• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Pelacuran di Indonesia

GAMBARAN UMUM DISKOTIK SUPER

1. Sejarah Pelacuran di Indonesia

Pelacuran di Indonesia telah ada di tengah - tengah masyarakat sejak wilayah Indonesia berbentuk kerajaan. Rukmini (1964:38) mengatakan bahwa hal tersebut berakar pada adanya kelas dalam masyarakat kelas tuan tanah dan kelas petani miskin. Golongan pertama memiliki kedudukan ekonomi yang kuat sehingga mereka mampu memelihara beberapa orang istri dan selir. Selir – selir ini banyak diambil dari keluarga petani dan rakyat kecil. Keadaan masyarakat yang demikian itulah yang kemudian menimbulkan pergundikan dan pelacuran.

Soedjono (1977:43) menggambarkan pertumbuhan pelacuran, terutama di kota – kota besar mendapat angin ketika pendudukan Jepang yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Dengan melalui kaki tangan tertentu, wanita – wanita miskin dikumpulkan di tempat khusus yang kemudian dijadikan WTS untuk meladeni tentara – tentara pendudukan yang haus seks dan yang rupanya tidak membawa istri mereka.

pelacuran merajalela di hampir setiap ibukota povinsi dan bahkan terdapat dibeberapa kota kecamatan beberapa kompleks pelacuran yang besar, menampung ratusan WTS baik yang diatur oleh pemerintah daerah, maupun yang setengah resmi liar dapat kita jumpai dibeberapa kota di Indonesia. Melihat dari aktivitasnya prostitusi (pelacuran) di Indonesia dapat dibagi dua:

a. Prostitusi yang terdaftar, pelakunya diawasi oleh bagian vice control

dari kepolisian yang dibantu dan bekerjasama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam suatu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keadaan umum.

b. Prostitusi yang tidak terdaftar, termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap – gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir termpatnyapun tidak terorganisir bisa disetiap tempat baik mencari pelanggan sendiri maupun melalui calo – calo dan panggilan.

Di daerah Sumatera Utara, khususnya Kota Medan, dengan luas wilayah meliputi 21 kecamatan di dalamnya, di mana keberadaan Diskotik Super Nibung Raya, berada di Kecamatan Medan Petisah, sebagai salah satu pub and bar yang diperuntukkan bagi masyarakat Kota Medan dalam memenuhi kebutuhan hiburan mereka. Jika ditinjau dari keberadaan lokalisasi di tempat ini, termasuk bagian dari lokalisasi yang diadakan oleh pemerintah Kota Medan, sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Medan dari sektor pajak hiburan, yang menampung puluhan pelacur atau PSK, seperti yang terdapat di Jalan Nibung Raya, Si Canang, Bandar Baru dan sebagainya. Di samping lokalisasi yang resmi tersebut, terdapat juga berbagai bentuk kegiatan prostitusi terselubung di beberapa kawasan jalan di Kota Medan, seperti di seputaran Jalan Iskandar Muda, Jalan Gajah Mada, dan Seputaran Kawasan Sudirman. Dengan melakukan transaksi seks baik perorangan maupun dengan bantuan mucikari sebagai penghubung mereka dengan para pelanggan, dan biasanya ditangani oleh beberapa orang saja yang menjadi penghubung.

ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmoni, konflik – konflik internal dan eksternal, juga disorganisasi dalam kelas sosial masyarakat. Peristiwa tersebut di atas memudahkan individu menggunakan pola – pola responsi / reaksi yang tidak lazim digunakan atau penyimpangan dari pola – pola umum yang berlaku.

Dalam hal ini, ada pola pelacuran untuk mempertahankan hidup ditengah – tengah hiruk pikuk alam pembangunan khusunya di Kota Medan. Adapun faktor – faktor penyebab timbulnya pelacuran tersebut antara lain adalah:

a. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan dan buta huruf sehingga menghalalkan pelacuran.

b. Adanya nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks, histeris dan hiper seks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria / suami.

d. Aspirasi materil yang tinggi daripada diri wanita dan kesenangan, ketamakan terhadap pakaian – pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah – mewahan, tetapi malas bekerja.

e. Kompensasi terhadap perasaan – perasaan imperior. Jadi ada adjustment

yang negatif, terutama sekali terjadi pada masa puber dan adolesen. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante – tante atau wanita – wanita modern lainnya.

f. Rasa ingin tahu gadis – gadis kecil dan anak – anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan – bujukan bandit seks.

g. Anak – anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyaknya tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat, dan norma – norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak – anak remaja itu yang lebih menyukai pola seks bebas.

h. Pada masa kanak – kanak pernah melakukan relasi seks, atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan untuk sekedar iseng,

relasi seks secara bebas dengan pemuda – pemuda sebaya. Lalu terperosoklah mereka ke dalam dunia pelacuran.

i. Gadis – gadis dari daerah slums (perkampungan – perkampungan melarat dan kotor) dengan lingkungan yang immoral, yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang – orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terorganisir mentalnya dengan tindakan tuna susila. Lalu menggunakan mekanisme pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.

j. Oleh bujuk rayu kaum lelaki dan para calo, terutama yang menjanjikan pekerjaan – pekerjaan terhormat dengan gaji yang tinggi misalnya sebagai pelayan toko, bintang film, pragawati dan lain – lain. Namun pada akhirnya gadis – gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke dalam bordil – bordil dan rumah – rumah pelacuran. Dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan janji – janji yang diberikan kepada mereka hingga tidak ada pilihan, akibat rasa malu dan prustasi dari keadaan tersebut, akhirnya tetap menjalankan aktivitas pelacuran sebagai penghasilan utama.

pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran ini berasal dari bahasa Latin ‘prostituere’ atau ‘pro – stauree’ yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, percabulan, pergendakan. Sedangkan

prostitute adalah pelacur atau sundal, dikenal dengan istilah WTS dalam perkembangan hingga sekarang.

Tuna susila itu diartikan sebagai, kurang beradab karena keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri kepada lelaki untuk pemuasan seksual, dan mendapatkan imbalan jasa atau uang dalam bentuk pelayanannya. Tuna susila ini juga bisa diartikan sebagai salah tingkah, tindakan tuna susila atau gagal dalam menyesuaikan diri terhadap norma – norma sosial.

Perkembangan penciptaan peran gender yang dianggap universal melalui citra perempuan, representasi dalam media, dan pengaruh – pengaruh lain pada sosialisasi adalah bagian dari rezim kebenaran yang bertindak mengabadikan diskriminasi nyata dan orde kuasa (Allison J. Murray, 1991:16). Proses ini tidak dapat diabaikan dari control ideologis

kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas – batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua Negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang. Dan senantiasa menjadi masalah sosial, atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi, selanjutnya dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai tingkatan.

Pelacuran merupakan suatu masyarakat tersendiri dengan sub kultur yang khas, sebagai suatu kelompok sosial yang memiliki karakteristik yang khas, kehidupannya penuh gemerlapan, bau parfum dan minuman keras yang menusuk hidung dan tawa cekikikan yang mengundang nafsu. Disitu mereka harus menyenandungkan birahi, membuat laki – laki resah menunggu, saat berkencan, hidup mereka penuh sandiwara dan kepalsuan.

Tidak seorang pun wanita mempunyai cita – cita menjadi pelacur, tetapi keadaan tidak bisa diajak berdamai, dengan keadaan yang serba sulit dimana kebutuhan hidup semangkin banyak dan harus dipenuhi, terpaksa

berdaya untuk merambah kemungkinan hidup yang lebih baik.

Dengan latar belakang dan berbagia sebab, profesi sebagai pelacur mereka jalani tanpa menghiraukan akibat – akibat ataupun bahaya – bahaya yang ditimbulkannya.

Dokumen terkait