• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

1. Sejarah Perkembangan Syair

R. O. Winsted berpendapat bahwa syair pertama kali muncul dalam sastra Melayu pada abad ke-15 dalam Syair Ken Tambuhan. Bukti-bukti yang dikemukakannya ialah pemakaian kata Kawi seperti lalangan (kebun), kata-kata Jawa seperti ngambara dan ngulurkan, perbendaharaan kata-kata yang kaya, mitos Hindu dan satu gaya yang klasik (R. O. Winsted, 1958: 152).

A. Teeuw tidak setuju dengan pendapat ini. Ditunjukkannya bahwa Syair Ken Tambuhan baru ditulis pada abad ke-17 atau ke-18; unsur-usnur Jawa yang terdapat dalam Syair Ken Tambuhan belum tentu langsung berasal dari bahasa Jawa oleh penulisnya. Ia mungkin berasal dari cerita Panji dan wayang yang tersebar luas di alam Melayu sejak zaman dahulu kala; tambahan pula, kita juga tidak boleh menafsirkan adanya hubungan langsung dengan Jawa sesudah zaman Malaka, yaitu abad ke-15.

1

Menurut Teeuw, kemunculan syair dalam sastra melayu tidak mungkin lebih awal daripada abad ke-16. Sekitar tahun 1600, syair masih berarti puisi secara umum dan bukan sesuatu jenis puisi tertentu.. dalam Tajus Salatin yang tertulis pada tahun 1602/1603 tidak terdapat sekuntum pun puisi yang mirip dengan struktur syair sekarang. Syair sebagai jenis puisi yang berbaris empat dan bersanjak aaaa baru tersebar sesudah Hamzah Fansuri menamai puisi yang ditulisnya ruba’i (puisi yang berbaris empat). Tetapi ruba’i Hamzah Fansuri berbeda dengan ruba’i sejenis puisi Arab/Parsi. Ruba’i Hamzah Fansuri merupakan bagian dari sebuah puisi yang lebih panjang, sedangkan ruba’i sebagai puisi Arab/Parsi adalah sebuah puisi yang berdiri dengan sendirinya.2

Mula-mula puisi Hamzah itu terdiri atas beberapa kesatuan yang disebut ruba’i, kadang-kadang bait dan sekali-sekali syi’r atau sya’ir. Bila puisi-puisi jenis ini tersebar luas dan digemari orang, ia mendapat nama baru, yaitu syair. Penyair-penyair lain juga menulis puisi jenis ini (syair), tetapi tidak membatasi diri pada puisi tasawuf lagi. Semua perkara disyairkan dalam bentuk ini. Pengaruhnya juga kian meluas. Dalam sastra Jawa muncul sejenis puisi yang berasal dari syair, yaitu sangir. Pada tahun 1670, seorang Melayu di Makassar menggunakan bentuk ini untuk menulis sebuah sysair sejarah, yaitu Syair Perang Mengkasar. Lambat-laun, penulis-penulis di berbagai daerah menggunakan puisi jenis ini untuk menulis puisi romantik seperti Syair Ken Tambuhan.

Demikianlah kita melihat pada abad ke-17, syair-syair sudah bermunculan di Johor, Palembang, Riau, Banjarmasin, Batavia, (Jakarta), dan Ambon, bahkan di seluruh Nusantara. (A. Teeuw, 1966:446).

2

Jauh sebelum A. Teeuw mengemukakan kemungkinan Hamzah Fansuri sebagai pencipta syair Melayu yang pertama, P. Voorhoeve sudah membuat kesimpulan yang sama. Dalam sebuah ceramahnya kepada pelajar-pelajar bahasa Melayu di Paris, tahun 1952, P. Voorhoeve sudah mengatakan bahwa syair Melayu yang mula-mula mungkin ditulis oleh Hamzah Fansuri. Alasan yang dikemukakan hampir serupa dengan alasan yang dikemukakan oleh A. Teeuw,

a. Tiada syair sebelum Hamzah Fansuri

b. Tiada bentuk syair dalam bahasa-bahasa Nusantara kecuali sangir dalam bahasa jawa yang berasal dari syair melayu; dan

c. Pada paruh pertama abad ke-17, puisi Hamzah Fansuri tidak dikenal sebagai syair melainkan ruba’i dan Valentijin dalam bukunya (1726) menyebutkan tentang Hamzah Fansuri yang terkenal dengan syairnya. Bukan itu saja. Ar-Raniri yang dalam hal agama, adalah saingan Hamzah Fansuri, juga pernah dipengaruhi oleh Hamzah dan menulis beberapa ruba’i dalam Bustanus Salatin (P. Voorhoeve, 1968: 277-278).

Syed Naguib Al-Attas menyatakan pendapatnya dengan tegas. Dalam dua risalah (Syed Naguib Al-Attas, 1968, 1971), menyerang A. Teeuw karena ketidak tegasannya dalam mengemukakakn bahwa Hamzah Fansuri sebgai pencipta syair Melayu yang pertama. Kesimpulannya ialah Hamzah Fansuri mendapat pengaruh atau bentuk asal puisinya dari puisi Arab, syi’r yang berbaris empat, seperti syi’r

yang dikarang Ibnul Arabi dan Iraqi yang banyak dikutipnya (Syed Naguib Al-Attas, 1968: 58).3

Amin Sweeney, seorang sarjana yang pernah mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya, syair Hamzah Fansuri mendapat pengaruh yang kuat dari nyanyian rakyat (pantun) seperti yang terdapat dalam Sejarah Melayu. Ia sampai kepada kesimpulan ini sesudah menyelidiki ciri-ciri syair, yaitu irama (metre), sanjak akhir (rhyme), pembagian kesatuan (units) dan pengelompokkan kesatuan.

Irama syair adalah sama seperti irama pantun. Bukan saja pantun kadang-kadang muncul dalam syair, baris-baris syair juga kadang-kadang-kadang-kadang terdapat dalam panting. Doorenbos, seorang sarjana Belanda telah menunjukkan dalam disertasinya bahwa beberapa baris syair Hamzah Fansuri adalah sama seperti yang dipakai dalam pantun. Dalam sebaris pantun atau syair selalu ada semacam perhentian (caesura) ditengah-tengahnya, yaitu sesudah perkataan yang kedua dalam sebaris pantun atau syair yang mengundang empat perkataan itu. Sanjak akhir yang dipakai dalam syair Hamzah Fansuri adalah aaaa. Ini adalah pola sanjak yang terdapat dalam nyanyian-nyanyian dalam Sejarah Melayu.

Seandainya Hamzah mencontoh puisi Arab, setiap bait Fansuri pasti hanya terdiri dari dua baris saja dan bukan empat baris. Bait yang berbaris empat tidak dikenal dalam puisi arab. Nyatalah yang menjadi contoh syair Hamzah bukan puisi arab melainkan nyanyian (pantun) empat baris yang terdapat dalam Sejarah Melayu (R. Roolvink, 1966: 455-457). Tentang pengelompokkan kesatuan pula,

3

kesatuan-kesatuan ini tidak berdiri sendiri melainkan bersambung untuk mengembangkan suatu tema atau cerita. Dalam puisi Arab, satu kesatuan (bait) yang dua baris itu merupakan satu keseluruhan (Amin Sweeney, 1971: 58-66). Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa sungguhpun Hamza Fansuri menggunakan Istilah puisi Arab, bait, syair, ruba’i, syair Hamzah Fansuri bukanlah tiruan dari puisi Arab. Pengaruh nyanyian (pantun) pada syair Hamzah Fansuri jauh lebih besar dari puisi Arab. Syair Melayu, biarpun memakai istilah bahasa Arab adalah puisi Melayu asli juga (C. Hooykas, 1947: 72).4

Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan berikut.

a. Sayir Panji

Syair panji sebagian besar adalah olahan dari bentuk prosanya, misalnya Syair Panji Semirang adalah olahan dari Hikayat Panji Semirang, Syair Angreni adalah saduran dari Panji Angreni. Sering hanya isinya saja yang diambil dan bukan judulnya. Satu lagi antara perbedaan hikayat Panji dan syair Panji ialah bahwa hikayat panji berbelit-belit plotnya, sedang syair Panji lebih sederhana plotnya. Biasanya satu syair hanya menceritakan satu cerita utama saja. Misalnya Syair Ken Tambuhan, hanya menceritakan percintaan dan perwakinan Raden Menteri dan Ken Tambuhan; Syair Undakan Agung Udaya hanya menceritakan kisah Panji tinggal di Daha dan memakai nama Undakan Agung Udaya. Contoh syair Panji adalah; Syair Ken Tambuhan, Syair Angreni, Syair Damar Wulan, Syair Undakan Agung Udaya, dan Cerita Wayang Kinudang.5

4

Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 565.

5

b. Syair Romantis

Syair romantis adalah jenis syair yang paling digemari. Harun Mat Piah pernah mengkaji 150 buah syair untuk disertasinya di Universitas Kebangsaan Malaysia (1989) dan mendapati bahwa 70 buah (47 persen) adalah syair romantis. Ini tidak mengherankan karena sebagian besar syair romantik menguraikan tema yang biasa terdapat di dalam cerita rakyat, penglipur lara dan hikayat. Contoh dari syair romantis adalah; Syair Bidasari, Syair Yatim Nestapa, Syair Abdul Muluk, Syair Sri Banian, Syair Sinyor Kosta, Syair Cinta Berahi, Syair Raja Mambang Jauhari, Syair Tajul Muluk, Syair Sultan Yahya, dan Syair Putri Akal.

c. Syair Kiasan

Syair kiasan atau simbolik adalah syair yang mengisahkan percintaan antara ikan, burung, bunga, atau buah-buahan. Hans Overbeck menemani syair jenis ini sebagai syair binatang dan bunga-bungaan (Malay animals and fllower shers, 1934). Menurut Overbeck lagi, syair jenis ini biasanya mengandung kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Misalnya Syair Ikan Terubuk adalah syair yang menyindir peristiwa anak raja Malaka meminang putri Siak. Syair Burung Pungguk menyindir seorang pemuda yang ingin mempersunting seorang gadis yang lebih tinggi kedudukannya. Ada juga syair yang menyindir petualangan cinta saudagar pengembara atau memberi nasehat pada pendengarnya. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Burung Pungguk, Syair Kumbang dan Melati, Syair Nuri, Syair Bunga Air Mawar, Syair Nyamuk dan Lalat, Syair Kupu-kupu dengan Kembang dan Balang, dan Syair Buah-buahan.

d. Syair Sejarah

Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Di antara peristiwa sejarah yang paling penting ialah peperangan, dan karena itu, syair perang juga merupakan syair sejarah yang paling banyak dihasilkan. Peristiwa sejarah itu mungkin juga merupakan kisah raja yang memerintah atau residen Belanda. Syair Sultan Mahmud di Lingga, misalnya, menceritakan masa kehidupan Sultan Mahmud Syah beserta keluarganya, Syair Residen De Brau pula mengisahkan peranan yang dimainkan residen de Brau dalam pembuangan Perdana Menteri dari Palembang ke tanah Jawa. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Perang Mengkasar, Syair Kompeni Welanda Berperang dengan Cina, Syair Perang di Banjarmasin, Syair Raja Siak, Syair Sultan Ahmad Tajuddin, dan Syair Siti Zubaidah Perang Melawan Cina.

e. Syair Agama

Syair agama adalah golongan syair yang paling penting. Telah dijelaskan bahwa Hamzah Fansurilah orang pertama menulis puisi dalam bentuk syair yang kemudian diikuti oleh penyair-penyair lainnya di Aceh seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan beberapa orang penyair-penyair yang tidak bernama. Abdul Rauf sendiri juga pernah menulis sebuah syair yang berjudul Syair Makrifat (Van Ophuijsen, 78). Perkara yang disyairkan di dalam syair-syair semuanya bersifat keagamaan. Hanyalah kemudian dan dengan perlahan-lahan syair dipakai untuk menyairkan hal-hal yang tidak ada kaitan dengan agama.

Berdasarkan isinya, syair agama dapat dibagi pula kepada beberapa jenis.

1) Jenis pertama ialah syair sufi yang dikarang oleh Hamzah Fansuri dan penyair-penyair sezaman.

2) Jenis kedua adalah syair yang menerangkan ajaran Islam seperti Syair Ibadat, Syair Sifat Dua Puluh, Syair Rukun Haji, Syair Kiamat, Syair Cerita di dalam Kubur dan sebagainya.

3) Jenis ketiga ialah Syair Anbia, yaitu syair yang mengisahkan riwayat hidup para nabi, misalnya Syair Nabi Allah Ayub, Syair Nabi Allah dengan Firaun, Syair Yusuf, Syair Isa, dan lain-lain. 4) Jenis keempat ialah syair nasihat, yaitu syair yang bermaksud

memberi pengajaran dan nasihat kepada pendengar atau pembacanya, misalnya Syair Nasihat, Syair Naihat Bapak Kepada Anaknya, Syair Nasihat Laki-laki dan Perempuan dan sebagainya. Syair Takbir Mimpi dan Syair Raksi mungkin juga dapat digolongkan ke dalam jenis ini.

Contoh judul syair agama adalah; Syair Hamzah Fansuri, Syair Perahu, Syair Dagang, Bahr An-Nisa’, Syair Kiamat, Syair Takbir Mimpi, dan Syair Raksi.6

Ricklefs mengutip bahwa bahwa Hamzah Fansuri dan Syamsuddin menulis karya-karya mengenai ilmu tasawuf Islam. Kemudian, pada masa kekuasaan Ratu Taj ul-Alam (1641-75), Abdurrauf merupakan pengarang yang terpenting di istana, menulis karya-karya ilmu hukum Syafi’i dan juga ilmu

6

tasawuf. Tetapi, masih bertahannya cerita-cerita Hindu seperti Hikayat Seri Rama menggambarkan bahwa kesastraan Melayu tidak seluruhnya didominasi oleh karya-karya yang berilhamkan Islam.

Sajak macapat menggunakan bahasa Jawa yang sangat baik. Kesastraan yang berbahasa Jawa Kuno mencerminkan peranan penting yang dimainkan Bali dalam memelihara warisan kesastraan pra-Islam Jawa setelah Jawa menjadi Islam. beruhungan dengan kesastraan Bali terbaibagi menjadi tiga kelompok atas dasar bahasanya: Jawa Kuno, Jawa Pertengahan (Jawa-Bali/Bali-Jawa), dan Bali. Buku-buku yang berbahasa Jawa Kuno masih dapat ditemukan di Jawa, namun sebagian besar hanya dikenal dalam bentuk salinan-salinan dari Bali atau Pulau Lombok yang letaknya berseblahan. Ini berhubungan dengan penolakan Bali terhadap Islam dan tetap mempertahankan warisan kesastraan dan agama yang di Jawa telah berubah (namun tidak pernah terhapus sama sekali) sebagai akibat islamisasi.

Kesastraan yang berbahasa Jawa Pertengahan merupakan suatu subyek yang problematis. Sebagian besar dari naskah-naskah itu dinamakan kidung (nyanyian). Naskah-naskah tersebut terutama berisi legenda-legenda romantis mengenai zaman Majapahit di Jawa (Harsawijaya, Rangga Lawe, Sorandaka, Sunda). Orang-orang Bali juga menulis dalam bahasa mereka sendiri, terutama mengenai sejarah kerajaan-kerajaan mereka yang didapati dalam bentuk sajak. Begitupun Suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, keduanya mempunyai kesastraan yang berkaitan erat, baik prosa maupun sajaknya. Kesastraan mereka menggunakan tulisan asli yang nyata-nyata berbeda dari tulisan Arab maupun Jawa, yang mempunyai kesamaan dengan tulisan tersebut adalah beberapa tulisan

Sumatera yang pada dasarnya berasal dari India. Selain itu, masih ada tradisi-tradisi kesastraan Indonesia lain di samping tradisi-tradisi-tradisi-tradisi kesastraan tersebut di atas.7

Nampaknya, relevan dengan Alifuddin yang mengatakan bahwa Yunus menyebut Buton terkena pengaruh ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin Sumatrani sebagaimana yang berkembang di Aceh pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Lebih lanjut Yunus mengemukakan, bahwa ajaran yang tampak di Buton pada pertengahan abad ke-17 adalah ajaran Martabat Tujuh atau konsep manusia sempurna.8 Senada dengan Ricklefs, khususnya Syamsuddin, Abdurrauf, dan ar-Raniri semuanya menerapkan doktrin tasawuf tentang tujuh tahapan asal-usul (martabat), yang didalamnya Tuhan mewujudkan diri-Nya di dunia yang fana ini, yang mencapai puncaknya pada manusia sempurna/insan kamil (lihat Rifleks, 2011:78).

Dokumen terkait