• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Gereja Katolik di Sumatera Utara

Dalam dokumen CHRISMES ELISABET MANIK NIM: 070707009 (Halaman 34-39)

SEJARAH GEREJA KATOLIK INDONESIA DAN TATA PERIBADATAN 2.1 Sejarah Gereja Katolik di Indonesia

2.1.2 Sejarah Gereja Katolik di Sumatera Utara

Kota Tarutung yang terletak diantara pantai selatan Danau Toba dan Lautan Hindia merupakan kota yang cukup penting dalam peranan agama Kristen di Sumatera Utara. Kota Tarutung ini menjadi terkenal sebagai pusat Huria

Kristen Batak Protestan (HKBP) yakni di Rura Silindung, Pearaja. Datangnya agama ini dibawa oleh seorang Pendeta Nommensen pada tahun 1863 khususnya ke daerah Batak. Tujuh puluh satu tahun kemudian pada akhir tahun 1934, Gereja Katolik memperoleh izin memasuki Tapanuli. Kelompok Ordo Kapusin mulai bergerak dari kota Balige. Kelompok biarawan ini masih muda-muda dan berhasil menanam gereja Katolik sampai pelosok-pelosok Tapanuli. Namun pada tahun 1942 tentara Jepang merebut Hindia Belanda dan memenjarakan semua misionaris-misionaris sehingga karya misipun terhenti.

Setelah penjajahan Jepang dan Pergelokan kemerdekaan berakhir, para misionaris dibebaskan dan memulai kembali karya misi Katolik yang sempat terhenti. Gereja Katolik; di Sumatera Utara R.K. menjadi sebutan untuk menyatakan Roma Katolik; menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Tapanuli. Pada awal misi Katolik, para misionaris dari Balige dalam garis besar bergerak ke tiga arah: 1. Ke Pulau Samosir yang sebagian besar belum dikristenkan, 2. Ke Kampung Lintongnihuta dan Parlilitan, dan 3. Ke selatan menuju pegunungan di sekitar Rura Silindung.

Untuk menghindari konflik dengan Gereja Protestan, Roma Katolik dengan sengaja tidak mau langsung ke kota Tarutung. Akan tetapi, tidak lama kemudian muncul undang-undang untuk memasuki daerah pusat Protestan itu, maka para misionarispun menjalankan tugasnya. Pada tahun 1854, Pastor Kaspar de Hessele seorang imam diosesan, keturunan Belanda datang ke Hindia Belanda. Ia mulai melayani umat katolik yang tersebar di seluruh Jawa Timur, kepulauan Maluku, sampai daerah Minahasa. Kemudian atas restu Pemimpin Gereja Batavia

ia bertolak ke tanah Batak lewat kota Padang yang belum dikuasai oleh Belanda. Namun sayang, selama dalam perjalanan ia menderita sakit, dan meninggal dalam perjalanan. Sembilan tahun kemudian muncullah Pendeta Nommensen, dan tujuh puluh satu tahun setelah kedatangan Pendeta Nommensen, misionaris-misionaris Katolik baru diperbolehkan memasuki Tapanuli.

Pada tahun 1934, Pater Sybrand Van Rossum atau Pastor Parosum yang berusia 31 tahun datang ke Balige. Di kota ini ia tidak diterima dengan hangat, banyak situasi perlawanan yang ia hadapi yakni: Pemerintah Kolonial dan pegawai-pegawainya, Zending Protestan dan Pendeta-pendetanya, sebagian besar rakyat yang mendiami Toba, Humbang, dan Rura Silindung. Namun ia merupakan seorang yang optimis, ramah, humoris, cepat tanggap dan bereaksi cepat, sehingga ia mampu menghadapi masalah yang ada. Beberapa bulan kemudian ia diterima dan banyak yang mulai datang padanya. Pastor ini banyak bergaul dengan masyarakat Batak sehingga ia mampu berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Batak, dan ia semakin diterima di Balige. Kemudian ia pergi ke kota Tarutung, bergaul dengan masyarakat disana sambil menyatakan karya misi Katolik.

Situasi dan kondisi mulai membaik, situsi di Balige mulai menyenangkan, rumah untuk penampungan Pastorpun sudah dibangun. Pastor Diego van den Biggelaar pun ikut bergabung dengan Pastor Panrossum. Mereka berdua memasuki Balige, Tarutung seluruh wilayah pelosok yakni, Samosir, Huta

Simbolon, Hutaraja, sehingga ia mendapat julukan Ompu Bornok Simbolon34. Lama bergaul dengan orang Batak membuat Pastor Panrossum mengerti dan fasih dengan bahasa Batak, ia menggunakan peribahasa dalam bahasa Batak disetiap khotbahnya sehingga dapat dimengerti oleh umatnya. Selain itu ia sangat menghargai dan mengerti akan tradisi, kebiasaan serta adat-istiadatnya Batak, sehingga Pastor ini sangat mengena di hati semua masyarakat baik yang Katolik maupun Protestan.

Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1942-1945, dimana terjadi Perang Dunia II, wilayah kekuasaan Belanda di Asia Tenggara tampak mulai melemah. Asia mulai bangkit, Jepang maju dengan cepat, dan gerakan-gerakan Nasionalis mulai mengancam. Akan tetapi, pada 8 Desember 1941, dunia digoncangkan dengan pengboman yang dilakukan Jepang yang menghancurkan kapal-kapal Amerika Serikat di Pearl Harbour, makin meluas ke wilayah Pasifik. Tiga minggu kemudian, tepat 28 Desember Lapangan terbang Polonia dibom; lebih dari 30 orang tewas. Pada bulan Januari 1942, Menado, Tarakan, dan Balikpapan direbut oleh Jepang dimana mereka sangat memerlukan sumber-sumber minyak untuk berperang.

Dalam situasi demikian di pastoran Balige, para pastor, bruder, suster35 duduk bersama guna membicarakan hari depan gereja. Mereka sadar bahwa sebentar lagi mereka akan ditangkap, namun siapakah yang akan melanjutkan karya mereka? Setelah delapan tahun berkarya, telah membaptis 18.000 orang

34

Ompu Bornok berarti: Opa Basah. Ompu yang diucapkan Opung, merupakan sapaan akrab bagi yang dituakan. Karena Pastor itu begitu giat bergerak sehingga basah keringatan maka ia dijuluki Ompu Bornok.

35

Sejak tahun 1939, suster-suster FCJM atau Kongregasi Suster Fransiskan Putri Hati Kudus Yesus dan Maria telah membuka biara dan balai pengobatan di kota Balige dekat Gereja.

menjadi Katolik didaerah Batak. Seluruh kaum Eropa yang berada di tanah Batak ditangkap dan ditahan. Mereka diasingkan di kampung Belawan, namun anak- anak dan perempuan diasingkan di tempat lain. Akhir tahun 1942, kekuatan Jerman di Eropa mengalami pukulan dahsyat yang pertama dalam pertempuran Stalingard, sedangkan di Asia pada waktu yang sama angkatan laut Jepang berhasil diberhentikan di Guadal-canal. Akhir tahun 1943, ribuan buruh dan petani dari pelbagai tempat di Indonesia, termasuk juga dari Tapanuli, dikumpulkan sebagai romusha. Keadaan tentara Jepang makin terdesak, keadaan semakin memuncak. Tanggal 6 Agustus 1945, kota Hiroshima telah dibom dan hancur, menyusul tiga hari kemudian kota Nagasaki. Tidak ada yang mendengar kabar kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, apalagi tentang Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dan pada tanggal 24 Agustus, barulah diketahui bahwa kemerdekaan sudah didapat, para tahanan dibebaskan dan bisa kembali pada keluarga dan anak-anak mereka.

Setelah penyerahan kedaulatan, para pastor mulai menjelajahi Sibolga dan Pulau Nias; mengenai daerah Toba para pejabat Republik Indonesia memberi nasehat untuk menunggu waktu sampai situasi di daerah Batak mulai aman dan terkendali. Kemudian tanggal 22 Maret 1950, keadaan sudah mulai membaik di daerah Tarutung dan para misionaris pun mulai kembali mengunjungi seluruh daerah Tapanuli. Sampai tahun 1965 umat semakin berkembang dan bertambah. Perkembangan terus terjadi sampai tahun 1981. Sekarang ini, jumlah pastor- pastor sudah memadai, dan perayaan misa kudus/ekaristi di setiap gereja pada

hari Minggu dapat dilaksanakan, meski di beberapa stasi-stasi kecil belum dapat setiap Minggu merayakan misa.

Dalam dokumen CHRISMES ELISABET MANIK NIM: 070707009 (Halaman 34-39)

Dokumen terkait