• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sentimen Agama dalam Pemilihan Kepala daerah DKI Jakarta 2012

SENTIMEN ETNIS DAN AGAMA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DKI JAKARTA 2012

B. Sentimen Agama dalam Pemilihan Kepala daerah DKI Jakarta 2012

Suatu kenyataan yang tak terelakkan bahwa tidak satu negara pun di dunia yang memiliki identitas nasional yang tunggal. Tidak ada negara yang dihuni hanya oleh satu suku bangsa. Setiap Negara selalu didukung oleh pluralitas penduduk dari segi etnis. Pengaruh dari pluralitas etnis adalah lahirnya pluralitas dalam aspek budaya , bahasa, agama , bahkan kelas sosial dalam satu negara. Terlebih lagi Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan memiliki ratusan etnis. Di sisi lain , karakteristik pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya dalam hal etnis dan agama. Dari sejumlah golongan etnis (suku bangsa) yang beragam secara umum bangsa Indonesia terbagi dalam dua golongan besar, yakni golongan etnis pribumi dan golongan etnis pendatang atau dalam hal ini etnis cina.7 Selain itu, berbagai etnik itu pada umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan yang lainnya

6

Direktur LSPP dan Konsultan Riset, Ignatius Haryanto di gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu 16-9-2012, seperti yang dikutip www.beritasatu.com yang diakses 17 November 2012.

7

Prihartanti Nanik dkk,Jurnal Penelitian Humaniora, Mengurai Akar Kekerasan Etnis

60

berbeda. Di Indonesia terdapat banyak sekali agama yang di akui oleh negara yaitu

Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang demikian majemuk dan heterogen.

Dengan kemajemukan komponen bangsa Indonesia itu, di satu sisi kita dapat menghimpun dan mengembangkan berbagai potensi bangsa yang ada. Pluralitas budaya yang ada di tanah air misalnya, merupakan kekayaan yang tiada tara dan harus disyukuri. Namun, di sisi lain pluralitas tradisi dan agama, mudah sekali menimbulkan gesekan antar kelompok, yang berpotensi menimbulkan konflik dan sentimen etnis

Pluralitas bangsa Indonesia itu ternyata sangat rentan terhadap tindak kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di samping antarkelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di Indonesia pada zaman orde baru lazim disebut dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).

Gambar IV.4.

Pedangdut Rhoma Irama Terkait Ceramah yang Berbau Sentimen Agama

61

Gambar di atas adalah pedangdut Rhoma Irama yang menyatakan ceramah Ramadan yang berujung pada dugaan pidana pemilihan umum tidak berisi penghinaan maupun hasutan kepada salah satu pasangan calon. Padahal pada saat itu isi ceramahnya menyatakan bahwa Ahok itu beragama Kristen dan beretnis Tionghoa. Rhoma diduga melakukan kampanye terselubung dalam bentuk ceramah tarawih di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Minggu, 29 Juli 2012. Dalam ceramah berdurasi tujuh menit itu, Rhoma disangka menggunakan isu suku, agama, dan ras untuk menyerang pasangan calon Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Dalam hal ini terlihat adanya sentimen agama yang terjadi untuk mempengaruhi pilihan publik dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012.

Gambar IV. 5.

Spanduk dukungan warga Tionghoa dan umat Kristiani kepada pasangan Cagub dan Wagub DKI Jakarta Joko Wi dan Ahok

62

Gambar diatas adalah ajakan warga tionghoa untuk mendukung Jokowi Ahok dalam pemilihan gubernur 2012. Spanduk itu justru dibuat oleh pihak ketiga yang berupaya memanfaatkan isu SARA untuk mendiskreditkan salahsatu kandidat dan sangat kental dengan sentimen agama.

Gambar IV.6.

Spanduk Laskar Kristus Bertebaran di Jakarta

Sumber: Salam online. com

Jelang Pilkada DKI putaran kedua yang akan berlangsung pada 20 September lalu, perang spanduk dan statemen terus marak. Setelah sebelumnya beredar spanduk berisi dukungan terhadap Jokowi-Ahok dengan latar gambar mantan preman Tanah Abang, Hercules Rosario Marshal, kini beredar spanduk yang mengatasnamakan Laskar Kristus. Spanduk dengan latar putih dan tulisan merah-hitam mencolok tersebut

bertuliskan, “Ayo Kita Pilih Anak Tuhan untuk Jakarta Baru”. Di bawah

sebelah kanan tertera “Laskar Kristus”. Ini menunjukkan adanya dukungan

63

Sentimen agama merupakan perilaku manusia, khususnya umat beragama (yang diwujudkan melalui kata, tindakan, kebijakan, keputusan) yang merendahkan, membatasi, dan meremehkan agar orang yang berbeda agama dan etnis mendapatkan hak-haknya serta mampu mengaktualisasi dirinya secara utuh

Pada umumnya, faktor utama yang menunjang sentimen Agama adalah dorongan dorongan dari pihak luar kepada seseorang. Pihak luar yang dimaksud antara lain, para tokoh-tokoh atau pemimpin Agama, politik, penguasa, pengusaha, pemerintah, kepala suku. Mereka adalah orang-orang yang ingin meraih keuntungan dari suatu perbedaan. Bagi mereka, perbedaan merupakan suatu kesalahan dan ketimpangan sosial, sehingga perlu diperbaiki melalui pemurnian dengan cara menghilangkan atau menghancurkan semua hal yang berbeda.

Dengan itu, mudah dimengerti jika ada perusakan tempat usaha etnis tertentu.Tempat ibadah etnis tertentu dan membangun opini publik melalui media massa, agar seseorang yang berbeda Agama tidak menduduki jabatan politik di lingkungan pemerintah

Pada konteks kekinian, khususnya di Indonesia, muncul banyak konflik baru, konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, misalnya perang antar suku, gerakan separatis dengan kekerasan, dan lain-lain. Sentimen Agama terjadi secara terang-terang maupun tertutup. Secara terang-terangan berupa, penodaan, pengrusakan, dan penghacuran fasilitas sosial-ekonomi atau pun ibadah milik etnis serta agama-agama. Secara tertutup berupa

64

pengambilan keputusan pada lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, bahkan militer dan politik.

Sentimen Agama adalah bahaya laten yang sewaktu-waktu meledak hanya karena sedikit masalah kecil dan sepele.8 Sentimen Agama juga memungkinkan interaksi antar umat beragama penuh kemunafikan serta ketidakjujuran.

Dan tidak bisa dibantah oleh siapapun, bahwa sentimen Agama telah hal yang menakutkan pada situasi dan lingkungan pergaulan sosial, hubungan antar umat agama, pengangkatan dan pemilihan pemimpin, khususnya dalam pemilihan Gubernur di Jakarta tahun 2012.

Sentimen negatif yang berkaitan dengan agama bisa terjadi akibat kemunculan aliran-aliran yang bersifat sekterian pada agama-agama. Pada umumnya, sekte atau mazhab tersebut mempunyai karakteristik yang hampir sama. Yaitu, bersifat sempalan atau skismatik dari arus utama agama; adanya tokoh kharismatik yang menguasai bagian-bagian tertentu dari ajaran agamanya, kemudian mengklaim diri sebagai pemegang ajaran yang benar, sang tokoh mewariskan ajaran-ajaran kepada para pengikutnya, sangat menekankan satu atau dua ajaran agama, sambil mengkesampingkan yang lain jika mendapat nasehat atau masukan untuk perbaikan, maka dianggap sebagai perlawan terhadap ajaran agama, dan oleh sebab itu patut dilawan, bila perlu dengan kekerasan. Dengan situasi seperti itu, maka biasanya, umat beragama yang mempunyai sifat sentimen keagamaan,

8

Perbedaan SARA ,Anugrah sekaligus petaka, oleh Jappy Pelokia dikutip http://jappy.8m.com/whats_new.html diakses tanggal 12 oktober 2013.

65

muncul dari sekte-sekte atau mazhab-mazhab keagamaan. Dan hampir semua agama di dunia, mempunyai sekte atau mazhab seperti itu. Mereka biasanya mempunyai corak keberagamaan yang tertutup dan mempunyai militansi keagamaan sangat tinggi.Peran elite elite agama di sana sangat jelas menempatkan agama sebagai salah satu pendorong munculnya konflik.9

Penulis sendiri menjadi saksi pasalnya beberapa Mesjid di Jakarta secara terang-terang melakukan pelabelan kualitas manusia berdasarkan agamanya. Dalam beberapa kali khutbah Jumat di sebuah Masjid di Jakarta Selatan, khatib jelas-jelas menghimbau dan melarang umat Islam untuk memilih pemimpin atau wakil pemimpin non-muslim karena dapat dipastikan akan merusak Islam. Sang pengkhutbah mengancam dengan mengatasnamakan Allah bahwa siapapun yang melanggar akan masuk neraka.

Dalam konteks komunikasi politik, eksploitasi kekurangan lawan adalah taktik utama dalam melancarkan kampanye. Kelemahan lawan ditonjolkan dan dimanfaatkan sedemikian rupa dalam rangka memperoleh keunggulan diri. Dalam kasus pilkada DKI, pihak tertentu, yang jelas penulis katakan adalah pihak dari Foke - Nara, memanfaatkan kelemahan pasangan Jokowi - Ahok yang kebetulan salah satunya adalah non-muslim. Dengan atribut Ahok sebagai non-muslim, pihak Foke - Nara melancarkan serangan dengan mengatasnamakan ajaran agama bahwa memilih pemimpin

9

Zuly, Qodir, Islam Syariah vis-a-vis Negara: ideologi gerakan politik di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 87.

66

non-muslim adalah sebuah dosa. Eksploitasi atribut agama ini terlihat seakan-akan wajar dalam komunikasi politik.

Walaupun di dalam komunikasi politik membenarkan eksploitasi kelemahan lawan, namun dalam demokrasi modern, agama bukanlah kelemahan. Mengingat agama adalah isu yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia kebanyakan, diangkatnya isu agama oleh tim sukses Foke - Nara telah menciptakan sentimen antar-agama yang semakin meruncing.

Dengan mengatakan bahwa kaum muslim hanya wajib memilih pemimpin muslim, maka masyarakat non-muslim merasa telah dilucuti hak politik nya untuk menjadi seorang pemimpin karena masyarakat Indonesia mayoritas adalah muslim, dimana jika mayoritas muslim tersebut "haram" untuk memilih pemimpin muslim, maka otomatis masyarakat non-muslim tidak akan pernah mendapatkan posisi sebagai pemimpin.

Jika elit politik di Jakarta menggunakan isu sentimen Agama sebagai senjata dalam meraih suara, maka bukannya tidak mungkin daerah lain akan mengikuti cara tersebut, yang mana hal tersebut sangat berbahaya bagi kedamaian dan keutuhan negara. Model komunikasi politik yang mengeksploitasi agama akan merambat dengan sangat cepat, apalagi di daerah-daerah yang sentimen keagamaannya masih sangat kuat seperti Ambon, Maluku, Aceh, Papua dan lain sebagainya. Agama hanyalah sebuah atribut, dia bukan substansi. Seorang yang berstatus Islam dalam KTP nya belum tentu berperilaku Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan bisa

67

saja seorang non-muslim berperilaku lebih Islami ketimbang orang yang punya status beragama Islam. Status Islam tidak memberikan jaminan dalam bentuk apapun bahwa orang tersebut akan menjadi Islam dalam perilaku.

Oleh karena itu berbagai cara dilakukan, kelompok Islam akan mengunjungi pesantren, ulama, kiai agar mendapat dukungan. Dukungan orang Islam diharapkan mengalir tentunya. Demikian pula umat agama lain pun akan menggalang dukungan sebagaimana saudara mereka yang beragama Islam Demikian pula golongan tertentu akan didatangi sesuai misi cagub yang bersangkutan.

Politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan atau kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik.10

Proses politisasi agama adalah dengan mengeksploitasi hal-hal yang merupakan identitas dan wilayah personal ke arena publik. Keberagamaan dan menganut agama adalah hak asasi karena merupakan kebebasan sipil yang dijamin Konstitusi Indonesia dan berbagai instrumen internasional hak

10

68

asasi manusia. Namun, di tengah dinamika politik yang tidak sehat, semua kebebasan sipil itu bisa dieksploitasi untuk dua kepentingan, melemahkan lawan atau untuk menghimpun dukungan baru.

Jika politisasi dipergunakan untuk melemahkan lawan politik, bisa diduga pemicu politisasi dari seberang seorang kandidat. Sementara jika dimaksudkan untuk menghimpun dukungan baru dan memperluas konstituensi, politisasi agama sengaja didesain oleh diri sendiri.

Dua model kerja politisasi (identitas) agama dalam praktik politik adalah tindakan yang mencederai demokrasi sebuah mekanisme yang seharusnya bekerja pada arena rasional.11 Indonesia dengan demokrasinya memperlakukan siapa pun warga secara setara di muka hukum dan pemerintahan. Dengan demokrasi pula, siapa pun, tanpa melihat agama, etnis, dan ras, memiliki kesempatan sama untuk menduduki jabatan apa pun dalam sistem politik dan pemerintahan.

Sifat buruk yang melekat dalam praktik politisasi agama adalah stigma berdasar cara pandang dan sikap diskriminatif terhadap personal maupun golongan, yang nantinya terjadi penghapusan hak-haknya untuk diperlakukan setara.

11 www. nasional.kompas.com/read/2009/07/03/04523717 “Demokrasi dan Politisasi Agamadiakses tanggal 13 November 2012.

69

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta semakin memanas dengan ramainya isu sentimen suku, agama, dan ras (SARA) yang dimainkan masing-masing tim sukses kedua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI. Terutama berkembangnya isu agama yang menyudutkan salah satu pasangan calon. Dan hal tersebut menunjukkan faktor etnis dan agama cukup signifikan dalam mempengaruhi pilihan warga DKI terhadap calon gubernurnya. Perbedaan etnis ini membelah pilihan di mana Foke dan Nara lebih unggul pada pemilih Betawi, Sunda, dan Minang. Dan Jokowi-Ahok unggul dalam etnik Jawa, Tionghoa dan lainnya. Namun ada faktor lain yaitu terhadap pilihan Foke versus Jokowi adalah evaluasi atas kinerja Fauzi Bowo sebagai gubernur terdahulu yang dirasa kurang memuaskan dalam memimpin Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Kemenangan Jokowi-Ahok dan kekalahan Foke-Nara juga menunjukan bahwa, tanpa kelembagaan yang kuat, klaim dukungan dari partai politik tidak akan berjalan lurus dengan pilihan politik publik. Saat partai politik lemah, sosok figur dominan menjadi faktor kemenangan. Fenomena Pilkada DKI Jakarta membuktikan hal itu. Publik dan media massa memandang sosok Jokowi dan Ahok lebih merakyat, ramah, hangat, tidak arogan, egaliter, dan lebih bisa diterima karena menyentuh kalangan masyarakat bawah. Sedangkan Foke-Nara justru sebaliknya.

70

Lemahnya kinerja partai politik dapat terlihat dari strategi komunikasi politik yang digunakan kandidat selama masa kampanye berlangsung. Slogan Kotak-Kotak dan Kumis, misalnya, terlihat lebih dominan dan populer daripada simbol-simbol partai politik yang mengusung para calon kandidat. Lambang partai politik dan kerja sistem kelembagaannya sangat jelas terlihat tidak menjadi sarana yang begitu diandalkan oleh kedua kandidat sebagai alat penarik dukungan publik. Lemahnya kelembagaan partai politik juga diikuti dengan munculnya isu SARA selama masa kampanye putaran kedua. Munculnya propagada nasionalisme SARA sebagai alat politik, adalah bukti yang paling mencolok tentang bagaimana lemahnya kelembagaan Parpol penggusung kedua kandidat.

Kemenangan Jokowi Ahok tidak lepas dari peran media dalam membentuk opini publik publik berdasarkan isi atau berita yang dimuat dan media yang juga dalam hal tertentu mampu membentuk orang. Selain itu, keberhasilan Jokowi-Ahok juga ditentukan oleh sikap mereka di depan media massa. Pasangan tersebut tidak pernah tampil emosi dalam menyikapi "serangan" dari pihak lain. Hal tersebut semakin membangun citra mereka sebagai pemimpin yang tenang dan sabar dalam menghadapi segala persoalan. Harus diakui, media demikian gencar mengangkat sosok Jokowi dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012.

Media memang sangat berperan penting dalam pembentukan figur tertentu. Media apapun baik elektronik maupun cetak memiliki peran luar biasa dan sangat efektif. Media darling terhadap Jokowi karena banyaknya

71

opini tentang Jokowi yang lebih positif membentuk sosok Jokowi ketimbang pemberitaan terhadap Fauzi Bowo. Dan hal tersebut nampaknya berpengaruh kepada preferensi pemilih dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu.

B. Saran

Isu SARA dapat diterima dan sah sejauh untuk memotivasi seseorang dalam memantapkan pilihan rasionalnya dan bukan ditujukan untuk memperlebar perbedaan apalagi untuk menyerang kelompok lain. Isu SARA juga hendaknya tidak dibumbui oleh kebohongan dan manipulasi. Lebih dari itu, isu SARA seharusnya dapat pula menjadi salah satu bimbingan bagi para setiap kandidat calon pimpinan agar lebih sensitif dan peduli bahwa kehadirannya harus melayani, menjadi pelindung dan pemersatu semua warganya. Dalam kehidupan masyarakat yang rasional yang menjadi pertimbangan utama adalah misi, visi, kompetensi, kapabiltas dan kualitas calon pemimpin. Rasionalitas pertimbangan SARA akan semakin ditinggalkan dan semakin tidak mendapat tempat dalam masyarakat modern.

Apapun isu SARA yang beredar dalam masyarakat bila sebagian besar masyarakat menggunakan rasionalitasnya maka isu tersebut tidak akan berarti. Sebenarnya bila dipikirkan dengan rasionalilas modern isu SARA tidak harus ditakuti. Justru dengan isu SARA itu bila bergaung dalam kelompok tertentu maka kelompok lainnya harus menghormatinya sebagai hak mereka. Bila hal ini dilakukan akan menjadi pelajaran demokratis yang

72

sangat berharga. Yang harus dilawan bersama adalah isu SARA negatif yang menimbulkan konflik dan memecah belah bangsa. Maka dari itu pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 adalah pelajaran berharga untuk terwujudnya masyarakat yang, rasional dan cerdas dalam berdemokrasi.

viii

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen terkait