• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jakarta

PROFIL DKI JAKARTA DAN PELAKSANAAN PILKADA

F. Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jakarta

Isu SARA memang sulit dipisahkan dalam dunia politik di Indonesia. Isu yang masih menarik di cermati saat ini mengenai pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Hal ini diperkuat dari hasil exit poll yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan 100 persen warga Tionghoa Jakarta menjatuhkan pilihan pada pasangan Jokowi-Ahok.

Memang dalam kultur masyarakat kita yang cukup heterogen baik dari sisi suku, agama maupun ras, kehidupan politik tidak bisa dipisahkan di dalamnya. Dan untuk pencapaian tujuan politik, SARA bisa jadi dua sisi yang bertolak belakang, bisa positif maupun negatif terhadap tujuan isu yang dilontarkan. Pemilihan Ahok sebagai pendamping Jokowi merupakan unsur

SARA yang “menguntungkan” untuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta, di

mana cukup banyak potensi pemilih aktif dari kalangan bisnis yang berasal dari etnis Tionghoa. Jokowi yang berasal dari suku Jawa juga merupakan komoditas SARA yang cukup potensial mengambil suara dari para banyak pendatang dari Jawa yang menetap di Ibukota. Kubu Foke pun sebenarnya tidak kalah seru dalam menyebarkan isu SARA untuk mengambil simpati pemilih dari etnis Betawi.

Indonesia adalah negara yang besar dan persebaran geografis orang tionghoa sangat tidak merata. Mulai dari pulau Bangka di mana jumlahorang Tionghoa hampir seperempat dari seluruh penduduk,sedangkan di Indonesia bagian Timur jumlahnya kurang dari 2 persen.Di Jakarta jumlahnya sekitar 10

44 persen dari jumlah penduduk.14

Bangsa Cina mendarat di Indonesia sekitar abad ke 5, di pesisir pantai Jawa Timur. Mereka adalah pedagang yang berlayar untuk mencari rempah rempah, dan kemudian mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga diyakini membawa agama dan tradisi Islam masuk ke Indonesia, karena berkat Jalan Sutra, agama Islam yg berasal dari Arab, masuk ke Cina melalui India. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang dari Wali Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.

Pada waktu itu di Batavia Lama berbagai kelompok etnis yang berbeda bermukim di daerah tersendiri atau di kampung kampung yang ada di pinggiran, pola ini terus diberlakukan untuk orang orang Tionghoa sampai abad ke 20, ketika pembatasan tempat tinggal mereka dihapuskan, mereka menyebar ke penjuru kota Jakarta.15 Tahun 1680 pada jaman Kolonial Belanda, para pedagang Tionghoa mempunyai peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, itu akan menjadi masalah bagi penjajah Belanda. Karena itu, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil.

14

Justian, Suhandinata, WNI keturunan Tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan politik Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 97.

15

45

Mereka juga diberi fasilitas untuk memegang monopoli garam, pelaksana rumah pegadaian, dan memungut pajak. Tetapi ada pembatasan-pembatasan yang dilakukan Kompeni terhadap orang Cina, antara lain tidak dibenarkan memiliki tanah dan dibatasi ruang geraknya.

Sejak tahun 1690, migrasi orang Cina makin meningkat hingga jumlahnya mencapai 50% dari seluruh penduduk kota. Mereka didominasi oleh kaum miskin yang mencoba mengadu nasib di Batavia. Namun pada tahun 1870 penduduk Cina tidak hanya tinggal di daerah Glodok , tetapi banyak yang tinggal bersama-sama dengan orang pribumi di kampung-kampung sambil berdagang.

Turunnya harga gula di pasar global pada tahun 1740 menyebabkan krisis ekonomi, karena itu Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli yang sebagian besar adalah pribumi ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam diam. Kemudian isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal kapal Belanda tersebut dan pertumpahan darah pun tidak dapat dihindari.

Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar di mana dalam 3 hari, sekitar 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah olah bertindak sebagai penyelamat bagi orang orang pribumi. Lalu

46

Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yang berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi.

Nama “Kali Angke” yang ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata “Sungai Merah” yang menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai

menjadi warna merah oleh darah orang Tionghoa.

Pada jaman pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yang berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis. Pada periode 1965-1975, aparat dapat dengan seenaknya mengeksploitasi orang Cina dengan merampok dan memperkosa keluarga mereka. Cara satu satunya untuk bertahan hidup pada masa itu adalah dengan menyogok. Bahkan para Tionghoa yang berjasa bagi Indonesia pun ditangkap, dipenjara, dan dibunuh, dan hal ini menyebabkan orang Tionghoa menjadi memisahkan diri dengan Indonesia.

Mereka tidak senang disebut sebagai warga “Indonesia” Hal ini terjadi

hingga hari ini. Walaupun generasi muda saat ini tidak seekstrim leluhurnya dalam menjalani tradisi Tionghoa, tapi tetap mereka merasa berbeda dan menjaga jarak dengan pribumi. Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, diperkosa, dan milik

47

mereka dijarah massa. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa memutuskan untuk lari dari Indonesia, dan pindah ke negara negara tetangga seperti Australia dan New Zealand. Dan bahkan setelah reformasi, sebagian besar memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia karena mereka menemukan bahwa negara barat lebih menghormati hak hak mereka ketimbang Indonesia.

Setelah reformasi, pada masa pemerintahan Gus Dur, pemerintah mencabut larangan bagi orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kwik Kian Gie dijadikan menteri perekonomian. Gus Dur juga memberikan ijin bagi orang orang Tionghoa untuk menjalankan tradisinya tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah. Pada masa pemerintahan Megawati, hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Setelah 45 tahun dilarang di Indonesia (sejak tahun 1965), pada tahun 2000, Metro TV menjadi stasiun televisi pertama yang menggunakan bahasa mandarin. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang undang yang menghapus segala perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun 2007, pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono meresmikan istilah

“Tionghoa” sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina di Indonesia.

Setelah membaca uraian di atas, dapat dilihat bahwa pada awal mulanya, orang Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan. Diskriminasi terjadi akibat usaha penjajah Belanda untuk memecah belah Indonesia.

Seperti yang telah diketahui perubahan sistem politik era Orba ke era Reformasi menjadi faktor penyebab utama keterlibatan etnis Cina Indonesia

48

dalam politik. Kedua, membawa dampak signifikan atas perubahan politik internal etnis Cina Indonesia dari titik nol kekuasaan di era Orba, mencapai puncak kekuasaan politik di era Reformasi. Akibatnya etnis Melayu dan etnis Dayak terganggu kemapanan politiknya. Ketiga, respons beragam dari etnis Melayu, etnis Dayak, dan pejabat pemerintah daerah setempat yakni sebagai pulihnya hak politik etnis Cina Indonesia, dulu menguasai ekonomi sekarang menguasai politik.

Di era Reformasi, yang mengusung isu HAM dan demokratisasi, sangat menguntungkan bagi etnis Tionghoa karena dibidang ekonomi dan politik berlaku persaingan bebas. Akibatnya penguasaan ekonomi oleh mereka semakin dahsyat, dan terbuka pula peluang di bidang politik karena berlaku persaingan bebas.

Dalam demokrasi yang berlandaskan persaingan bebas, siapa yang memiliki dana yang besar, mudah mendapat dukungan publik. Popularitas dan elektabilitas dapat dibangun dengan banyak beriklan di media terutama Televisi, melakukan blusukan ke masyarakat bawah, melakukan bakti sosial dengan membagi sembako dan pengobatan gratis ke masyarakat, karena banyak sekali masyarakat yang miskin dan kurang pendidikan.

Itu sebabnya di beberapa daerah di Indonesia, calon dari etnis Tionghoa terpilih menjadi anggota parlemen dalam pemilu parlemen ditingkat daerah dan nasional, dan beberapa dari mereka bahkan terpilih menjadi Bupati, Walikota, Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pemilukada.

49

oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan kebersamaan diantara mereka yang amat kuat sebagai satu etnis telah menghantarkan mereka semakin berjaya di bidang ekonomi dan dalam beberapa kasus mereka berjaya pula di bidang politik, seperti yang terlihat dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012. Etnis Tionghoa atau Cina diwakili oleh Ahok.

Dokumen terkait