan emas yang melingkar, padahal fatwa

tersebut bertentangan dengan hadis sahîh dan ijmâ’ ulamâ’.15

C. Aktivitas dan Karya

Walaupun berniat untuk mengabdikan diri berdakwah di Indonesia

Timur Papua, tetapi takdir berkata lain. Pertemuannya dengan Abdurrahman

Wahid (Gusdur)16 ketika pulang dari belajar di Saudi Arabia pada tahun 1985

di kantor pengurus besar Nahdlatul Ulama (PB NU)17 merubah paradigma

berpikir Ali Mustafa sejak masa kuliahnya itu. Menurut Gusdur, berdakwah

tidak mesti harus ke Papua (Irian Jaya) apalagi Timor-Timor. Jakarta adalah

medan dakwah yang juga butuh perhatian khusus.

15 Ali Mustafa Yaqub,

Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, h. 122-126.

16 Gusdur atau Abdurrahman Wahid adalah guru Ali Mustafa Yaqub sejak tahun

1971 di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. Dari Gusdur, Ali Mustafa belajar bahasa Arab dan kitab Qatr al-Nada. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Persepektif

al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 105.

17 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat Dalam Persepektif al-Qur’an dan Hadis, h.

(30)

19

Setelah pertemuan tahun 1985 dengan Gusdur tersebut, Ali Mustafa

mengajar di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta untuk mata kuliah hadis dan

ilmu hadis. Di samping sebagai dosen tetap IIQ Jakarta, beliau juga mengajar

di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Pengajian tinggi Islam

masjid istiqlal Jakarta. Dalam perjalanan karir dosennya, beliau juga pernah

mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang telah menjadi

UIN, Institut Agama Islam Shalahuddin al-Ayyubi (INNISA) Tambun Bekasi,

pendidikan Kader ulama Hamidiyah, Jakarta, dan di berbagai majlis ta’lim.

Tahun 1989. Beliau bersama keluarganya mendirikan pesantren Darus-Salam

di desa kelahirannya, Kemiri.18

Dalam keorganisasian, Ali pernah menjadi ketua umum Perhimpunan

Pelajar Indonesia (PPI) Riyâd. Setelah kembali ke Indonesia Ali pernah

menjadi pengasuh pesantren al-Hamidiyah Depok (1995-1997), juga pernah

aktif sebagai anggota Komisi Fatwa MUI pusat sejak 1987 dan pada tahun

2005 menjadi Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI serta Ketua Sekolah Tinggi

Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta. Selain itu, ia juga aktif

mengajar hadis dan ilmu hadis di berbagai tempat. Ketika aktif dalam

organisasi dakwah, tahun 1990-1996 Ali diamanahi menjadi Sekretaris Jendral

Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin. Kemudian untuk periode kepengurusan

1996-2000 Ali diamanahi menjadi Ketua Dewan Pakar, merangkap Ketua

Departemen Luar Negeri DPP Ittihadul Muballighin. Ketua Lembaga

Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi), pengasuh Rubrik hadis majalah

18 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

(31)

Amanah, dan pengasuh rubrik mudzakarah majalah Panji Masyarakat dan

Wakil Ketua Dewan Syari’ah Nasional. Pada tahun 1997 ia mendirikan

pesantren Darus Sunnah di Pisangan Barat Ciputat dengan spesialisasi hadis

dan ilmu hadis.19

Sekarang Ali Mustafa tercatat sebagai guru besar hadis pada Institut

Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta,20 pengasuh (Khadim Ma’had) pesantren Darus

Sunnah. Imam Besar Masjid Istiqlal sejak 2005, anggota Lajnah Pentashih

al-Qur’an DEPAG RI,21 anggota dewan Syari’ah Majlis al-Zikra, anggota dewan

Syari’ah Bank Bukopin Syari’ah, pengasuh rubrik tanya jawab majalah

Amanah, buletin Nabawi, pemateri hadis masjid Sunda Kelapa dan

sebagainya.22

Dalam dunia tulis menulis Ali Mustafa punya sebuah filosofi yang

menjadi penyemangatnya untuk terus berkarya yaitu, “Walâ Tamûtunna Illâ

wa antum Kâtibûn”. “Pantang meninggal sebelum berkarya”. Menurutnya,

tulisan akan menjadi guru lintas generasi; sedang kata-katanya hanya untuk

orang waktu yang terbatas. Buku akan selalu bisa dibaca oleh banyak orang di

19 Ali Mustafa Yaqub,

Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2000), h. 240.

20 Pengukuhan Ali Mustafa sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hadis IIQ Jakarta

dilangsungkan pada hari kamis, 14 Sya’ban 1419 H bertepatan dengan 3 Desember 1998. Orasi ilmiah Ali Mustafa ketika pengukuhan tersebut berjudul “Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam”. Di depan sidang senat IIQ Jakarta yang dipimpin oleh Ibrahim Hosen (Rektor IIQ dan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat pada waktu itu) Ali Mustafa resmi dikukuhkan sebagai guru besar. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Peran Ilmu Hadis, h. XX.

21 Anggota lainnya adalah Muhammmad Quraish Shihab, Sayyid Muhammad Sara,

Khatibul Umam, Ali Audah, Ahsin Sakho Muhammad, Muhammad Ardani, Rif’at Syauqi Nawawi, Salman Harun, Faizah Ali Syibromalisi, Mujahid AK, Syibli Syarjaya, Abdul Muhaimin Zain, Badri Yunardi, Mazmur Sya’rani, Muhammad Syatibi al-Haqir, Bunyamin Surur, Ahmad Fathoni, Ali Nurdin, dan Ahmad Husnul Hakim. Lihat al-Qur’ân al-Karîm Edisi Doa, (Jakarta: PT. Cicero, 2007).

(32)

21

setiap waktu. Dalam sebuah syair yang beliau gubah, Ali Mustafa

(33)

Ramadhan Kiai Duladi (2003); Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada

Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit Bersama Obama (2010).

Selain kajian di atas, ada beberapa buku Ali Mustafa yang berisi

kumpulan tulisan dari berbagai materi bahasan seperti al-Qur’ân, Tafsir,

Hadis, Sirah Nabi saw, Dakwah, Aqidah, Tarbiyah, Fiqih, Tanya Jawab

Keagamaan, dan lain-lain. Tulisan-tulisan tersebut pernah dimuat di berbagai

media massa, baik surat kabar maupun majalah yang terbit di Jakarta.

Tulisan-tulisan itu sebagian ada yang berasal dari makalah-makalah yang disampaikan

Ali Mustafa dalam berbagai seminar, simposium,24 lokakarya, temu ilmiah,

dan ada juga yang berasal dari Tanya jawab yang diasuh oleh Ali Mustafa di

majalah. Buku-buku tersebut meliputi: Islam Masa Kini (2001); Fatwa-Fatwa

Masa Kini (2002); Haji Pengabdi Setan (2006); Fatwa Imam Besar Masjid

Istiqlal (2007); Provokator Haji (2009); Islam Between War and Piace

(2009); dan Islam di Amerika (2009).

Ali Mustafa juga telah menerjemahkan beberapa buku karya

ulama-ulama terkenal yang menurut beliau memiliki manfaat dan dampak yang luas

bagi kehidupan masyarakat. Yaitu: Memahami Hakikat Hukum Islam (Alih

Bahasa dari al-Bayanuni, Jakarta: 1986); Bimbingan Islam Untuk Pribadi Dan

Masyarakat (Alih Bahasa dari Mohammad Jameel Zino, Saudi Arabia: 1418

H); Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi’i (Alih Bahasa Dari Abd al-Rahman

al-Khumais, Jakarta: 2001); Aqidah Imam Empat: Abu Hanifah, Malik,

Syafi’i, dan Ahmad (Alih Bahasa dari Abd al-Rahman al-Khumais, Jakarta:

24 Pertemuan yang didalamnya ada beberapa pidato singkat tentang suatu topic. Lihat

(34)

23

2001); dan Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Alih Bahasa dari

Muhammad Mustafa A’zami, Jakarta: 1994).

Dari sekian banyak karya tulis Ali Mustafa, yang menjadi karya

monumentalnya dan sekaligus menjadi masterpeacenya adalah buku Kriteria

HalHaram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif

al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: 2009). Buku ini diangkat dari disertasi Ali

Mustafa untuk memperoleh gelar Doktor dalam hukum Islam dari Universitas

Nizamia, Hyderabad India dengan judul asli “Ma’âyîr al-Halâl wa al-Harâm

fi al-At’imah wa al-Asyribah wa al-Adwiyah wa al-Mustahdarât al-Tajmilah

‘Alâ Daw’ al-Kitâb wa al-Sunnah”.25 Buku yang dicetak dalam dua bahasa

(Arab dan Indonesia) ini diberi pengantar oleh Wahbah al-Zuhaili pakar Fiqih

dan Usûl Fiqih paling populer saat ini.26

Dalam buku ini dan buku-buku Ali Mustafa lainnya, tampak dengan

jelas kalau beliau adalah seorang ahli hadis. Mentakhrij hadis adalah salah

satu aktifitasnya yang paling menonjol. Langkah-langkah “takhrîj” yang ia

tempuh merujuk kepada kitab Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd karya

Mahmûd al-Thahhân. Dalam kajiannya Ali Mustafa mengkombinasikan antara

kritik sanad (kritik ekstren) dan kritik matan (kritik intern) dengan

25 Sidang Munâqasyah yang dilakukan oleh tim penguji internasional, dipimpin oleh

M. Hassan Hitou, Guru Besar Fiqih Islam dan Usûl Fiqh Universitas Kuwait yang juga Direktur lembaga studi Islam di Frankfurt Jerman. Para anggota penguji terdiri dari: Taufi Ramadân al-Bûti (Guru Besar dan Ketua Jurusan Fiqih dan Usûl Fiqh Universitas Damaskus, Syria), Mohammed Khaja Sharief M. Shahabuddin (Guru Besar dan Ketua Jurusan Hadis Universitas Nizamia, Hyderabad, India) dan Saifullah Mohammed Afsafullah (Guru Besar dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Nizamia). Mereka menyatakan Ali Mustafa Yaqub lulus dan berhak menyandang gelar doctor. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Ikhtisar Kriteria

Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta:

t.pn, 2008); Hasil Pengamatan pribadi, Jakarta, Juni 2008.

26 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika

(35)

menggunakan kaedah umum takhrîj hadis sebagaimana yang telah disebutkan

oleh al-Thahhân dan ulama-ulama lainnya.

Dalam memberikan penilaian terhadap kualitas sebuah hadis (sahîh,

hasan, atau da’if), Ali Mustafa menukil pendapat-pendapat ulama terdahulu

(mutaqaddimîn) seperti al-Tirmidzî, Ibn Hibbân, al-Baihaqî, Ibn al-Jauzî, dan

pendapat ulama mutaakhirîn seperti al-Dzahabî, al-Zaila’î al-Haytsamî, Ibn

Hajar, al-Sakhâwi, al-Suyûtî, dan al-Munâwî. Ia juga mengutip pendapat

ulama kontemporer seperti al-Bâni, Ahmad Syâkir, al-Arna’ût dan lainnya.

Ali Mustafa juga sering melakukan ijtihad mandiri dalam menentukan

kualitas suatu hadis dengan mengkomparasikan pendapat-pendapat ulama jarh

dan ta’dil tersebut. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama jarh wa

ta’dil mengenai kualitas seorang râwi, maka ia mengkomparasikan antara

ulama mutasyaddidûn27

, mutawassitûn28, dan mutasâhhilûn29.

D. Aliran Theologi

Walaupun Sembilan tahun belajar di Riyâd, Ali Mustafa tidak

terkontaminasi dengan lingkungan sekitar di Riyâd. Hal ini sebagaimana

diungkapkan oleh Ali Yafie (mantan ketua MUI) yang banyak memberikan

penilaian positif dengan mengatakan, “Meskipun tercatat sebagai salah

seorang alumnus Timur Tengah, yang sering diklaim sebagai daerah yang

27 Adalah ulama yang dikategorikan sangat ketat dalam menilai seorang rawi hadis. 28 Ulama yang dikategorikan moderat (pertengahan) dalam menilai seorang rawi

hadis.

(36)

25

jumud, statis dan cenderung agak keras dalam menyikapi berbagai fenomena

keagamaan, tak menjadikan beliau (Ali Mustafa) bersikap keras”.30

Sepertinya, interaksi Ali Mustafa dengan tradisi pesantren NU Tebu

Ireng Jombang dari jenjang SMA sampai universitas (1969-1975) menjadi

salah satu penyebabnya. Di sini beliau banyak dididik untuk menghargai

perbedaan. Demikian juga bimbingan Muhammad Mustafa A’zami selama di

Riyâd, semakin memperkuat jiwa moderat dan toleran Ali Mustafa.

Hal ini ditambah lagi dengan interaksi Ali Mustafa dengan

tokoh-tokoh ulama Syiria (2003) seperti Muhammad Hasan Hitou, Wahbah Zuhailî,

Badî’ Sayyid al-Laham dan Taufîq bin Ramadân al-Bûti. Dengan berguru

bersama mereka Ali Mustafa semakin banyak belajar sikap toleransi dalam

perbedaan dan budaya menghargai dalam keberagaman. Secara teoritis sikap

egaliter ini seharusnya memang harus dilakukan oleh setiap muslim secara

luas, baik dalam kehidupan individu dan sosial. Karena antara aspek religius,

sosial, dan konsep kesederajatan dalam Islam berkaitan erat satu sama

lainnya.31

Dalam banyak hal, sikap ulama Saudi memang dikenal tegas dan

kurang mengenal kompromi dalam perbedaan terutama sejak Abd al-‘Azîz bin

Bâz menjadi mufti umum kerajaan pada tahun 1395 H. Pada masa tersebut

buku-buku anti bid’ah seperti al-Bida’ wa al-Muhdatsât karya Abd al-‘Azîz

bin Bâz dan kawan-kawan tersebar secara luas ke berbagai negara muslim.

Buku tersebut banyak berbicara tentang hal-hal yang oleh penulisnya dianggap

30 Tabloid JURNAL ISLAM, No. 70. Jakarta, 2-8 Dzulhijjah 1422 H/15-21 Februari

2002 M.

31 Loise Marlow,

(37)

bid’ah yang sesat walaupun di dalam perbuatan tersebut ada unsur-unsur

kebaikannya. Seperti zikir berjama’ah, membaca wirid pagi dan sore secara

berjama’ah, merayakan maulid Nabi saw, merayakan isrâ’ mi’râj, merayakan

nuzûl al-Qur’ân, fotografi, isbâl, dan lain-lain.32

Dalam hal ini Ali Mustafa lebih memilih sikap moderat. Ia

berpandangan bid’ah bukanlah pendapat yang berbeda karena lahir dari

konsekuensi adanya ijtihad. Namun bid’ah dalam ibadah adalah

amalan-amalan yang tidak ada dalilnya.33 Oleh karena itu, menurutnya zikir

berjama’ah, perayaan isrâ’ dan mi’raj, maulid Nabi saw, nuzul al-Qur’an,

qunut subuh terus-menerus, berdo’a berjama’ah selesai salat, tidaklah

termasuk bid’ah yang sesat.34

32 Abd al-Azîz bin Bâz dkk,

al-Bidâ’ wa al-Muhdatsât wa mâ lâ asla lahû, ed.,

Hammâd bin ‘Abdullâh al-Matar, (Riyâd: Dâr Ibn Khuzaimah, 1999), h. 201.

33 Ahmad Dimyati Badruz Zaman,

Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah. Pengantar

Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Republika, 2003), h. Xxxiv.

34 Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Antar Umat Beragama, h. 10; Islam Masa Kini, h.

(38)

27 BAB III

SEKILAS MENGENAI KAJIAN HADIS

A. Dua Istilah Yang Populer

Dalam buku Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Kritik Hadis disebutkan

bahwa:

“untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, ada dua istilah yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, pertama: Hadis, dan kedua: Sunnah. Dua istilah ini terkadang masih dianggap kurang definitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi Hadis Nabi atau Hadis Nabawi, dan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar itu, masih ada istilah lain, yaitu khabar (berita), dan atsar (peninggalan). Namun kedua istilah ini tidak berkembang.

Dari sudut kebahasaan (etimologis), kata Hadis (aslinya tertulis: Hadith atau Hadits), berarti baru. Arti ini dimaksudkan sebagai lawan dari kata Qadîm (lama, dulu) yang menjadi sifat Kalam Allah (al-Qur’an), karena hadis sebagai sabda Nabi saw memiliki sifat baru, yaitu didahului oleh sifat ‘tidak ada’. Sementara kalam Allah (al-Qur’an) tidak demikian, ia tidak didahului dengan ‘tidak ada’”.1

Hadis berasal dari bahasa Arab ﺚﯾﺪﺤﻟا (al-Hadîs); jamaknya adalah

ﺚﯾدﺎﺣﻷا (al-Ahâdîts). Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti di

antaranya: ﺪﯾﺪﺠﻟا (al-jadîd) yang berarti baru, lawan dari kata ﻢﯾﺪﻘﻟا (al-qadîm)

berarti lama. Dalam hal ini semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad

saw, itu adalah hadis (baru) sebagai lawan dari wahyu Allah (kalam Allah)

yang bersifat qadîm. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad

‘Ajjâj al-Khatîb, beliau mengatakan hadis berarti sesuatu yang baru.

Sedangkan menurut istilah, hadis diberi pengertian yang berbeda-beda oleh

ulama.

1Ali Mustafa Yaqub,

(39)

Adapun pengertian hadis menurut ahli hadis yang dikutip oleh Usman

Sya’roni dalam kitab ‘Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu karya Subhî al-Sâlih

(40)

29

sesudahnya. Dengan arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah sinonim

dengan hadis.4

Sejumlah ahli hadis berpendapat bahwa hadis adalah sabda, pekerjaan

dan ketetapan Nabi saw. Sedang ahli-ahli hadis yang lain berpendapat bahwa

hadis tidak hanya berarti sabda, pekerjaan dan ketetapan Nabi saw saja, tetapi

mencakup perkataan, pekerjaan dan ketetapan sahabat dan tabi’în.5

Sedangkan kata Sunnah, secara etimologis berarti ‘tata cara’. Menurut

Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman, kata ‘sunnah’ pada

mulanya berarti ‘membuat jalan’, yaitu jalan yang dibuat oleh orang-orang

dahulu kemudian dilalui oleh orang-orang yang datang sesudah mereka.

Sementara al-Razi, penulis kamus Mukhtar al-Sihah menuturkan bahwa

‘sunnah’ secara kebahasaan berarti ‘tata cara dan prilaku hidup’ (al-tariqah

dan al-sirah). Dari pengertian ini kemudian timbul ungkapan ‘Sunnah

al-Islam’ atau ‘Sunnah’ saja, sebagai lawan dari bid’ah (tata cara yang tidak

dikenal dalam Islam).6

Adapun pengertian sunnah menurut ahli hadis yang terdapat dalam

buku otentisitas hadis menurut ahli hadis dan kaum sufi karya Usman

(41)

“Sunnah adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, (perangai atau jasmani), tingkah laku, perjalanan hidup, baik sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya”.7

Dari sudut terminologis, para ahli hadis tidak membedakan antara

hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis dan sunnah adalah hal-hal yang

berasal dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan,

penetapan, maupun sifat-sifat beliau, dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat

fisik, moral maupun prilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi

maupun sesudahnya.8

B. Pembagian Hadis

Yang dimaksud dengan pembagian hadis di sini adalah pembagian

hadis dilihat dari kualitasnya. Penulis mengutip dari pendapat al-Ghazâli yang

menyepakati berbagai rumusan yang telah dibuat oleh jumhur ulama ahli

hadis, bahwa setelah diadakan seleksi yang ketat terhadap hadis-hadis Nabi

dari zaman ke zaman yang telah dilakukan oleh para ulama dari periode ke

periode berikutnya, akhirnya hadis-hadis tersebut terkumpul dalam kitab-kitab

hadis, yang dari segi kualitasnya terdiri dari hadis sahih, hasan, da’if dan

mawdu’.9

7 Usman Sya’roni,

Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2008), h. 5.

8 Ali Mustafa Yaqub,

Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 33.

9Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,

(42)

31

Istilah mutâwâtir dan ahâd pada awalnya lebih akrab dalam

pembicaraan fuqahâ’ dan usûliyyûn.10 Imâm al-Syâfi’î (w.204 H) masih

menggunakan istilah khabar ‘âmmah (berita umum) dan khabar khâsah

(berita perorangan) dalam karya risalahnya. Ibnu Hibbân (w. 354 H) yang

mengalami kampanye hadis ahâd oleh ulama Mu’tazilah semacam Abû ‘Ali

al-Jubbâ’i (w. 303 H) dan sebelumnya oleh al-Nazâm (w. 223 H) serta

Qasyâni, belum merasa perlu terlibat membahas kriteria mutawâtir dan ahâd.

Ulama Muhaddîtsîn yang mulai bergabung membicarakannya adalah Imâm

Hâkim (w. 405 H), kemudian Ibn Abd Barr (w. 463 H) dan Khâtib

al-Baghdâdi (w. 463 H).11

Sementara pembagian hadis dilihat dari periwayatannya menurut

pendapat al-Ghazali, sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama ahli

hadis, yang terbagi pada hadis mutawâtir dan ahâd,12 hadis-hadis ahâd

walaupun sanad-nya sahîh-kehilangan validitas (ke-sahîh-annya) apabila

terdapat padanya cacat-cacat tertentu yang diistilahkan dengan syadz atau ‘ilah

qadihah. Misalnya, ia mengemukakan contoh bahwa Abû Hanîfah menolak

hadis yang menyatakan bahwa “seorang muslim tidak boleh dibunuh sebagai

hukuman atas perbuatannya membunuh seorang kafir”, walaupun hadis ini

sahîh sanadnya.

Hal ini bertentangan dengan nas al-Qur’an tentang qisas yang

tercantum dalam ayat 45 surat al-Maidah. Bahkan atas dasar ini, para pengikut

10 Ibn al-Salâh,

Muqaddimah Ibn Salâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, h. 169.

11 Hasjim Abbas,

Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 131.

12 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,

(43)

madzhab Hanafî mengutamakan penafsiran ayat al-Qur’an tersebut di atas

hadis ahâd. Sedangkan para pengikut madzhab Maliki mengutamakan praktek

penduduk kota Madinah di atas hadis ahâd seperti itu, dengan alasan bahwa

praktek mereka memberikan petunjuk yang lebih dekat kepada sunnah

nabawiyah ketimbang apa yang hanya dirawikan oleh perorangan.13

Prasarat minimal untuk memenuhi kriteria mutawâtir adalah jumlah

banyak perawi berimbang pada generasi sahabat selaku saksi primer, generasi

tâbi’în, dan tâbi’ al-tâbî’în selaku penyambung transmisi periwayatan,

sehingga mereka mustahil bersepakat berbohong.14 Untuk generasi

sesudahnya karena sudah membudaya proses belajar mengajar hadis

memanfaatkan jasa (media) dokumen kitab, maka tak penting lagi pelacakan

jumlah tersebut. Al-Suyûti menyatakan 10 orang untuk setiap generasi

periwayat.15 Apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh sembilan orang saja

dalam salah satu jenjang periwayatannya meskipun dalam jenjang yang lain

jumlah itu mencapai seratus orang rawi misalnya, maka hadis tersebut tetap

disebut hadis ahâd, karena persyaratan sepuluh orang itu tidak terpenuhi

dalam semua jenjang.16

Sementara itu, ahâd secara kebahasaan berarti wâhid (satu). Dalam

terminologi ilmu hadis, hadis ahâd adalah hadis yang diriwayatkan satu orang

atau lebih dalam setiap jenjang (tabaqah) periwayatannya, dan jumlah itu

13 Badri Khaeruman,

Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 273.

14 Wahbah al-Zuhaili,

Usûl Fiqh al-Islâmi, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), juz 1, h. 452.

15 Al-Suyûti, Tadrîb al-Râwi, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002),h. 177. 16 Ali Mustafa Yaqub,

(44)

33

tidak mencapai jumlah periwayat yang ditentukan dalam hadis mutawâtir.17

Jelasnya, hadis ahâd itu diriwayatkan dari Nabi saw. oleh satu orang sahabat

atau lebih, kemudian dari mereka hadis itu diriwayatkan oleh satu orang tâbi’i

(murid sahabat) atau lebih, dan seterusnya. Namun jumlah mereka dalam

setiap jenjang nya tidak mencapai jumlah yang ditentukan dalam hadis

mutawâtir.

Imâm Ibn Hazm (w. 456 H) menegaskan, umat Islam secara

keseluruhan, baik ahlussunnah, khawârij, syî’ah maupun qadâriyah menerima

hadis ahâd sebagai hujjah. Baru pada awal abad kedua hijriyyah para ahli

kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang

konsensus umat tadi dengan mengatakan bahwa hadis ahâd tidak sah

dijadikan hujjah dalam agama.18

Bila ditelusuri mayoritas fuqaha’ dengan mengecualikan al-Jubbâ’i

dari Mu’tazilah sepakat mengakui kehujjahan hadis ahâd. Persyaratan yang

harus terpenuhi sangat bervariasi antara fuqaha’ berbagai madzhab. 1)

Hanâbilah: mencukupkan dengan kesahihan sanad; 2) Syâfi’iyyah:

mensyaratkan a). sanad harus sahîh, baik periwayat faqîh dan ‘âlim atau tidak.

b). perawi harus hâfiz dan dâbit. c). hadisnya tidak kontradiksi dengan hadis

lain yang sanadnya terdiri dari para pakar hadis; 3). Mâlikiyyah mensyaratkan:

substansi hadis ahâd tersebut tidak bertentangan dengan praktek keagamaan

warga Madinah;19 4). Hanâfiyyah mensyaratkan: bahwa prilaku perawi harus

17 Mahmûd Tahhân,

Taisîr Mustalah al-Hadîts, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 22.

18 Al-Suyûti,

Tadrîb al-Râwi, (al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2002), h. 73.

19 Mustafa Sa’îd al-Khinn, Atsaru al-Ikhtilâf al-Qawâ’id al-Usûliyah, (Beirut:

(45)

sejalan dengan hadis yang ia riwayatkan, sebab penyimpangan

mengindikasikan nasakh. Bila perawi bukan seorang faqîh dan cara

pengungkapan hadis dengan penyaduran (riwayat bi al-Ma’na), substansi

hadis tidak boleh menyalahi qiyas serta prinsip-prinsip syari’ah secara

umum.20

Di dalam buku Otentisitas Hadis karya Badri Khaeruman disebutkan

bahwa, al-Ghazali merinci lebih jauh penjelasan para ulama tentang syarat

ke-sahih-an suatu hadis sebagai berikut:

1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya.

2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.

3. Kedua sifat tersebut di atas (point 1 dan 2) harus dimilki oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak dianggap mencapai derajat sahîh.

4. Mengenai matn (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).

5. Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya).

Dengan demikian, al-Ghazali mengakui adanya hadis ahâd dan

mutawâtir. Ini menunjukkan bahwa al-Ghazali mengakui adanya pembagian

hadis, yakni bahwa hadis itu ada yang mutawâtir dan ada yang ahâd, jika

dilihat dari segi periwayatannya. Sedangkan dilihat dari segi kualitasnya, tentu

20 Wahbah al-Zuhaili, Usûl Fiqh al-Islâmi, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), juz 1, h.

(46)

35

saja al-Ghazali mengakui adanya hadis sahîh, hasan, da’if, dan bahkan hadis

mawdu’.21

C. Kajian Hadis di Indonesia

Melacak kajian hadis di Indonesia, tidak akan terlepas dari

perkembangan hubungan antara Muslim di kepulauan Nusantara ini dengan

pusat pendidikan Islam yang ada di Timur Tengah, yang menurut Azyumardi,

khususnya pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan masa yang panjang dan

dinamis dalam sejarah sosio-intelektual kaum Muslim.22

Hal tersebut kemudian didukung oleh semakin kuatnya semangat baru

dalam keagamaan (religious revivalism) di sebagian besar kepulauan

Nusantara, seperti Jawa dan Sumatera. Penyebabnya antara lain

berkembangnya hubungan laut antara Eropa dan Asia (dan tentunya dengan

Jawa), terutama setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, yang

melancarkan proses penyebaran Islam ke daerah-daerah pedesaan di Jawa.

Untuk beberapa puluh tahun terakhir di abad ke-19, Jawa seolah-olah dilanda

oleh intensitas kehidupan Islam.23 Di samping itu, perkembangan selanjutnya

yang cukup penting ialah sejak pertengahan abad ke-19, banyak sekali

anak-anak muda dari Jawa yang menetap beberapa tahun di Makkah dan Madinah

untuk memperdalam pengetahuan mereka.

21 Badri Khaeruman,

Otentisitas Hadis; Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 274-275.

22 Azyumardi Azra,

Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1994), h. 15 dan 23.

23 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari

(47)

Bahkan, banyak di antara mereka yang menjadi ulama yang terkenal

dan mengajar di Makkah atau di Madinah. Karena para ulama dari Jawa ini

turut aktif dalam alam intelektualisme dan spiritualisme Islam yang berpusat

di Makkah, mereka juga mempengaruhi perubahan watak Islam di Nusantara.

Semakin kuatnya keterlibatan mereka dalam kehidupan intelektual dan

spiritual Timur Tengah, Islam di Nusantara, dan semakin jelas di Jawa

menyebabkan hilangnya sifat-sifat lokal dan titik beratnya pada aspek tarekat

semakin berkurang (walaupun tidak berarti hilang sama sekali).24

Pada akhir abad ke-19, terdapat beberapa ulama kelahiran Jawa yang

diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di

masjid al-Haram di Makkah, seperti Syekh Nawawi (Banten) dan Syekh

Mahfudz dari Tremas (w. 1919/ 20 M), Perkembangan pemikiran ‘ulum

al-Hadis di Indonesia tidak akan terlepas dari pengaruh pendidikan ulama

Indonesia di Timur Tengah, khususnya di Haramayn.

Sedikitnya karya ulama Indonesia dalam bidang hadis dan ulum

al-Hadis, menjadikan semakin sulitnya melacak informasi kekuatan dari

pemikiran ‘ulum al-Hadis di Indonesia. Bahkan, Dalam penelitian Martin,

dijelaskan bahwa perhatian ulama Indonesia pada pelajaran hadis dan ulum

al-Hadis sama sekali baru. Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini

ialah bahwa para pelajar dari berbagai daerah di Nusantara yang melanjutkan

pelajaran di Makkah biasanya baru dapat menyempurnakan pelajaran mereka

24 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari

(48)

37

setelah memperoleh bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran

Jawa.25

Pada dasarnya, hampir semua kajian ke-Islam-an sentral yang ada

saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Hanya saja

bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara sistematis seperti

masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis sebagai suatu cabang

ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis, ilmu hadis sesungguhnya sudah

dikenal semenjak Nabi saw masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih

sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan

mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu hadis mempunyai obyek sentral

dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan Ilmu Mustalah Hadis

ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu hadis.

Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya,

peristiwa pengecekan otentisitas hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada

masa Nabi.

Hal ini bisa kita lihat pada suatu peristiwa dimana Umar bin al-Khattab

memperoleh informasi bahwa Nabi menceraikan semua istri beliau. Umar pun

kaget dan langsung mengecek kebenaran matan hadis itu bukan mengecek

siapa yang menyampaikan hadis itu karena para sahabat semuanya dikenal

adil dan ternyata hadis itu salah. Kekagetannya itu tentu saja karena Umar

25 Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari

(49)

merasa bahwa informasi tersebut janggal. Karena itulah, ia langsung

mengecek kebenaran informasi ini dan memang berita itu tidak benar.26

Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi

dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat

diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. karena para sahabat

bisa langsung bertanya kepada nabi apakah hadis itu valid atau tidak berasal

dari nabi. Sala

Gambar

gambaran objektif dan penilaian yang jujur.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kata lain bahwa pendidikan ramah anak adalah pengembangan pembelajaran yang humanistik pada anak dan berusaha mengubah suasana belajar menjadi lebih menyenangkan

Tujuan diadakannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah implementasi pendidikan mitigasi bencana alam gempa bumi dalam pembelajaran IPS SD terlaksana dengan baik

An Empirical Analysis of the Impact of Public Expenditures on Education and Health on Poverty in Indian States, ASARC Working Paper No.. Australia South Asia

Studi kasus yang diambil dalam tesis ini untuk menerapkan metode yang diajukan adalah domain penjadwalan (scheduling).. Penjadwalan diambil sebagai contoh kasus karena

Karena penguasaan kompetensi instrumen musik lebih mengedepankan aspek psikomotorik yang memerlukan latihan dalam jumlah jam yang banyak maka tujuannya bukan pengetahuan (aspek

FISIK (KELUARAN) TOT KINERJA

Pada Tabel 9 diketahui bahwa pengaruh aplikasi pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap berat kering tajuk tanaman dimana pada aplikasi pupuk kandang ayam berbeda

Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sriwijaya menggunakan dana yang berasal dari suahdana (uang pendaftaran warga belajar), dan bantuan pemerintah, kurikulum yang