• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagian kredit untuk dana asuransi Belum ada asuransi ternak Sumber : Data primer

A. Peternak/Kelompok tani:

1 Sebagian kredit untuk dana asuransi Belum ada asuransi ternak Sumber : Data primer

Dari Tabel 38 terlihat bahwa dari sisi organisasi dan keaktifan kelompok peternak, antara lain dilihat dari penyelenggaraan pertemuan rutin dan kegiatan kelompok. Selain memiliki pengurus dan anggota yang aktif, kelompok tani juga memiliki aturan yang disepakati anggota. Persyaratan yang mewajibkan penerima KKPE adalah peternak diimplementasikan dalam bentuk penetapan peserta program dari kalangan petani yang memiliki usaha ternak. Sebagaimana petani lain, peternak peserta KKPE tidak hanya mengandalkan pendapatan dari satu jenis usahatani saja, melainkan mengkombinasikan berbagai penanaman komoditas seperti tembakau, sayur-buah, tanaman pangan dan palawija dengan peternakan seperti ayam ataupun kambing sesuai dengan potensi daerahnya. Kombinasi ini selain mendukung pertanian terpadu dengan konsep zero waste, juga saling melengkapi. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, dan sebagian pupuk yang diberikan untuk tanaman petani.

Pendapatan yang diperoleh dari berbagai cabang usahatani ini, menjadi penolong peternak peserta program KKPE, karena usaha penggemukan sapi tidak bisa dipetik hasilnya dalam jangka pendek, kecuali sapi perah, sehingga angsuran kredit berupa bunga yang dibayar setiap bulan diambil dari hasil usahatani lain, bukan dari pemeliharaan ternak potong. Untuk angsuran pinjaman pokok yang dibayar setiap semester atau tahun, rata- rata peserta KKPE mengambil dana dari penjualan anak sapi/pedet, bahkan menjual induk sapi yang seharusnya tidak diperbolehkan. Dari hasil wawancara, banyak peserta KKPE yang menjual induk sapi program KKPE untuk melunasi kredit, selain itu peserta juga ada yang menjual induk sapi dan menukarnya dengan induk baru karena sapi tidak bunting melalui proses inseminasi buatan (IB) lebih dari 3 kali, dengan biaya per pelaksanaan IB berkisar Rp.40,000-50,000.

Apabila dilihat dari kemampuan kelompok ternak untuk memenuhi prosedur baku pelaksanaan usaha ternak sapi, secara realita belum diimplimentasikan secara penuh. Sebagai petani yang sekaligus beternak sapi, peserta KKPE umumnya sudah berpengalaman (terbiasa) memelihara sapi, sehingga dianggap sudah memenuhi prosedur baku pelaksanaan pemeliharaan ternak. Namun pengusahaan ternak selama ini masih berdasarkan ‘kebiasaan’, yakni pola tindakan peternak sehari-hari.

Pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak bertujuan untuk penggemukan atau produksi susu. Namun usaha yang relatif sudah lama tersebut bukanlah jaminan untuk berhasil terus. Pemahaman ini yang perlu ditekankan pada semua elemen yang terlibat dalam pengelolaan program KKPE. Keberhasilan program KKPE didukung oleh ketepatan dan kelancaran penyaluran dan pengembalian kredit program, keberhasilan praktek beternak sapi oleh petani (yang berarti memerlukan dukungan teknis dan manajemen) serta evaluasi dan monitoring dalam implementasinya. Faktor penting dalam pemeliharaan sapi adalah faktor induk disamping manajemen pemeliharaan yang baik (Padmaningrum 2012). Dalam program KKPE sapi perah yang dianjurkan sebagai induk adalah sapi betina bunting/siap bunting dan untuk sapi potong adalah sapi bakalan. Permasalahan pada pemeliharaan sapi perah yang sering dijumpai adalah menurunnya kesuburan atau berkurangnya fertilitas induk sapi yang ditandai dengan perkawinan lebih dari 3 kali tidak terjadi kebuntingan, birahi kembali terlambat (lebih dari 3 bulan setelah beranak), siklus birahi tidak teratur, tanda-tanda birahi secara berkala tidak tampak (birahi semu) serta keluar cairan tidak normal dari alat kelamin seperti darah atau nanah (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah 2010).

Kendala Implementasi KKPE

Kredit produksi merupakan salah satu faktor pelancar pembangunan pertanian (Mosher 1991). Guna membantu petani mengambil langkah ini, perlu dipermudah cara mendapatkannya dan diberi bimbingan mengenai cara menggunakannya. Ada beberapa masalah petani sehubungan dengan kredit produksi, yakni hal yang perlu diperhitungkan sebelum memutuskan mengambil kredit produksi: 1) menaksir besarnya hasil yang akan diperoleh; 2) menaksir berapa harga produk saat panen; 3) biaya kredit; 4) sanksi kalau tidak melunasi pinjaman; 5) kemudahan memperoleh kredit; serta 6) dapat meminjam tepat waktu.

Setiap petani mendasarkan tindakannya atas perhitungan biaya (cost) dan hasil (return). Ada diantaranya biaya dan hasil itu dinyatakan dalam bentuk uang (nilai), ada pula yang bersangkut-paut dengan kedudukan dan tanggung jawab petani dalam masyarakat. Perangsang produksi yang efektif bagi petani (dan berlaku pula bagi peserta program KKPE) terutama yang bersifat ekonomis, yakni: perbadingan harga yang menguntungkan, bagi hasil yang wajar serta tersedianya barang dan jasa yang ingin dibeli oleh petani untuk keluarganya (Mosher 1991). Pengembangan teknologi pedesaan harus mengikuti tiga prinsip pokok agar dapat diterima masyarakat, yakni secara teknis dapat dilaksanakan, secara ekonomis menguntungkan dan secara sosial tidak menimbulkan

kerawanan atau keretakan sosial (Levis 1996). Demikian halnya dengan program KKPE, penyerapan kredit program dan

keberhasilan usaha yang dibiayai dari program ini, akan banyak dipengaruhi oleh persepsi peserta terhadap aspek ekonomis program KKPE, dengan tidak mengesampingkan aspek teknis dan sosial. Dari analisis hasil wawancara, kendala implementasi program KKPE untuk kelompok/gabungan kelompok peternak dapat diuraikan dalam kerangka aspek teknis dan aspek ekonomis tersebut. Dari aspek teknis, kendala yang dihadapi adalah: 1) secara teknis dan manajemen kelompok/gabungan kelompok peternak peserta KKPE belum memiliki kemampuan yang memadai dalam usaha sapi; 2) kurangnya infrastruktur pendukung yang berkualitas; 4) kurangnya pembinaan/pendampingan dari instansi terkait; 5) kurangnya monitoring pelaksanaan. Dari aspek ekonomi, kendala yang dihadapi terletak pada faktor: 1) fluktuasi harga pasar, dimana harga sapi menurun tajam dibandingkan dengan harga pembelian awal saat peserta memulai usaha, yang menyebabkan peserta mengalami kerugian karena tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan yang sudah dikeluarkan; 2) kesulitan dalam membayar angsuran pokok maupun bunga kredit, karena sebagian jangka waktu kredit yang terlalu pendek (2 tahun); 3) adanya resiko kegagalan IB, ternak lumpuh serta resiko kematian sapi. Apabila dikaitkan dengan pemenuhan kriteria 5-C (character, condition of economy, capacity to repay, capital dan collateral- moral) yakni produktivitas, kemampuan membayar, semangat kerja dan agunan tambahan yang diterapkan sistem perbankan yang baku dalam penyaluran kredit, maka sebenarnya tidak ada alasan peternak untuk menunggak angsuran kredit.

Prosedur untuk memperoleh pinjaman kredit itu sangat bergantung pada perbankan yang menyalurkan. Meski begitu, pihak perbankan yang ditunjuk sebagai pelaksana harus menyediakan dana kredit hingga 10 kali dari dana yang diajukan. Implementasi kredit program bisa saja tidak berhasil karena tingkat kemacetan kredit di tingkat masyarakat.

Sumber permodalan informal, seperti rentenir atau pedagang saprotan tidak terlalu berperan dalam mendukung permodalan peternak sapi, karena kebutuhan modal yang relatif besar. Sementara rentenir biasanya memberi pinjaman yang relatif kecil.

Skema KKPE Mandiri dan Berkelanjutan

Berdasarkan berbagai analisis yang dirangkum dalam Tabel 25, terutama analisis pemanfaatan, dampak dan tingkat pengembalian, maka kondisi yang terjadi di lapangan cenderung akan mengarah kepada visious circle (lingkaran setan). Harapan perkembangan lingkaran kebajikan kredit program ini akan menyusut dan pada akhirnya berhenti. Apabila dari awal sudah mulai salah arah, dimana sebagian pemanfaatan untuk tujuan non produktif, kemudian dampaknya tidak sesuai dengan harapan, maka akan mempengaruhi tingkat pengembalian, yaitu terjadi kemacetan atau NPL yang tinggi (Gambar 26). Bila hal ini yang terjadi, maka kemungkinan pemerintah tidak akan menambah plafon kredit yang ada.

Gambar 25 Skema KKPE mandiri dan berkelanjutan menuju Virtuous Circle Skema KKPE saat ini:

-KKPE tersedia relatif besar -Potensi permintaan KKPE oleh

peternak relatif besar

-Akses peternak terkendala oleh agunan -Sistem penyaluran dan pengembalian

KKPE serta monev yang lemah menyebabkan terjadinya

penyimpangan dan timbulnya rent seeker

-Bentuk penyimpangan: penggunaan KKPE, sasaran tidak tepat, nilai kredit terlalu besar

-Sebagian KKPE disalurkan pada kelompok kurang aktif

- biaya KKPE (suku bunga dan administrasi) yang kurang menguntungkan usaha

SkemaKKPE mandiri dan berkelanjutan):

- Akses peternak terhadap KKPE tidak terkendala, agunan tersedia - Sistem penyaluran, pengembalian

(administrasi pengembalian) dan monev/pembinan KKPE yang meminimalkan penyimpangan dan timbulnya rent seeker

- Besar dan biaya KKPE

memungkinkan usaha sapi lebih menguntungkan

- KKPE sepenuhnya digunakan untuk usaha beternak/produktif - Kelompok aktif

- Peternak berpengalaman - Ketersediaan lahan

Kondisi saat ini:

-Peternak yang memanfaatkan KKPE masih relatif kecil

-KKPE belum sepenuhnya berpengaruh signifikan terhadap produksi

pendapatan dan kesempatan kerja -Kemacetan KKPE relatif besar (NPL

dan tingkat pengembalian KKPE peternak)

Kondisi ideal:

- Ketersediaan kredit banyak - Mudah diakses

- Banyak peternak memanfaatkan KKPE

- KKPE berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi, pendapatan dan kesempatan kerja - Tingkat pengembalian KKPE

lancar atau NPL kecil

Gap

Virtuous circle Visious

Tujuan awal mengucurkan kredit program KKPE untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan dan swasembada daging sapi akan terancam bahkan tidak akan tercapai. Bahkan juga kondisi ini akan meningkatkan kemiskinan peternak sapi di pedesaan.

Gambar 26 Lingkaran setan

Virtuous Circle: Kredit Mandiri dan Berkelanjutan

Dari analisis aksesibilitas, dampak dan pengembalian kredit diperoleh beberapa variabel utama (determinants factor) yang diharapkan menjadi penggerak utama kelima dimensi kredit program tersebut. Pada kondisi yang ada variabel-variabel utama tersebut masih menjadi masalah, sehingga virtuous circle yang diharapkan dikhawatirkan akan menjadi vicious circle. Untuk itu variabel utama ini perlu dibenahi agar kondisi menuju lingkaran kebajikan, yaitu lingkaran yang berkembang seperti bola salju (snowball) dimana penyaluran kredit ini berjalan sesuai rencana, memberi dampak yang positif dan tingkat pengembalian yang tinggi, sehingga ketersediaan kredit meningkat menuju kemandirian dan programnya berkelanjutan (Gambar 27). Yang dimaksud kredit mandiri dan berkelanjutan ini adalah organisasi kredit mampu melanjutkan layanan keuangansecara jangka panjang. Dua ukuran utama adalah keberlanjutan basis dana (dari pengembalian) dan keberlanjutan operasi. Kondisi ini akan menghasilkan hal-hal positif berupa keuangan yang berkelanjutan dan peningkatan jangkauan klien (akses).

Agar kondisi virtuous circle bisa tercapai, maka diperlukan syarat keharusan dan syarat kecukupan. Syarat keharusannya adalah agunan dan kelompok tani, sementara syarat kecukupan adalah suku bunga. Kemudian asumsi yang digunakan adalah kondisi pasar kondusif dan tidak menjadi penghalang (constraint). Kedua variabel agunan dan kelompok tani perlu dibenahi dengan serius.

Pembiayaan KKPE dilandasi anggapan bahwa petani umumnya sudah bankable tetapi belum feasible. Oleh karena itu petani yang mengajukan KKPE harus menyerahkan agunan minimal 130 persen dari nilai kredit. Asumsi ini perlu ditinjau ulang karena umumnya petani menjalankan usahanya secara menguntungkan tetapi tidak memiliki agunan yang memadai untuk mendapatkan KKPE. Bunga KKPE yang relatif rendah (6-7 persen per tahun) sebenarnya tidak masalah bagi bank karena selisih bunga dibanding kredit komersial dibayar oleh pemerintah.

Gambar 27 Lingkaran kebajikan yang berkembang

Pihak perbankan mengharuskan peternak debitur memiliki agunan yang bersertifikat walaupun sebenarnya mereka mempunyai lahan atau asset lain seperti rumah atau kandang yang sesuai namun tidak bersertifikat. Agunan yang diminta bank biasanya mengacu pada peraturan, yaitu 130 persen dari nilai kredit, dan tidak boleh melebihi ketentuan karena akan memberatkan calon debitur. Dengan kata lain, semakin tinggi nilai agunan maka akan semakin sedikit peternak dan atau kelompok tani ternak yang memenuhi syarat sebagai penerima KKPE.

Agar petani mempunyai agunan perlu dibantu melaui program pembuatan sertifikat tanah secara nasional. Program sertifikasi tanah ini harus massal dan berlaku di semua daerah agar semakin banyak petani yang mempunyai sertifikat tanah. Disamping itu biaya pembuatan sertifikat harus relatif murah agar petani mampu membayar. Semakin banyak petani yang memiliki sertifikat tanah akan mempermudah mereka dalam mengakses KKPE. Pemanfaatan KKPE melalui linkage program perlu terus didorong akan jangkauannya semakin luas.

Selanjutnya, keberadaan kelompok tani berpengaruh nyata dalam aspek aksesibilitas peternak ke kredit. Sebagian besar KKPE diberikan kepada peternak yang tergabung dalam kelompok tani. Demikian juga perbankan akan sangat selektif dalam menilai peternak maupun kelompok ternaknya, apakah termasuk yang aktif atau tdak. Demikian juga dengan aspek pengembalian, apabila kelompoknya aktif, maka kemungkinan macet relatif kecil, karena akan selalu diingatkan dalam berbagai kesempatan pertemuan kelompok.

Untuk itu dari sisi organisasi diperlukan kelompok peternak yang aktif, antara lain dilihat dari penyelenggaraan pertemuan rutin dan kegiatan kelompok. Selain memiliki pengurus dan anggota yang aktif, kelompok tani juga memiliki aturan yang disepakati anggota. Dinas Peternakan provinsi dan kabupaten perlu melakukan pelatihan-pelatihan kelembagaan kelompok tani yang rutin. Disamping itu pemerintah perlu mengangkat pendamping yang juga memonitor keaktifan kelompok disamping teknis tatalaksana usaha ternak dan keuangan. Kegiatan rutin kelompok tani seperti setiap 40 hari (selapanan) diadakan pertemuan, membentuk unit usaha kelompok dan simpan pinjam akan dapat meningkatkan keaktifan dari kelompok. Disamping itu hal yang utama adalah bagaimana

memilih dan mengangkat pengurus kelompok (ketua, sekretaris dan bendahara) yang sesuai, karena keaktifan kelompok tergantung pada pengurus ini.

Suku bunga. Sampai saat ini peternak menganggap suku bunga kredit KKPE adalah kecil dan sesuai dengan harapan mereka. Walaupun setiap tahun ada peningkatan, namun masih lebih rendah dibanding kredit program lain maupun kredit komersial. Untuk itu harapan peternak, suku bunga ini jangan terlalu tinggi, karena keuntungan usaha ternak mereka juga hanya kecil.

Apabila variabel-variabel penting ini sudah terbenahi, maka diharapkan akan menuju tahapan peningkatan penyaluran KKPE yang berkembang. Pemerintah mengalokasikan semakin banyak dana untuk KKPE dan pemerintah harus menetapkan alokasi secara khusus nilai KKPE untuk sektor hulu (usahatani). Fakta menunjukkan bank lebih suka menyalurkan KKPE untuk sektor hilir (pengolahan dan perdagangan) karena risikonya lebih kecil.

Dana untuk sektor hulu terus ditingkatkan secara sistematis dari tahun ke tahun agar lebih banyak petani yang terjangkau melalui pembiayaan KKPE. Bank harus lebih proaktif dalam menyalurkan kredit program kepada kelompok-kelompok tani potensial tetapi belum terjangkau oleh pembiayaan resmi.

Dinas Pertanian (Tanaman Pangan dan Hortikultura, Perkebunan, Peternakan) tingkat kabupaten/kotamadya harus proaktif bekerjasama dengan perbankan, bukan sebagai penghambat, dalam membantu penyaluran KKPE. Dinas Pertanian bisa mendapatkan anggaran khusus dalam membantu penyaluran KKPE tetapi harus ada target minimal penyaluran KKPE di tiap wilayah kerjanya. Sosialisasi lebih ekstensif dan intensif oleh pihak bank dan Dinas Pertanian dalam penyaluran KKPE agar semakin banyak peternak mandiri maupun anggota kelompok tani dan koperasi/KUD yang mengenal dan memanfaatkan.