• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan

Pemberdayaan (empowerment) berasal dari bahasa Inggris dengan kata dasar to empower. Menurut Merriam-Webster Online Dictionary (2006) to empower diartikan sebagai to promote the self-actualization or influence of (meningkatkan aktualisasi diri atau pengaruh terhadap sesuatu). Sedangkan Narayan (2002) mengartikan pemberdayaan sebagai peningkatan modal dan kemampuan dari rakyat yang lemah untuk berpartisipasi dalam, bernegosiasi dengan, mempengaruhi, mengawasi, dan mengendalikan tanggungjawab kelembagaan yang mempengaruhi hidupnya.

Kalangan ilmuwan dari perguruan tinggi juga terlibat banyak dalam mendiskusikan konsep pemberdayaan ditinjau dari perspektif ilmu-ilmu sosial ekonomi, budaya dan politik. Hermawan (2005) telah mengidentifikasi empat disiplin ilmu yang secara luas menggunakan istilah (atau kata) pemberdayaan yaitu perilaku organisasi, manajemen sumber daya manusia, psikologi kemasyarakatan, dan ilmu politik.

Perilaku organisasi adalah suatu disiplin yang memandang pemberdayaan terutama dari perspektif psikologi dan individu. Pemberdayaan dipersepsikan sebagai suatu bentuk kondisi psikologis, lebih spesifik sebagai unsur kognitif dari seorang individu dalam organisasi-organisasi. Inisiatif pemberdayaan kebanyakan didefinisikan oleh manajer untuk mendapatkan perilaku mendukung pegawai yang diharapkan mengarah ke perkembangan prestasi organisasi.

Pada area manajemen sumber daya manusia, pemberdayaan umumnya dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai potensi untuk menyalurkan kekuatan atau kebijaksanaan dalam membuat keputusan yang melibatkan pegawai. Fokusnya adalah pada hubungan kekerabatan antara manajemen dengan pegawai. Seperti perilaku organisasi, disiplin ilmu ini memberikan pendekatan yang sama dalam hal

menjalankan program pemberdayaan, dimana inisiatif diambil oleh para manajer dan prestasi organisasi ditempatkan sebagai tujuan utama.

Disiplin psikologi kemasyarakatan memandang pemberdayaan tidak hanya sebagai suatu kondisi psikologis individu semata tetapi juga mengandung proses pemberdayaan dalam pengaturan organisasi maupun masyarakat. Disiplin ini memandang pemberdayaan sebagai suatu proses yang diambil oleh individu-individu yang menginginkan pemberdayaan, tidak diberikan oleh fihak luar.

Agak berbeda dengan ketiga disiplin yang terdahulu, ilmu politik menggunakan istilah pemberdayaan yang gagasan dasarnya kebanyakan tidak jauh dari partisipasi dan demokrasi, yang telah muncul sebelumnya. Tujuan pemberdayaan cenderung memfokuskan pada mendapatkan kekuasaan daripada hanya sekedar perasaan telah memiliki kekuasaan. Pemberdayaan mengandung keterlibatan secara sosial dan politik pada bidang-bidang yang relevan. Pendekatan yang digunakan pada umumnya berasal dari bawah, dijalankan oleh kelompok masyarakat yang lemah untuk memperoleh distribusi kekuasaan yang merata baik dalam bidang ekonomi maupun politik.

Pada disiplin perilaku organisasi dan manajemen sumber daya manusia pemberdayaan dibingkai dalam setting organisasi perusahaan dengan penerima manfaat terutama karyawan, sedangkan pada disiplin psikologi kemasyarakatan dan ilmu politik settingnya adalah masyarakat atau bentuk kemasyarakatan yang lebih luas dengan penerima manfaat adalah bagian dari anggota masyarakat tersebut.

Hermawan (2005) menyatakan bahwa pemberdayaan telah menjadi konsep mayor dalam disiplin ilmu psikologi kemasyarakatan. Psikologi kemasyarakatan menempatkan perhatian utamanya pada peran individu dalam rangka penguasaan sumberdaya. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, Couto (1998) menyatakan bahwa psikologi kemasyarakatan menaruh perhatian yang lebih besar pada konsep pemberdayaan dibandingkan konsep lainnya misalnya konsep partisipasi dan representasi.

8

Dalam rangka menjelaskan konsep pemberdayaan para ilmuwan yang berada pada disiplin psikologi kemasyarakatan memilahnya berdasarkan tingkat analisisnya dan membedakan pemberdayaan sebagai proses pemberdayaan (empowering) dan sebagai hasil pemberdayaan (empowered). Pemberdayaan dapat dianalisis pada tingkat individu, organisasi, dan masyarakat.

Pemberdayaan tingkat individu diekspresikan dengan pemberdayaan secara kejiwaan (psychological empowerment). Bentuknya tergantung pada konteks populasi yang dikaji. Pada kebanyakan kasus, pemberdayaan dikonseptualisasikan dengan memilahnya lagi menjadi komponen intrapersonal, interactional, dan perilaku (Zimmerman et al. 1992). Komponen intrapersonal merujuk kepada bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri termasuk didalamnya motivasi, penguasaan diri dan kompetensi. Komponen interactional merujuk kepada pemahaman seseorang tentang masyarakatnya dan permasalahannya. Sedangkan komponen perilaku merujuk kepada tindakan yang diambil seseorang yang akan mempengaruhi hasil yang didapatkannya.

Sehubungan dengan proses dan hasil pemberdayaan tingkat individu, Zimmerman (2000) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan yang potensial adalah penerapan ketrampilan kognitif, pengelolaan sumber daya, dan bekerja bersama-sama. Hasil pemberdayaannya diperlihatkan melalui rasa pengendalian diri, kepedulian kritis terhadap lingkungannya, dan perilaku untuk memperlihatkan penguasaan. Sementara Speer dan Hughey (1995) berpandangan bahwa manifestasi social power pada pemberdayaan individu direpresentasikan melalui tindakan-tindakan individual yang berkontribusi dalam pengembangan social power organisasi (suatu proses) dan perubahan dalam diri individu yang dihasilkan dari bekerja di dalam organisasi untuk mengembangkan social power (suatu hasil). Sebagai contoh, proses pemberdayaan pada tingkat individu diekspresikan melalui keanggotaan dari suatu organisasi, hubungan antar anggota, dan praktek aksi-refleksi dialektika melalui siklus organisasi. Hasil pemberdayaan tingkat individu adalah produk dari perubahan kognitif, emosional, dan perilaku individu sebagai hasil dari hubungan sosial.

Gergis (1999) menyatakan bahwa dimensi motivasi pemberdayaan individu meliputi 1) keberdayaan akan dicapai hanya oleh individu yang ingin berdaya, 2) pemberdayaan sejatinya adalah penciptaan kondisi kondusif untuk peningkatan motivasi, dan 3) dalam pemberdayaan diperlukan pembekalan terhadap individu agar mempunyai kemampuan memadai.

Dalam pemberdayaan tingkat organisasi, organisasi berkiprah untuk melayani anggotanya dan masyarakatnya. Proses pemberdayaan organisasi merujuk peranannya dalam hubungannya dengan anggotanya, sedangkan hasil pemberdayaan merujuk kepada keefektifannya terhadap masyarakat. Proses pemberdayaan organisasi adalah menyediakan peluang-peluang bagi anggotanya untuk mendapatkan kendali atas kehidupannya. Organisasi hasil pemberdayaan seharusnya dapat mempengaruhi kebijakan (Zimmerman 2000).

Proses pemberdayaan organisasi membutuhkan kepemimpinan, manajemen sumber daya, koordinasi kegiatan, dan pengaturan lain yang sedemikian rupa dapat membuat anggotanya berdaya. Organisasi yang mengalami proses pemberdayaan seharusnya dapat memberikan peluang bagi anggotanya untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan, tanggung jawab kolektif, dan kepemimpinan kolektif. Menurut Maton dan Salem (1995), kepemimpinan yang baik merupakan ciri organisasi hasil pemberdayaan yang berhasil. Sementara itu Zimmerman (2000) menyebutkan ciri-ciri organisasi hasil pemberdayaan yang berhasil adalah berdaya saing, berjejaring dengan organisasi lainnya untuk berbagi informasi dan sumber daya, serta berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masyarakatnya.

Menurut Speer dan Hughey (1995) hasil pemberdayaan organisasi memunculkan tiga alat kekuasaan yaitu kemampuan memberikan penghargaan dan penalti terhadap anggota secara baik, kemampuan social power mengarahkan topik sehingga tidak merembet ke hal yang tidak diperlukan, kemampuan untuk mempengaruhi opini masyarakat terhadap suatu permasalahan.

Masyarakat hasil pemberdayaan adalah masyarakat yang memulai upaya untuk mengembangkan tingkat kenyamanan hidup pada masyarakat dan

10

memungkinkan adanya partisipasi warga. Proses pemberdayaan masyarakat diekspresikan melalui pembangunan multi sektor yang saling berkaitan yang merujuk pada adanya hubungan antara kelembagaan dan konstituennya, keterkaitan kelembagaan lintas sektor, dan perhatian kolektif terhadap issue pembangunan yang berkembang di masyarakat (Speer dan Hughey 1995). Berdasarkan tingkat analisisnya, proses dan hasil pemberdayaan memperlihatkan perbedaan, sebagaimana disajikan pada Tabel 1 (Perkins dan Zimmerman 1995; Zimmerman 2000).

Tabel 1. Perbandingan antara proses dan hasil pemberdayaan menurut tingkat analisis

Tingkat analisis Proses pemberdayaan Hasil pemberdayaan

Individu Pembelajaran ketrampilan mengambil keputusan Pengelolaan sumberdaya Bekerjasama dengan pihak lain Rasa pengendalian Kepedulian kritis Sikap berpartisipasi Organisasi

Peluang untuk berperan dalam pengambilan keputusan

Tanggungjawab bersama Kepemimpinan bersama

Efektivitas daya saing untuk memperoleh sumberdaya

Jejaring dengan organisasi lain Pengaruh terhadap kebijakan Masyarakat Akses terhadap sumberdaya Struktur pemerintahan yang transparan Toleransi terhadap perbedaan Koalisi organisasi Kepemimpinan pluralistik Ketrampilan

berpartisipasi dari warga Sumber: Zimmerman (2000)

Kroeker (1995) meneliti proses pemberdayaan di sebuah koperasi budidaya kopi di Nikaragua. Menurutnya, di dalam koperasi memungkinkan terjadinya pemberdayaan di berbagai tingkat, baik individu, organisasi, maupun sosial (masyarakat). Koperasi dapat memenuhi kebutuhan anggota dalam hal peningkatan personal control, feelings of value dan self-efficacy (pemberdayaan individu), koperasi menyediakan struktur dimana anggota dapat berpartisipasi

dalam pengambilan keputusan (pemberdayaan organisasi). Koperasi dapat meningkatkan, meskipun kadang hanya sedikit, power dan voice anggota koperasi dalam kehidupan masyarakat dimana koperasi tersebut berada (pemberdayaan masyarakat).

Fawcet et al. (1995) memberikan contoh praktis penerapan strategi pemberdayaan pada pengembangan kesehatan masyarakat melalui kemitraan. Ia berhasil mengidentifikasi empat kelompok strategi pemberdayaan masyarakat yaitu pengembangan pengalaman dan kompetensi, pengembangan kapasitas dan struktur kelompok, penghilangan kendala-kendala sosial dan lingkungan, serta peningkatan sumberdaya dan dukungan lingkungan. Keempat strategi tersebut dijabarkan menjadi 33 macam kegiatan.

Berdasarkan telaah terhadap beragam pandangan dari masing-masing disiplin tersebut maka makna pemberdayaan yang dimaksudkan dalam kaitan pemberdayaan petani pekebun agar dapat mengambil peran dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit menyerupai pengertian pemberdayaan menurut pemahaman psikologi kemasyarakatan. Dalam lingkup koperasi petani pekebun kelapa sawit diharapkan dapat dilaksanakan pemberdayaan dalam berbagai tingkat, menyerupai yang dilakukan Kroeker (1995) melalui strategi pemberdayaan yang teridentifikasi oleh para pakar.

Pembangunan dengan Strategi Pemberdayaan

Istilah pemberdayaan mulai muncul dekade 1970-an, kemudian digunakan secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia terutama setelah Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) waktu itu menyampaikan Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besarnya di Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 17 Mei 1995 (Hikmat 2004; Pranadji 2006).

Dalam arti yang lebih dalam pemberdayaan/pengembangan petani berarti menciptakan kondisi hingga petani (yang lemah) dapat menyumbangkan kemampuannya secara maksimal untuk mencapai tujuannya. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah membangun kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.

12

Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu. Dengan kata lain memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Wibowo 2002). Senada dengan hal tersebut, Djohani (1996) mengartikan pemberdayaan masyarakat sebagai pengembangan kemampuan masyarakat agar secara berdiri sendiri memiliki ketrampilan untuk mengatasi masalah-masalah mereka sendiri.

Merujuk pada berbagai konsepsi seperti dijelaskan di atas maka pemberdayaan merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berorientasi pada manusia, dengan mengedepankan azas partisipasi (participatory), musyawarah dan keadilan (equity), yang dalam prosesnya memberikan sesuatu kemudahan (akses) sehingga pada akhirnya dicapai kemajuan dan kemandirian.

Sayogyo (1999) mengemukakan bahwa untuk merangsang lahirnya gerakan masyarakat yang bermula pada komunitas lokal, ada sejumlah syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Tiga syarat terpenting diuraikan pada alinea berikut.

Pertama, restrukturisasi kelembagaan dasar komunitas. Tatanan dasar yang mengatur kehidupan komunitas perlu direorientasi (UU Politik dan Pemerintahan), dari pola yang feodalistik dan kolonial (pemerintahan yang kuat dan paternalistik) ke pola pemerintah yang lebih professional dan masyarakat yang dinamis. Tatanan baru perlu menjamin kebebasan masyarakat berekspresi dan mengembangkan inisiatif lokal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan azasinya. Masyarakat harus menjadi subjek dan penentu utama dari segala kegiatan pembangunan dalam arti yang sesungguhnya.

Kedua, meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kebudayaan masyarakat, dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada upaya peningkatan keberdayaan masyarakat desa untuk memperbaiki nasib sendiri.

Ketiga, pada aras program, pendekatan top-down harus segera diganti pendekatan bottom-up, yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan program. Istilah program pengembangan masyarakat seharusnya tidak lagi berkonotasi program masuk desa, melainkan program dari desa. Artinya, dalam segala kegiatan pembangunan desa masyarakat desa itulah yang menjadi subjek dan pelaku utama, mulai dari penjajagan masalah dan

kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi sampai pemanfaatan hasil-hasilnya. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menerima “kegagalan” maupun “keberhasilan” program secara bertanggung jawab.

Pembangunan yang memberdayakan hanya bisa tercapai melalui sikap intrinsik “memanusiakan manusia”, melalui penggalian dan penghargaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan melalui pengembangan prakarsa dan partisipasi masyarakat menolong diri sendiri untuk “berdiri di atas kaki sendiri”. Pemberdayaan merupakan proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam pengertian mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungan. Kerjasama untuk memperoleh kemanfaatan material dan immaterial bagi masyarakat pada suatu jangka waktu tertentu. Reproduktif, dalam pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan. Setiap generasi yang berdaya harus bisa mewarisi nilai kerarifan kepada generasi berikutnya, utamanya nilai-nilai pembebasan diri dari keterbelakangan dan kemiskinan.

Ketidakberdayaan umumnya mengacu pada ketidakmampuan untuk mengakses kebutuhan masyarakat menurut ukuran tertentu. Ketidakberdayaan hampir selalu berkonsekuensi pada aspek ekonomi, misalnya pendapatan. Peningkatan pendapatan sarat dengan ukuran-ukuran yang bersifat ekonomis, meskipun dalam prosesnya seringkali terkait dengan aspek-aspek non ekonomis.

Pemberdayaan masyarakat terutama di bidang ekonomi dan politik merupakan prasyarat agar pembangunan perekonomian rakyat dapat dilaksanakan secara baik. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi saja, tanpa diikuti dengan pemberdayaan dalam bidang politik, tidak akan memberikan hasil yang optimal. Sebaliknya, pemberdayaan dalam bidang politik tanpa diikuti dengan pemberdayaan dalam bidang ekonomi hanya akan menimbulkan chaos (Haeruman 2001).

Pembangunan dengan strategi pemberdayaan merupakan alternatif pendekatan pembangunan yang tidak hanya diarahkan untuk mencapai pertumbuhan semata (Kartasasmita 1996; Hikmat 2004). Strategi pemberdayaan sejalan dengan upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan (demokrasi ekonomi). Dalam pengertian kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua

14

warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat (Mubyarto 2002). Menurut Sumodiningrat (1999) pemberdayaan masyarakat mengandung pengertian memihak (targetting), mempersiapkan (enabling), dan melindungi (protecting). Dalam kaitan makna inilah sesungguhnya letak strategisnya pemberdayaan untuk mengatasi tantangan pembangunan nasional saat ini yaitu bagaimana “menghidupkan” ekonomi oleh pelaku ekonomi kecil-menengah berdampingan dengan pelaku ekonomi besar, yang dalam penelitian ini adalah petani dan investor.

Pendekatan Sistem

Manetsch dan Park (1977) mendefinisikan sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Visi kesisteman dalam arti luas adalah pola pikir ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya. Oleh karena pemikiran kesisteman selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka pikir yang dinamakan pendekatan sistem (Eriyatno 1999). Pendekatan sistem mulai diperkenalkan oleh Von Bertalanffy dengan gagasannya yang dinamakan General System Theory (GST) yang didasari oleh pemikiran perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.

Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 1999). Namun, mengingat keterbatasan tenaga, waktu dan biaya maka tidak setiap persoalan manajemen harus diselesaikan dengan pendekatan sistem. Pengkajian dan pemecahan permasalahan yang menggunakan pendekatan sistem sebaiknya dikhususkan hanya bagi permasalahan yang mempunyai karakteristik: (1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan

maupun rekomendasi. Dalam menerapkan pendekatan sistem harus dipegang teguh tiga pola pikir dasar yaitu: (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan. Bahwasanya pendekatan sistem dimulai dengan menetapkan sekumpulan tujuan yang ditampilkan melalui analisa kebutuhan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, yang berarti segmentasi atau cara pandang yang parsial dipandang mereduksi hasil kajian, (3) efektif (effectiveness), yaitu konsepsi yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno 1999).

Tahapan pendekatan sistem, sebagaimana dikemukakan oleh Manetsch dan Park (1977), mengandung tiga unsur utama sistem yaitu data dan pengetahuan dasar, keandalan model matematik, dan penerapannya. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin, terorganisir, penggunaan model matematika, kemampuan berpikir secara kualitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi serta dapat diterapkan dengan komputer. Pendekatan sistem menggunakan model, yaitu suatu abstraksi dari keadaan nyata atau penyederhanaan sistem nyata dalam rangka memudahkan pengkajian suatu sistem yang dipelajari atau diamati (Marimin 2002). Paparan tersebut lebih merujuk kepada apa yang sekarang dikenal sebagai hard system approach.

Saat ini, pendekatan sistem berkembang menjadi berbagai macam tipe, yaitu hard system approach, soft system approach, dan critical system approach (Midgley 2000; Goede 2005).

Soft system methodology yang berdasarkan pada soft system approach mula-mula dikembangkan di Departemen Sistem, Universitas Lancaster, Inggris untuk analisis dan desain sistem sosial (Checkland dan Scholes 1999). Gambar 1 memperlihatkan tujuh langkah dalam soft system methodology. Setelah situasi permasalahan telah difahami, evaluasi konseptual dari holon (model-model dari suatu sistem) dilakukan. Model konseptual ini kemudian dibandingkan dengan situasi dunia nyata untuk menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan untuk memperbaiki keadaan sesuai situasi permasalahan yang dihadapi.

16 Situasi tidak terstruktur yang ditengarai sebagai permasalahan Situasi permasalahan yang ditemukenali Pendefinisian sistem yang relevan Model konseptual Perbandingan model

dan dunia nyata

Perubahan: ƒdiinginkan secara sistematis ƒlayak secara kultural Tindakan untuk memperbaiki sistem Dunia nyata Pendekatan sistem Sumber: Checkland (1995)

Gambar 1. Tujuh langkah dalam soft system methodology.

Pengguna critical system approach berkeyakinan bahwa hal yang terjadi pada masyarakat di dunia ini tidak harmonis secara fundamental. Oleh karena itu, untuk memahami, menjelaskan dan membuat perubahan-perubahan yang mungkin, harus dipikirkan berbagai hal yang bersifat kontradiksi (Goede 2005). Pendekatan ini diterapkan terutama dengan intervensi yaitu aksi yang mempunyai tujuan yang dilakukan oleh agen untuk membuat perubahan (Midgley 2006).

Pemikiran sistem kritis memiliki beberapa komitmen yaitu kepedulian kritis (critical awareness), kepedulian sosial (social awareness), emansipasi (human emancipation), dan komplementerisme (complementerism). Kepedulian kritis berarti bahwa asumsi dan value dari disain masa kini dan masa datang seharusnya dikaji secara kritis. Kepedulian sosial berarti bahwa tekanan-tekanan yang bersifat organisasional dan kemasyarakatan yang mengarah pada teori-teori sistem dan

metode-metode intervensi yang digunakan pada keadaan tertentu seharusnya dikenali. Pemikiran sistem kritis diarahkan agar semua pihak dapat berkembang secara maksimal berdasarkan potensi masing-masing. Pemikiran sistem kritis menghargai teori maupun metode yang dikembangkan dalam pemikiran sistem lainnya yaitu hard system thinking dan soft system thinking. Berdasarkan penghargaan ini, Jackson (2001) menelaah perbedaan ketiga pemikiran sistem tersebut dalam hal ide sistem, peranan model, penggunaan teknik kuantitatif, proses intervensi dan pengujian solusi.

Salah satu metodologi yang dikembangkan untuk menerapkan pemikiran sistem kritis adalah total systems intervention (Jackson, 2000). Proses TSI terdiri dari tahap kreativitas (creativity), pemilihan (choice), dan implementasi (implementation).

Tahap kreativitas ditujukan untuk mengungkap dan menyoroti tujuan, hal yang menjadi perhatian dan permasalahan di dalam sebuah organisasi dengan menggunakan metafora (kiasan). Pihak yang berkepentingan didorong untuk menempatkan metafora terhadap berbagai aspek fungsi organisasi yang berbeda. Sebagai contoh, dengan membayangkan organisasi sebagai sebuah mesin, seekor binatang, sebuah tim dan lain sebaginya. Tahap pemilihan ditujukan untuk memilih metodologi-metodologi sistem yang relevan. Pilihan disesuaikan menurut konteks permasalahan dan pelaku yang terlibat. Tahap implementasi ditujukan untuk mewujudkan perubahan yang baik menurut metodologi yang terpilih. Hasil implementasinya merupakan intervensi yang relevan dan terkoordinasi.

Sistem Penunjang Keputusan

Pendekatan secara sistem dalam pengambilan keputusan sering dikenal dengan istilah Sistem Penunjang Keputusan (SPK). SPK dimaksudkan untuk memaparkan elemen-elemen sistem secara rinci sehingga dapat membantu manajer dalam proses pengambilan keputusannya. Turban dan Aronson (2001) mendifinisikan SPK sebagai sistem informasi berbasis komputer yang bersifat interaktif, fleksibel, dan mudah beradaptasi, yang dikembangkan terutama untuk mendukung solusi masalah manajemen yang tidak terstruktur guna

18

menyempurnakan pengambilan keputusan. SPK memanfaatkan data, menyediakan user interface yang mudah, dan memungkinkan the decision maker’s own insights. Menurut Marakas (2003), terdapat bermacam-macam definisi SPK, namun semuanya memiliki 3 tema yaitu: (1) diterapkan pada masalah tidak terstruktur, (2) menunjang tetapi tidak menggantikan proses pengambilan keputusan, dan (3) dibawah kendali pengguna.

Dalam konteks organisasi, pengambilan keputusan merupakan bagian dari proses manajemen yang paling kritis. Setiap keputusan yang diambil selalu memberikan implikasi bagi organisasi, baik implikasi yang telah diperkirakan sebelumnya maupun tidak (Suryadi dan Ramdani 1998). Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih cepat. Hal tersebut dimungkinkan berkat adanya perkembangan teknologi perangkat keras, yang diiringi oleh perkembangan perangkat lunak, serta kemampuan perakitan dan penggabungan beberapa teknik pengambilan keputusan ke dalamnya.

Perkembangan teknologi informasi telah berevolusi dari Pengolahan Data Elektronik (PDE) ke Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan berlanjut pada Sistem Penunjang Keputusan (SPK) bahkan ke e-commerce. PDE mempunyai fokus perhatian pada data; penyimpanan, pemrosesan, serta alirannya dalam operasi, serta upaya peningkatan efisiensi pemrosesan, optimasi penjadwalan dan penggunaan prosesor, pengintegrasian file, serta laporan pemrosesan. SIM berfokus pada penyajian informasi terutama untuk manajemen tingkat menengah, struktur, dan aliran informasi, serta pengintegrasian PDE dari berbagai fungsi perusahaan, maupun peningkatan efektivitas penggunaan basis data. Sedangkan, SPK berfokus pada pengambilan keputusan; untuk membantu manajemen puncak dan eksekutif pengambil keputusan, dan bertumpu pada fleksibilitas, adaptabilitas, dan jawaban yang cepat yang dapat dikendalikan oleh pengguna, bahkan menjanjikan untuk dapat memenuhi “gaya” penggunanya. Rancangan SPK yang baik memungkinkan terjadinya komunikasi dan koordinasi antara berbagai bidang maupun tingkat manajemen.

Tujuan SPK adalah membantu manajer dalam proses pengambilan keputusan (Eriyatno 1999) atau dapat dikatakan bahwa SPK merupakan suatu

sarana. Oleh karena itu, aspek individu pengambil keputusan dan konteks masalah yang dihadapi akan turut mewarnai keputusan yang akan diambil (Suryadi dan Ramdani 1998).

Komponen SPK terdiri atas: 1) manajemen basis data, mencakup data yang relevan untuk situasi yang dihadapi dan dikelola oleh data base manajemen systems (DBMS). Pada komponen ini data dapat ditambah, dihapus, diganti atau disunting agar tetap relevan jika hendak dubutuhkan; 2) manajemen basis model, merupakan paket software yang terdiri dari finansial, statistik, manajemen sain, atau model-model kuantitatif lain yang menyediakan kapabilitas analitis sistem,

Dokumen terkait