SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
CHRISMES ELISABET MANIK NIM: 070707009
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
CHRISMES ELISABET MANIK NIM: 070707009
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Rithaony Hutajulu, M.A Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. NIP. 1963 1116 1990 032001 NIP. 1956 082 8198 601 2001
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang Ilmu Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Katolik merupakan salah satu agama Kristen yang ada, berkembang, dan
diakui keberadaannya di Negara Indonesia. Masuk dan berkembangnya agama ini
ke Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku pada
abad XV-XVI. Kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku adalah untuk
mencari pusat rempah-rempah sehingga Portugis mampu melakukan monopoli
perdagangan. Dalam pelayaran itu para rohaniawan juga turut serta untuk
pemeliharaan rohani para pelaut, pedagang, dan serdadu-serdadu selama
perjalanan. Salah satu rohaniawannya yaitu Santo Fransiskus Xaverius, ia
mendatangi pulau Ambon, Halmahera, Molotai dan Ternate pada tahun
1546-1547. Disana ia memulai karya misi, menyebarkan injil dan membaptis beberapa
ribu penduduk menjadi Katolik sehingga menjadi “Tonggak sejarah Katolik” di
Indonesia (Boelaars, 2005:61).
Diawal perkembangannya di Nusantara, agama Katolik dalam beberapa
era1 banyak mengalami kendala karena situasi politik yang tengah ricuh baik dari
dalam maupun luar Indonesia. Berbagai tekanan, hukuman mati, dan pengusiran
terhadap imam2 Katolik kerap terjadi bila ketahuan mengajarkan agama dan
1
Era VOC (1619-1799), Era Hindia Belanda( 1808-1811), Masa pastor Van Lith (1896-1911), Era Perjuangan Kemerdekaan, dan Era Kemerdekaan.
http://sejarahindonesiasma.wordpress.com/2012/10/ 2
mengadakan misa kudus3. Menjelang era kemerdekaan, agama Katolik di
Indonesia mengarah pada perubahan yang positif, karena kebebasan beragama
mulai diakui oleh pemerintah. Pada 29 Juni 1967 diangkatlah kardinal4 I
Indonesia, kemudian uskup5 Indonesia juga ikut berpartisipasi dalam Konsili
Vatikan II (1962-1965). Tahun 1970 Paus6 Paulus VI berkunjung ke Indonesia,
beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1989 Paus Yohanes Paulus II
kembali mengunjungi Indonesia; diantaranya kota Jakarta, Medan (Sumatra
Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Maumere
(Flores) dan Dili (Timor Timur) (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah Gereja
Katolik di Indonesia).
Sejak berkembangnya agama Katolik di Maluku, agama ini mulai
menyebar kedaerah-daerah lain di Nusantara, termasuk ke tanah Batak. Sekitar
tahun 1934, tujuh puluh satu tahun setelah Nommensen datang menabur injil di
Pearaja Tarutung, agama Katolik masuk ke daerah Tapanuli dibawa oleh
pastor-pastor muda dan mereka menanam benih-benih Katolik dengan waktu relatif
singkat. Karya misi itu terus dilakukan sampai tahun 1942 sewaktu tentara Jepang
merebut Hindia Belanda dan memenjarakan semua misionaris7. Sesudah
3
Misa Kudus Perayaan Ekaristi yang dengannya umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus berupa roti dan anggur serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. 4
Kardinal merupakan pejabat senior dalam Gereja Roma Katolik sebagai penasehat Paus, berada dibawah Paus dan dipilih langsung oleh Paus. Tugas utamanya ialah memilih paus baru bila terjadi kekosongan kekuasaan; karena meninggal, sakit, atau pengunduran paus yg cukup lama
5
Uskup merupakan pimpinan agama Katolik yang bertugas mengatur umat yang dipimpinnya dan gereja dalam suatu wilayah keuskupan (sebuah wilayah administratif). Uskup merupkan bagian hierarki dalam Gereja Roma Katolik, setelah Sri Paus, Kardinal, kemudian Uskup.
6
Kepala agama Katolik, yang memiliki otoritas tertinggi Gereja, yang bertahta di Vatikan (Roma) 7
penjajahan Jepang dan pergolakan kemerdekaan, para misionaris masih sempat
melanjutkan karya misi sehingga agama Katolik menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat Tapanuli.
Pada awal misinya, para misionaris bergerak dari Balige dalam garis besar
bergerak ke tiga arah: 1. Ke Pulau Samosir yang sebagian besar belum
dikristenkan, 2. Ke Kampung Lintongnihuta di arah barat dan selanjutnya menuju
daerah Pakkat dan Parlilitan, 3. Ke Selatan menuju pegunungan di sekitar Rura
Silindung. Untuk menghindari konflik dengan gereja Protestan para misionaris
sengaja tidak mau langsung ke Tarutung sebagai pusat Protestan. Namun
belakangan muncul undang-undang gereja untuk memasuki daerah tersebut, dan
para misionarispun menjalankan tugasnya (Kurris, 2006:11).
Dengan berkembangnya agama Katolik di tanah Batak dan di berbagai
daerah-daerah Nusantara, jumlah orang Katolik pun semakin bertambah. Maka
mulailah didirikan: gereja-gereja, seminari menegah8, sekolah pendidikan guru
(kweekschool), sekolah-sekolah Katolik, rumah sakit, biara dan lainnya. Semakin
berkembangnya gereja Katolik di berbagai daerah, pola tata peribadatan pun mulai
menjadi formal. Tata peribadatan Katolik di semua daerah umumnya sama karena
mengikuti tata peribadatan pusat dari Vatikan Roma yang terdiri dari:
1) Misa. Misa merupakan suatu ibadat dimana dalam ibadat ini Tubuh dan
Darah Kristus yang dilambangkan dalam rupa roti dan anggur menjadi
suatu persembahan yang sangat sakral. Perayaan misa hanya dapat
misionaris yang berkebangsaan Belanda ditanah air pada masa penjajahan Jepang banyak yang ditahan dan diasingkan ketempat terpencil (Kurris, 2006:123).
8
dibawakan oleh imam seperti paus, uskup, maupun pastor. Berbeda
dengan Ibadat Sabda. Ibadat Sabda merupakan suatu perayaan ibadat
yang lebih sederhana dari ibadat misa. Hanya dalam ibadat ini, Tubuh dan
Darah Kristus yang dilambangkan dalam rupa roti dan anggur tidak dapat
dipersembahkan karena tidak dipimpin oleh imam. Ibadat Sabda ini
biasanya dibawakan oleh frater9 maupun kaum awam yang disebut
prodiakon10. (Hotma, 2009:2).
2) Office, adalah ibadat Harian yang diselenggarakan hanya di biara-biara
dan katedral-katedral setiap harinya. Ada delapan office yang
diselenggarakan setiap hari, yakni: matins (sebelum matahari terbit), lauds
(terbit matahari), prime (jam 06.00 pagi), terce (jam 09.00), sext (jam
12.00), nones (jam 15.00), vesparae (matahari terbenam), dan compline
(sebelum tidur) (Rhoderick, 1998: 17).
Perayaan misa umumnya dilakukan pada hari Minggu maupun pada
hari-hari lain yang merupakan perayaan besar dalam gereja. Berhimpun pada hari-hari
Minggu untuk merayakan perayaan ekaristi/misa kudus merupakan sebuah
kebiasaan orang Kristen yang mengikuti tradisi para rasul yang berpangkal pada
hari kebangkitan Kristus sendiri. Tradisi ini menjadi suatu kebiasaan bagi umat
Katolik sampai sekarang.
9Frater
adalah seseorang yang masih sekolah di sekolah Pastoral dan dididik untuk menjadi seorang Pastor
10
Tata peribadatan misa (Cunha, 2012: 19) terbagi dalam empat bagian
utama yakni,Ritus11 Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, danRitus Penutup.
Dimana setiap bagian terdiri atas berbagai unsur-unsur, yaitu:
1) Ritus Pembuka, diawali dengan perarakan masuk para petugas liturgi,
prodiakon12, misdinar13, serta imam, diiringi dengan nyanyian pembukaan,
penandaan tanda salib, salam, kata pengantar, tobat, nyanyian Tuhan
Kasihanilah Kami (Kyrie, ordinarium), madah Kemuliaan (Gloria,
ordinarium), dan doa pembuka (colecta).
2) Liturgi Sabda terdiri dari tiga bacaan yang diambil dari Kitab Suci,
mazmur tanggapan14, alleluia15 atau bait pengantar injil, homili16, credo/
syahadat, dan doa umat.
3) Liturgi Ekaristi terdiri dari persiapan persembahan, Doa Syukur Agung,
dan upacara komuni.
4) Ritus Penutup terdiri dari pengumuman, pemberkatan, pengutusan dan
diakhiri dengan perarakan keluar.
11
Ritus merupakan tata cara dalam upacara keagamaan. Umumnya Gereja Roma Katolik mempertahankan ritus dari Tradisi Suci dan Kitab Suci
12
Prodiakon adalah orang awam yang ditugaskan oleh Uskup untuk membantu menerimakan Tubuh Tuhan (komuni) yang berupa roti dalam Perayaan Ekaristi
13
Putra-putri altar atau misdinar (yang berarti 'asisten misa' dari Bahasa Belanda misdienaar) adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi. Tugas misdinar antara lain membantu Imam, mengantar persembahan, dan menjadi panutan umat.
14
Mazmur tanggapan merupakan tanggapan umat atas sabda Allah. Tanggapan ini berupa kata-kata yang diambil dari kitab Mazmur, yang telah dipilih oleh para ahli liturgi secara seksama. Mazmur umumnya dinyanyikan dengan dua cara yakni, cara responsorial dengan ayat ulangan, artinya pemazmur secara solois menyanyikan ayat ulangan yang dinyanyikan kembali oleh umat dan setiap syair yang dinyanyikan oleh pemazmur direspon umat dengan nyanyian ayat ulangan tersebut. Atau jika tidak dinyanyikan maka mazmur tanggapan dibawakan dengan cara dibaca (lihat Puji Syukur no.801).
15
Alleluia/Bait Pengantar Injil dinyanyikan oleh solis atau kor dan diikuti oleh umat. Nyanyian ini berupa ayat ulangan. Lih buku lagu Puji Syukur No951 dst.
16
Setiap misa yangdirayakan harus berdasarkan tahun liturgi gereja, dimana
setiap tahunnya liturgi gereja selalu berbeda-beda. Dalam perayaan misa terdapat
bagian-bagian liturgi yang selalu berubah disebut proprium dan terdapat bagian
yang tetap disebut ordinarium. Bagian proprium yang berubah sesuai dengan
tahun liturgi, disusun dalam cantus planus Gregorian17 yaitu introitus (nyanyian
pembukaan), gradual (nyanyian sesudah bacaan kitab suci), alleluia (nyanyian
sebelum bacaan injil) atau tractus18, offerterium (lagu persembahan), dan
communium (lagu perjamuan). Bagian-bagian yang tidak berubah disebut
ordinarium (nyanyian tetap) yaitu: Kyrie eleison (Tuhan Kasihanilah kami),
Gloria in excelcis deo (Kemuliaan bagi Allah di surga), Credo (Aku percaya),
Sanctus (Kudus), dan Agnus dei (Anak Domba Allah) (Karl-Edmund 1999: 94).
Sejak beberapa abad lamanya baik proprium maupun ordinarium nyanyian
ini disusun dalam bentuk Gregorian chant yang menjadi bentuk musik sakral/suci
yang selalu digunakan dalam gereja Roma Katolik. Bentuk musik Gregorian
chant terdiri dari delapan modus gerejawi, dimana setiap lagu disusun dari salah
satu modus gerejawi tertentu. Modus 1, 3, 5, dan 7 merupakan modus-modus asli
yang sering disebut Doria, Frigia, Lidia, dan Miksolidia. Modus 2, 4, 6, dan 8
adalah versi plagal dari modus-modus asli. Hubungan antara teks dengan musik
dalam Gregorian chant, memperlihatkan melisma-melisma panjang yang
menggunakan 10-20 nada dalam satu suku kata (Rhoderik, 2002:18). Namun
bentuk Gregorian chant ini cukup sulit dinyanyikan, hanya dinyanyikan oleh
17Cantus Planus Gregorian
adalah suatu tradisi musik gerejawi yang sangat tinggi sifatnya, mula-mula muncul pada abad pertengahan dimana pada masa itu musik gregorian adalah musik yang tinggi dalam gereja (Rhoderick J. McNeill, dalam “Sejarah musik 1”. 1994. Hlm 17)
18
kelompok penyanyi khusus (schola cantorum)19 dan bukan oleh umat. Sementara
dalam liturgi, partisipasi umat terhadap perayaan misa merupakan bagian pokok
yang tak boleh diabaikan. Sehingga pada saat itu umat hanya terlibat secara pasif
dalam perayaan misa.
Semenjak para uskup bersinode20 dan membentuk rapat pada tahun
1962-1965, yang melahirkan dokumen-dokumen yang dikenal dengan Konsili Vatikan
II21, terjadi pembaruan yang segar pada gereja. Salah satu hasilnya ialah gereja
mulai terbuka terhadap tradisi-tradisi dan budaya-budaya lokal. Hal ini disadari
karena gereja berdiri di berbagai daerah, suku, dan bangsa sehingga perlu adanya
keterbukaan terhadap nilai kekayaan budaya dan tradisi dari daerah, suku dan
bangsa tersebut. Sejauh unsur-unsur dari kebudayaan itu tidak bertolak belakang
dengan ajaran pokok agama Katolik. Adanya hubungan antara agama dan
kebudayaan dirasakan gereja sebagai cerminan dan proses terbentuknya interaksi
budaya manusia sehingga terciptalah keselarasan, dan ini dipandang menjadi awal
dari tahap proses inkulturasi. Tujuan dari inkulturasi itu sendiri ialah untuk
membawa umat agar dapat mengungkapkan perayaan liturgi gereja dalam tata
cara dan suasana yang selaras dengan budaya umat yang beribadat sehingga umat
dapat terlibat dan aktif di dalamnya.
19Schola Cantorum
merupakan suatu kelompok penyanyi dan guru musik yang resmi, yang didirikan pada abad ke-8 atau dapat dikatakan sekolah Paduan Suara. (McNeill:2002, 15) 20
Sinode adalah sidang atau rapat antara pemimpin-pemimpin agama Kristen. 21
Hal ini khususnya sangat dirasakan di Indonesia sebagai bangsa yang
beradat-istiadat juga kaya akan tradisi dan kebudayaan. Inkulturasi mendapatkan
tempat dan bentuknya dalam gereja, baik dari bahasa, bangunan gereja, pakaian,
dan musik liturgi. Dalam musik liturgi misalnya pemakaian bahasa lagu-lagu
liturgi baik ordinarium maupun proprium dengan menggunakan bahasa Indonesia
maupun lokal/daerah. Usaha-usaha pengembangan inkulturasi musik liturgi di
berbagai daerah di Indonesia terus dikembangkan oleh berbagai pihak bahkan
sebelum Konsili Vatikan II antara lain di Flores Barat (Manggarai) oleh Mgr.
(dibaca: Monsinyur) Van Bekkum, SVD dengan mengumpulkan para pemusik
untuk menciptakan lagu gereja berdasarkan lagu daerah. Di Timor, Nusa
Tenggara Timur oleh Pastor Vincent Lechovic, SVD yang melakukan hal serupa
dengan menerbitkan buku “Tsi Taneb Uis Neno” lagu-lagu berbahasa Dawan,
kemudian di Jawa Tengah uskup pribumi I Semarang, Mgr A. Soegijapranata, SJ
menciptakan lagu liturgi khas Jawa yang dipakai dalam dan diluar perayaan
liturgi. Setelah Konsili Vatikan II perkembangan inkulturasi musik liturgi
semakin didorong dan dikembangkan dari berbagai pihak, salah satunya melalui
PML (Pusat Musik Liturgi) di Yogyakarta yang dibentuk oleh Romo22
Karl-Edmun Prier, SJ dan Bapak Paul Widyawan
(http://juntim-juntim.blogspot.com/2012/03/pusat-musik-liturgi-yogyakarta.html).
Inkulturasi dalamGereja Katolik di Sumatera Utara, terus diusahakan dan
didukung, baik oleh gereja maupun berbagai pihak-pihak lainnya. Uskup Agung
Alfred Gonti Pius Datubara (mantan uskup Keuskupan Agung Medan),
22
mengatakan dalam khotbahnya, “Gereja mesti terus melestarikan budaya yang
sesuai dengan nilai injil, hal ini sesuai dengan ajaran agama Katolik. Tarian
Tor-tor dan musik Gondang merupakan warisan budaya Batak Toba, berasal dari
Tuhan yang dipakai sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan”. Sama halnya
dengan Uskup Agung Anicetus. B. Sinaga (selaku uskup Keagungan Medan saat
ini) mengatakan, “Sejak awal kekayaan warisan budaya Batak telah banyak
membentuk liturgi gereja Katolik di Sumatera Utara, dan telah memberi warna
penuh terhadap kehidupan rohani umat”.
Dalam hal ini, gereja Katolik sudah menekankan pada inkulturasi dan
inilah yang akan dilanjutkan. Melihat hal ini inkulturasi dirasakan berpengaruh
terhadap liturgi dan bahkan membawa perubahan terhadap banyak gereja-gereja
di Sumatera Utara, termasuk di Gereja Santo Antonius Hayamwuruk, Medan.
Keanekaragaman umatnya yang terdiri dari berbagai suku dan golongan tentunya
mempengaruhi pandangan gereja terhadap musik liturgi didalamnya. Penulis
melihat di setiap perayaan Misa Gereja Santo Antonius Hayam Wuruk Medan,
bagian ordinarium yang seringkali digunakan ialah menggunakan ordinarium
musik lokal dibanding dengan Gregorian chant, meskipun beberapa kali penulis
melihat adanya penggunaan ordinarium Gregorian chant. Ordinarium musik
lokal yang umum digunakan dalam perayaan misa antar lain: ordinarium Misa
Dolo-dolo dengan bernuansa Flores, ordinarium Misa Senja dengan bernuansa
Timor, ordinarium Misa Keuskupan Agung Medan dengan bernuansa Batak Toba,
dan ordinarium Misa Syukur dengan bernuansa Flores. Dari semua ordinarium
terlihat istimewa dalam perayaan misa yang menggunakan ordinarium dengan
gaya Batak Toba. Beberapa kali dalam perayaan besar gereja, penulis melihat
ordinarium ini diiringi dengan ansambel gondang hasapi. Dalam setiap perayaan
misa selalu diiringi dengan alat musik organ, namun kebanyakan pada perayaan
besar gereja penulis melihat penggunaan ansambel gondang digunakan untuk
lebih memeriahkan perayaan. Melalui musik liturgi ini penulis melihat gereja
terbuka menerima dan mengadaptasi unsur-unsur tradisi, adat, maupun budaya
dari masyarakat setempat.
Merriam (1964:7) dalam bukunya The Antropology of Music
mendefinisikan Etnomusikologi sebagai studi musik didalam kebudayaan.
Etnomusikologi pada dasarnya berurusan dengan musik-musik yang masih hidup
termasuk di dalamnya instrument-instrumen dan tari yang terdapat di dalam
tradisi lisan. Sehingga menjadi subyek dan sasaran utama dalam penelitian
Etnomusikologi. Dengan melihat hal ini usaha memasukkan unsur-unsur musik
dari budaya setempat kedalam perayaan misa gereja Katolik yang dikenal dengan
inkulturasi merupakan salah satu kajian yang sesuai dengan Etnomusikologi.
Dengan melihat kekhasan gereja Katolik yang terbuka terhadap kearifan
lokal, tradisi, serta budaya, penulis berusaha mengungkapkan proses serta hasil
inkulturasi musik liturgi yang menggunakan unsur-unsur musik tradisi Batak
Toba dalam perayaan misa. Dengan cara mengkaji struktur melodis dan tekstual
dalam keempat nyanyian ordinarium bernuansa Batak Toba dalam Gereja Katolik
Santo Antonius. Dan dengan alasan di atas penulis berkeinginan membuat tulisan
ORDINARIUM PADA PERAYAAN MISA GEREJA KATOLIK SANTO
ANTONIUS HAYAMWURUK MEDAN: ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL
DAN TEKSTUAL.
1.2Pokok Permasalahan
Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka
di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan masalah yaitu:
1. Bagaimana bentuk ordinarium yang dipakai dalam perayaan misa
gereja Katolik?
2. Bagaimana bentuk ordinarium yang dipakai dalam perayaan misa
gereja Katolik Hayam-wuruk Medan yang mengalami inkulturasi
dalam musik Batak Toba dengan menganalisis struktur musikal
dan tekstualnya.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Di dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan dan manfaat yang ingin
penulis capai, disesuaikan dengan latar belakang serta pokok permasalahan yang
sudah ada. Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan inkulturasi ordinarium yang bernuansa Batak
Toba pada perayaan misa Gereja Katolik Hayam-wuruk Medan.
2. Untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi setelah adanya inkulturasi.
3. Untuk mendeskripsikan jalannya tata ibadat perayaan Misa Gereja Katolik
1.3.2 Manfaat Penelitian
Terdapat beberapa manfaat yang penting dari penelitian ini:
1. Memperluas wacana dan pengetahuan tentang tata peribadatan, liturgi, dan
musik liturgi dalam Gereja Katolik. Sehingga membawa pengembangan
pemahaman tentang musik Gereja khususnya bagi umat Katolik di Santo
Antonius Medan.
2. Melihat proses perkembangan inkulturasi sebagai usaha Gereja setelah
Konsili Vatikan II.
3. Menambah kajian maupun referensi tentang inkulturasi musik liturgi
khususnya bagi Etnomusikologi maupun bagi kaum awam.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konsep merupakan rancangan ide
atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret ( Badudu-Zain: 1996).
Dalam proposal ini, konsep yang akan penulis uraikan terdiri dari: (a)Ordinarium,
(b) Misa /Ekaristi (c) Inkulturasi, dan (d) Liturgi. Berikut, penulis akan membuat
pengertiannya:
a Ordinarium adalah nyanyian tetap, artinya dalam misa bagian ini harus
dinyanyikan. Ordinarium merupakan nyanyian ibadat yang hanya dapat
dinyanyikan saat misa tidak demikian dalam perayaan ibadadat Sabda.
Nyanyian ini terdiri dari: Kyrie eleison (Tuhan kasihanilah Kami), Gloria
in exelcis Deo (Kemuliaan bagi Allah di surga), Credo (Aku percaya),
pula bagian nyanyian yang selalu berubah yakni proprium. Bagian
proprium ini berubah sesuai dengan kalender tahun Liturgi Gereja.
Nyanyian ini terdiri atas: introitus (nyanyian pembukaan), gradual
(nyanyian sesudah bacaan kitab suci), offertorium (lagu persembahan),
communion (lagu perjamuan) (Karl-Edmund Prier SJ: 1999).
b Misa kudus/Ekaristi merupakan perayaan kurban dimana umat Katolik
mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus dalam bentuk
roti dan anggur23 serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. Hanya
imam saja yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan
bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Ekaristi dipandang sebagai
sumber dan puncak kehidupan Kristiani. Betapa pentingnya sakramen ini
sehingga partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi/Misa dipandang
sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta
dianjurkan untuk hari-hari lainnya (http://id.wikipedia.org).
c Inkulturasi. Istilah inkulturasi berasal dari diskusi teologis pada bidang
Misiologi. Sebagai istilah, inkulturasi ini digunakan dalam Kongregasi
Jendral Yesuit24 pada tahun 1974/1975 dan secara resmi digunakan
pertama kalinya dalam dokumen resmi pada tahun 1977 ketika ada sinode
para uskup. Paus Yohanes Paulus II sudah terbiasa menggunakan istilah
23
Roti bundar kecil disebut hosti, yang harus terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi. Anggur yang harus terbuat dari buah anggur. Roti dan anggur inilah yang digunakan dalam ritus
Ekaristi. 24
inkulturasi ini25. Inkulturasi biasanya mengarah pada kontekstualisasi
atau pempribumian. Kontekstualisasi adalah usaha menempatkan sesuatu
dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu
dengan keseluruhan. Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang
menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut berbicara. Paus
Yohanes Paulus II menunjuk makna inkulturasi secara mendalam dengan
berkata: “Inkulturasi berarti suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan
otentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam
kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan
umat manusia” (Redemptoris Misio no.52). Hal inilah yang membuat
Konsili Vatikan II memiliki konsep baru tentang arti pluralisme gereja
dan rasa hormat terhadap kebudayaan umat manusia, penyesuaian
menjadi pusat perhatian dalam dunia modern ini. Tentunya hal ini bukan
sekedar basa-basi saja, namun bertujuan supaya iman sungguh berakar
dan meresapi sebuah kehidupan orang perorangan dan masyarakat, maka
iman itu sedapatnya harus menyatu dengan kebudayaan supaya dapat
diekspresikan selaras dengannya. Konsili Vatikan II menegaskan, gereja
Katolik tidak menolak apa yang baik dan berguna pada agama. Tidak
menjauhi namun diajak agar umat Katolik familiar dan dekat kepada
tradisi religius serta kebudayaan setempat, inilah salah satu usaha ke arah
inkulturasi.
25
d Liturgi. Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani, leitourgia. Secara
harafiah kata ini berarti suatu karya yang dibaktikan kepada bangsa.
Dalam perkembangannya, ketika kata ini diadopsi oleh bangsa-bangsa
lain, kata leitourgia memiliki arti yang lebih luas, yaitu pelayanan ibadat.
Dalam Kitab Suci, kata leitourgia berarti pelayanan imam, namun
berkembang dan digunakan untuk menggambarkan makna keimaman
Yesus. Imamat Yesus merupakan pelayanan yang sangat agung. Dalam
perkembangan sejarah gereja, kata liturgi digunakan untuk menunjukkan
aktivitas ibadat atau doa Kristiani. Di sini istilah liturgi sudah mulai
dibatasi, hanya mencakup perayaan ibadat yang dilakukan oleh imam
baik paus, uskup dan pastor. Di kalangan umat, liturgi biasa dipahami
sebagai upacara atau upacara publik gereja. Dalam hal ini berbicara
mengenai liturgi adalah tentang urutan upacara, para petugas, peralatan
yang harus ada, dan sebagainya.
e Analisis struktur musikal dan tekstual. Malm mengemukakan bahwa
setiap susunan bunyi, dapat dianggap dan dipelajari sebagai musik, bila
susunan bunyi tersebut merupakan kombinasi antara elemen-elemen
nada, ritem, dan dinamika. Ditinjau dari pendapat Malm, maka ke empat
nyanyian tetap/ordinarium ini dapat dianggap musik karena didalamnya
terdapat elemen-elemen musik. Sedangkan tekstual adalah hal-hal yang
berkaitan dengan kata-kata yang terdapat pada musik. Merriam
mengatakan bahwa teks merupakan bagian integral dari musik. Teks
perilaku bahasa, tetapi bahasa yang digunakan pada musik berbeda
dengan bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Berkenaan dengan
pendapat Malm, maka analisis tekstual pada nyanyian ordinarium adalah
dengan menterjemahkan teks nyanyian ordinarium dari bahasa Latin ke
bahasa Indonesia, serta mengungkap makna yang terkandung didalamnya.
1.4.2 Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dalam ilmu pengetahuan. Tanpa ada
teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada
ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar
keilmuaan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama
dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan.
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan antara lain:
1. Untuk melihat Sistem upacara keagamaan, maka penulis menggunakan
teori upacara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2002:377) secara
khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para
ahli antropologi ialah: (i)tempat upacara keagamaan dilakukan;
(ii)saat-saat upacara keagamaan dijalankan; (iii) benda-benda dan alat upacara;
(iv) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Aspek pertama
berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan,
yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid, dan
hari-hari keramat dan suci, dan sebagianya. Aspek ketiga adalah tentang
benda-benda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang
melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci,
seruling suci, genderang suci dan sebagainya. Aspek keempat adalah aspek
yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta, biksu,
syaman, dukun, dan lain-lain. Upacara-upacara itu sendiri banyak juga
unsurnya, yaitu(i) bersaji; (ii) berkorban; (iii) berdoa; (iv) makan bersama
makanan yang telah disucikan dengan doa; (v) menari tarian suci;
(vi)menyanyi nyanyian suci; (vii) berprosesi atau berpawai; (viii)
memainkan seni drama suci; (ix) berpuasa; (x) intoksikasi atau
mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan
trance, mabuk; (xi) bertapa; (xii) bersemedi.
2. Hubungan teks dengan melodi merupakan karakteristik yang sangat
penting diperhatikan yakni hubungan antara musik (nada) dengan teks.
Seperti yang dikemukakan oleh W.P Malm (1977:9). “Bila suatu not
dipakai untuk masing-masing suku kata dari teks nyanyian tersebut disebut
dengan silabis, dan jika suatu suku kata mempunyai beberapa buah not
disebut dengan melismatis”. Dalam hal ini penulis juga membahas makna
yang terkandung di dalamnya serta keterkaitan antara teks dan musik.
Pendekatan teori yang penulis gunakan dalam mengungkapkan makna
yang terkandung dalam teks ordinarium ini menggunakan teori Semantik.
Semantik berasal dari Bahasa Yunani, yaitu: semantikos yang berarti
Semantik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari makna yang
terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dalam
hal ini penulis lebih memfokuskan pembelajaran tentang makna.
3. Untuk mengungkap perubahan yang terjadi dalam musik liturgi khususnya
dalam ordinarium setelah adanya proses inkulturasi penulis menggunakan
teori dari Alan P Merriam (1964:303). Dalam tulisannya tentang Music
and Culture is Dynamic di buku The Antropology of Music yang
mengatakan “Culture change begins with the processes of innovation.
Type of innovation is variation, invention, tentation, dan culture
borrowing”. Alan P Merriam mengemukakan bahwa perubahan bisa
berasal dari lingkungan kebudayaan internal, dan juga bisa berasal dari
luar kebudayaan eksternal. Perubahan yang timbul dari dalam dalam dan
dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, disebut dengan
inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang
timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup
budaya tersebut. Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan
merupakan sebuah tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan
dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan
fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa
setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus menerus
mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi lain dan perubahan yang
4. Teori Tangga nada (weighted scale) yang harus diperhatikan dalam
menganalisis melodi, penulis mengacu pada teori Malm, (1977:7-9) yaitu
ada delapan unsur melodi yang dapat digunakan untuk menganalisis,
seperti: (1) tangga nada; (2) nada dasar; (3) wilayah nada; (4) jumlah
nada-nada; (5) jumlah interval; (6) pola-pola kadensa; (7) formula-formula
melodik; (8) kontur. Analisis musik yang dilakukan adalah pada ke empat
nyanyian ordinarium Batak Toba yaitu: Tuhan Kasihanilah kami,
Kemuliaan bagi Allah, Kudus, dan Anak Domba Allah. Sedangkan Aku
percaya (credo), termasuk dalam ordinarium, tidak dibahas dan dianalisis
karena bagian ini sangat sering dilafalkan saja.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan informasi dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah
didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yatu rasional, empiris, dan sistematis. Kata
metode secara harafiah dapat diartikan sebagai cara kerja yang tersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Ada juga yang mengatakan metode dalam penelitian sebagai alat dalam
melakukan penelitian, yaitu dari pengumpulan data, penganalisisan data sampai
dengan menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian (Triswanto,
2010:15).
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode yang sesuai
terhadap permasalahan yang dikaji yaitu, metode kualitatif yaitu metode
perilaku yang dapat diamati. Kelebihan metode kualitatif adalah mempunyai
fleksibilitas yang tingi bagi peneliti ketika menentukan langkah-langkah
penelitian (Alwasilah, 2003:97). Kecenderungan Etnomusikologi menggunakan
metode penelitian kualitatif karena motede atau cara kerja keilmuan yang
menekankan pada makna budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat.
Penelitian kualitatif digunakan untuk memepelajari karakteristik yang diteliti, baik
orang maupun kelompok sehingga keberlakuan hasil penelitian tersebut hanya
untuk orang atau kelompok yang sedang diteliti tersebut.
Metode Observasi. Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk
observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi
partisipasi, obserasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.
Dalam hal ini penulis menggunakan metode Observasi Partisipasi. Metode ini
adalah pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data-data penelitian
melalui pengamatan dan pengindraan di mana peneliti terlibat didalamnya.
Selain itu penelitian ini menggunakan metode deskriptif serta metode
perbandingan (comparative method). Metode perbandingan merupakan metode
yang digunakan pada awal penyelidikan sebelum sasaran yang dibandingkan
dapat dimengerti. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan imajinatif
namun memiliki informasi yang akurat (Hood, 1995). Sedangkan metode
deskriptif adalah metode yang menggambarkan sebuah peristiwa, benda, dan
keadaan dengan sejelas-jelasnya tanpa memengaruhi objek yang ditelitinya
1.5.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan
studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan
laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir,
1988:111). Dalam hal ini penulis mendapatkan data-data yang terdapat pada buku
antara lain: Sejarah Musik 1 oleh Rhoderick J.McNeill, Sejarah musik oleh Karl
Edmund Prier dan Dieter Mack, The Antropology of Music oleh Alan P Merriam,
Etnomusikologi oleh Alan P Merriam yang diterjemahkan oleh Sentosa dan
Rizaldi Siagian dengan editor R. Supanggah, Teknik Menulis Karya Ilmiah oleh
Bambang Dwiloka dan Rati Riana, Trik Menulis Skripsi dan Menghadapi
Presentasi oleh Sugeng D. Triswanto, Prosedur Penelitian oleh Suharsimi
Arikunto, Analisis Data Penelitian Kualitatif oleh B. Bungin dan lainnya. Selain
buku tersebut penulis mencari sumber lain berupa buku yang sangat berkaitan
dengan pokok pembahasan yaitu, Inkulturasi Musik Liturgi oleh Karl-Edmund
Prier SJ, Mencintai Liturgi oleh Frans Sugiyono, Pedoman Umum Misale
Romanum oleh Komisi Liturgi KWI, Ekaristi oleh Bosco da Cunha, Gereja
Katolik memasuki Tapanuli oleh R. Kurris, Puji Syukur Nyanyian Doa dan
Gerejawi oleh Komisi Liturgi KWI, Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di
Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia oleh Huub. J.W.M Boelaars.
Selain buku-buku penulis juga mencari data dalam skripsi-skripsi yaitu,
Fungsi dan Peranan Gondang dalam Penerimaan Sakramen Krisma di Gereja
Katolik Santo Diego Martoba Paroki Pasar Merah Medan; Sebuah Kajian
Konsili Vatikan II oleh Rikalufi W. Wardhani. Pengaruh Konsili Vatikan II
terhadap Inkulturasi Musik Liturgi dalam Ofisi di Biara Ordo Kapusin Santo
Fransiskus Asisi Pematang Siantar oleh Dussel S. Banjarnahor. Dan beberapa
artikel-artikel yang representatif dari website seperti, blogspot.com, ucanews.com,
wikipedia.org, majalahhidupkatolik.com, dan www.reginacaeli.org.
1.5.2 Pengumpulan Data di Lapangan 1.5.2.1 Observasi
Observasi disebut pengamatan atau peninjauan secara cermat. Pengamatan
adalah pemusatan perhatian terhadap sebuah objek dengan menggunakan semua
kemampuan pancaindera (Arikunto, 1998:164). Biasanya observasi dapat
dilakukan dengan cara melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasakan.
Observasi yang dilakukan penulis ialah observasi partisipasi. Selama melakukan
pengumpulan data dilapangan penulis melakukan pengamatan setiap hari Minggu
dengan ikut merayakan perayaan misa di Gereja Santo Antonius. Beberapa kali
penulis berusaha untuk datang lebih awal untuk melihat situasi dan keadaan
disekitar gereja. Observasi awal yang dilakukan penulis yaitu memfokuskan pada
tata peribadatan/runtutan perayaan misa, para petugas liturgi, misdinar (remaja
putra atau putri yang melayani imam dalam upacara gereja Katolik; pelayanan
misa), imam, dan perayaan liturgi yang dirayakan. Selama perayaan ibadat,
penulis mulai memperhatikan setiap bagian dari lagu ordinarium, baik pada
perayaan misa pertama (07.00- 09.00), misa kedua (pukul 09.00-11.00) maupun
membawa kertas acara tata ibadat misa sebagai bahan dan data yang mendukung
penulisan ini.
1.5.2.2 Wawancara
Wawancara adalah tanya-jawab dengan seseorang untuk mendapatkan
keterangan atau pendapatnya tentang suatu hal atau masalah. Seperti percakapan
biasa, wawancara adalah pertukaran informasi, opini, atau pengalaman dari satu
narasumber dan pewawancara. Sebagai narasumber dari penelitian ini penulis
memilih pastor paroki sebagai narasumber yang paling representative sekaligus
pimpinan gereja yang tertinggi di Gereja Santo Antonius. Penulis juga
mewawancarai beberapa pastor yang pernah memimpin misa di Hayam Wuruk,
pengurus Gereja, dan umat yang beribadat di Gereja tersebut. Sehingga hasil dari
wawancara ini dapat mendukung dan memperkuat penulisan skripsi ini.
1.5.2.3. Rekaman
Pada pelaksanaan kegiatan penelitian ini, penulis menggunakan satu unit
kamera digital Fuji dan satu unit alat rekam video Handycam Sony. Dalam
pelaksanaan ini penulis merekam lagu-lagu ordinarium Batak Toba, kemudian
mengdokumentasikan dalam bentuk foto instrument musik yang dipergunakan
dalam mengiringi lagu ordinarium tersebut. Penulis juga mendokumentasikan
para penyanyi, dan pemain musiknya. Pengambilan data dengan rekaman ini
dilakukan penulis dengan merekonstrusi kembali ordinarium Batak Toba yang
dilakukan oleh kaum Biarawan di Biara Kapusin Jalan Medan Pematang Siantar
1.5.3 Analisis Data di Laboratorium
Keseluruhan hasil wawancara dan rekaman audio visual yang diperoleh
dari penelitian di lapangan, kemudian diolah dalam kerja laboratorium. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk transkripsi nada dari lagu serta
penganalisaan teksnya. Penulis akan melihat perbandingan ordinarium Gregorian
Chant dan ordinarium Batak Toba terutama pada pola melodis dan tekstualnya.
1.6 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Gereja Katolik Santo Antonius dari Padua,
Jalan Hayam Wuruk No 1. Lokasi gereja ini terletak di Kelurahan Petisah Hulu,
Kecamatan Medan Baru (20153) Medan, Sumatera Utara. Gereja Santo Antonius
ini merupakan gereja paroki, yang dipimpin oleh Pastor Paroki Carolus
Sembiring O.F.M Cap, dibawah Keuskupan Agung Medan yang dipimpin oleh
Uskup Agung Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, O.F.M Cap.
Penulis melihat beberapa keistimewaan pada Gereja Santo Antonius ini
diantaranya, kuantitas perayaan misa pada hari Minggu yang diadakan sebanyak
tiga kali. Gereja Santo Antonius Hayamwuruk memang merupakan gereja
paroki, artinya pusat gereja dari suatu wilayah tertentu, namun perayaan misa
yang dilakukan adalah yang paling banyak jadwal ibadatnya dibandingkan dengan
dibeberapa paroki lain di daerah Medan. Selain hari Minggu, hari Sabtu sore
perayaan misa juga berlangsung di Gereja Santo Antonius. Dari sini terlihat
bahwa jumlah umatnya lebih besar dari beberapa paroki lainnya di Medan. Selain
itu keragaman umat dalam gereja ini nampak terlihat. Terdapat beberapa
Antonius. Penulis juga melihat bahwa perhatian gereja terhadap tradisi dan
budaya setempat sungguh diapresiasi dengan semangat melakukan beberapa
usaha-usaha inkulturasi disetiap perayaan besar gereja. Dengan beberapa alasan
inilah penulis tertarik untuk membuat tulisan karya ilmiah dan melakukan
BAB II
SEJARAH GEREJA KATOLIK INDONESIA DAN TATA PERIBADATAN 2.1Sejarah Gereja Katolik di Indonesia
Awal karya misi Katolik di Nusantara dimulai sejak pertengahan abad
VII26, dimana di pantai barat Sumatera Utara sudah terdapat pemeluk Kristen.
Pada abad XIII dan XIV beberapa misionaris Fransiskan27 singgah di Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan ketika berlayar menuju Cina. Namun penyebaran misinya
tidak bertahan lama. Kemudian pada tahun 151128 Portugis singgah di Malaka
dibawah pimpinan Vasco da Gamma. Portugis menaklukan Malaka, daerah Goa
dan tempat-tempat lain serta melakukan monopoli perdagangan. Dari Malaka
mereka bertolak melakukan pelayaran ke tempat asal rempah-rempah ke daerah
Timur. Selama dalam perjalanan pelayaran para kaum rohaniawan juga turut serta
untuk pemeliharaan rohani para pelaut, pedagang, serta serdadu-serdadu. Tahun
1512 kapal Portugis berlayar di Pulau Banda Maluku. Para pedagang Portugis
berhasil melakukan perdagangan dengan baik dengan masyarakat Maluku, dan
kaum rohaniawan juga turut menyebarkan misi di daerah ini. Namun situasi
26
Sumber KWI (Konfrensi Wali gereja Indonesia), yang ditegaskan kembali dengan fakta dari Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita- berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya”, yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Berdasarkan berita dari Abu Salih al-Armini dapat diambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam
Keuskupan Sibolga di pantai Barat Sumatera Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria
27
Biarawan atau biarawati dalam Gereja Katolik yang menggabungkan diri pada Lembaga Hidup Bakti (tarekat), yang didirikan oleh pendiri tarekatnya. Ordo Fransiskan pendiri tarekatnya yakni Fransiskus, sehingga cara hidup kaum biarawan mengikuti jejaknya.
28
keagamaan di Maluku saat itu sedang rumit. Pulau Tidore dan Ternate hampir
seluruhnya menganut agama Islam dibawah pimpinan masing-masing sultannya.
Sementara di pulau-pulau lain seperti Ambon, Seram, Buru dan lain-lain masih
menganut kepercayaan para leluhur mereka. Walaupun situasi sedang rumit,
ternyata ada seorang Kepala Kampung yang disebut mamoia atau mamuia datang
dan mau dibaptis. Awalnya mamuia ini hanya meminta bantuan dan perlindungan
kepada kaum missioner karena sering diganggu oleh kampung disekitarnya. Dia
kemudian dibantu dan dilindungi di tempat kaum missioner dan diterima dengan
baik. Selama dalam perlindungan dia melihat kehidupan para missioner, dia
tertarik dan berkeinginan untuk dibaptis. Setelah dia menyatakan diri menjadi
Katolik, orang-orang kampungnya pun ikut dibaptis. Namun ancaman tetap ada
dari luar daerah kampung sekitar yang berakhir dengan terjadinya pembunuhan
terhadap seorang misionaris Simon Vaz.
Karya misi ini kemudian dilanjutkan oleh Santo Fransiskus Xaverius yang
datang mengunjungi kepulauan Maluku: Ambon, Ternate, Halmahera, dan
Molotai pada tahun 1546-1547. Fransiskus banyak memberikan perhatian kepada
kaum kecil di Maluku, membuka sekolah-sekolah bagi kaum pribumi sehingga
banyak penduduk kampung menaruh perhatian, peduli, dan mulai santun padanya.
Dari sinilah banyak penduduk yang berkeinginan untuk dibaptis oleh Santo
Fransiskus Xaverius. Karya Fransiskus ini kemudian dilanjutkan oleh sejumlah
missioner lain. Menjelang akhir abad XVI terdapat sekitar 30.000 umat katolik
sebabnya sejarah mengatakan permulaan Katolik di Indonesia dibawah bendera
Portugis di Maluku (Boelaars, 2005: 61).
Penguasaan VOC di sejumlah wilayah Nusantara memperburuk karya
misi. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma
yang ditangkap. Beberapa kebijakan dibuat oleh VOC untuk membatasi dan
melarang penyebaran agama Katolik. Daerah yang paling terdampak adalah umat
Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara telah berubah
sehingga mayoritas agamanya adalah Protestan. Meskipun demikian umat Katolik
masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama
mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir
ketika Belanda dikalahkan oleh Perancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun
1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi
Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia
Belanda (Wikipedia.Org/Wiki/Agama_di_Indonesia).
Pada tahun 1806 Raja Louis Napoleon29 mengumumkan undang-undang
kebebasan beragama di Negeri Belanda. Berkenaan dengan ini Gereja Katolik di
Nusantara pun dapat berkembang lagi. Batavia dijadikan sebagai pusat misi dan
pada tahun 1807 dibentuklah Prefektur Apostolik30 Batavia yang meliputi seluruh
wilayah Hindia Belanda. Dua imam praja31 dari Belanda tiba pada tahun 1808
sebagai misionaris pertama yang kemudian disusul oleh sejumlah imam praja
lainnya. Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi
29
Pangeran Prancis yang dijadikan Raja Negeri Belanda 30
Prefektur apostolik adalah daerah misi di mana Gereja Katolik belum berkembang 31
Vikariat Apostolik32. Sementara jumlah imam praja semakin berkurang, para
imam Jesuit33 pun (Serikat Jesuit) terus berdatangan sejak tahun 1859. Pada akhir
abad XIX tanggung jawab evangelisasi/ penginjilan di Nusantara secara
kanonik/menurut Undang-undang gereja dialihkan dari para imam praja kepada
para imam Jesuit .
Di awal abad XX tampak semakin jelas bahwa satu vikariat apostolik
Batavia, yang mencakup seluruh Nusantara, terlampau luas. Wilayah dan
tanggung jawab terhadap wilayah ini perlu dibagi-bagi. Sejak tahun 1902
beberapa daerah sudah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia ke dalam
beberapa wilayah independen (vikariat apostolik maupun prefektur apostolik),
yaitu Maluku dan Irian (1902), Kalimantan (1905), Sumatera (1911), Nusa
Tenggara (1913/14), Sulawesi (1919). Vikariat Apostolik Batavia hanya meliputi
Jawa saja (http://keuskupanbandung.org/main/post/376).
Untuk menjaga perkembangan dan kepentingan bersama maka para
waligereja membentuk suatu perwakilan tetap di Batavia pada tahun 1924. Inilah
cikal bakal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Kantor Waligereja
(Kawali). Pada tahun 1925 diadakan konferensi para waligereja I. Pembagian
wilayah terus berlanjut hingga seluruh Nusantara terbagi dalam wilayah-wilayah
misi yang ditangani oleh sejumlah serikat religius (SJ, MSC, OFMCap, SVD, SCJ,
32
Vikariat apostolik adalah bentuk yurisdiksi teritorial Gereja Katolik di daerah yang belum dibentuk keuskupan. status wilayah yang lebih berkembang dibandingkan dengan status prefektur apostolik tetapi masih di bawah status keuskupan.
33
SSCC, OCarm, CM, OSC, OFM, MSF). Pada tahun 1932 terdapat sekitar 300 ribu
umat Katolik.
2.1.1 Sejarah Gereja Katolik di Jawa
Misi Katolik di Jawa berpusat di Muntilan, Jawa Tengah. Misi Katolik di
daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ dan Petrus Hoevenaars yang datang
pada bulan Oktober tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil
yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba empat orang kepala desa
dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi
pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama
orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang
terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi
tempat ziarah Sendangsono.
Romo Van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu
Normaalschool (1900) dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) tahun1904.
Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu
Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah mantan
siswa Muntilan.
Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Berawal
babak baru dengan pembagian kerja di antara Ordo-ordo misionaris. Setiap ordo
mendatangkan tenaga misionarisnya. Paus Leo XIII mendirikan Prefektur
Apostolik baru di Maluku dan sekitarnya, dan menyerahkan pembinaannya kepada
imam-imam Misionaris Hati Kudus (MSC) pada 22 Desember 1902. Tiga tahun
dan pelayanannya diserahkan kepada Ordo Kapusin (OFMCap). Sumatera
menjadi Prefektur Apostolik pada tahun 1911 dan diserahkan kepada Ordo
Kapusin juga. Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil didirikan pada 1913
dan diserahkan kepada Serikat Sabda Allah (SVD). Prefektur Apostolik Celebes
berdiri pada tahun 1919 dan diserahkan kepada Misionaris Hati Kudus (MSC).
Selanjutnya di Jawa sendiri perkembangan besar terjadi dengan pembagian
tugas baru. Pada 1923 imam-imam Ordo Karmel (O.Carm) diberi tugas membina
daerah misi Malang, Prefektur Apostolik didirikan pada tahun 1927 di Malang.
Daerah Surabaya diserahkan kepada imam-imam Lazaris (C.M.) pada tahun 1923
dan berkembang menjadi Prefektur Apostolik pada 1928. Imam-imam misionaris
Hati Kudus (MSC) juga mengembangkan daerah Purwokerto di Jawa Tengah, dan
Prefektur Apostolik didirikan di Purwokerto pada tahun 1932. Bersamaan dengan
itu, Bandung menjadi Prefektur Apostolik setelah diserahkan dan dibina oleh Ordo
Salib Suci (OSC). Daerah Semarang dijadikan Vikariat Apostolik pada tahun
1940.
Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam
calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada
tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan
Soegijapranata, SJ.
2.1.2 Sejarah Gereja Katolik di Sumatera Utara
Kota Tarutung yang terletak diantara pantai selatan Danau Toba dan
Lautan Hindia merupakan kota yang cukup penting dalam peranan agama Kristen
Kristen Batak Protestan (HKBP) yakni di Rura Silindung, Pearaja. Datangnya
agama ini dibawa oleh seorang Pendeta Nommensen pada tahun 1863 khususnya
ke daerah Batak. Tujuh puluh satu tahun kemudian pada akhir tahun 1934, Gereja
Katolik memperoleh izin memasuki Tapanuli. Kelompok Ordo Kapusin mulai
bergerak dari kota Balige. Kelompok biarawan ini masih muda-muda dan berhasil
menanam gereja Katolik sampai pelosok-pelosok Tapanuli. Namun pada tahun
1942 tentara Jepang merebut Hindia Belanda dan memenjarakan semua
misionaris-misionaris sehingga karya misipun terhenti.
Setelah penjajahan Jepang dan Pergelokan kemerdekaan berakhir, para
misionaris dibebaskan dan memulai kembali karya misi Katolik yang sempat
terhenti. Gereja Katolik; di Sumatera Utara R.K. menjadi sebutan untuk
menyatakan Roma Katolik; menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat
Tapanuli. Pada awal misi Katolik, para misionaris dari Balige dalam garis besar
bergerak ke tiga arah: 1. Ke Pulau Samosir yang sebagian besar belum
dikristenkan, 2. Ke Kampung Lintongnihuta dan Parlilitan, dan 3. Ke selatan
menuju pegunungan di sekitar Rura Silindung.
Untuk menghindari konflik dengan Gereja Protestan, Roma Katolik
dengan sengaja tidak mau langsung ke kota Tarutung. Akan tetapi, tidak lama
kemudian muncul undang-undang untuk memasuki daerah pusat Protestan itu,
maka para misionarispun menjalankan tugasnya. Pada tahun 1854, Pastor Kaspar
de Hessele seorang imam diosesan, keturunan Belanda datang ke Hindia Belanda.
Ia mulai melayani umat katolik yang tersebar di seluruh Jawa Timur, kepulauan
ia bertolak ke tanah Batak lewat kota Padang yang belum dikuasai oleh Belanda.
Namun sayang, selama dalam perjalanan ia menderita sakit, dan meninggal dalam
perjalanan. Sembilan tahun kemudian muncullah Pendeta Nommensen, dan tujuh
puluh satu tahun setelah kedatangan Pendeta Nommensen, misionaris-misionaris
Katolik baru diperbolehkan memasuki Tapanuli.
Pada tahun 1934, Pater Sybrand Van Rossum atau Pastor Parosum yang
berusia 31 tahun datang ke Balige. Di kota ini ia tidak diterima dengan hangat,
banyak situasi perlawanan yang ia hadapi yakni: Pemerintah Kolonial dan
pegawai-pegawainya, Zending Protestan dan Pendeta-pendetanya, sebagian besar
rakyat yang mendiami Toba, Humbang, dan Rura Silindung. Namun ia merupakan
seorang yang optimis, ramah, humoris, cepat tanggap dan bereaksi cepat, sehingga
ia mampu menghadapi masalah yang ada. Beberapa bulan kemudian ia diterima
dan banyak yang mulai datang padanya. Pastor ini banyak bergaul dengan
masyarakat Batak sehingga ia mampu berkomunikasi dengan menggunakan
Bahasa Batak, dan ia semakin diterima di Balige. Kemudian ia pergi ke kota
Tarutung, bergaul dengan masyarakat disana sambil menyatakan karya misi
Katolik.
Situasi dan kondisi mulai membaik, situsi di Balige mulai menyenangkan,
rumah untuk penampungan Pastorpun sudah dibangun. Pastor Diego van den
Biggelaar pun ikut bergabung dengan Pastor Panrossum. Mereka berdua
Simbolon, Hutaraja, sehingga ia mendapat julukan Ompu Bornok Simbolon34.
Lama bergaul dengan orang Batak membuat Pastor Panrossum mengerti dan fasih
dengan bahasa Batak, ia menggunakan peribahasa dalam bahasa Batak disetiap
khotbahnya sehingga dapat dimengerti oleh umatnya. Selain itu ia sangat
menghargai dan mengerti akan tradisi, kebiasaan serta adat-istiadatnya Batak,
sehingga Pastor ini sangat mengena di hati semua masyarakat baik yang Katolik
maupun Protestan.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1942-1945,
dimana terjadi Perang Dunia II, wilayah kekuasaan Belanda di Asia Tenggara
tampak mulai melemah. Asia mulai bangkit, Jepang maju dengan cepat, dan
gerakan-gerakan Nasionalis mulai mengancam. Akan tetapi, pada 8 Desember
1941, dunia digoncangkan dengan pengboman yang dilakukan Jepang yang
menghancurkan kapal-kapal Amerika Serikat di Pearl Harbour, makin meluas ke
wilayah Pasifik. Tiga minggu kemudian, tepat 28 Desember Lapangan terbang
Polonia dibom; lebih dari 30 orang tewas. Pada bulan Januari 1942, Menado,
Tarakan, dan Balikpapan direbut oleh Jepang dimana mereka sangat memerlukan
sumber-sumber minyak untuk berperang.
Dalam situasi demikian di pastoran Balige, para pastor, bruder, suster35
duduk bersama guna membicarakan hari depan gereja. Mereka sadar bahwa
sebentar lagi mereka akan ditangkap, namun siapakah yang akan melanjutkan
karya mereka? Setelah delapan tahun berkarya, telah membaptis 18.000 orang
34
Ompu Bornok berarti: Opa Basah. Ompu yang diucapkan Opung, merupakan sapaan akrab bagi yang dituakan. Karena Pastor itu begitu giat bergerak sehingga basah keringatan maka ia dijuluki Ompu Bornok.
35
menjadi Katolik didaerah Batak. Seluruh kaum Eropa yang berada di tanah Batak
ditangkap dan ditahan. Mereka diasingkan di kampung Belawan, namun
anak-anak dan perempuan diasingkan di tempat lain. Akhir tahun 1942, kekuatan
Jerman di Eropa mengalami pukulan dahsyat yang pertama dalam pertempuran
Stalingard, sedangkan di Asia pada waktu yang sama angkatan laut Jepang
berhasil diberhentikan di Guadal-canal. Akhir tahun 1943, ribuan buruh dan
petani dari pelbagai tempat di Indonesia, termasuk juga dari Tapanuli,
dikumpulkan sebagai romusha. Keadaan tentara Jepang makin terdesak, keadaan
semakin memuncak. Tanggal 6 Agustus 1945, kota Hiroshima telah dibom dan
hancur, menyusul tiga hari kemudian kota Nagasaki. Tidak ada yang mendengar
kabar kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, apalagi tentang Proklamasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dan pada tanggal 24 Agustus, barulah
diketahui bahwa kemerdekaan sudah didapat, para tahanan dibebaskan dan bisa
kembali pada keluarga dan anak-anak mereka.
Setelah penyerahan kedaulatan, para pastor mulai menjelajahi Sibolga dan
Pulau Nias; mengenai daerah Toba para pejabat Republik Indonesia memberi
nasehat untuk menunggu waktu sampai situasi di daerah Batak mulai aman dan
terkendali. Kemudian tanggal 22 Maret 1950, keadaan sudah mulai membaik di
daerah Tarutung dan para misionaris pun mulai kembali mengunjungi seluruh
daerah Tapanuli. Sampai tahun 1965 umat semakin berkembang dan bertambah.
Perkembangan terus terjadi sampai tahun 1981. Sekarang ini, jumlah
hari Minggu dapat dilaksanakan, meski di beberapa stasi-stasi kecil belum dapat
setiap Minggu merayakan misa.
2.1.3 Sejarah Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan.
Gereja Santo Antonius awalnya merupakan gereja stasi dibawah paroki
Gereja Katolik Santa Maria Tak Bernoda Asal (sering disebut Gereja Katedral,
yang beralamat di Jalan Pemuda No. 1 Medan). Kemudian menjadi gereja paroki,
pada bulan Maret 1915, dengan jumlah gereja stasi empat gereja36 dan dilayani
oleh imam dari OFM Capusin37, dibawah Keuskupan Agung Medan.
Pada tahun 2007 tepatnya pada tanggal 3 Juni, telah berdiri bangunan
gereja yang baru, dibangun tepat didepan bangunan gereja yang lama dan
diresmikan oleh Uskup Agung Mgr. (dibaca Monsinyur) A.G. Pius Datubara,
OFM Cap dan Pastor Paroki Redemptus Simamora OFM Cap.
Keadaan umat setiap tahun semakin banyak dan berkembang, yang terdiri
atas empat stasi dengan 35 lingkungan. Secara garis besar keadaan umat terbagi
kedalam empat stasi paroki Santo Antonius yakni, 1. Gereja Katolik Stasi Santo
Yosep sebagian besar berada di wilayah jalan dokter Mansur , 2. Gereja Katolik
Stasi Santo Fransiskus Xaverius sebagian besar berada di wilayah Sunggal, 3.
Gereja Katolik Stasi Santa Perawan Maria Pintu Surga sebagian besar berada di
wilayah Sei Agul, 4. Kapel Santa Elisabeth, Karya Kasih sebagian besar berada di
wilayah Karya Kasih. Keadaan umat Gereja Santo Antonius Hayamwuruk
keadaan umatnya sangat beragam: Batak Toba, Karo, Simalungun, Jawa, Cina,
36
1. Gereja Katolik Stasi Santo Yosep. Jalan Dr. Mansyur, Medan, 2. Gereja Katolik Stasi Santo Fransiskus Xaverius, Sunggal 3. Gereja Katolik Stasi Santa Perawan Maria Pintu Surga, Sei Agul 4. Kapel Santa Elisabeth, Karya Kasih
37
Nias, dan India. Selain umat yang resmi bergabung dengan Gereja Santo Antonius
banyak juga umat diluar wilayah paroki beribadat di Gereja Santo Antonius
Hayamwuruk.
Struktur Organisasi Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan.
Pastor Paroki Dewan Pastoral Paroki Ketua Lingkungan
Gambar 1. Gereja Santo Antonius Hayamwuruk Medan bagian luar
Gambar 3. Tempat jalannya Perarakan Masuk.
2.2Tata Ibadat Misa Gereja Katolik
Peribadatan misa terbagi atas empat bagian pokok yaitu, Ritus Pembuka,
Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Ritus Penutup.
2.2.1 Ritus Pembuka
Ritus pembuka merupakan awal untuk memulai ibadat perayaan Misa.
Bagian ini terdiri atas: perarakan masuk, tanda salib, salam, pengantar, tobat,
nyanyian Tuhan Kasihanilah Kami/ Kyrie eleison , madah Kemuliaan /Gloria, dan
doa pembuka. Unsur-unsur inilah yang mengawali ibadat Misa. Mengawali Misa
pada Gereja Santo Antonius Hayamwuruk dimulai dengan dipukulnya gong.
Seluruh umat akan berdiri dan bernyanyi yang dipimpin oleh dirigen umat untuk
menyambut perarakan masuk imam dan para petugas liturgi. Perarakan masuk
imam dan petugas liturgi dimulai melalui pintu utama lalu memasuki gereja.
Mereka memasuki gereja berjalan menuju altar dengan diiringi nyanyian
pembukaan. Seorang misdinar yang memegang dupa berada pada barisan depan
meriah38 selain dengan nyanyian, perarakan masuk juga dapat diiringi dengan
tarian39.
Bila imam dan para petugas liturgi telah sampai di depan panti imam,
semuanya akan membungkuk menghormati altar. Dimana penghormatan terhadap
altar merupakan tanda Tuhan hadir. Kemudian imam menuju altar dan para
petugas liturgi menuju pada tempat yang telah disediakan. Sesuai dengan
perayaan, imam juga dapat mendupai salib dan altar.
Gambar 4. Altar
Setelah imam berada di altar dan nyanyian sudah berakhir, imam mebuat
tanda salib dengan berkata “Atas nama Bapa dan Putera dan Roh kudus” yang
diikuti oleh seluruh umat dan dijawab dengan “Amin”. Kemudian imam membuka
tangannya sambil berkata “Tuhan Sertamu” dan umat menjawab “Dan sertamu
juga”. Hal ini merupakan sapaan, salam imam terhadap umat yang menunjukkan
bahwa Tuhan hadir ditengah-tengah mereka. Setelah menyampaikan salam, imam
38
Perayaan Paskah, Natal, hari Minggu dan perayaan-perayaan besar gereja lainnya 39
memberikan pengantar singkat tentang Misa yang akan dirayakan sehingga
membawa pemahaman pada umat.
Memasuki ibadat selanjutnya imam mengajak umat untuk merenungkan,
menyesali, segala perbuatan dosa dan mengajak untuk bertobat. Sikap pertobatan
umat dinyatakan dengan sikap tubuh yang berlutut dan dengan mengucapkan
rumusan doa tobat, kemudian disambung dengan nyanyian Tuhan Kasihanilah
kami. Sifat nyanyian ini ialah seruan kepada Tuhan untuk memohon belas
kasih-Nya. Oleh karena itu, nyanyian Tuhan Kasihanilah biasanya dilagukan oleh
seluruh umat.
Setelah menyatakan pertobatan madah Kemuliaan (Gloria) dinyanyikan.
Kemuliaan merupakan pujian meriah kepada Allah karena telah memberikan
pengampunan, menurunkan rahmat, berkat, dan kedamaian bagi manusia.
Kemuliaan dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya dan pesta, pada
perayaan-perayaan meriah, dan pada hari Minggu di luar masa Adven dan masa
Prapaskah. Karena Kemuliaan merupakan madah pujian meriah oleh karena itu
sikap tubuh untuk mengapresiasinya adalah berdiri. Madah ini dibawakan secara
bersama-sama dengan umat, atau silih berganti antara umat dengan paduan suara,
atau oleh paduan suara saja.
Ritus pembuka berakhir dengan doa pembuka. Doa pembuka merupakan
doa persiapan untuk masuk ke Liturgi Sabda, dan merupakan akhir dan sekaligus
puncak dari Ritus ini. Doa pembuka adalah doa predidensial. Artinya doa
pemimpin. Hanya pemimpin saja yang membawakan doa ini atas nama umat. Doa