• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.7. Analisis Data

2.1.1. Sejarah Kabupaten Dairi

Dairi merupakan sebuah wilayah kabupaten yang terletak di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data resmi Kabupaten Dairi, pemerintahan ini telah terbentuk sebelum kehadiran kolonial Belanda, yaitu sekitar tahun 1852 - 1942.5

1. Raja Ekuten atau Takal Aur, sebagai pemimpin satu suak atau yang terdiri dari beberapa marga.

Adapun struktur pemerintahan saat itu adalah:

2. Pertaki, sebagai Pemimpin satu kuta atau kampung setingkat dibawah Raja Ekuten.

3. Sulang silima, sebagai pembantu Pertaki pada setiap kuta (kampung), yang terdiri dari: Perisangisang, Perekurekur, Pertulantengah,

Perpunca Ndiadep, Perbetekken

Struktur yang dimaksud dilaksanakan berdasarkan hubungan antar suak. Hubungan tersebut sangat erat kaitannya satu sama lain, hal ini dapat dilihat dari kesamaan kebutuhan aspek sosial budaya dan terjalinnya rantai perekonomian. Kondisi daerah Dairi sebagian besar pengunungan. Mata pencaharian penduduk umumnya memproduksi hasil hutan, seperti rotan, damar, kapur barus, kemenyan dan kayu. Hasil tersebut diperdagangkan melalui pelabuhan Barus, Singkil dan Runding.

Sesuai struktur tersebut, berdasarkan wilayah masyarakat Pakpak dibagi dalam 5 (lima) suak, yaitu:

1. Suak Simsim yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak

ulayat di wilayah Simsim. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia saat sekarang, wilayah wilayah tersebut adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang dimekarkan dari Kabupaten Dairi tahun 2003.

2. Suak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap dan berdialek

Keppas. Dalam administrasi pemerintahan, mecakup wilayah Kecamatan Silima Pungga-pungga, Tanah Pinem, Parbuluan, Sidikalang dan lain-lain di Kabupaten Dairi.

3. Suak Pegagan, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek

Pegagan. Dalam administrasi pemerintahan saat ini meliputi wilayah Kecamatan Sumbul, Pegagan hilir dan Kecamatan Tiga Lingga dan lain-lain di Kabupaten Dairi.

4. Suak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek

Kelasen. Dalam admininstrasi pemerintahan Republik Indonesia, wilayah ini sejak tahun 2003 berada di Kabupaten Humbang Hasundutan (Kecamatan Perlilitan dan Kecamatan Pakkat) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Kecamatan Barus).

5. Suak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek

Boang. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, wilayah ini berada di wilayah Kotamadya Subusalam Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Berutu, 2006).

Wilayah komunitas Pakpak yang tradisional (hukum adat) di atas tidak identik dengan wilayah administrasi pemerintahan zaman Belanda dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada zaman Belanda misalnya, dengan politik pecah belah (de vide et impera), wilayah pemerintahan selalu berubah-ubah sesuai dengan kepentingan mereka.

Kehadiran kolonial Belanda di Indonesia, sangat mempengaruhi perubahan struktur pemerintahan komunitas Pakpak, khususnya Kabupaten Dairi. Berdasarkan Kabupaten Dairi dalam Angka (2007), bahwa perubahan tersebut dapat dilihat dimana Dairi menjadi satu Onderafdeling yang dipimpin oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda dan dibantu oleh seorang Demang yang berasal dari penduduk Bumiputera. Kemudian, daerah Dairi Landen menjadi bagian dari Asisten Residen Batak Landen yang berpusat di Tarutung. Pemerintahan tersebut sudah berlaku ketika adanya perlawanan Sisingamangaraja XII sampai menyerahnya Belanda atas pendudukan Nippon pada tahun 1942.

Setelah perang Sisingamangaraja XII usai (1907), wilayah Dairi dimasukkan oleh pemerintahan kolonial Belanda ke dalam wilayah Keresidenan Tapanuli Utara/Tanah Batak/Bataklanden. Keresidenan Tapanuli Utara berpusat di Tarutung yang dipimpin seorang Residen. Keresidenan Tapanuli Utara dibagi menjadi 5 (lima) onderafdeeling yaitu; onderafdeeling Samosir, Toba (Balige),

Hoogvlakte Van Toba (Siborong-borong), Silindung (Tarutung) dan Dairilanden.

Onderafdeeling dipimpin seorang Demang. Wilayah onderafdeeling dibagi atas beberapa onderdistrik yang dipimpin Asisten Demang. Onderdistrik terdiri dari beberapa negeri (bius) yang dipimpin oleh seorang Kepala Negeri (jaihutan).

Negeri terdiri dari beberapa desa (horja) yang dipimpin Kepala Kampung (pengulu). Kampung terdiri dari beberapa dusun (huta) yang dipimpin Raja Huta. Pengulu biasanya dipilih dari salah seorang raja huta. OnderafdeelingDairilanden

berpusat di kota Sidikalang (Sangti, 1967).

Selama penjajahan Belanda, daerah Dairi mengalami pengurangan wilayah. Hal ini dikarenakan tertutupnya hubungan antar wilayah. Adapun wilayah-wilayah yang berkurang dari Dairi antara lain:

1. Tongging yang menjadi wilayah Tanah Karo

2. Menduamas dan Barus menjadi wilayah Tapanuli Tengah

3. Sienem Koden (Kecamatan Parlilitan) menjadi wilayah Tapanuli Utara

4. Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Gelombang dan Runding menjadi wilayah Aceh Selatan.

Untuk mempermudah Pemerintahan Belanda, maka Belanda membagi daerah Dairi menjadi 3 (tiga) onderdistik antara lain:

1. Onderdistik Van Pakpak yang meliputi 7 kenegerian yakni; Sitelu

Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Pegagan Hulu, Parbuluan dan Silalahi Paropo.

2. Onderdistik Van Simsim yang meliputi 6 kenegerian yakni; Kerajaan, Siempat Rube, Mahala Majanggut, Sitellu Tali Urang Jehe, Salak, Ulu Merah dan Salak Pananggalan.

3. Onderdistrik Van Karo Kampung yang meliputi 5 kenegerian yakni; Lingga (Tigalingga), Tanah Pinem, Pegagan Hilir, Juhar Kidupen Manik dan Lau Juhar.

Tahun 1942, kolonial Belanda jatuh atas pendudukan Dai Nippon. Pada saat itu hingga Republik Indonesia merdeka, Jepang tidak merubah pemerintahan. Namun Jepang mengganti istilah jabatan pemimpin dengan:

1. Demang menjadi Guntyo

2. Asisten Demang menjadi Huku Guntyo 3. Kepala Negeri menjadi Bun Dantyo 4. Kepala Kampung menjadi Kuntyo

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dibentuk Komite Nasional di Dairi. Komite tersebut untuk mengatur pemerintahan Dairi sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1945. Untuk melengkapi dan menampung aspirasi masyarakat, anggota komite dipilih sebanyak 35 orang yang mewakili setiap daerah Dairi dan setiap Urung

(kewedanan). Agar mempermudah kerja komite maka dibentuk pembantu Komite Nasional. Adapun tugas utama dari Komite Nasional adalah:

1. Menyelesaikan pemilihan Dewan Negeri 2. Menyelesaikan Pemilihan Kepala Kampung 3. Membentuk Pemerintahan dan Badan Perjuangan

Pada tanggal 6 Juli 1947, Agresi Belanda menduduki Sumatera Timur. Hal ini membuat putera Dairi yang berada di sana kembali mengungsi ke Dairi. Demikian juga halnya dengan putera asal Tapanuli. Untuk melancarkan

pemerintahan serta menghadapi perang melawan agresi Belanda, maka Residen Tapanuli yang dipimpin oleh Dr. Ferdinan Lumban Tobing selaku Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli menetapkan Tapanuli menjadi 4 (empat) Kabupaten. Pembagian wilayah meliputi; Silindung, Humbang, Toba Samosir dan Dairi. Keputusan tersebut berlaku mulai 1 Oktober 1947, yang kemudian ditetapkan mejadi hari jadi Kabupaten Dairi.

Setelah Dairi ditetapkan menjadi kabupaten, maka diangkat Bupati yang saat itu dipimpin oleh Paulus Manurung. Bupati berkedudukan di Sidikalang dengan memiliki 3 (tiga) wilayah kewedanan antara lain:

1. Kewedanan Sidikalang, terdiri dari Kecamatan Sidikalang dan Sumbul 2. Kewedanan Simsim, terdiri dari Kecamatan Kerajaan dan Salak

3. Kewedanan Karo Kampung, terdiri dari Kecamatan Tiga Lingga dan Tanah Pinem.

Menjelang Agresi Kedua tanggal 23 Desember 1948, Belanda menduduki Kota Sidikalang dan Tiga lingga. Hal ini membuat Bupati Dairi Paulus Manurung menyerah. Sebagian besar Pegawai Negeri mengungsi dari kota untuk menghindari serangan Belanda. Untuk menyusun strategi melawan agresi Belanda, maka Mayor Slamat Ginting selaku Komandan sektor III Sub teritorium VII menyusun strategi Pemerintahan Militer. Untuk lebih menyempurnakan Pemerintahan Militer, wilayah Dairi dimekarkan dari 6 Kecamatan menjadi 12 Kecamatan, antara lain; Kecamatan Sidikalang, Sumbul, Parbuluan, Silalahi Paropo, Pegagan Hilir, Tiga lingga, Gunung Sitember, Tanah Pinem, Silima Pungga-pungga, Siempat Nempu, Kerajaan, Salak.

Tahun 1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Dairi kepada Pemerintahan Indonesia. Sejak saat itu, Pemerintahan Militer Dairi kembali dalam Pemerintahan Sipil. Selanjutnya, wilayah dairi kembali dibagi dari 12 kecamatan menjadi 8 kecamatan yakni; Kecamatan Sidikalang, Sumbul, Salak, Kerajaan, Silima Pungga-Pungga, Siempat Nempu, Tiga Lingga dan Tanah Pinem.

Tahun 1950, Kabupaten Dairi kembali masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, yang menyatakan bahwa semua kabupaten yang dibentuk sejak Agresi I dan II harus kembali dilebur. Akibat dari peleburan wilayah, masyarakat Dairi dan tokoh masyarakat meminta kapada pemerintah pusat melalui Propinsi Sumatera Utara untuk menjadikan dairi daerah otonom Tingkat II.

Tahun 1958, hubungan daerah Dairi terputus dengan Tapanuli Utara (Tarutung). Hal ini dikarenakan terjadinya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Melihat hal tersebut serta menjaga Kefakuman pemerintahan, Gubernur KDH Sumatera Utara mengeluarkan Surat Perintah tanggal 28 Agustus 1958 No.565/UPS/1958 dengan menetapkan daerah Dairi menjadi wilayah Administratif yakni Koordinator Shap yang langsung berurusan dengan Propinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, atas dasar pertimbangan efesiensi dan efektivitas pemerintahan, maka pemerintah pusat menyetujui serta menetapkan pembentukan kembali Kabupaten Dairi dengan UU No. 4 Perpu 1964, terhitung mulai 1 Januari 1964, kemudian menjadi UU No.15 Tahun 1964 yang berlaku sekarang (Kabupaetn Dairi Dalam Angka, 2007).

Tahun 2003, Kabupaten Dairi dimekarkan menjadi 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat. Mulai saat itu hingga sekarang Kabupaten Dairi terbagi menjadi 15 kecamatan, antara lain; Kecamatan Sidikalang, Sitinjo, Berampu, Parbuluan, Sumbul, Silahisabungan, Silima Pungga-Pungga, Lae Parira, Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu Hilir, Tiga Lingga, Gunung Sitember, Pegagan Hilir dan Tanah Pinem.

Dokumen terkait