• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perjuangan Kepercayaan

Bab 1. Sejarah Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang

D. Sejarah Perjuangan Kepercayaan

1. Perjuangan Kepercayaan menjelang Kemerdekaan

Masa perjuangan pergerakan kemerdekaan, dimulai setelah adanya perasaan senasib sepenanggungan terutama di saat klimaks kolonialisme di saat hampir semua kerajaan-kerajaan lokal Nusantara telah dikuasai oleh Hindia Belanda. Setelah tahun 1907, pemerintah Hindia Belanda menghadapi pola gerakan non-fisik di berbagai daerah terutama di Pulau Jawa. Kesadaran berkumpul dan berorganisasi tumbuh cepat ditandai semakin banyaknya perkumpulan-perkumpulan pada penduduk pribumi nusantara, berdirinya Budi Utomo (1908) dan gerakan kepemudaan dari berbagai daerah di Nusantara. Selanjutnya peristiwa Sumpah Pemuda (1928) sebagai tonggak besar dimulainya nasionalisme Nusantara dengan nama Indonesia.

Di masa ini pula mulai tumbuh perkumpulan komunitas yang didirikan tokoh kelompok masyarakat dan kepercayaan lokal, di antaranya Paguyuban Penghayat Kunci (Bali), Hardo Pusara, Subud, Paguyuban Sumarah, Purba Jati, (di Jogja dan Jawa Tengah), Paguyuban Pasundan, Aliran Kebatinan Budi Daya, (Sunda, Jawa Barat), Kawruh Kebatinan Jawa Lugu (Jawa Timur) dan masih banyak lagi. Keberadaannya berupa paguyuban kerohanian, kebatinan, kejiwaan yang berbasis budaya spiritual, tanpa memperlihatkan tendensi politik. Terdapat juga kemunculan kelompok agama lokal, seperti Parmalim (Tapanuli, Sumatera Utara), Kaharingan (Kalimantan). Dan bersamaan dengan gerakan-gerakan berbasis keagamaan lainnya. Ke semuanya itu turut mengilhami semangat kebangsaan dengan nilai luhur budayanya.

Pada peristiwa nasional Sumpah Pemuda, saat itu dikumandangkan lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman, dinyanyikan sebanyak 2 stanza (seluruhnya ada 3 stanza), selain deklarasi nasionalisme juga naskah syairnya yang ke-2 sarat dengan nilai- nilai budi luhur nusantara.

Di antara tokoh-tokoh kepercayaan pada masa itu berkiprah taraf nasional antara lain: Sudirman (yang kemudian menjadi Panglima Besar tentara Indonesia) dari Paguyuban Sumarah, dan KMRT Wongsonegoro, saat itu sudah berkiprah dalam perkumpulan Indonesia Muda. (Basuki, H. 2017). Mr. Wongsonegoro kemudian menjadi anggota Dokuritsu Junbi Tjoskai atau BPUPKI. Wongsonegoro merupakan tokoh yang mengusahakan terbentuknya organisasi kepercayaan tingkat Nasional dan terus membinanya, disela-sela kegiatannya sebagai politikus nasional.

Pergerakan perkumpulan-perkumpulan itu sekalipun berbasis di daerah masing-masing sangat penting sumbangsihnya menggalang semangat anti penjajahan melalui gerakan sosial, apalagi terjadi hampir di seluruh nusantara yang menonjolkan pergerakan kaum muda intelektual pada masa itu.

2. Sejarah Dan Perjuangan Kepercayaan Setelah Kemerdekaan

Pada masa persiapan kemerdekaan para tokoh bangsa menyadari keberagaman suku dan agama dan ras yang ada di Nusantara. Keberadaan Negara yang akan merdeka itu dicitata- citakan akan menjadi rumah kemerdekaan bagi seluruh suku dan agama dan ras yang ada di Nusantara. Rumusan pasal 29. Ayat 2 yang mencantumkan kata “kepercayaan”

merupakan buah perjuangan “intelektual” dan jiwa besar para tokoh pendiri bangsa ini.

Salah satu perumus itu adalah Mr. Wongsonegoro yang merupakan tokoh kepercayaan Nasional. Keteladanan Mr. Wongsonegoro sebagai seorang intelektual yang gigih salah satunya adalah kemampuan bekerja sama dengan tokoh lintas agama. Mr. Wongsonegoro pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pada era beliau di pemerintahan data-data identitas ada kolom bertuliskan “Agama/ Kepercayaan : _____ “.

Pada dekade awal kemerdekaan, hanya agama Islam dan Kristen yang masuk di dalam Departemen Agama yang baru dibentuk (tahun 1946). Dari masa awal kemerdekaan dikotomi itu berkembang menguat, puncaknya pada era tahun 1950-an. Perdebatan politik identitas pembedaan yang semakin meluas sehingga muncul istilah “aliran kepercayaan” (termasuk Hindu, Budha dan Kong Hu Cu dalam kategori ini), Pemerintah orde baru pernah membuat kebijakan berupa himbauan agar kelompok agama dan masyarakat yang bukan pemeluk 5 agama besar kembali ke salah satu induknya. Sekalipun kata “kembali” itu sangat keliru. Banyak kelompok masyarakat budaya spiritual di Indonesia masuk dalam administrasi Agama Hindu, sebagian ke Islam, demi “mendapatkan layanan hak-hak sipil oleh pemerintah”.

Pada tahun 1973, resmi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa tertuang dalam Ketatapan MPR: TAP N0. IV /MPR/ 1973 dan selanjutnya Ketatapan MPR:

TAP N0. II /MPR/ 1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Ketetapan ini mengamanatkan dibentuknya Direktorat yang melakukan pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Perbaikan pun perlahan dirasakan. Di antaranya dengan adanya peraturan per undang- undangan yang memiliki kekhususan diantaranya;

■ Identitas dan Pencatan Sipil: Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 dan UU yang menjadi payungnya, yakni UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran dan Pencatatan Sipil.

■ Peraturan Bersama Mendagri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) No. 43 dan 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Penghayat Kepercayaan meliputi Administrasi, Pemakaman dan sarana sarasehan atau sebutan lainnya.

■ Permendiknas No. 27 t a h u n 2 0 1 6 , tentang layanan pendidikan anak penghayat, yang salah satu faktanya adalah saat ini siswa dapat belajar Kepercayaan di sekolah.

■ Putusan MK No. 97/XVI/MK /tahun 2016, mengabulkan gugatan tentang UU No.23/2006, terkait diskriminasi terhadap penghayat karena belum benar-benar sesuai UUD 1945.

Gambar 1.6. Presidium MLKI, Engkus Ruswana hadir menjadi Ahli Pemohon.

Sumber : Kemendikbud/ Mikhael Molan Keraf (2020)

Setelah itu Kepercayaan tercantum di KTP dan ada upaya pemerintah untuk percepatan penerbitan KTP bagi penghayat kepercayaan. Hakim-hakim MK menyatakan dengan tegas agama dan kepercayaan itu setara kedudukannya sebagai mana dalam pasal 29 UUD 1945. Juga diperkuat pada Bab XI, Pasal 28E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,... dan seterusnya. Pasal 28E

ayat (2)“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, .... sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28I ayat (2) “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Bagaimana strategi penghayat menguatkan perjuangan keberadaannya?

Organisasi dan paguyuban adalah satu kekuatan pergerakan dan perjuangan kepercayaan. Adanya prakarsa Bapak KMRT Wongsonegoro dan kawan-kawan membentuk Sekretariat Kebatinan dan Kerohanian (SKK) telah berhasil mendorong perhatian pemerintah untuk membina kelompok masyarakat kepercayaan. Di era tahun 1980-an pemerintah mendorong pembentukan organisasi nasional yang menaungi semua Kepercayaan di Indonesia. Berdirilah Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK).

Seiring perubahan demokrasi Indonesia di era reformasi muncul beberapa organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga lahir beberapa organisasi yang memberikan perhatian terhadap keberadaan Organisasi Penghayat Kepercayaan seperti;

■ Badan Kerja sama Organisasi Kepercayaan (BKOK)

■ Forum Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

■ LSM Pemerhati Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pada tahun 2014 berdiri Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), yang selanjutnya organisasi-organisasi tersebut menjadi mitra Pemerintah melalui Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pendidikan dan pewarisan ajaran Kepercayaan kepada anak-anak penghayatnya harus lebih dikuatkan. Generasi muda penghayat haruslah terus menempa diri meningkatkan kualitas. “Harus memenuhi dimensi dengan 4 unsur. Kualitas spiritual sesuai sila pertama KeTuhanan Yang Maha Esa. Kualitas Intelektual, perkembangan peradaban dalam pendidikan. Kualitas sosial, kearifan lokal, dan kearifan nusantara. Dan kualitas berbangsa dan bernegara,”. Organisasi penghayat, harus mampu mengatasi berbagai kendala pewarisan kepercayaannya. Kurangnya kegiatan penyebaran dan penguatan nilai-nilai kepercayaan di internal harus lebih agresif lagi. Hal lain adalah organisasi kepercayaan dari organisasi unit, hingga organisasi nasional (dalam hal ini MLKI) harus menggalang warganya, bersama pemerintah dan lintas keyakinan, mengatasi kendala eksternal pada masalah-masalah hukum. Sekalipun berbagai peraturan terkait hak-hak penghayat sudah ada, tetapi di lapangan sering terkendala. Antara lain berkaitan dengan pengurusan KTP, perkawinan, pemakaman dan pendirian sanggar-sanggar pemujaan dan