• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Agama Kaharingan

Dalam dokumen Buku Dan kearifan Dan lokal (Halaman 122-125)

DAN SEKARANG Oleh: Damardjati Kun Marjanto

1. Sejarah Agama Kaharingan

Kapan Agama Kaharingan pertama kali muncul, tidak ada umat ataupun tokoh Kaharingan yang dapat memastikannya. Menurut mereka, agama ini sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, sejak nenek moyang suku Dayak Ngaju ada dan hidup di bumi Kalimantan. Agama Kaharingan ini ada menjadi penuntun bagi kehidupan masyarakat Dayak Ngaju, baik dalam hubungannya dengan Raying Hatalla (Tuhan), dengan sesama, dan juga dengan lingkungan hidup dimana mereka bertempat tinggal.

7

Tulisan dalam sub judul yang mengulas tentang Sejarah dan Pokok-Pokok Ajaran Agama Kaharingan ini merupakan ringkasan dari tulisan Lewis KDR, salah satu tokoh Agama Kaharingan, yang berjudul “Agama Kaharingan dan Segala Aspeknya” yang ditulis pada bulan November 1977. Lewis KDR pada waktu itu adalah Ketua Umum Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia, sebuah lembaga tertinggi Agama Kaharingan yang merupakan cikal bakal dari Lembaga Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat yang sekarang merupakan lembaga tertinggi umat Kaharingan yang berkedudukan di Palangkaraya. Data ini diperkaya dengan informasi dari Bapak Dewin Marang, Ketua Majelis Agama Hindu Kaharingan Kabupaten Kotawaringin Timur.

Walaupun tidak diketahui kapan pertama kali agama Kaharingan ini muncul, namun agama ini selalu hadir dalam setiap tahapan sejarah Republik Indonesia. Pada saat penjajah Belanda belum menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan, agama Kaharingan sudah dipeluk oleh masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan. Mereka hidup dalam tuntunan agama Kaharingan, sesuai namanya yang berasal dari kata Haring yang berarti hidup, agama Kaharingan mengatur jalannya kehidupan dan kekal abadi. Melalui agama Kaharingan ini, masyarakat Dayak Ngaju dapat memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani mereka serta melaksanakan upacara-upacara yang terkandung dalam ajaran Kaharingan, misalnya upacara mendirikan kampong, upacara menggarap tanah, mendirikan tempat tinggal, waktu anak dalam kandungan, waktu melahirkan, memberi nama (Nahunan), upacara perkawinan, upacara kematian, memohon anugerah dan lain sebagainya. Semua upacara ini dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman dahulu hingga sekarang ini.

Pada zaman penjajahan, baik penjajahan Belanda ataupun Jepang, perlakuan terhadap agama Kaharingan tidak begitu menggembirakan bahkan cenderung menyakitkan. Penjajah Belanda menyebut agama Kaharingan sebagai kafir, Heiden, Freedenker, dan sebagainya, yang semuanya itu menyakitkan hati pemeluk agama Kaharingan. Pandangan yang lebih baik datang dari para orientalis barat yang mengakui bahwa agama Kaharingan menyembah Tuhan (Ranying Hatalla), sehingga kata God diterjemahkan dengan Hatalla; berarti God didalam kitab suci mereka sama dengan Hatalla dalam kepercayaan Kaharingan. Pada zaman penjajahan, tidak ada pembinaan dari pemerintah jajahan terhadap agama Kaharingan, dan para tokoh Kaharingan juga tidak berniat untuk memasukkan agama Kaharingan dalam administrasi penjajah. Dalam pelaksanaan di lapangan, agama Kaharingan tetap eksis di masayarakat, terbukti masih banyak upacara-upacara yang dilakukan oleh penganut Kaharingan pada zaman penjajahan tersebut.

Pada zaman kemerdekaan sampai sekarang, nasib umat Kaharingan belum begitu mujur. Pada awal-awal kemerdekaan, ada semangat yang membara dari para tokoh agama Kaharingan untuk menanti turun tangannya pihak pemerintah dalam pembinaan terhadap agama Kaharingan. Walaupun belum diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah pusat, namun semangat para tokoh agama

Kaharingan untuk memulai proses kelembagaan sebagai wadah untuk memperjuangkan eksistensi agama Kaharingan sudah mulai dilaksanakan. Pada tahun 1950 di Tangkehan, dipelopori oleh tokoh- tokoh agama Kaharingan seperti Sekari Andung, Demang, Sikur Petus, diadakan Kongres I yang menghimpun seluruh tokoh Kaharingan Kalimantan karena waktu itu Kalimantan hanya ada satu provinsi. Hasil kongres melahirkan Organisasi Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI). Salah satu maksud pendirian organisasi tersebut untuk memperlancar perjuangan umat Kaharingan supaya dapat diakui dan dimasukkan dalam administrasi pemerintahan. Perjuangan pada saat itu belum dapat membuahkan hasil, namun kegiatan umat Kaharingan tetap dapat berjalan terus terutama upacara-upacara keagamaan. Organisasi SKDI memulai kiprahnya dengan terjun dalam politik praktis, dengan duduknya satu anggota SKDI di DPRD Kabupaten Kapuas pada tahun 1950. Pada tahun 1957, SKDI berhasil mendudukan wakilnya di DPRD GR Provinsi Kalimantan Tengah.

Pada tahun 1967, ketika pemerintahan Orde Baru sedang berkuasa, SKDI menggabungkan diri dengan Sekber Golkar. Dengan bergabungnya SKDI ke Sekber Golkar, maka pada Pemilu 1971, SKDI menempatkan wakilnya di DPRD Provinsi Kalteng sebanyak 3 orang, di DPRD Kotamadya Palangkaraya menempatkan wakilnya 2 orang, dan di DPRD Kabupaten Barito Selatan dan Barito Utara masing- masing 1 orang. Pada Pemilu tahun 1977, umat Kaharingan diwakili oleh 2 orang tokohnya duduk dalam keanggotaan DPRD Provinsi Kalteng, yaitu Lewis KDR,BBA dan Simal Penyang, kebetulan masing- masing menjabat Ketua Umum MBAUKI dan Ketua I MBAUKI8. Usaha para pengurus Agama Kaharingan untuk diakui keberadaannya oleh pemerintah pusat belum membuahkan hasil, namun di pemerintah daerah Provinsi Kalimantan keberadaan Agama Kaharingan sudah mulai diakui. Hal itu dapat terlihat dari beberapa kegiatan yang melibatkan para pemuka Kaharingan, misalnya:

• Pada hari-hari besar dan bersejarah, penutupan sidang DPRD Tk I dan Tk II, peringatan HUT Golkar dan sebagainya, ulama Kaharingan diikutsertakan dalam pembacaan doa.

8

Pada tahun 1972 diadakan Musyawarah Besar Alim Ulama Kaharingan, yang melahirkan sebuah lembaga Agama Kaharingan dengan nama Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI) yang berpusat di Palangkaraya.

• Keputusan Gubernur Kalteng (Ir. R. Sylvanus) tentang Proyek Bantuan Kepada Lembaga Agama Kaharingan, dan dibangunnya Balai Induk Kaharingan seluas 17 x 14 M di atas tanah pemberian Pemerintah daerah dengan luas 175 x 150 M. Anggaran untuk pembangunan ini dibebankan pada APBD yang ditetapkan oleh Gubernur KDH Tk.I Kalteng.

Semenjak Musyawarah Besar Alim Ulama Kaharingan yang menghasilkan Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan (MBAUKI), maka perkembangan agama Kaharingan menjadi semakin maju. Organisasi ini mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat Kaharingan dan mulai membentuk kepengurusan di tingkat Resort (Cabang) sampai ke Ranting (Kelompok). Aktivitas-aktivitas di Balai-balai Kaharingan setiap hari Kamis malam dilakukan oleh jemaat-jemaat dengan taat. Dalam ibadah tersebut dilaksanakan persekutuan iman dan dilaksanakan bimbingan dan penerangan agama. Di setiap rumah tangga diadakan kebaktian kelompok secara bergiliran dari rumah ke rumah, yang dipimpin oleh pemuka agama Kaharingan. Jika dahulu segala ajaran dan pelaksanaan ritual agama dihafalkan secara lisan tanpa adanya buku, maka sekarang segala sesuatunya sudah dibuatkan dalam bentuk buku, antara lain Buku Panaturan (Kitab Suci Agama Kaharingan), Buku Tawur (Doa dengan Menabur Beras), Buku Manyaki (Penyucian dan Pemberkatan), Balian (Memohon Kepada Tuhan sesuai dengan Tujuan Upacara), Buku Petunjuk Mangubur, Buku Pengukuhan Penyumpahan, Buku Kandayu (Nyanyian Rohani), Buku Pemberkatan Perkawinan, dan lain-lain. Upacara-upacara keagamaan seperti Upacara Memalas, Manyanggar, Perkawinan, Hahunan, Tantulak, Tiwah, Balian, Tulak Bala, Bahajat, dan lain-lain terus dilaksanakan sampai sekarang.

Dalam dokumen Buku Dan kearifan Dan lokal (Halaman 122-125)