• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah PHBM di Perhutani

Istilah kehutanan sosial diterjemahkan dari social forestry dan telah dikenal oleh para rimbawan sejak Kongres Kehutanan sedunia VII tahun 1978. Wiersum dalam Pujo (2003) mendefinisikan social forestry sebagai suatu nama kolektif untuk berbagai strategi pengelolaan hutan yang memperhatikan distribusi hasil-hasil hutan yang adil untuk memenuhi kebutuhan berbagai kelompok dalam masyarakat, mengaktifkan organisasi dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Tujuan pengembangan social forestry menurut Perum Perhutani (1990) dalam Pujo (2003) adalah untuk menjamin keberhasilan reforestasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar hutan . Secara garis besar perkembangan pengelolaan program – program kehutanan sosial di Perum Perhutani adalah sebagai berikut:

1.Prosperity Approach (1972-1981)

Prosperity Approach adalah program pembangunan hutan yang mengikutsertakan masyarakat terutama untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan – kegiatan pada program ini yaitu kegiatan tumpangsari, pembangunan basecamp, pengembangan perlebahan rakyat, penanaman hijauan pakan ternak, pengadaan

kaptering (tempat penampungan air dari mata air dan penyaluran ke rumah penduduk ) air dan pengembangan checkdam.

2. Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan ( 1982-1985)

Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) adalah program peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan dimana masyarakat diperlakukan sebagai obyek dan subyek dalam pelaksanaan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kegiatan – kegiatan dalam program ini melanjutkan program – program prosperity approach dan beberapa program baru yaitu bantuan ternak, bantuan bibit tanaman dan penanaman tanaman obat.

3. Program Perhutanan Sosial ( 1986 – 1995)

Perhutanan Sosial adalah program pembangunan dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan tujuan meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus perbaikan lingkungan dan menjaga kelestariannya. Kegiatan dalam program ini meliputi kegiatan di dalam kawasan hutan yaitu pengembangan agroforestry dan di luar kawasan hutan, yaitu pengembangan Kelompok Tani Hutan ( KTH ) dan usaha produktif yaitu peternakan, industri rumah tangga dan perdagangan.

4. Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan ( 1996-1999)

Pembinaan Masyarakat Desa Hutan ( PMDH ) adalah kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan MDH sekaligus perbaikan kualitas lingkungan dan kelestariannya. PMDH berdampak pada keberhasilan pembangunan hutan dan fungsi – fungsi hutan secara optimal. Komponen PMDH mencakup perhutanan sosial, bantuan teknik dan ekonomi. Bantuan teknik berupa prasarana, sarana, penghijauan dan berupa teknik lainnya. Bantuan ekonomi berupa bantuan permodalan, bimbingan usaha, kewirausahaan, manajemen usaha serta pemasaran hasil usaha.

5. Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ( 2000 – Sekarang) Keputusan Ketua Dewan Pengawas PT.Perhutani (persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 menetapkan telah mencabut Keputusan Direksi Nomor 1061/Kpts/Dir/2000 tentang Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat (PHBM) dan mengubahnya menjadi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat( PHBM ). Definisi Pengelolaan Sumberdaya Hutan adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, perlindungan sumberdaya hutan serta konservasi alam, sedangkan yang dimaksud PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan MDH dan dapat juga melibatkan pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

2.2. Maksud, Tujuan dan Prinsip PHBM

Maksud dari PHBM menurut Perum Perhutani dalam SK Ketua Dewan Pengawas PT.Perhutani (Persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 adalah untuk memberikan arah pengelolaan hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi perusahaan, PHBM bertujuan untuk :

a. Meningkatkan tanggungjawab perusahaan, MDH dan Pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan.

b. Meningkatkan peran perusahaan, MDH dan pihak lain yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.

c. Menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial Masyarakat Desa Hutan.

d. Meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah. e. Meningkatkan pendapatan perusahaan, MDH serta pihak yang

berkepentingan secara simultan.

Sedangkan prinsip – prinsip dasar PHBM dalam SK Ketua Dewan pengawas PT.Perhutani ( persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 adalah :

1. Keadilan dan demokratis 2. Keterbukaan dan kebersamaan

3. Pembelajaran bersama dan saling memahami 4. Kejelasan hal dan kewajiban

5. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan 6. Kerjasama kelembagaan

7. Perencanaan partisipatif

8. Keserderhanaan sistem dan prosedur 9. Perusahaan sebagai fasilitator

2.3. Kriteria Implementasi PHBM

Kriteria implementasi PHBM menurut SK Ketua Dewan Pengawas PT.Perhutani (persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 yaitu :

1. Adanya persamaan persepsi dan kepentingan. 2. Adanya pemahaman sistem PHBM dengan benar.

3. Bersatunya individu MDH dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH). 4. Terbangunnya forum komunikasi MDH atau KTH dengan Perhutani 5. Semangat dan niat untuk melaksanakan PHBM

6. Memahami ruang tanggungjawab dan kreasi PHBM ( wilayah tanggung jawab PHBM ).

7. MDH atau KTH mengetahui potensi hutan dalam wilayah PHBM 8. MDH memahami kemampuan usaha produktif desa

9. Adanya harapan atau cita – cita membangun sebuah kerja sama.

2.4. Hak dan Kewajiban Dalam PHBM

Hak dan kewajiban dalam PHBM menurut SK Ketua Dewan Pengawas PT.Perhutani (persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 yaitu :

MDH dalam PHBM berhak untuk :

a. Bersama perusahaan menyusun rencana, melakukan monitoring dan evaluasi.

b. Memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikan.

c. Memperoleh fasilitas dari perusahaan atau pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.

MDH berkewajiban :

a. Bersama perusahaan menjaga dan melindungi sumberdaya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya.

b. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan kemampuannya. c. Mempersiapkan kelompok untuk mengoptimalkan fasilitas yang diberikan

oleh perusahaan atau pihak yang berkepentingan. Perusahaan dalam PHBM berhak untuk :

b. Memperoleh manfaat dan hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikannya.

c. Memperoleh dukungan MDH dalam perlindungan sumberdaya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya.

Perusahaan dalam PHBM berkewajiban untuk :

a. Memfasilitasi masyarakat desa hutan dalam proses penyusunan rencana,

monitoring dan evaluasi.

b. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan rencana perusahaan. c. Mempersiapkan sistem, struktur dan budaya perusahaan yang kondusif. d. Bekerjasama dengan pihak yang berkepentingan dalam rangka mendorong

proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan.

2.5.Agroforestry

Agroforestry menurut Lundgren dan Raintre (1982) dalam Hairiah et al.

(2003) adalah istilah untuk sistem – sistem dan teknologi – teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu) dengan tanaman pertanian dan atau hewan (ternak) dan atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Menurut Hairiah et al. (2003)

agroforestry adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan, dimana masing – masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi dan komoditas khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut :

1. Agrisilvikultur yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan komponen pertanian.

2. Agropastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan.

3. Silvopastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan.

4. Agrosilvopastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan atau hewan.

Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestry adalah agrisilvikultur, silvopastura dan agrosilvopastura. Sementara agropastura tidak dimasukkan sebagai agroforestry karena komponen kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi. Menurut King dalam Kartasubrata (1986) agroforestry dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Agrisilviculture : Penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil – hasil pertanian dan kehutanan.

2. Sylvopastural systems yaitu sistem pengelolaan lahan untuk menghasilkan kayu dan untuk memelihara hewan ternak.

3. Agrosilvopastural systems, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.

4. Multipurpose Forest Tree Production Systems, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun – daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia dan ternak.

Dwivedi (1992) menyatakan bahwa beberapa tujuan dari pengklasifikasian sistem agroforestry antara lain adalah pengelompokan logis menurut faktor– faktor utama dimana sistem produksi agroforestry bergantung, mengindikasikan bagaimana pengaturan sistem agroforestry, penyusunan kembali informasi yang lebih fleksibel, dan supaya lebih mudah untuk dipahami. Kartasubrata (1986) menyatakan bahwa dalam pengembangan dan penerapan agroforestry terdapat beberapa model (bentuk) yaitu pengembangan lingkungan, model usahatani, dan model bisnis agroforestry. Pengembangan tersebut tidak terlepas dari dukungan kelembagaan, baik yang bersifat formal maupun informal.

Model pengembangan lingkungan yang diusulkan oleh Cruz dan Vergara (1987) dalam Khairida (2002) menunjukkan peran agroforestry dalam perlindungan dan rehabilitasi lahan – lahan kritis di pegunungan. Pada model ini

agroforestry dikembangkan melalui pemberdayaan faktor sumberdaya alam dengan lingkungan unruk mendapatkan manfaat langsung berupa perlindungan dan rehabilitasi lahan dan manfaat jangka panjang berupa peningkatan produksi dan perbaikan gizi atau kesehatan.

Model usahatani disarankan oleh Sugianto (1991) dalam Khairida (2002) bahwa sistem agroforestry dikembangkan melalui pendekatan usahatani, dimana petani menentukan atau memilih teknologi agroforestry yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam dan sosial ekonomi, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Model bisnis agroforestry menurut Sugianto (1991) dalam Khairida (2002) dikembangkan dengan pengaruh kebijaksanaan pemerintah dalam pemasaran hasil –hasil kegiatan agroforestry. Dalam model ini agroforestry hanya merupakan bagian/subsistem dari sistem keseluruhan yang meliputi pemberian input, proses, pasca panen, dan pemasaran.

2.6. Kemitraan

Menurut Hudyastuti (1994) kemitraan merupakan prinsip kerjasama yang perlu ditumbuhkembangkan sehingga tercipta interaksi dinamis serta partisipasi yang proporsional dari ketiga pelaku pembangunan lingkungan hidup yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Kemitraan diciptakan dan dipertahankan oleh anggota-anggotanya melalui komunikasi.

Kemitraan akan terwujud apabila berbagai orientasi dari semua sub sistem dapat dikoordinasikan, disalurkan dan difokuskan. Kondisi ini akan mempertajam identifikasi permasalahan yang dihadapi, serta mendukung pilihan terhadap jawaban permasalahan diikuti strategi yang akan ditempuh. Pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistem perekonomian gotong royong antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama petani golongan lemah dan miskin yang tidak berpengalaman untuk mampu meningkatkan produktivitas dari usahanya atas dasar kepentingan bersama. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan

pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan

(maximum social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional jangka panjang.

2.7. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Menurut Verhagen (1976) dalam Kartasubrata ( 1986 ), LSM merupakan pihak yang membantu masyarakat desa untuk menemukan cara dan alat dalam rangka menyatukan sumberdaya mereka. Selain itu, LSM juga bisa mengidentifikasi kegiatan – kegiatan ekonomi yang bermanfaat, berguna dan memiliki masa depan untuk mengembangkan sistem manajemen dan kepemimpinan yang bertanggungjawab dan juga membantu mengelola dana – dana bantuan yang diperoleh masyarakat dengan cara melakukan pencatatan – pencatatan terhadap penerimaan dan pengeluaran dana tersebut. Hal ini memungkinkan LSM bisa berada di posisi yang lebih baik dibandingkan dengan badan – badan pemerintah untuk membangkitkan peranserta masyarakat dan mendukung inisiatif pada tatanan masyarakat.

Masing – masing LSM memiliki komitmen yang berbeda terhadap pembangunan jangka panjang dan pengembangan organisasi-organisasi swadaya, khususnya di antara kelompok – kelompok masyarakat yang secara ekonomis lebih lemah. Tujuan utama LSM adalah untuk meningkatkan kemandirian ekonomi penduduk sasaran dengan cara memberikan dukungan terhadap kegiatan yang dilakukan masyarakat.

2.8. Kelompok Tani Hutan ( KTH )

Definisi KTH menurut Perhutani (1991) adalah perkumpulan orang yang tinggal di sekitar hutan yang menyatukan diri dalam usaha – usaha di bidang sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya dan ikut serta melestarikan hutan dengan prinsip kerja dari, oleh dan untuk anggota. Suharjito (1994) menyatakan bahwa pembentukan dan pembinaan KTH merupakan pendekatan baru dalam upaya mewujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara. Pembentukan dan pembinaan KTH merupakan pendekatan baru dalam upaya mewujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara.

Tujuan pembentukan KTH adalah untuk melancarkan komunikasi dua arah antara pihak penggarap dan pihak Perhutani. Kedua, karena sasaran program adalah anggota masyarakat yang berlahan sempit dan petani tidak berlahan, maka adanya kelompok dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama antar penggarap : modal, tenaga kerja, informasi dan pemasaran hasil. Penggarap berlahan luas dapat mengelola lahannya secara efisien. Mereka mampu meningkatkan produktivitasnya melalui input – input teknologi yang membutuhkan modal seperti pengolahan tanah, pupuk, pengairan, sedangkan petani berlahan sempit tidak mampu menanggung biaya sendiri untuk masukan teknologi tersebut. Dengan cara berkelompok petani sempit dapat meningkatkan efisiensi dalam hal modal, tenaga kerja, dan informasi, serta lebih efektif melakukan kontrol sosial ( Wong, 1979 dalam Suharjito, 1994 ).

Mulyana (2001) menyatakan kriteria pemilihan petani sebagai KTH adalah kedekatan dengan hutan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan dan pengetahuan lokal. Keempat dimensi tersebut sangat erat kaitannya dengan sumberdaya hutan dan mudah untuk dikenali. Selanjutnya ia menyatakan pembentukan KTH adalah sebagai berikut :

1. Pembentukan kelompok 2. Penguatan kelembagaan 3. Penyuluhan

4. Insentif

Perhutani (1991) menjelaskan bahwa KTH sebagai perkumpulan orang di sekitar hutan mempunyai tujuan :

1. Membina dan mengembangkan usaha di bidang proses produksi, pengelolaan dan pemasaran hasil usaha.

2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan anggota.

3. Ikut serta membangun dan melestarikan hutan melalui kerjasama dengan Perum Perhutani.

4. Memberikan pelayanan atau menyalurkan kepada anggota yang menyangkut kebutuhan usaha produktif, misalnya dalam hal usahatani, yaitu pupuk, insektisida dan alat-alat pertanian.

5. Meningkatkan kesejahteraan anggota, merupakan tujuan akhir dibentuknya KTH.

2.9. Rumahtangga Petani

Saharudin (1985) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan dimana biasanya mereka tinggal disitu dan makan dari satu dapur. Anggota rumahtangga biasanya terdiri dari suami, istri, anak-anak, famili dan anggota lain bukan famili termasuk pembantu rumahtangga, sedangkan yang dimaksud kepala rumahtangga adalah orang yang bertanggungjawab terhadap rumahtangga tersebut.

Rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluannya sendiri. Orang yang tinggal di rumahtangga ini disebut anggota rumahtangga, sedangkan yang bertanggungjawab atau dianggap bertanggungjawab terhadap rumahtangga adalah kepala rumahtangga (Biro Pusat Statistik,1990)

Rumahtangga merupakan unit terkecil pengambil keputusan, karena hampir mirip dengan perusahaan jika ditinjau dari teori permintaan tenaga kerja. Seorang anggota keluarga akan bekerja, pasti harus melihat pertimbangan anggota lain. Dengan kata lain suplai tenaga kerja ditentukan secara simultan dalam rumahtangga untuk mencapai kepuasan maksimum dengan sumberdaya terbatas ( Becker,1976 dalam Hardjanto,1996).

2.10. Pendapatan Rumahtangga

Pendapatan rumahtangga adalah kumpulan dari pendapatan anggota-anggota rumahtangga dari masing-masing kegiatan. Menurut BPS (1993) pada sebagian rumahtangga pertanian, usaha pertanian masih merupakan penghasilan, tetapi bagi sebagian rumahtangga petani yang lain, usaha selain pertanian lebih menunjang kebutuhan hidupnya. Pendapatan rumahtangga pertanian tidak hanya berasal dari usaha pertanian tetapi juga berasal dari luar sektor tersebut seperti perdagangan, industri, pengangkutan dan sebagainya.

BPS (1993) menyatakan bahwa pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di

suatu daerah atau wilayah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan, semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Ilmu ekonomi menyebutkan bahwa pendapatan dari suatu rumahtangga dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1). pendapatan nominal dari suatu rumahtangga yaitu pendapatan yang diukur dengan unit uang; 2). pendapatan riil dari suatu rumahtangga yaitu daya beli dari pendapatan berupa uang yaitu jumlah barang -barang dan jasa yang dapat dibeli dengan pendapatan tersebut.

Yayasan Penelitian Survei Agro Ekonomi (1986) menyatakan bahwa sumber pendapatan rumahtangga digolongkan menjadi dua sektor, yaitu sektor pertanian dan sektor non pertanian. Pendapatan rumahtangga sektor non pertanian bersumber dari tiga jenis kegiatan yang cukup dominan yaitu industri rumah tangga, perdagangan dan berburuh.

Pendapatan rumahtangga atau pengeluaran per kapita menurut Saragih (1993), termasuk nilai dari konsumsi hasil produksi sendiri, merupakan variabel yang cukup dapat dipertanggungjawabkan sebagai pengukur kesejahteraan. Namun, kondisi ini masih kurang dapat menangkap faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik kesejahteraan seperti kesehatan, tingkat ”melek huruf”, harapan hidup, tingkat pengetahuan dasar, kesempatan kerja, kondisi perumahan dan aksesibilitas masyarakat. Pengukuran yang lebih baik adalah dengan melihat tingkat pengeluaran, seperti pangan, dengan jenis – jenis kalori, protein dan non pangan seperti pakaian, perumahan, rekreasi dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Pengukuran ini akan lebih bermakna jika dilengkapi dengan analisis atas variabel – variabel lain yang menggambarkan perbedaan kondisi rumahtangga, pola konsumsi, mata pencaharian dan lokasi.

2.11. Produksi dan Produktivitas

Menurut Reijntjes (1986) produktivitas usahatani adalah hasil per satuan lahan, tenaga kerja, modal (misalnya ternak dan uang), waktu atau input lainnya (misalnya energi, air dan unsur hara). Produktivitas usahatani diukur berdasarkan hasil total biomassa, hasil komponen – komponen tertentu (misalnya gabah, jerami, kandungan protein) serta hasil ekonomis atau keuntungan.

Menurut Gasperz (1998) dalam Purwanto (2004), produksi merupakan fungsi pokok dalam setiap organisasi, yang mencakup aktivitas yang bertanggungjawab untuk penciptaan nilai tambah produk yang merupakan output dari setiap organisasi itu. Produksi adalah bidang yang terus berkembang selaras dengan perkembangan teknologi, dimana produksi memiliki suatu jalinan hubungan timbal balik yang sangat erat dengan teknologi. Fungsi produksi menurut Swastha (2000) dalam Purwanto (2004) merupakan suatu persamaan yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat penggunaan input-input. Secara sederhana hubungan antara input dan output diformulasikan dalam fungsi produksi sebagai berikut :

Q = f ( X1, X2, X, ...Xn)

Keterangan : Q = Tingkat Produksi

X1,X2 ,Xn = Faktor-faktor input yang digunakan

Produktivitas menurut Swastha (2002) dalam Purwanto (2004) adalah sebuah konsep yang meggambarkan hubungan antara hasil (jumlah barang dan jasa yang diproduksi) dengan sumberdaya (jumlah tenaga kerja, modal, tanah dan energi) yang dipakai untuk menghasilkan hasil tersebut. Ravianto (1990) dalam Purwanto (2004) mengartikan produktivitas sebagai ukuran tingkat efisiensi dan kualitas dari setiap sumber yang digunakan selama proses produksi berlangsung dengan membandingkan jumlah yang dihasilkan (output) dengan sumberdaya yang digunakan (input), secara sederhana dapat diformulasikan sebagai berikut :

P =

Keterangan : P = Produktivitas I

O

O = Output

I = Input

Pengertian produktivitas secara umum yaitu produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya yang digunakan. Selain itu, disebutkan juga bahwa terdapat perbedaan antara pengertian produksi dan produktivitas. Peningkatan produksi menunjukkan pertambahan jumlah hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan produktivitas mengandung pengertian pertambahan hasil dan perbaikan cara pencapaian produksi tersebut.

2.12. Peramalan

Peramalan (forecasting) menurut Assauri (1984) dalam Purwanto (2004) adalah kegiatan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Mulyono (2000) dalam Jauhari (2007) menambahkan bahwa peramalan adalah suatu proses memperkirakan secara sistematik tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan berdasar informasi masa lalu dan sekarang yang dimiliki agar kesalahannya (selisih antara apa yang terjadi dengan hasil perkiraan) dapat diperkecil.

Hanke et al., (2003) menambahkan bahwa prediksi mengenai kejadian masa depan jarang sekali yang akurat. Pelaku peramalan hanya dapat berusaha untuk membuat sekecil mungkin kesalahan. Peramalan adalah proses menduga masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, peramalan adalah alat bantu yang sangat penting dalam perencanaan yang efektif dan efisien, terlebih dalam dunia bisnis dan ekonomi yang cenderung dinamis dan penuh resiko. Peramalan bertujuan agar para pengambil keputusan dan penentu kebijakan dapat memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian tersebut.

Menurut Mulyono (2000) dalam Jauhari (2007) terdapat banyak teknik dan metode ilmiah untuk aktivitas peramalan yang dibedakan berdasarkan sifatnya seperti metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif (judgement) mengandalkan opini pakar dalam membuat prediksi masa depan dan berguna untuk tugas peramalan jangka panjang. Hasil peramalan dengan metode ini berdasarkan pengalaman masa lalu yang digabungkan dengan intuisi maupun ketajaman perasaan peramal sehingga bersifat sangat subyektif. Oleh sebab itu, metode ini disebut juga sebagai subjective atau intuitive method. Metode kuantitatif yang murni jelas tidak memerlukan input pendapat pribadi ( Hanke et al, 2003). Opini ini diperkuat oleh Firdaus (2006) yang menyatakan bahwa, peramalan kuantitatif sebaliknya menggunakan analisis statistik terhadap data-data masa lalu. Menurut Bey (1989) dalam Purwanto (2004) metode kuantitatif memerlukan data numerik. Syarat utama untuk peramalan kuantitatif adalah tersedianya informasi tentang masa lalu dalam bentuk data numerik dan adanya asumsi bahwa pola yang lalu akan terus berlangsung ke masa yang akan datang.

Metode peramalan kuntitatif terbagi atas metode time-series dan metode kausal. Tujuan metode time-series adalah untuk menemukan pola dalam data berskala data historis dan mengekstrapolasikan pola tersebut ke masa depan. Adapun komponen –komponen yang terdapat di dalam deret waktu yaitu

1. Kecenderungan ( trend) 2. Siklus

3. Variasi Musim

4. Fluktuasi tak beraturan

Dokumen terkait