• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Aksesibilitas, Dampak Ekonomi Dan Tingkat Pengembalian Kredit Program Kkpe Pada Peternak Sapi Di Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Aksesibilitas, Dampak Ekonomi Dan Tingkat Pengembalian Kredit Program Kkpe Pada Peternak Sapi Di Jawa Tengah"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS AKSESIBILITAS, DAMPAK EKONOMI DAN

TINGKAT PENGEMBALIAN KREDIT PROGRAM KKPE

PADA PETERNAK SAPI DI JAWA TENGAH

D A H R I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ANALISIS AKSESIBILITAS, DAMPAK EKONOMI DAN TINGKAT PENGEMBALIAN KREDIT PROGRAM KKPE PADA PETERNAK SAPI DI JAWA TENGAH benar karya saya dengan arahan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

DAHRI. Analisis Aksesibilitas, Dampak Ekonomi dan Tingkat Pengembalian Kredit Program KKPE pada Peternak Sapi di Jawa Tengah (PARULIAN HUTAGAOL sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan PANTJAR SIMATUPANG sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Pemerintah mengembangkan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) sejak tahun 2007 sebagai bentuk fasilitas pembiayaan dalam mengatasi keterbatasan permodalan petani/peternak dan sekaligus mendukung pencapaian ketahanan pangan. Program ketahanan pangan di tahun 2015-2019 menjadi sasaran pembangunan pertanian dan akan diwujudkan melalui swasembada pangan. Komoditi yang ditargetkan dalam swasembada pangan antara lain daging sapi, disamping padi, jagung dan kedelai.

Kredit program KKPE disalurkan ke seluruh provinsi dan Provinsi Jawa Tengah termasuk target dan penyaluran kedua terbesar setelah Provinsi Jawa Timur, karena Jawa Tengah merupakan salah satu sentra produksi pertanian pangan termasuk sentra produksi ternak sapi. Sama halnya dengan di tingkat nasional, di Provinsi Jawa Tengah alokasi kredit program KKPE untuk pengembangan peternakan, sapi khususnya menduduki posisi kedua setelah tanaman tebu. Namun demikian, dalam periode 2009-2013 dari total nilai kumulatif kredit sebesar Rp 42 triliun, realisasinya hanya sekitar Rp 12.7 triliun atau sekitar 30%. Padahal di satu pihak KKPE telah mengalami penyempurnaan dari kredit program yang telah ada sebelumnya dan di pihak lain beberapa hasil studi menunjukkan bahwa akses petani/peternak terhadap kredit formal masih relatif rendah. Sementara target pola konsumsi masyarakat yang didasarkan skor pola pangan harapan (PPH) pada tahun 2015 masih defisit dan terbesar pada kelompok pangan hewani yang baru mencapai 57.8 gram/kapita/hari, sementara harapannya adalah 150 gram/kapita/hari. Dalam kaitan dengan populasi ternak sapi, dalam kurun waktu 2010-2014 populasi sapi potong mengalami pertumbuhan positif walaupun berfluktuasi, namun untuk populasi sapi perah mengalami pertumbuhan yang negatif.

Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis aksesibilitas peternak sapi terhadap KKPE, (2) menganalisis pemanfaatan KKPE, (3) menganalisis dampak KKPE terhadap kinerja usaha ternak sapi peternak (penggunaan tenaga kerja, populasi dan pendapatan), (4) menganalisis tingkat pengembalian KKPE serta (5) merumuskan perbaikan model kredit program KKPE yang sesuai dengan kondisi peternak sapi khususnya. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey sehingga data utama yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan dari 124 peternak sapi yang ditentukan dengan purposive sampling method. Sampel penelitian tersebut mencakup peternak sapi potong dan sapi perah yang terdiri dari petani penerima KKP dan non KKPE, serta peternak sapi merupakan anggota dari kelompok peternak yang lancar dan tidak lancar dalam pengembalian kreditnya khususnya bagi peternak penerima KKPE. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap sampel peternak, juga terhadap staff instansi terkait. Secara umum, model ekonometrik digunakan dalam menganalisis data guna menjawab tujuan penelitian

(5)

oleh peternak sapi yakni persyaratan adanya agunan dan karena itu tingkat pemanfaatan kredit juga masih rendah. Hasil analisis logit menunjukkan bahwa faktor yang secara signifikan mempengaruhi akses peternak sapi terhadap kredit program KKPE adalah pemilikan agunan, keanggotaan dalam kelompok tani, pemilikan kandang serta pengalaman dalam usaha ternak sapi. Semua variabel tersebut berpengaruh positif, kecuali variabel pemilikan kandang.

Dari sisi pemanfaatan KKPE, sebagian besar peternak memanfaatkan kredit program KKPE untuk usaha ternaknya, yaitu digunakan untuk membeli sapi bakalan atau induk sapi perah yang bunting, pakan, obat dan perbaikan kandang. Namun terdapat sebagian peternak yang menggunakan kredit program KKPE untuk keperluan yang sifatnya konsumtif karena didorong kebutuhan maupun secara sengaja, sehingga berpotensi mengganggu kinerja usaha ternaknya.

Dalam hal dampak KKPE, berdasarkan hasil analisis regresi memperlihatkan bahwa kredit program KKPE memberikan pengaruh yang positif baik terhadap populasi ternak, jam kerja maupun pendapatan usahatani ternak dengan pengaruh yang signifikan kecuali terhadap pendapatan usahatani ternak. Populasi ternak selain dipengaruhi secara signifikan oleh variabel nilai KKPE, juga dipengaruhi secara sinifikan dan positif oleh luas lahan. Ketersediaan lahan dewasa ini menjadi penghambat perluasan usaha ternak mengingat harga pakan yang relatif mahal dan cenderung meningkat. Sementara populasi ternak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan usahatani ternak.

Berdasarkan data sekunder, kinerja pengembalian KKPE peternak sapi Jawa Tengah kurang baik yang ditunjukkan dengan nilai NPL yang relatif besar (12.5%). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian KKPE peternak sapi secara signifikan adalah tingkat suku bunga, biaya administrasi, kepemilikan agunan, kondisi kelompok peternak, serta gangguan atau resiko usaha. Variabel kepemilikan agunan dan kondisi kelompok tani berpengaruh positif dan lainnya berpengaruh negatif.

Hasil studi menunjukkan bahwa kredit program KKPE cenderung mengarah kepada kondisi vicious circle (lingkaran setan). Untuk membangun skema kredit yang mandiri dan berkelanjutan, maka kondisi vicious circle perlu diubah menjadi virtuous circle (lingkaran kebajikan). Instrumen kebijakan yang perlu dibenahi adalah agunan, kelompok tani dan suku bunga. Pemerintah perlu melakukan program sertifikasi massal dengan biaya yang terjangkau peternak. Untuk pendanaan sertifikasi juga dapat dimasukkan dalam plafon KKPE yang diajukan. Penguatan kelompok tani dapat dilakukan dengan pelatihan-pelatihan dan mengangkat pendamping yang dapat memonitor keaktifan kelompok tani sekaligus membantu pengelolaan kredit. Suku bunga kredit sebaiknya tidak memberatkan peternak, karena keuntungan usaha ternak relatif sedikit.

(6)

DAHRI. Analysis of Accessibility, Economic Impact, and Repayment of the KKPE Credit Program on Cattle Farmer in Central Java (PARULIAN HUTAGAOL as Chairman, HERMANTO SIREGAR and PANTJAR SIMATUPANG as Member of Advisory Committee).

Government developes the Energy and Food Security Credit (KKPE) since 2007 as a financing facility to overcome capital constraints of farmers and as well supporting the achievement of food security that in the years 2015 to 2019 is subjected to agricultural development and food self-sufficiency will be realized through. For the food self-sufficiency, targeted commodities in addition to rice, corn, soybeans, meat commodity as well. This is because the food self-sufficiency is not just a matter of quantity of food, is also includes the issue of food quality towards balanced nutrition. In addition, food self-sufficiency is implemented in expanding employment, save foreign exchange and increase farmers' income.

Credit program of the KKPE are given to the whole provinces and Central Java is the second-largest distribution target after East Java because it is a center of food production and cattle. Similarly, at national level, in the Central Java, the KKPE credit program allocation for the development of livestock, particularly cattle occupied the second position after sugarcane. However, in the 2009-2013 period of the total cumulative value of loans amounting to Rp 42 trillion, the realization was only Rp 12.7 trillion, or about 30%. Whereas on the one hand KKPE has undergone improvements of credit programs that have been there before and on the other hand some studies indicate that the access of farmers to formal credit are still relatively low. While the target consumption pattern based score of expectancy food pattern (PPH) in 2015 is still deficit and the largest in the group of animal food reached 57.8 grams/capita/day, while the hope was 150 grams/capita/day. During 2010-2014 beef cattle population experienced positive growth, but growth fluctuates and tends to decline, even for dairy cow population experienced negative growth.

(7)

collateral and therefore the credit utilization of the farmers are also relative low. Logit analysis results demonstrate that factors significantly affecting cattle farmers access to credit KKPE program are ownership of collateral, membership in farmer groups, the ownership of the enclosure as well as experience in the cattle farming. All these variables influence positively, except for the ownership of cage variable.

In terms of impact KKPE, based on the results of regression analysis describe that the credit program KKPE a positive influence both on livestock populations, labour and cattle farming income with significant impact, exepted for income of cattle farming. Cattle population is significantly affected by the KKPE variable and it is also influenced positively by land area. The availability of land nowadays become an obstacle for expansion of livestock where feed prices are relatively expensive and tend to increase.

Based on secondary data, performance returns KKPE cattle farmers in Central Java poorly as indicated by the relatively large value of NPLs (12.5%). The factors that affect the rate of KKPE repayment significantly of the farmers are the interest rate, administrative costs, ownership of collateral, the condition of groups of farmers, as well as interference or business risk. Variable ownership of collateral and conditions positively affect farmers' groups and other negative effect.

Results of the study showed that the credit program KKPE tend to a vicious circle conditions. To build a credit scheme that is independent and sustainable, then the vicious circle condition needs to be changed into a virtuous circle. Policy instruments that need to be addressed is the collateral, farmer groups and interest rates.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

ANALISIS AKSESIBILITAS, DAMPAK EKONOMI DAN

TINGKAT PENGEMBALIAN KREDIT PROGRAM KKPE

PADA PETERNAK SAPI DI JAWA TENGAH

D A H R I

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA

Dr Ir Handewi P. Saliem, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA

(11)

Judul Disertasi : ANALISIS AKSESIBILITAS, DAMPAK EKONOMI DAN TINGKAT PENGEMBALIAN KREDIT PROGRAM KKPE PADA PETERNAK SAPI DI JAWA TENGAH

Nama Mahasiswa : D a h r i Nomor Pokok : H.363100131

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol, MSc Ketua

Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc Prof(R) Dr Ir Pantjar Simatupang, MSc APU Anggota Anggota

Mengetahui:

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas perkenan-Nya saya dapat merampungkan Penelitian Disertasi ini. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis aksesibilitas peternak sapi terhadap kredit program KKPE, dampak kredit terhadap produksi, tenaga kerja dan pendapatan peternak sapi, serta tingkat pengembaliannya. Semoga hasil penelitian ini memberi informasi ilmiah yang akurat mengenai manfaat kredit program terhadap peternak sapi.

Dalam menyelesaikan Penelitian Disertasi ini banyak pihak yang telah terlibat, untuk itu saya sampaikan terima kasih kepada:

1. Komisi Pembimbing yang terdiri dari Prof Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol, MSc sebagai Ketua Komisi, Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc dan Prof(R) Dr Ir Pantjar Simatupang, MSc APU masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, saran dan perhatian yang telah diberikan.

2. Penguji Luar Komisi dalam Ujian Kualifikasi Doktor Tahap Kedua: Bapak Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA, Bapak Prof Dr Ir Firdaus, MSi, serta Ibu Dr Meti Ekayani, SHut, MSc sebagai Wakil Program Studi Ilmu EKonomi Pertanian. 3. Penguji Luar Komisi dalam Ujian Tertutup yang terdiri dari Prof Dr Ir Bonar M.

Sinaga, MA dan Dr Ir Handewi P Saliem, MS.

4. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian: Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS beserta bagian administrasi di lingkup PS EPN.

5. Pimpinan IPB, Dekan Pascasarjana IPB, Ketua LPPM serta Kepala CARE LPPM IPB atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi Program Doktor.

6. Tri Budi, SP, penyuluh peternakan di Boyolali, Mas Habib, SP; Ari, SP dan bapak ibu Sarjana Membangun Desa (SMD) yang telah mendukung dalam pengumpulan data di Boyolali dan Semarang.

7. Teman-teman satu angkatan EPN 2010, atas kerjasama, diskusi, dorongan semangat dan perhatian selama mengikuti pendidikan di Program Studi EPN. 8. Istri tercinta Dr Yeti Lis Purnamadewi, MSc dan anak-anak tersayang Mut’hiah

Puteri Tanjung dan Awfiyah Khairuna Tanjung atas doa, perhatian, kasih sayang, dukungan yang tulus terhadap penulis. Dr Yeti Lis telah menjadi teman diskusi dan asisten luar biasa yang membantu penulis untuk menyelesaikan studi Program Doktor.

9. Ayah tercinta Bapak Raden Tanjung (alm) dan ibu tercinta Bosur Tambunan (almh) atas kasih sayang dan cinta tulus kepada penulis.

10.Bapak dan ibu mertua Endang Jumena (alm) dan Teti Rochaeti (almh), keluarga besar Padangsidimpuan dan Kawali-Ciamis atas doa dan perhatian yang sangat berarti bagi penulis.

11.Prof Andi Hakim Nasution (alm) dan isteri, Ompung Adlan Lubis (alm) dan isteri (almh), Ompung Ciwaringin (almh)-Ibunda Prof Andi Hakim Nasution atas kebaikannya selama ini dan dukungannya agar penulis melanjutkan studi Program Doktor ini.

(14)

Karya disertasi ini sebenarnya masih perlu dimaksimalkan, untuk itu Penulis tetap mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif. Semoga ini dapat bermanfaat dan memperkaya hasanah pengetahuan dan inspirasi penelitian berikutnya.

Bogor, Agustus 2015

(15)

DAFTAR ISI

PRAKATA xiv

DAFTAR ISI xvi

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR GAMBAR xx

DAFTAR LAMPIRAN xxi

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Permasalahan 4

Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 8

2. TINJAUAN PUSTAKA 11

Kredit Program di Indonesia 11

Kredit Program KKPE dalam Pembiayaan Sektor Pertanian dan Peternakan Sapi 16 Karakteristik Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Indonesia 19

Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu 20

Metode Evaluasi 28

3. KERANGKA PEMIKIRAN 29

Kerangka Pemikiran Teoritis 29

Kerangka Pemikiran Operasional 43

4. METODE PENELITIAN 46

Lokasi Penelitian 46

Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data 47

Metode Penentuan Sampel 47

Metode Analisis 48

Pengujian Model 54

Definisi Operasional 56

5. KERAGAAN PETERNAKAN SAPI, PROGRAM KKPE DAN KEBIJAKAN

PEMERINTAH DI JAWA TENGAH 59

Keragaan Peternakan Sapi di Jawa Tengah 59

Dukungan Pembiayaan KKPE Usaha Peternakan Sapi di Jawa Tengah 75

Kinerja Pemanfaatan Kredit KKPE 77

Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Peternakan Sapi di Jawa Tengah 78 6. KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA, USAHA PETERNAKAN DAN

LEMBAGA PEMBIAYAAN 81

(16)

Masalah Penyaluran KKPE 94 7. AKSESIBILITAS, PEMANFAATAN, DAMPAK EKONOMI, DAN

PENGEMBALIAN KREDIT KKPE OLEH PETERNAK SAPI 99

Aksesibilitas Peternak Sapi Pada Kredit Program KKPE 99 Persepsi Peternak terhadap Persyaratan dan Prosedur KKPE terkait Aksesibilitas 99 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas Peternak Sapi terhadap KKPE 102 Pemanfaatan Kredit Program KKPE oleh Peternak Sapi 105

Dampak Ekonomi Kredit KKPE 108

Faktor Penentu Tingkat Pengembalian KKPE oleh Peternak Sapi 114 Tingkat Pengambalian Kredit Program KKPE di Tingkat Peternak Sapi 117

8. MEMBANGUN SKEMA KKPE MANDIRI BERKELANJUTAN 125

Evaluasi model kredit KKPE 125

Evaluasi Skema KKPE dan Implementasinya 131

Skema KKPE Mandiri dan Berkelanjutan 139

Virtuous Circle: Kredit Mandiri dan Berkelanjutan 140

9. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 143

Kesimpulan 143

Rekomendasi 144

DAFTAR PUSTAKA 145

(17)

DAFTAR TABEL

1 Alokasi dan realisasi skim kredit KPPE nasional tahun 2009 - 2013 3 2 Penyaluran kredit KPPE di tingkat Nasional dan Jawa Tengah menurut kegiatan

usaha tahun 2009 hingga 2013 (milyar rupiah) 4

3 Tingkat bunga bank, tingkat bunga peserta KPPE dan subsidi bunga 17

4 Panduan kredit KPPE 18

5 Sampel penelitian (peternak dan kelompok) menurut lokasi dan jenis sapi 48

6 Tahapan analisis empiris 53

7 Sebaran populasi ternak sapi potong menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah,

tahun 2005 - 2013 (Ekor) 61

8 Sebaran populasi ternak sapi perah menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah,

tahun 2005 - 2013 (Ekor) 62

9 Jumlah dan pertumbuhan peternak sapi potong serta pemilikan sapi potong per

peternak di Jawa Tengah, tahun 2009 - 2013 66

10 Jumlah dan pertumbuhan peternak sapi perah serta pemilikan sapi perah per

peternak di Jawa Tengah, tahun 2009 - 2013 67

11 Jumlah kelompok tani ternak sapi potong dan sapi perah serta jumlah peternak per kelompok menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2013 69 12 Pertumbuhan produksi daging sapi, susu, harga dan produktivitas susu di

Jawa Tengah tahun 2009-2013 71

13 Jumlah sapi menurut kecamatan dan jenis kelamin di Kabupaten Boyolali,

pada 1 Mei 2013 (ekor) 72

14 Jumlah ternak sapi per kecamatan di Kabupaten Semarang, pada 1 Mei 2013

(ekor) 73

15 Daya dukung wilayah di Jawa Tengah, Boyolali dan Semarang 74 16 Realisasi penyaluran KPPE per kabupaten/kota di Jawa Tengah (Rp.juta) 76 17 Kinerja KPPE di Kabupaten Boyolali dan Semarang tahun 2011-2014 77 18 Misi, Tujuan dan Sasaran Pembangunan Peternakan di Jawa Tengah,

tahun 2013-2018 78

19 Karakteristik responden yang akses KKPE dan tidak akses KKPE 81 20 Karakteristik rumah tangga responden peternak sapi di Kabupaten Boyolali dan

Semarang 83

(18)

24 Alokasi penggunaan kredit KPPE oleh peternak sapi di Boyolali 97 25 Biaya pencairan KPPE per kelompok di Kabupaten Boyolali dan Semarang 97 26 Persepsi peternak sapi penerima KKPE terhadap persyaratan dan prosedur

mendapatkan kredit program KKPE 102

27 Hasil estimasi model akses peternak sapi terhadap kredit program KPPE 103 28. Rata-rata nilai dan penggunaan KKPE berdasarkan RDKK oleh peternak

sapi dan kelompok peternak sapi 106

29 Nilai kredit KKPE yang diterima peternak sapi sampel 107 30 Pemanfaatan KKPE oleh Peternak Sapi untuk berbagai kegiatan 108 31 Hasil estimasi model linear berganda dampak KPPE terhadap jumlah ternak 109 32 Hasil estimasi model linear berganda dampak KPPE terhadap TK 111 33 Hasil estimasi model linear berganda dampak KPPE terhadap pendapatan 113 34 Keragaan tingkat pengembalian kredit di tingkat peternak sapi dan kelompok

peternak sapi di Lokasi Penelitian 118

35 Hasil estimasi model regresi pengembalian kredit program KPPE 121 36 Variabel-variabel yang berpengaruh nyata pada antar analisis 130

37 Skema kredit program KKPE 132

(19)

DAFTAR GAMBAR

1 Sasaran produksi komoditas utama tahun 2015 - 2019 2

2 Prosedur pengajuan KPPE secara individu ke bank 19

3 Prosedur pengajuan KPPE bekerjasama dengan mitra usaha 19

4 Pengelompokan akses ke kredit 22

5 Pasar kredit dalam kondisi informasi yang asimetri 34

6 Credit rationing dalam pasar kredit 35

7 Kurva isoquant dan isocost 36

8 Pengaruh adanya kredit terhadap komposisi ouput dan biaya minimum,

serta jalur perluasan usaha 38

9 Pengaruh tingkat bunga terhadap jumlah pinjaman, biaya pinjaman, output dan

keuntungan 41

10 Pengaruh Kredit terhadap Penggunaan Input dan Penerimaan Peternak 42 11 Lingkaran kebajikan kredit program: sebuah model konseptual 43 12 Lingkaran keburukan kredit program: sebuah model konseptual 44

13 Kerangka pemikiran operasional 45

14 Populasi ternak sapi dan nilai KKPE di Jawa Tengah tahun 2006 - 2013 60 15 Perkembangan jumlah peternak, populasi dan pemilikan sapi potong per peternak

tahun 2009 - 2013 64

16 Perkembangan jumlah peternak, populasi dan rata-rata pemilikan sapi perah per

peternak tahun 2009 – 2013 65

17 Perkembangan produksi daging sapi, harga dan kaitannya dengan populasi sapi

potong di Jawa Tengah tahun 2005 hingga 2013 70

18 Perkembangan produksi susu, harga dan kaitannya dengan populasi sapi perah di

Jawa Tengah tahun 2005 - 2013 70

19 Posisi peternak sapi perah dalam bisnis peternakan di Jawa Tengah 88

20 Prosedur pengajuan KPPE secara individu ke bank 91

21 Alasan peternak tidak memanfaatkan KKPE 100

22 Perkembangan NPL kredit KKPE sapi yang disalurkan Bank Jateng dan

BRI di Kabupaten Semarang 116

23 Sintesa analisis aksesibilitas, pemanfaatan, dampak dan tingkat pengembalian

kredit program KKPE 126

24 Lima dimensi lingkaran kebajikan kredit program 131

25 Skema KKPE mandiri dan berkelanjutan menuju Virtuous Circle 139

26 Lingkaran setan 140

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pendugaan model logit akses peternak terhadap kredit KKPE 150 3 Hasil pendugaan model regresi berganda dampak KKPE terhadap penggunaan TK 152 3 Hasil pendugaan model regresi berganda dampak KKPE terhadap jumlah ternak 153 4 Hasil pendugaan model regresi berganda dampak KKPE terhadap pendapatan

dari ternak 154

(21)
(22)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata dalam pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memelihara keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Kementan 2015).

Salah satu peran strategis pembangunan pertanian yang hingga saat ini masih menjadi komitmen pemerintah adalah mencapai ketahanan pangan atau kedaulatan pangan sebagaimana yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementerian Pertanian 2015-2019. Dalam RPJM tersebut disebutkan bahwa kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk dapat menjamin ketahanan pangan dan energi untuk mendukung ketahanan nasional. Adapun dasar pertimbangan dari komitmen pemerintah tersebut adalah: (1) kondisi jumlah penduduk dan urbanisasi, dimana jumlah penduduk Indonesia relatif besar, diperkirakan mencapai 255 juta tahun 2015 (BPS 2015) dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi (1.49%), sementara laju urbanisasi juga relatif tinggi (49.8% tahun 2010)1; (2) konversi lahan yang tidak terkendali secara massif ((56.000 - 60.000 ha per tahun)2 dan kualitas lahan yang terus menurun; (3) kondisi perekonomian global, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai tahun 2015 yang harus dihadapi dengan daya saing tinggi; (4) perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan bencana alam; dan (5) distribusi dan pemasaran produk pertanian Indonesia perlu lebih efektif dan efisien, sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Disamping itu faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah makin seringnya terjadi krisis harga pangan yang membuat jutaan orang tidak aman pangan (Wickramasinghe et al. 2012).

Pencapaian kedaulatan dan ketahanan pangan akan diwujudkan pemerintah melalui swasembada pangan sebagai sasaran pembangunan pertanian di tahun 2015-2019, dimana komoditi yang ditargetkan dalam swasembada pangan tersebut selain padi, jagung, kedelai, gula, juga swasembada dalam pemenuhan kebutuhan daging. Swasembada daging, termasuk daging sapi perlu dilakukan mengingat pencapaian swasembada pangan tidak hanya masalah kuantitas pangan, akan tetapi juga mencakup masalah kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang. Disamping itu juga, swasembada pangan dalam upaya perluasan kesempatan kerja, menghemat devisa, dan peningkatan pendapatan petani.

1 BKKBN: http://www.bkkbn.go.id/kependudukan/Pages/DataSensus/Sensus_Penduduk/Penduduk/Tingkat_-Urbanisasi/Nasional.aspx

2

(23)

Sementara itu, meskipun di tahun 2010-2014 secara rata-rata populasi sapi potong mengalami pertumbuhan positif, namun pertumbuhannya berfluktuasi dan cenderung menurun, bahkan untuk populasi sapi perah mengalami pertumbuhan yang negatif. Karena itu, dalam kurun waktu tersebut, kecuali untuk subsektor perkebunan, neraca perdagangan sub sektor pertanian lainnya temasuk peternakan selalu negatif. Secara keseluruhan, sumber defisit neraca perdagangan komoditas peternakan yang terbesar adalah impor susu, ternak sapi dan daging sapi, dengan jumlah yang sangat besar. Target pola konsumsi masyarakat yang didasarkan skor pola pangan harapan (PPH) pada tahun 2015 masih defisit dan terbesar pada kelompok pangan hewani yang baru mencapai 57.8 gram/kapita/hari, sementara harapannya adalah 150 gram/kapita/hari. Oleh karena itu untuk mencapai sawasembada daging dan mengurangi ketergantungan impor, pemerintah menetapkan target produksi daging sapi dari tahun ke tahun di sepanjang pembangunan jangka menengah (2015-2019) sebagaimana yang terlihat pada Gambar 1 (Kementan 2015).

Sumber: Renstra Kementan 2015-2019

Gambar 1 Sasaran produksi komoditas utama tahun 2015 - 2019

Dalam sejarah perkembangan pencapaian peningkatan produksi dan swasembada pangan tidak lepas dari dukungan pembiayaan oleh pemerintah mengingat secara umum kemampuan petani dalam hal tersebut terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan permodalan dan lemahnya kelembagaan petani, pemerintah khususnya Kementerian Pertanian, mengembangkan fasilitas pembiayaan dalam bentuk skim kredit program dengan subsidi bunga dan penjaminan, serta melaksanakan kegiatan pemberdayaan petani. Sejak Repelita I pemerintah sudah meluncurkan Kredit Bimas (1972), yang dilanjutkan dengan kredit program lainnya seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) tahun 1980, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), serta Kredit Usaha Tani (KUT) yang berakhir tahun 1999. Selanjutnya Kementerian

1

2

3

(24)

Pertanian mengembangkan skim kredit program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) tahun 2000 yang kemudian berubah menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) tahun 2007, Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kredit KKPE, KPEN-RP, KUPS adalah skim kredit program dengan subsidi bunga, sementara KUR adalah skim kredit program dengan penjaminan. Dana kredit sepenuhnya berasal dari Bank Pelaksana (Ashari 2009).

Tabel 1 Alokasi dan realisasi skim kredit KPPE nasional tahun 2009 - 2013

Tahun Plafon (Milyar

Rp)

Realisasi

Nominal (Milyar Rp) %

2009 8143.4 1990.1 24.44

2010 8143.4 2049.2 25.16

2011 8653.9 2219.1 25.64

2012 8653.9 3885.2 44.90

2013 8387.4 1922.7 22.92

Rata-rata/tahun 8459.7 2519.1 29.66

Kumulatif nilai total

kredit 2009-2013 41982.0 12684.1 30.20

Sumber: Pedoman Teknis KKPE, Kementan (2013, 2014)

Sesuai dengan namanya, kredit KKPE merupakan kredit program yang khusus disediakan untuk mendukung program ketahanan pangan dan energi atau mendukung target pengembangan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan (Tebu), peternakan, serta yang berkaitan dengan pengadaan pangan. Kredit program KKPE sejak tahun 2007 disalurkan secara rutin setiap tahun dan dalam kurun waktu 2009-2013 nilai plafon dan relaisasi nominal kredit tersebut terus mengalami peningkatan kecuali di tahun 2013. Hiingga tahun 2013 nilai kumulatif penyaluran kredit KKPE telah mencapai Rp 12,684.1 milyar dari plafon sebesar Rp 41,982.0 milyar. Baik secara kumulatif dari tahun 2009-2013 maupun per tahun, realisasi kredit KKPE relatif kecil dengan rata-rata realisasi per tahun sekitar 30 persen (Tabel 1).

Kredit program KKPE disalurkan di seluruh provinsi dan Provinsi Jawa Tengah termasuk target dan penyaluran kedua terbesar setelah Provinsi Jawa Timur, karena Jawa Tengah merupakan salah satu sentra produksi pertanian pangan termasuk sentra produksi ternak sapi. Sama halnya dengan di tingkat nasional, di Provinsi Jawa Tengah alokasi kredit program KKPE untuk pengembangan peternakan, sapi khususnya menduduki posisi kedua setelah tanaman tebu. Secara kumulatif (2009-2013), alokasi kredit KKPE untuk subsektor peternakan sapi mencapai 21.7 persen (Tabel 2).

(25)

Dengan demikian menjadi penting mengkaji secara komprenehsif bagaimana aksesibilitas peternak terhadap KKPE, sejauhmana dampak penyaluran kredit program KKPE terhadap peningkatan produksi, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan di tingkat usahatani ternak serta bagaimana tingkat pengembalian kredit oleh peternak mengingat sumberdaya pemerintah untuk mendanai kegiatan pembangunan pada prinsipnya terbatas. Efektivitas pembiayaan pemerintah dalam pencapaian ketahanan dan swasembada pangan/daging tidak hanya ditentukan oleh dampak KKPE terhadap perkembangan usaha ternak, juga akan sangat ditentukan oleh aksesibiltas peternak terhadap kredit program KKPE tersebut sehingga analisis tingkat dan faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas peternak terhadap kredit program KKPE perlu dilakukan. Selanjutnya, pencapaian ketahanan dan swasembada pangan tidak akan terlepas dari tingkat keberlanjutan pengembangan kredit program KKPE yang indikasinya dapat dikaji dari tingkat pengembalian kredit KKPE dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian kredit KKPE tersebut.

Tabel 2 Penyaluran kredit KPPE di tingkat Nasional dan Jawa Tengah menurut kegiatan usaha tahun 2009 hingga 2013 (milyar rupiah)

Tahun Tebu Sapi Tnm

Keterangan: * = Posisi sampai September 2013

Sumber: Pedoman Teknis KKPE (2013); Statistik Prasarana&Sarana Pertanian, Kementan (2013)

Permasalahan

(26)

masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, ketergantungan yang masih tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiennya proses produksi pangan, serta rendahnya harga jual yang diterima petani, serta masih tingginya ketergantungan terhadap import pangan.

Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kecukupan kalori, disamping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kredit produksi seperti KKPE, mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Ditinjau dari sisi makro peranan kredit merupakan alat kebijakan untuk pembangunan ekonomi yang antara lain bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan dunia usaha, dan menciptakan kesempatan kerja. Sedangkan dari sisi mikro, kredit berperan banyak bagi petani-peternak sebagai penambah modal dari luar usaha (modal eksternal), bahkan seringkali kredit dipandang identik dengan input dalam peningkatan produksi dan pendapatan menuju ketahanan pangan (Nuswantara 2012). Proses pembangunan sektor pertanian itu sendiri dapat dipicu melalui ketersediaan dan akses yang mudah terhadap kredit, karena hal ini akan memberikan kemampuan peternak melakukan pengembangan usaha dengan modal kerja baru atau investasi baru untuk mengadopsi teknologi baru. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar petani membutuhkan tambahan modal untuk menjalankan usahataninya (Diagne 1999; Mohamed 2003; Poliquit 2006; Simtowe and Zeller 2006; Komicha 2007; Yehuala 2008; Tang, Guan and Jin 2010).

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa isu selama ini mengenai akses atau keterjangkauan petani atau peternak terhadap kredit formal seperti kredit program masih relatif rendah. Rendahnya akses petani/peternak ini terkait dengan beberapa hal, seperti banyaknya persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi, ketersediaan agunan yang tidak bisa dihindari dan suku bunga pinjaman yang masih terasa tinggi. Program kredit pedesaan di seluruh negara menunjukkan kinerja yang kurang baik karena administrasi yang buruk dalam pelaksanaannya serta social opportunity cost yang sangat tinggi dari dana program. Risiko yang tinggi dari produksi pertanian (Binswanger dan Rosenzweig 1986), informasi yang asimetris dan kurangnya penegakan kontrak pinjaman (Hoff dan Stiglitz 1990), campur tangan pemerintah yang ceroboh dalam pasar kredit, dan rent seeking sebagai akibat dari penjatahan kredit, semuanya menjadi faktor yang diduga penyebab kinerja yang buruk dari skema kredit program di banyak Negara (Akram 2012). Beberapa pengecualian dalam hal ini adalah Grameen Bank di Bangladesh, yang menunjukkan hasil ekonomi yang positif.

(27)

apakah benar kredit itu diperlukan oleh petani/peternak untuk peningkatan produksi dan pendapatan mereka? Jika tidak diperlukan, menjadi pertanyaan juga mengapa sebagian petani/peternak mengambil kredit program tersebut dan faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan petani/peternak dalam mengambil kredit program?

Dalam pasar kredit, khususnya pasar kredit pertanian dan pedesaan tidak hanya tersedia kredit program KKPE, tetapi juga kredit non KKPE. Berdasarkan hal tersebut, maka apabila kredit itu penting bagi peternak dalam upaya peningkatan produksi dan pendapatan, apakah tingkat penyerapan kredit program KKPE yang rendah lebih disebabkan karena petani/peternak lebih memilih atau lebih tertarik dengan kredit non KKPE yang lebih mudah diakses walaupun tingkat suku bunga dan biaya administrasinya relatif mahal? Apabila demikian, apakah berarti sistem dan prosedur penyaluran kredit program KKPE yang dibuat pemerintah dan diaplikasikan pihak perbankan masih menimbulkan biaya transaksi yang besar? Di sisi lain, bisa jadi kredit program KKPE tidak diminati oleh pihak perbankan dan lebih menjadi beban. Hal ini tampak dari sedikitnya pihak perbankan yang telah menyalurkan KKPE dan hanya BRI yang menonjol, padahal dalam panduan hampir semua perbankan bisa berperan serta (Kementan 2013). Kondisi ini kemungkinan terkait dengan resiko usaha di sektor pertanian yang dikenal relatif tinggi (Binswanger dan Rosenzweig 1986) dan adanya keinginan agar aturan prosedur pengembalian/cicilan disesuaikan dengan karakteristik produksi di sektor pertanian yang sifatnya tidak harian atau bulanan melainkan musiman, sehingga pihak perbankan enggan berpartisipasi dan kalaupun ikut, terpaksa menerapkan aturan yang ketat.

Hal lain lagi adalah adanya fakta yang saling bertentangan, yaitu walaupun tingkat penyerapan kredit program KKPE relatif rendah, namun dalam 5 tahun terakhir (2009-2013) produksi pangan nasional secara umum, termasuk daging sapi mengalami peningkatan baik dari sisi produksi maupun produktivitas (BPS 2014). Demikian juga serapan tenaga kerja di pertanian serta tingkat kesejahteraan petani, yang digambarkan oleh angka nilai tukar petani (NTP) menunjukkan perbaikan. Dengan demikian menjadi pertanyaan, bagaimana pemanfaatan kredit oleh petani, apakah digunakan sesuai dengan peruntukannya untuk usahatani atau usaha ternak? Kemudian, apakah peningkatan produksi dan perbaikan NTP merupakan dampak dari kredit program?

Dalam hal pengembalian pinjaman kredit program, hasil evaluasi Deptan dan JICA (2006) dalam Ashari (2009), menunjukkan Non Performing Loan (NPL) KKP untuk tanaman pangan (6.07 persen), tebu (0.02 persen), peternakan (4.03 persen), perikanan (14.00 persen), dan pengadaan barang (3.01 persen). Bahkan salah satu skim kredit program yang dikembangkan pemerintah, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT) mengalami masalah berat, dimana tunggakannya mencapai 68.8 persen (Ritonga 2010). Terkait dengan KKPE, menjadi pertanyaan apakah pengembalian KKPE mengalami kondisi yang sama dengan kredit program sebelumnya atau lebih baik, sehingga mendorong pemerintah untuk melanjutkan dan mengembangkannya.

(28)

terbentuk setelah program selesai. Akibatnya, peserta program akan kembali mengalami kekurangan modal usaha (Ashari 2006).

Kajian Braverman dan Guash (1993) menyebutkan bahwa intervensi pemerintah dalam pasar kredit perdesaan telah meningkatkan distribusi pendapatan perdesaan. Namun, intervensi telah terbukti cukup sering menjadi regresif (memundurkan). Kegagalan intervensi pemerintah ini diukur dengan target dana yang tersalur kepada petani/peternak kecil, kerentanan terhadap tekanan politik, tingkat pengembalian, dan kemampuan lembaga keuangan untuk bertahan hidup dengan penarikan dana ekstemal.

Hasil temuan Akram et al. (2008) juga menunjukkan bahwa kredit program di Pakistan kurang memberi hasil yang optimal karena kebijakan pemerintah yang bertele-tele. Namun tidak semua kredit program memberi dampak yang negatif terhadap perekonomian. Hasil kajian Bolnick & Nelson (1999) menunjukkan bahwa kredit program KIK/KMKP memberi dampak positif terhadap pendapatan, output dan lapangan kerja. Demikian juga kajian dari Setyari (2012) menunjukkan bahwa kredit mikro memberikan dampak yang signifikan positif terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga di Indonesia dilihat dari meningkatnya jumlah pengeluaran perkapita labor supply dari rumahtangga penerima program.

Berdasarkan fenomena permasalahan tersebut, pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam studi ini adalah sejauhmana intervensi pemerintah dengan menyediakan kredit program KKPE di pasar kredit pertanian dan perdesaan memberikan akses yang lebih mudah bagi peternak. Selanjutnya bagaimana pemanfaatan kredit tersebut dan apakah memberi dampak yang positif terhadap petani peternak sapi di Jawa Tengah khususnya dan terhadap pembangunan pertanian serta mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia umumnya. Setelah berdampak bagaimana kinerja pengembalian kredit tersebut, sehingga dapat berkelanjutan dalam mendukung swasembada pangan. Berdasarkan temuan studi maka diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan penyempurnaan dan perbaikan program. Secara khusus, beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat aksesibilitas peternak terhadap kredit program KKPE?

2. Apakah kredit program tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan usaha ternak atau digunakan untuk tujuan lain?

3. Sejauh mana dampak kredit program KKPE terhadap kinerja usaha (produksi/jumlah ternak, pendapatan dan kesempatan kerja) peternak sapi?

4. Bagaimanakah tingkat pengembalian kredit program KKPE tersebut?

Pemerintah meluncurkan KKPE karena asumsinya petani membutuhkan kredit. Namun masalahnya petani sulit mengakses kredit tersebut. Memang pemerintah sudah mengusahakan agar bunganya lebih rendah dari skim kredit lain maupun skim kredit sebelumnya dengan memberikan subsidi, namun berbagai persyaratan masih memberatkan petani, misalnya harus tetap ada agunan. Sehingga sebagian masyarakat beranggapan skim KKPE ini pun tetap masih sulit.

(29)

diluncurkan pemerintah di akhir tahun 2007. Beberapa hal yang mendasari pemilihan kredit program ini adalah:

1. Kredit KKPE adalah kredit perbankan dimana sebagian bunganya disubsidi pemerintah.

2. KKPE umumnya diberikan kepada kelompok (group lending), walaupun tidak menutup kemungkinan perseorangan.

3. Fokus pada KKPE ternak sapi potong dan sapi perah karena komoditas ini merupakan komoditas pangan penting untuk Indonesia saat ini, dimana sapi potong termasuk yang ditargetkan untuk tercapai swasembada di tahun 2014.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan

Secara umum, berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan penelitian adalah untuk menganalisis akses peternak sapi terhadap kredit program KKPE dan dampaknya terhadap kinerja usaha ternak sapi serta tingkat pengembalian kredit tersebut di Jawa Tengah. Tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis akses peternak sapi terhadap KKPE.

2. Menganalisis pemanfaatan KKPE oleh peternak sapi penerima. 3. Menganalisis dampak KKPE terhadap kinerja usaha ternak sapi. 4. Menganalisis tingkat pengembalian kredit program KKPE. 5. Merumuskan perbaikan skema kredit program KKPE.

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan dalam pengelolaan kebijakan pengembangan kredit program untuk meningkatkan kinerja peternakan di Indonesia.

2. Sebagai sumbangan akademis dalam penelitian mengenai pengembangan kredit program dari lembaga keuangan di masa mendatang.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang Lingkup

Kredit program KKPE untuk pengembangan ternak yang dioperasikan oleh perbankan adalah fokus disertasi ini. Informasi digali dari para peternak sapi sebagai nasabah, pihak lembaga perbankan penyalur kredit dan lembaga mitra atau pembina. Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan berfokus pada: (1) aksesibilitas masyarakat peternak sapi terhadap kredit program, (2) peranan kredit program terhadap kinerja ekonomi masyarakat peternak sapi, khususnya peminjam, dan (3) tingkat keberlanjutan kredit program ditinjau dari tingkat pengembalian kredit.

Adapun lingkup penelitian ini meliputi:

(30)

2.Peternak yang menjadi contoh diambil dari wilayah Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang (baik peternak sapi potong maupun sapi perah).

3.Lembaga perbankan yang diambil sebagai contoh adalah penyalur KKPE, seperti Bank BRI dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.

4.Lembaga mitra kerja petani atau koperasi yang diambil menjadi contoh adalah yang bekerjasama dengan peternak sapi, seperti Asosiasi Peternak Sapi Potong Indonesia (ASPIN) Boyolali.

5.Kinerja usaha peternak yang diamati adalah penggunaan input, pengambilan kredit, penggunaan tenaga kerja, jumlah ternak dan susu, dan tingkat pendapatan dari usaha. 6.Tingkat pengembalian perlu dianalisis dalam rangka menilai keberlanjutan dari kredit

program tersebut. Dalam hal ini dikaji sistem dan pemanfaatan kredit, seperti berapa tingkat bunga yang diterapkan lembaga peminjam dan dasar penerapan biaya tersebut apakah karena keputusan dari pusat atau mempertimbangkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Biaya-biaya tersebut antara lain untuk seleksi (screening), peluang gagal (default), opportunity cost dari uang dan lainnya (Aleem, 1993).

7.Untuk keperluan analisis digunakan model ekonometrika dengan persamaan regresi berganda dan model logit, menggunakan data primer (cross section) dari hasil membandingkan data penerima dan non penerima kredit melalui kegiatan survey.

Keterbatasan

Dari sisi lokasi, penelitian ini hanya dilakukan di Provinsi Jawa Tengah, khususnya di kabupaten sentra produksi ternak sapi. Sementara dari sisi sasaran penyaluran kredit, penelitian ini hanya difokuskan pada skim kredit KKPE untuk peternak sapi. Dari sisi kedalaman analisis, (1) untuk aksesibilitas kredit mencakup kajian peluang mendapatkan kredit melalui kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas, (2) analisis pemanfaatan kredit hanya secara deskriptif saja dan (3) untuk analisis dampak penggunaan kredit, dampak tersebut hanya dianalisis di tingkat usahatani dan rumah tangga saja; yaitu dampaknya terhadap jumlah ternak, kesempatan kerja dan pendapatan usaha. Selanjutnya untuk analisis pengembalian kredit dibatasi tingkat pengembalian kredit peternak yang meminjam KKPE.

Kebaruan (Novelty)

(31)

Dari sisi metodologi, penelitian ini mencoba menangkap persoalan yang dihadapi peternak, mulai dari pengalaman mengakses kredit, memanfaatkannya, dampaknya, serta pengembaliannya. Teori ekonomi yang digunakan adalah teori ekonomi produksi yang pada hakekatnya adalah teori yang menjelaskan bagaimana hubungan input dan output. Dari sisi syarat memenuhi teori ekonomi produksi karena menganalisis produksi baik susu sapi maupun populasi ternak sapi potong, penggunaan tenaga kerja, bahkan pendapatan rumah tangga. Analisis aksesibilitas terhadap kredit KKPE, dampak kredit dan analisis tingkat pengembalian peternak sapi saling melengkapi model dalam penelitian ini.

Dari hasil penelitian akses kredit, dampak serta tingkat pengembaliannya didapatkan: (a) akses peternak terhadap kredit masih bermasalah terutama dalam agunan, sehingga dapat disarankan persyaratan kredit yang lebih fleksibel, (b) pemanfaatan kredit umumnya untuk tujuan produktif membeli sapi, namun sebagian usahanya terganggu, sehingga terkendala dalam pengembalian, (c) kredit KKPE yang diterima telah memberi manfaat dalam peningkatan jumlah ternak maupun produksi susu, serta pendapatan, namun tidak berpengaruh nyata dalam peningkatan penggunaan tenaga kerja karena hanya menambah penggunaan jam kerja, serta (d) pengembalian kredit masih bermasalah karena adanya gangguan usaha.

(32)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Kredit Program di Indonesia

Konsep dan Tujuan Kredit Program

Sejak jaman Orde Baru, pemerintah mengucurkan kredit program selalu dalam kaitan dengan peningkatan produksi pangan. Pengertian kredit sendiri sesuai dengan UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Menurut Gilarso (1992:246) kredit adalah pemberian uang, barang atau jasa kepada pihak lain, tanpa menerima imbalan (pembayaran) langsung atau bersamaan tetapi dengan percaya bahwa pihak yang menerima uang atau barang tersebut akan mengembalikan atau melunasi hutangnya sesuai jangka waktu tertentu. Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Pasal 1c, mengenai pokok-pokok perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain. Dalam hal mana, pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditentukan.

Jenis-jenis kredit menurut (Kasmir 2007) yang diberikan oleh bank dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain (1) Dilihat dari segi kegunaan, (2) Dilihat dari segi tujuan kredit, (3) Dilihat dari segi jangka waktu, (4) Dilihat dari segi jaminan, (5) Dilihat dari segi sektor usaha, dan (6) Dilihat dari segi pihak yang memberikan kredit. Berdasarkan aspek-aspek tersebut berikut akan diuraikan jenis-jenis kredit dimaksud.

(33)

ini. Berdasarkan sektor usaha, jenis kredit terdiri dari kredit pertanian, kredit peternakan, kredit industri, kredit pertambangan, kredit pendidikan, kredit profesi, kredit perumahan, dan sektor-sektor lainnya. Dilihat dari segi pihak yang memberikan kredit, jenis kredit mencakup (1) Kredit Penjual adalah kredit yang diberikan kepada pembeli dengan membayar belakangan setelah barang tersebut diterima, (2) Kredit Pembeli menaruh kredit kepada penjual, tetapi barang diterima sesudah beberapa waktu seperti uang muka, (3) Kredit Bank adalah kredit yang disediakan oleh bank, baik itu digunakan untuk modal kerja, investasi maupun untuk yang lainnya, (4) Kredit Pemerintah adalah kredit yang diberikan oleh pemerintah kepada pemborong, seperti pembuatan jalan dan (5) Kredit Luar Negeri adalah kredit yang diberikan oleh luar negeri untuk pemerintah atau lembaga dalam rangka perdagangan internasional.

Kredit juga dibedakan antara kredit komersial dan kredit program ditinjau dari aspek pendanaan. Pengertian kedua jenis kredit tersebut adalah sebagai berikut:

(a) Kredit program atau kredit bersubsidi, yakni kredit yang disediakan pemerintah dalam membiayai berbagai program sektor ekonomi dengan bunga yang rendah dan persyaratan yang ringan.

(b) Kredit komersial, yakni kredit yang di berikan oleh perbankan dengan persyaratan-persyaratan yang berlaku umum atau yang berlaku di pasar.

Mengingat dalam sejarahnya, banyak kredit program yang disediakan untuk mendukung pembangunan sektor pertanian, maka Pasandaran (1989) mendefinisikan kredit tersebut sebagai kredit yang disalurkan ke pedesaan seperti berikut ini. Kredit program pemerintah merupakan kredit yang sengaja dintroduksikan ke pedesaan untuk mengisi kesenjangan dana yang tersedia di pedesaan. Pada umumnya kredit program pemerintah ini merupakan suatu kredit yang terintegrasi dengan suatu program yang sudah ditetapkan. Dengan kredit program ini, pemerintah memberikan subsidi pada beberapa hal. Menurut Hermanto (1992), pemberian subsidi diantaranya adalah (1) subsidi terhadap tingkat suku bunga; (2) subsidi terhadap biaya resiko kegagalan kredit dan (3) subsidi terhadap biaya administrasi dalam penyaluran, pelayanan dan penarikan kredit. Bila dikaitkan dengan tujuan program pemerintah, untuk meningkatkan kemandirian keuangan masyarakat pedesaan dalam membiayai pembangunan ekonominya, maka kredit program ini kurang efektif karena masyarakat pedesaan biasanya memandang kredit tersebut sebagai bantuan pemerintah semata.

Modal petani dalam berusahatani terdiri dari modal sendiri dan modal dari luar (pinjaman). Pinjaman tersebut ada yang bersumber dari lembaga resmi/formal dan ada yang dari lembaga non formal. Modal yang berasal dari lembaga formal juga dapat dibagi menjadi pinjaman komersial dan ada yang bersubsidi. Pinjaman bersubsidi ini umumnya berkaitan dengan program pemerintah dan disebut kredit program, misalnya bantuan untuk peningkatan produksi pertanian atau untuk memperkuat permodalan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) agar mereka lebih berkembang. Adapun bentuk skim kredit program tersebut seperti dana bergulir, penguatan modal, subsidi bunga dan yang mengarah ke komersial dimana sebagian pinjaman tersebut dijamin pemerintah.

(34)

dari: 1) Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN), seperti Kredit Bimas, KUT, KKP, Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), BLM, Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR); dan 2) Proyek Bantuan Asing seperti Second Kennedy Round dan Program Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K).

Berbagai program pembiayaan tersebut telah memberi dampak yang beragam, seperti dapat meningkatkan produksi dan mencapai swasembada padi tahun 1984 (kredit Bimas), menyisakan tunggakan pembayaran dari kelompok tani hampir 75 persen dari Rp.8 triliun tahun 1999 (kredit KUT), dan kredit KKP yang ditujukan untuk ketahanan pangan telah menyalurkan Rp.4.98 triliun tahun 2006. Hasil evaluasi Deptan dan JICA (2006) dalam Ashari (2009), Non Performing Loan (NPL) KKP untuk tanaman pangan (6.07 %), tebu (0.02 %), peternakan (4.03 %), perikanan (14.00 %), dan pengadaan barang (3.01 %). Dalam perkembangannya, sejak tahun 2007 KKP diubah nomenklaturnya menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Hingga 2011 tingkat realisasi penyerapan skim kredit program tersebut rata-rata masih rendah, berkisar 20 persen per tahun dari total komitmen bank pelaksana sebesar Rp.8.779 triliun (Kementan 2012). Kredit KUR yang dikucurkan untuk sektor pertanian sebesar Rp.3.99 triliun dari semua sektor sebesar Rp.24.40 triliun.

Lebih lanjut hasil evaluasi Kementan (2012), menunjukkan bahwa rendahnya tingkat serapan kredit program tersebut disebabkan antara lain: 1) usaha pertanian dianggap perbankan mempunyai risiko yang tinggi, 2) terbatasnya penyediaan agunan yang dimiliki petani seperti sertifikat lahan yang dipersyaratkan perbankan, 3) perbankan menerapkan prinsip kehati-hatian mengingat risiko sepenuhnya ditanggung perbankan (kecuali KUR) dan 4) khusus calon debitur KPEN-RP masalah status lahan belum bersertifikat dan sebagian provinsi/kabupaten/kota belum memiliki RTRWP/RTRWK, 5) untuk KUR sektor pertanian sudah disediakan penjaminan sebesar 80 persen, namun suku bunga yang dibebankan petani cukup tinggi untuk KUR mikro (< Rp.20 juta) maksimum 22 persen dan KUR ritel (> Rp.20 juta) maksimum 14 persen per tahun.

Menurut Kasmir (2007), unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit yaitu: 1) kepercayaan, 2) kesepakatan, 3) jangka waktu, 4) resiko, serta 5) balas Jasa. Lebih lanjut disebutkan bahwa tujuan pemberian kredit tidak terlepas dari misi pendirian suatu bank. Adapun tujuan utama pemberian kredit yaitu (1) Mencari keuntungan, tujuannnya untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut; (2) Membantu usaha nasabah, tujuannya untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja; (3) Membantu pemerintah dimana bagi pemerintah, semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor. Kemudian disamping tujuan tersebut, suatu fasilitas kredit memiliki fungsi sebagai berikut (1) Untuk meningkatkan daya guna uang, (2) Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, (3) Untuk meningkatkan daya guna barang, (4) Meningkatkan peredaran barang, (5) Sebagai alat stabilitas ekonomi, (6) Untuk meningkatkan kegairahan usaha, (7) Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan, (8) Untuk meningkatkan hubungan internasional.

(35)

mendapatkan nasabah yang benar-benar menguntungkan dilakukan dengan analisis 4C. Kasmir (2007) menyebutkan 4C sebagai berikut (1) Capacity, untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bidang bisnis yang dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerintah; (2) Capital, penggunaan modal ditinjau dari laporan keuangannya melalui pengukuran seperti likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan lainnya dimana Capital ini juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini; (3) Collateral, merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik dimana jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan serta harus diteliti keabsahannya; (4) Condition, dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan di masa yang akan datang sesuai sektor masingmasing, serta prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Disamping keempat kriteria di atas saat ini banyak yang menambah kriteria kelima, yaitu Character. Kriteria ini menitikberatkan pada pribadi dan perilaku seseorang.

Sejarah Perkembangan Kredit Program di Indonesia

Dalam sejarahnya, kredit program diawali dengan penyaluran kredit untuk sektor pertanian dan kemudian berkembang dimana cakupan kredit program tersebut juga tersedia untuk sektor lainnya, namun dengan batasan masih tergolong dalam usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Skim kredit program pemerintah yang terkenal di masyarakat yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diperuntukkan bagi UMKM yang layak mendapatkan fasilitas kredit, namun tidak mempunyai agunan yang cukup untuk persyaratan kredit perbankan. Tujuan akhir diluncurkan program KUR adalah pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Selain KUR, skim kredit program pemerintah yang lainnya yaitu Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Pemerintah juga melakukan program pembiayaan untuk usaha produktif yaitu Simpan Pinjam khusus Perempuan (SPP) yang diberikan pada perempuan rumah tangga miskin (Kusmuljono 2009).

Pengembangan kredit program sektor pertanian, sejak awal kemunculannya tidak terlepas dari program intensifikasi pertanian dan program peningkatan ekonomi pedesaan dimana agenda utama dari program tersebut adalah untuk mencapai swasembada pangan. Pada awalnya, swasembada pangan lebih ditujukan pada swasembada beras mengingat beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga kredit program sektor pertanian di awal tersebut lebih ditujukan untuk intesifikasi usahatani padi. Seiring dengan permasalam pertumbuhan penduduk yang relatif besar, konversi lahan pertanian ke sektor non pertanian dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap beras maka kredit program tidak hanya diperuntukan pada pembiayaan usahatani padi, tetapi juga untuk pembiaayaan komoditi pangan lainnya.

(36)

unggul, pupuk, pestisida dan biaya hidup (cost of living) yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi.

Pada tahun 1985 Kredit Bimas berganti nama menjadi Kredit Usaha Tani (KUT). Kredit program sektor pertanian tersebut disediakan dengan tujuan untuk menunjang pelaksanaan program intensifikasi padi. Sejak disalurkannya KUT, cakupan komoditas yang dapat dibiayai kredit program ini menjadi lebih banyak yaitu padi, palawija dan hortikultura. Dalam perkembangannya KUT mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian mengikuti perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah (Insus, Supra Insus, IP Padi-300 dan lain-lain). Setelah era KUT, secara silih berganti atau dalam waktu bersamaan, pemerintah menyalurkan berbagai skim kredit/bantuan modal, baik yang bersifat bantuan langsung maupun bergulir. Sebagai contoh, Bantuan Langsung Masyarakat (BLM); Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK); subsidi bunga dalam Kredit Ketahanan Pangan (KKP) atau yang mendekati komersial seperti Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3).

Pemerintah mengganti KUT dengan kredit program yang diperbaharui, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan pada KKP adalah kembali pada keikutsertaan bank yang berhadapan dengan peluang resiko (executing) sehingga menjadikan mereka sangat hati-hati dalam menghindari individu dan organisasi yang masih memeiliki tunggakan KUT dan mempunyai riwayat buruk di masa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi dengan beberapa modifikasi kredit masih muncul. Kredit program KKP ditujukan untuk (1) intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai dan ubi kayu) serta (2) pengadaan pangan. Target KKP adalah kelompok tani dan koperasi. Bank pelaksana adalah BUMN seperti BRI, Bank Agro, Bukopin, Bank Mandiri dan Bank Pembangunan Daerah. Bank menggunakan dana mereka dalam penyaluran KKP tetapi mereka menerima subsidi bunga dari kredit yang disalurkan. Pada tahun 2000, KKP diaplikasikan selain untuk tanaman pangan juga diaplikasikan untuk perkebunan tebu dan peternakan. Subsidi tingkat bungan dibayar pemerintah yang secara bertahap dikurang hingga tahun 2003. Sumber pendanaan tergantung pada bank yang bersangkutan, dengan bunga sebesar 12 persen untuk tanaman pangan dan 6 persen untuk tanaman perkebunan, perikanan dan peternakan. Dalam perkembangannya kredit program KKP, sejak tahun 2007 diubah nomenklaturnya menjadi KKP-Energi.

Seperti sudah dikemukakan bahwa sesuai dengan namanya, kredit program disediakan untuk mendukung pelaksanaan program atau proyek tertentu termasuk untuk kredit program sektor pertanian. Oleh karena itu, pelaksanaan kredit program bersifat dinamis baik dari sisi target (komoditas atau penerima kredit), prosedur, rentang waktu maupun penetapan indikator tingkat keberhasilan program. Disamping itu, karena penyempurnaan kredit program juga dalam rangka meningkatkan aksesibilitas masyarakat petani terhadap kredit maka perubahan nomenklatur kredit program berdampak pada plafon, sistem penyaluran dan sistem pengembaliannya. Namun demikian, terdapat kekhasan dalam penyaluran kredit program untuk sektor pertanian, yaitu (1) selalu disalurkan lewat kelompok tani; (2) melibatkan bank sebagai penyalur kredit apakah dengan pola penyaluran chanelling atau executing; Petugas Penyuluh Lapangan dan dinas terkait sebagai pihak yang memberikan rekomendasi kepada bank terkait.

(37)

bantuan asing baik yang berupa hubungan kerjasama bilateral seperti Second Kennedy Round (SKR) maupun kerjasama multilateral seperti Program Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K).

Kredit Program KKPE dalam Pembiayaan Sektor Pertanian dan Peternakan Sapi

Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Total kredit perbankan nasional tahun 2010 sebesar Rp.1,397 triliun. Sementara kredit untuk sektor pertanian hanya Rp.77 triliun atau 5.5 persen, padahal kontribusi sektor pertanian pada pembentukan Produk Domestik Bruto menempati posisi kedua terbesar setelah manufaktur. Sulitnya akses terhadap kredit perbankan juga tercermin pada tingginya suku bunga kredit untuk sektor pertanian mencapai 13.20 persen (PS/E, 2011).

Jenis-jenis kredit program untuk pembiayaan pertanian yang saat ini diluncurkan Kementerian Pertanian adalah Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KPPE), Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK-SUP), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Disamping itu juga ada pembiayaan syariah yang meliputi i) pengembangan skema pembiayaan berbasis syariah; dan ii) pengembangan kelembagaan usaha petani yang berasal dari kelompok usahatani. Juga ada program tambahan yaitu i) program fasilitas skim pelayanan pembiayaan pertanian (SP-3) dan ii) kerjasama pemanfaatan bantuan Luar Negeri.

Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) yang dulu dikenal dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP), sudah berjalan sejak Oktober 2000 merupakan penyempurnaan dari KUT (Kredit Usaha Tani), KKPA (Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya), serta Kredit Koperasi Pangan (KKP). KKP ditujukan untuk membantu permodalan petani dan peternak dengan suku bunga terjangkau sehingga mereka dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya dan dapat mengembangkan agribisnisnya secara layak.

Dalam perkembangannya KKP terus mengalami perubahan dan penyempurnaan baik dalam cakupan komoditas yang dibiayai, kebutuhan indikatif dan plafon maksimum per debitur. Penyempurnaan KKP juga ditujukan untuk mendukung ketahanan energi sehingga mulai Oktober 2007 KKP berubah menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). KKPE adalah kredit investasi dan/atau modal kerja yang diberikan dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Ketahanan Pangan dan Program Pengembangan Tanaman Bahan Baku Bahan Bakar Nabati.

Tujuan dari KKPE adalah: (a) menyediakan kredit investasi dan atau modal kerja dengan suku bunga terjangkau, (b) mengoptimalkan pemanfaatan dana kredit yang disediakan oleh perbankan untuk petani/peternak yang memerlukan pembiayaan usahanya secara efektif, efisien dan berkelanjutan guna peningkatan produksi sekaligus peningkatan pendapatan dan kesejahteraanya, dan (c) mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi lain melalui pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati.

(38)

Sumber dana KKPE berasal dari Bank Pelaksana dan Resiko KKPE ditanggung sepenuhnya oleh Bank Pelaksana. Peran pemerintah antara lain menyediakan subsidi suku bunga dan risk sharing untuk komoditas padi, jagung dan kedelai. Keputusan akhir kredit ada pada bank mengingat resiko kredit sepenuhnya ditanggung bank. Suku bunga KKPE ditinjau tiap 6 bulan (Direktorat Pembiayaan, 2011). Ketentuan tingkat bunga tersebut mulai berlaku tanggal 1 Oktober 2010 sampai 31 Maret 2011 (Tabel 3).

Tabel 3 Tingkat bunga bank, tingkat bunga peserta KPPE dan subsidi bunga Uraian Tingkat Bunga Bank Tingkat Bunga kepada

Peserta Subsidi Bunga

Tabel 4 berikut ditampilkan panduan ringkas kredit program KKPE mulai dari jenis usaha yang dibiayai sampai kepada lembaga bank pelaksana. Bank Pelaksana kredit program KKPE meliputi 22 bank, yaitu 9 (sembilan) Bank Umum meliputi Bank BRI, Bank Mandiri, BNI, Bukopin, CIMB Niaga, Agroniaga, BCA, BII, dan Artha Graha dan 13 (tiga belas) Bank Pembangunan Daerah (BPD), yaitu BPD Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Papua, Riau dan Nusa Tenggara Barat. Dari total Rp.8.4 trilyun plafon KKPE yang ditetapkan, nilai realisasi mencapai Rp.10.9 trilyun (129 persen). Realisasi penyaluran KKPE oleh Bank Umum mencapai Rp.10.1 trilyun (128 persen), sedangkan BPD menyalurkan Rp.0.78 trilyun (150 persen).

Terdapat enam provinsi yang belum memanfaatkan KKPE, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Irian Jaya Barat dan Kepulauan Riau. Walaupun KKPE budidaya tanaman pangan terbesar ketiga setelah budidaya Tebu dan Peternakan, tetapi dari segi penyebarannya terluas dari semua subsektor yang memperoleh KKPE, yaitu meliputi 27 provinsi. Penyebaran KKPE untuk budidaya tebu hanya di sembilan provinsi dan terbanyak atau fokus di Pulau Jawa. Sedangkan untuk budidaya tanaman hortikultura selain fokus di Pulau Jawa, juga banyak diserap di Provinsi NTB dan sedikit di Kalsel dan Sumsel.

Usahatani dengan sistem kemitraan relatif membantu petani dalam hal penyediaan modal untuk sarana produksi, di samping itu juga menjamin pemasaran produk. Perusahaan yang berperan sebagai mitra biasanya menyediakan modal bagi petani plasma yang bisa dibayar setelah panen. Misalnya, kemitraan kelompok tani cabe di Jember (Jawa Timur) dengan PT Heinz ABC yang pembiayaan sarana produksinya difasilitasi dengan KKPE. Demikian juga kemitraan antara PisAgro dengan petani jagung di Mojokerto dan Bank BRI mendukung dengan dana KKPE. Adanya berbagai keuntungan yang dirasakan oleh petani, maka Pemerintah perlu mendorong kemitraan antara petani dengan perusahaan pengolah produk pertanian, produsen benih, maupun pedagang hasil pertanian dengan syarat perusahaan mitra menyediakan sarana produksi secara kredit bagi petani dan menjamin pemasaran produk yang dihasilkan.

(39)

perdesaan lainnya seperti yang sudah dilakukan selama ini. Juga ditemukan bantuan modal dari pengusaha penggilingan padi kepada petani atau pinjaman modal dari koperasi kepada para anggotanya.

Tabel 4 Panduan kredit KPPE

Aspek Uraian

Usaha yang Dibiayai

1. Pangan, Hortikultura dan pengadaan pangan 2. Peternakan sapi, ayam, itik dan burung puyuh.

3. Perikanan tangkap dan budidaya dan pengembangan rumput Laut 4. Pengadaan/peremajaan peralatan, mesin, dan sarana menunjang

Sumber Dana Bank Pelaksana 100%

Plafon Kredit

1. Petani, peternak, pekebun, nelayan, budidaya ikan < Rp50 juta; 2. Untuk koperasi dalam rangka pengadaan pangan < Rp500 juta;

3. Untuk kelompok tani dalam rangka pengadaan/ peremajaan peralatan, mesin, dan sarana lain < Rp500 juta.

Suku Bunga Kredit 1. Tebu, maksimal sebesar bunga penjaminan Bank (LPS) + 5% 2. Komoditas lain, maksimal sebesar bunga penjaminan Bank + 6%

Suku Bunga Petani/Peternak

1. Tebu: 7% p.a.

2. Komoditas lain: 6% p.a. (ditinjau per 6 bln, ditetapkan Menkeu)

Jangka Waktu Maksimal 5 tahun

Peran Pemerintah

1. Kemenkeu: penyediaan dana APBN untuk subsidi bunga, menunjuk Bank Pelaksana, persetujuan plafon KKPE tiap Bank

2. Mentan: pembinaan dan pengendalian 3. Gubernur: pembinaan dan pengendalian

4. Bupati/Walikota: pembinaan dan pengendalian, monev

5. Dinas Teknis: mengkoordinir, monev penyaluran dan pemanfaatan KKPE, membimbing dan memantau kelompok tani

Target Realisasi Komitmen pendanaan oleh Bank : Rp.37.8 triliun

Bank Pelaksana 9 bank umum dan 13 BPD Sumber: Direktorat Pembiayaan, Kementan (2011)

Gambar

Gambar 4   Pengelompokan akses ke kredit
Gambar 13  Kerangka pemikiran operasional
Gambar 14  Populasi ternak sapi dan nilai KKPE di Jawa Tengah tahun 2006 - 2013
Tabel 7 Sebaran populasi ternak sapi potong menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah, tahun 2005 - 2013 (Ekor)
+7

Referensi

Dokumen terkait