• Tidak ada hasil yang ditemukan

Community Based Forest Management (CBFM) Contribution to Farmer’s Household Income. A Case Study In Sukasari Village, Pulosari Sub District, Pandeglang Regency, Banten Province (RPH Mandalawangi BKPH Pandeglang KPH Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Community Based Forest Management (CBFM) Contribution to Farmer’s Household Income. A Case Study In Sukasari Village, Pulosari Sub District, Pandeglang Regency, Banten Province (RPH Mandalawangi BKPH Pandeglang KPH Banten)"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAPATAN TOTAL PENGGARAP

Studi kasus di Desa Sukasari Kecamatan Pulosari Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten

(RPH Mandalawangi BKPH Pandeglang KPH Banten )

DWI FIJRIANI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

Studi kasus di Desa Sukasari Kecamatan Pulosari Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten

(RPH Mandalawangi BKPH Pandeglang KPH Banten )

DWI FIJRIANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)
(4)

Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (RPH Mandalawangi, BKPH Pandeglang, KPH Banten). Dibimbing oleh M.Chamim Mashar.

Berkurangnya lahan hutan karena dirambah untuk tanaman pertanian dan perkebunan menyebabkan berkurangnya lahan untuk ditanami tanaman kehutanan, dalam hal ini mahoni. Hal ini menyebabkan konflik antara Perhutani dengan masyarakat. Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut adalah melalui program PHBM. Namun, setelah PHBM berjalan sejak 4 tahun, manfaat dari PHBM belum pernah dihitung. Bertitik tolak dari permasalahan di atas dan melihat arti pentingnya PHBM dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, maka perlu dilakukan penelitian mengenai PHBM dan prospek keberhasilan tanaman yang ada di lahan garapan PHBM. Dengan demikian penelitian ini menjadi sangat penting artinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penggarap PHBM dan pada akhirnya pengamanan hutan. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 31 Juli sampai dengan 25 Agustus 2007 dengan sasaran para penggarap PHBM yang dibagi ke dalam tiga stratum berdasarkan luas kepemilikan lahan. Data yang dikumpulkan berupa data primer melalui metode wawancara dari 30 responden yang berasal dari satu desa dan data sekunder yang berasal dari Desa Sukasari serta kecamatan Pulosari. Pengolahan data dilakukan dengan perhitungan dan diaplikasikan dalam bentuk tabulasi.

(5)

DWI FIJRIANI. Community Based Forest Management (CBFM) Contribution to Farmer’s Household Income. A Case Study In Sukasari Village, Pulosari Sub District, Pandeglang Regency, Banten Province (RPH Mandalawangi BKPH Pandeglang KPH Banten). Under Supervision of M.Chamim Mashar.

The forest area has been decreased because farmers choped the land with agriculture plant. It decreases space to plant the forestry plant, especially mahagony. This situation make a conflict between forest farmers and Perhutani. One solution for this case was CBFM programme. After this program carried out for four years, the advantage of CBFM was not counted. This research is important to increase forest farmers prosperity and save the forest. This research was undertaken from 31 Juli 2007 to 25 Agustus 2007 (3 weeks), specified on CBFM farmers in three stratification of sample based on the owned area. Primary data collected with interview from 30 respondens in Sukasari village and secondary data gained at Pulosari Sub-district and Mandalawangi Forest Functionary Resort. Data processed in calculation method and applied in tabulation form then analyzed in descriptive way.

(6)

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) terhadap Pendapatan Total Penggarap. Studi kasus di Desa Sukasari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (RPH Mandalawangi, BKPH Pandeglang, KPH Banten) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah dibuat sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2008

(7)

Penggarap Studi Kasus di Desa Sukasari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (RPH Mandalawangi, BKPH Pandeglang, KPH Banten) Nama : Dwi Fijriani

NRP : E14103043

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Ir. M.Chamim Mashar, MM NIP : 130354164

Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan

Dr.Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 131 578 788

(8)

karunia dan kemudahan yang telah diberikanNya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam juga penulis haturkan kepada teladan terbaik umat manusia, Nabi Muhammad SAW. Penelitian ini berjudul

Kontribusi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Terhadap Pendapatan Total Penggarap. Studi Kasus di Desa Sukasasri Kecamatan Pulosari Kabupaten Pandeglang (RPH Mandalawangi BKPH Pandeglang KPH Banten ).

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ir. M. Chamim Mashar, MM, selaku pembimbing. Selain itu, penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Bapak Asper Ir. Andi Mulya, Bapak KRPH Yusdiawan, Bapak mandor Sumar dari Perhutani BKPH Pandeglang atas bantuannya dalam memperoleh data di kantor maupun di Lapangan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang sudah membantu di lapangan. Terakhir, penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak, Ibu, mba Dian Safitri dan adik Nafi Setyo Nugroho tercinta atas doa dan kasih sayangnya selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih ada kekurangannya. Semoga karya tulis ini dapat menjadi dasar bagi peneliti selanjutnya dan pengembangan PHBM di masa mendatang.

(9)
(10)

tiga bersaudara pasangan Bapak Buchori Muslim dan Ibu Siti Halimah. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMU Negeri 99 Jakarta Timur, dan masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis telah mengikuti praktik lapang di antaranya Praktik Pengenalan dan Pengolahan Hutan (P3H) di Cilacap, Batu Raden dan Getas, dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sukasari Kecamatan Pulosari Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI). Penulis juga aktif di beberapa lembaga kemahasiswaan, antara lain sebagai staf Komisi internal Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan tahun 2004-2005, staf Departemen Keputrian DKM ‘Ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan tahun 2005-2006, serta Ketua Keputrian DKM ‘Ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan tahun 2006-2007.

(11)

Melalui karya ilmiah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu :

1. Ibu, Ayah, Mba Pipit dan Mas Tiyo, beserta keluarga yang lain yang senantiasa mendoakan dan selalu memahami penulis.

2. Ir. M. Chamim Mashar, MM selaku dosen pembimbing atas kesabaran dan keikhlasannya dalam membimbing penulis sejak awal penelitian hingga selesainya karya ilmiah ini.

3. Ir. Tarcisious Rio Mardikanto, MS selaku dosen penguji Departemen Hasil Hutan dan Dr.Ir. Yeni Aryati Mulyani, MSc selaku dosen penguji Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan yang telah memberikan banyak saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.

4. Bapak Ir. Andi Mulya selaku Asper BKPH Pandeglang, Bapak Yusdiawan selaku KRPH Mandalawangi, Bapak mandor Kusmana, Bapak mandor Mahdi, Bapak mandor Lamri yang telah membantu penulis dalam penelitian.

5. Bapak mandor Sumar beserta keluarga yang telah memberikan penulis tempat tinggal selama melakukan penelitian.

6. Bapak Sapik Rohimi dan keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan data.

7. Semua pihak yang telah turut membantu penulis.

(12)

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 1

I.3. Tujuan Penelitian ... 2

I.4. Manfaat Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah PHBM di Perhutani... 3

2.2. Maksud, Tujuan dan Prinsip PHBM ... 5

2.3. Kriteria Implementasi PHBM ... 6

2.4. Hak dan Kewajiban dalam PHBM... 6

2.5. Agroforestry ... 7

2.6. Kemitraan... 9

2.7. Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM )... 10

2.8. Kelompok Tani Hutan ( KTH )... 10

2.9. Rumahtangga Petani ... 12

2.10. Pendapatan Rumahtangga ... 12

2.11. Produksi dan Produktivitas ... 13

2.12. Peramalan... 15

2.13. Tingkat Kesejahteraan... 16

2.14. Tingkat kemiskinan... 18

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.2. Bahan dan Alat... 21

3.3. Definisi Operasional... 21

3.4. Jenis Data ... 23

3.5. Metode Pengumpulan Data... 24

3.6. Metode Penentuan Responden ... 24

3.7. Metode Pengolahan dan Analis Data ... 24

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Luas dan Letak Desa Sukasari ... 27

4.2. Topografi... 27

4.3. Iklim... 27

4.4. Tata Guna Lahan... 27

(13)

5.1. Sejarah Lahan Hutan di Desa Sukasari... 35

5.2. Sosialisasi PHBM dan Bentuk Kegiatannya... 38

5.3. Karakteristik PHBM di Desa Sukasari ... 39

5.4. Keadaan Sosial Ekonomi Responden ... 41

5.5. Pendapatan Responden ... 44

5.6. Prediksi Pendapatan Responden sampai tahun 2015... 49

5.7. Kontribusi PHBM Setelah tahun 2007 ... 50

5.8. Tingkat Kesejahteraan Responden... 51

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 53

6.2. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA... 55

(14)

1. Tata guna lahan di Desa Sukasari...28

2. Komposisi penduduk Desa Sukasari menurut kelompok umur tahun 2006....29

3. Kondisi Penduduk Desa Sukasari menurut mata pencaharian Pada tahun 2006 ... 30

4. Tingkat pendidikan penduduk Desa Sukasari tahun 2006 ... 31

5. Karakteristik tipe rumah penggarap lahan PHBM ... 32

6. Mata pencaharian utama responden ... 41

7. Jumlah dan persentase responden menurut kelompok umur... 42

8. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan ... 43

9. Data karakteristik responden menurut pekerjaan dan pendidikan... 43

10. Jumlah responden, persentase dan rataan luas lahan setiap stratum ... 44

11. Pendapatan responden dari lahan garapan PHBM menurut Stratum tahun 2007 ... 45

12. Pendapatan responden dari lahan garapan PHBM menurut stratum (Rp/ha/tahun)... 46

13. Pendapatan rata- rata responden dari PHBM, usahatani dan sumber lain dalam 1 tahun (Rp)... 47

14. Pendapatan rata-rata PHBM terhadap pendapatan penggarap setelah tahun 2007 (Rp)... 50

15. Kontribusi PHBM terhadap pendapatan total penggarap setelah tahun 2007 (%) ...51

(15)

No. Halaman 1. Lahan garapan PHBM ... 40

(16)

1. Data Karakteristik responden ... 58

2. Struktur organisasi pemerintah Desa Sukasari ... 59

3. Peta lokasi penelitian... 60

4. Jenis dan jumlah tanaman tiap responden ... 61

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan berkurangnya lahan yang dapat digunakan untuk usahatani, terutama pada masing-masing desa sekitar hutan. Pengurangan lahan hutan untuk usahatani mendorong masyarakat untuk mengkonversi lahan hutan, sehingga mengancam keberadaan hutan. Di Desa Sukasari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang adalah salah satunya. Masyarakat desa tersebut menggarap lahan hutan karena terdesak dengan kebutuhan hidup mereka. Lahan hutan tersebut ditanami tanaman pertanian dan perkebunan sehingga menyebabkan konflik kepentingan dengan Perum Perhutani yang menetapkan kawasan hutan tersebut sebagai Kelas Perusahaan hutan mahoni.

Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut adalah melalui program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Masyarakat Desa Hutan (MDH) dilibatkan oleh Perhutani dalam pengelolaan hutan. Kehadiran PHBM semakin dibutuhkan karena mempunyai manfaat yang bersifat ekonomis yaitu peningkatan lapangan kerja dan pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan dan manfaat ekologi yaitu partisipasi dalam perlindungan hutan. Namun, setelah PHBM berjalan empat tahun, manfaat dari PHBM belum dirasakan oleh masyarakat sehingga mendorong masyarakat untuk mencari tambahan dari sumber pendapatan lain.

Berdasarkan permasalahan di atas dan melihat arti penting PHBM dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai PHBM dan prospek keberhasilan tanaman yang ada di lahan garapan PHBM. Dengan demikian penelitian ini menjadi sangat penting artinya dalam rangka kebijakan Perum Perhutani untuk meningkatkan kesejahteraan penggarap PHBM dan pada akhirnya pengamanan hutan.

I.2. Perumusan Masalah

(18)

melakukan kegiatan perambahan dengan menanami lahan hutan dengan tanaman pangan. Kegiatan tersebut terus berlangsung sehingga masyarakat melakukan penebangan liar untuk tujuan memperoleh kayu, tetapi selain itu masyarakat juga ingin mendapatkan lahan pertanian yang lebih luas.

Dalam upaya mempertahankan kelestarian hutan dan mengatasi masalah perambahan di Desa Sukasari pada tahun 2004, PHBM telah dikembangkan dengan bentuk pembinaan terhadap masyarakat sekitar hutan oleh Perum Perhutani. Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar hutan sebagian besar tidak tamat SD sehingga banyak penggarap PHBM yang belum dapat mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Mereka belum memahami bahwa pengelolaan PHBM dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi apabila dalam pengelolaannya didasarkan prinsip-prinsip manajemen usahatani. Penelaahan PHBM dalam pembentukan pendapatan penggarap khususnya di wilayah Desa Sukasari belum diketahui secara rinci sehingga memerlukan penelitian yang lebih mendalam agar diketahui secara rinci seberapa besar kontribusi PHBM dalam struktur pendapatan masyarakat.

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pendapatan PHBM tahun 2007.

2. Untuk mengetahui kontribusi PHBM terhadap pendapatan total rumah tangga peserta PHBM tahun 2007.

3. Untuk memprediksi pendapatan PHBM setelah tahun 2007.

I.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan informasi dan saran kepada Perhutani bagi penyusunan kebijakan dan usaha pengembangan PHBM.

2. Mengetahui peranan PHBM dalam pemenuhan kebutuhan hidup para penggarap PHBM.

3. Memberikan motivasi kepada para penggarap untuk memelihara tanaman yang ada di lahan garapan PHBM secara intensif.

(19)
(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah PHBM di Perhutani

Istilah kehutanan sosial diterjemahkan dari social forestry dan telah

dikenal oleh para rimbawan sejak Kongres Kehutanan sedunia VII tahun 1978. Wiersum dalam Pujo (2003) mendefinisikan social forestry sebagai suatu nama

kolektif untuk berbagai strategi pengelolaan hutan yang memperhatikan distribusi hasil-hasil hutan yang adil untuk memenuhi kebutuhan berbagai kelompok dalam masyarakat, mengaktifkan organisasi dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Tujuan pengembangan social forestry menurut Perum Perhutani (1990)

dalam Pujo (2003) adalah untuk menjamin keberhasilan reforestasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar hutan . Secara garis besar perkembangan pengelolaan program – program kehutanan sosial di Perum Perhutani adalah sebagai berikut:

1.Prosperity Approach (1972-1981)

Prosperity Approach adalah program pembangunan hutan yang

mengikutsertakan masyarakat terutama untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan – kegiatan pada program ini yaitu kegiatan tumpangsari, pembangunan basecamp,

pengembangan perlebahan rakyat, penanaman hijauan pakan ternak, pengadaan

kaptering (tempat penampungan air dari mata air dan penyaluran ke rumah

penduduk ) air dan pengembangan checkdam.

2. Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan ( 1982-1985)

Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) adalah program peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan dimana masyarakat diperlakukan sebagai obyek dan subyek dalam pelaksanaan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kegiatan – kegiatan dalam program ini melanjutkan program – program prosperity approach dan beberapa program baru

(21)

3. Program Perhutanan Sosial ( 1986 – 1995)

Perhutanan Sosial adalah program pembangunan dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan tujuan meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus perbaikan lingkungan dan menjaga kelestariannya. Kegiatan dalam program ini meliputi kegiatan di dalam kawasan hutan yaitu pengembangan agroforestry dan di luar kawasan hutan, yaitu

pengembangan Kelompok Tani Hutan ( KTH ) dan usaha produktif yaitu peternakan, industri rumah tangga dan perdagangan.

4. Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan ( 1996-1999)

Pembinaan Masyarakat Desa Hutan ( PMDH ) adalah kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan MDH sekaligus perbaikan kualitas lingkungan dan kelestariannya. PMDH berdampak pada keberhasilan pembangunan hutan dan fungsi – fungsi hutan secara optimal. Komponen PMDH mencakup perhutanan sosial, bantuan teknik dan ekonomi. Bantuan teknik berupa prasarana, sarana, penghijauan dan berupa teknik lainnya. Bantuan ekonomi berupa bantuan permodalan, bimbingan usaha, kewirausahaan, manajemen usaha serta pemasaran hasil usaha.

5. Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ( 2000 – Sekarang) Keputusan Ketua Dewan Pengawas PT.Perhutani (persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 menetapkan telah mencabut Keputusan Direksi Nomor 1061/Kpts/Dir/2000 tentang Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat (PHBM) dan mengubahnya menjadi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat( PHBM ). Definisi Pengelolaan Sumberdaya Hutan adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, perlindungan sumberdaya hutan serta konservasi alam, sedangkan yang dimaksud PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan MDH dan dapat juga melibatkan pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi,

(22)

2.2. Maksud, Tujuan dan Prinsip PHBM

Maksud dari PHBM menurut Perum Perhutani dalam SK Ketua Dewan Pengawas PT.Perhutani (Persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 adalah untuk memberikan arah pengelolaan hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi perusahaan, PHBM bertujuan untuk :

a. Meningkatkan tanggungjawab perusahaan, MDH dan Pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan.

b. Meningkatkan peran perusahaan, MDH dan pihak lain yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.

c. Menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial Masyarakat Desa Hutan.

d. Meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah. e. Meningkatkan pendapatan perusahaan, MDH serta pihak yang

berkepentingan secara simultan.

Sedangkan prinsip – prinsip dasar PHBM dalam SK Ketua Dewan pengawas PT.Perhutani ( persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 adalah :

1. Keadilan dan demokratis 2. Keterbukaan dan kebersamaan

3. Pembelajaran bersama dan saling memahami 4. Kejelasan hal dan kewajiban

5. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan 6. Kerjasama kelembagaan

7. Perencanaan partisipatif

8. Keserderhanaan sistem dan prosedur 9. Perusahaan sebagai fasilitator

(23)

2.3. Kriteria Implementasi PHBM

Kriteria implementasi PHBM menurut SK Ketua Dewan Pengawas PT.Perhutani (persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 yaitu :

1. Adanya persamaan persepsi dan kepentingan. 2. Adanya pemahaman sistem PHBM dengan benar.

3. Bersatunya individu MDH dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH). 4. Terbangunnya forum komunikasi MDH atau KTH dengan Perhutani 5. Semangat dan niat untuk melaksanakan PHBM

6. Memahami ruang tanggungjawab dan kreasi PHBM ( wilayah tanggung jawab PHBM ).

7. MDH atau KTH mengetahui potensi hutan dalam wilayah PHBM 8. MDH memahami kemampuan usaha produktif desa

9. Adanya harapan atau cita – cita membangun sebuah kerja sama.

2.4. Hak dan Kewajiban Dalam PHBM

Hak dan kewajiban dalam PHBM menurut SK Ketua Dewan Pengawas PT.Perhutani (persero) Nomor 136/KPTS/DIR/2001 yaitu :

MDH dalam PHBM berhak untuk :

a. Bersama perusahaan menyusun rencana, melakukan monitoring dan

evaluasi.

b. Memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikan.

c. Memperoleh fasilitas dari perusahaan atau pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.

MDH berkewajiban :

a. Bersama perusahaan menjaga dan melindungi sumberdaya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya.

b. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan kemampuannya. c. Mempersiapkan kelompok untuk mengoptimalkan fasilitas yang diberikan

oleh perusahaan atau pihak yang berkepentingan. Perusahaan dalam PHBM berhak untuk :

(24)

b. Memperoleh manfaat dan hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikannya.

c. Memperoleh dukungan MDH dalam perlindungan sumberdaya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya.

Perusahaan dalam PHBM berkewajiban untuk :

a. Memfasilitasi masyarakat desa hutan dalam proses penyusunan rencana,

monitoring dan evaluasi.

b. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan rencana perusahaan. c. Mempersiapkan sistem, struktur dan budaya perusahaan yang kondusif. d. Bekerjasama dengan pihak yang berkepentingan dalam rangka mendorong

proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan.

2.5.Agroforestry

Agroforestry menurut Lundgren dan Raintre (1982) dalam Hairiah et al.

(2003) adalah istilah untuk sistem – sistem dan teknologi – teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu) dengan tanaman pertanian dan atau hewan (ternak) dan atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Menurut Hairiah et al. (2003)

agroforestry adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat

ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan,

pertanian dan peternakan, dimana masing – masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi dan komoditas khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut :

(25)

2. Agropastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan.

3. Silvopastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan.

4. Agrosilvopastura yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan atau hewan.

Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestry adalah

agrisilvikultur, silvopastura dan agrosilvopastura. Sementara agropastura tidak dimasukkan sebagai agroforestry karena komponen kehutanan atau pepohonan

tidak dijumpai dalam kombinasi. Menurut King dalam Kartasubrata (1986) agroforestry dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Agrisilviculture : Penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan

yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil – hasil pertanian dan kehutanan.

2. Sylvopastural systems yaitu sistem pengelolaan lahan untuk menghasilkan kayu

dan untuk memelihara hewan ternak.

3. Agrosilvopastural systems, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk

memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.

4. Multipurpose Forest Tree Production Systems, yaitu sistem pengelolaan dan

penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun – daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia dan ternak.

Dwivedi (1992) menyatakan bahwa beberapa tujuan dari pengklasifikasian sistem agroforestry antara lain adalah pengelompokan logis menurut faktor–

faktor utama dimana sistem produksi agroforestry bergantung, mengindikasikan

bagaimana pengaturan sistem agroforestry, penyusunan kembali informasi yang

lebih fleksibel, dan supaya lebih mudah untuk dipahami. Kartasubrata (1986) menyatakan bahwa dalam pengembangan dan penerapan agroforestry terdapat

beberapa model (bentuk) yaitu pengembangan lingkungan, model usahatani, dan model bisnis agroforestry. Pengembangan tersebut tidak terlepas dari dukungan

(26)

Model pengembangan lingkungan yang diusulkan oleh Cruz dan Vergara (1987) dalam Khairida (2002) menunjukkan peran agroforestry dalam

perlindungan dan rehabilitasi lahan – lahan kritis di pegunungan. Pada model ini

agroforestry dikembangkan melalui pemberdayaan faktor sumberdaya alam

dengan lingkungan unruk mendapatkan manfaat langsung berupa perlindungan dan rehabilitasi lahan dan manfaat jangka panjang berupa peningkatan produksi dan perbaikan gizi atau kesehatan.

Model usahatani disarankan oleh Sugianto (1991) dalam Khairida (2002) bahwa sistem agroforestry dikembangkan melalui pendekatan usahatani, dimana

petani menentukan atau memilih teknologi agroforestry yang dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan alam dan sosial ekonomi, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Model bisnis agroforestry menurut Sugianto (1991) dalam Khairida

(2002) dikembangkan dengan pengaruh kebijaksanaan pemerintah dalam pemasaran hasil –hasil kegiatan agroforestry. Dalam model ini agroforestry hanya

merupakan bagian/subsistem dari sistem keseluruhan yang meliputi pemberian input, proses, pasca panen, dan pemasaran.

2.6. Kemitraan

Menurut Hudyastuti (1994) kemitraan merupakan prinsip kerjasama yang perlu ditumbuhkembangkan sehingga tercipta interaksi dinamis serta partisipasi yang proporsional dari ketiga pelaku pembangunan lingkungan hidup yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Kemitraan diciptakan dan dipertahankan oleh anggota-anggotanya melalui komunikasi.

(27)

pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan

(maximum social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan

nasional jangka panjang.

2.7. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Menurut Verhagen (1976) dalam Kartasubrata ( 1986 ), LSM merupakan pihak yang membantu masyarakat desa untuk menemukan cara dan alat dalam rangka menyatukan sumberdaya mereka. Selain itu, LSM juga bisa mengidentifikasi kegiatan – kegiatan ekonomi yang bermanfaat, berguna dan memiliki masa depan untuk mengembangkan sistem manajemen dan kepemimpinan yang bertanggungjawab dan juga membantu mengelola dana – dana bantuan yang diperoleh masyarakat dengan cara melakukan pencatatan – pencatatan terhadap penerimaan dan pengeluaran dana tersebut. Hal ini memungkinkan LSM bisa berada di posisi yang lebih baik dibandingkan dengan badan – badan pemerintah untuk membangkitkan peranserta masyarakat dan mendukung inisiatif pada tatanan masyarakat.

Masing – masing LSM memiliki komitmen yang berbeda terhadap pembangunan jangka panjang dan pengembangan organisasi-organisasi swadaya, khususnya di antara kelompok – kelompok masyarakat yang secara ekonomis lebih lemah. Tujuan utama LSM adalah untuk meningkatkan kemandirian ekonomi penduduk sasaran dengan cara memberikan dukungan terhadap kegiatan yang dilakukan masyarakat.

2.8. Kelompok Tani Hutan ( KTH )

(28)

Tujuan pembentukan KTH adalah untuk melancarkan komunikasi dua arah antara pihak penggarap dan pihak Perhutani. Kedua, karena sasaran program adalah anggota masyarakat yang berlahan sempit dan petani tidak berlahan, maka adanya kelompok dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama antar penggarap : modal, tenaga kerja, informasi dan pemasaran hasil. Penggarap berlahan luas dapat mengelola lahannya secara efisien. Mereka mampu meningkatkan produktivitasnya melalui input – input teknologi yang membutuhkan modal seperti pengolahan tanah, pupuk, pengairan, sedangkan petani berlahan sempit tidak mampu menanggung biaya sendiri untuk masukan teknologi tersebut. Dengan cara berkelompok petani sempit dapat meningkatkan efisiensi dalam hal modal, tenaga kerja, dan informasi, serta lebih efektif melakukan kontrol sosial ( Wong, 1979 dalam Suharjito, 1994 ).

Mulyana (2001) menyatakan kriteria pemilihan petani sebagai KTH adalah kedekatan dengan hutan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan dan pengetahuan lokal. Keempat dimensi tersebut sangat erat kaitannya dengan sumberdaya hutan dan mudah untuk dikenali. Selanjutnya ia menyatakan pembentukan KTH adalah sebagai berikut :

1. Pembentukan kelompok 2. Penguatan kelembagaan 3. Penyuluhan

4. Insentif

Perhutani (1991) menjelaskan bahwa KTH sebagai perkumpulan orang di sekitar hutan mempunyai tujuan :

1. Membina dan mengembangkan usaha di bidang proses produksi, pengelolaan dan pemasaran hasil usaha.

2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan anggota.

3. Ikut serta membangun dan melestarikan hutan melalui kerjasama dengan Perum Perhutani.

(29)

5. Meningkatkan kesejahteraan anggota, merupakan tujuan akhir dibentuknya KTH.

2.9. Rumahtangga Petani

Saharudin (1985) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan dimana biasanya mereka tinggal disitu dan makan dari satu dapur. Anggota rumahtangga biasanya terdiri dari suami, istri, anak-anak, famili dan anggota lain bukan famili termasuk pembantu rumahtangga, sedangkan yang dimaksud kepala rumahtangga adalah orang yang bertanggungjawab terhadap rumahtangga tersebut.

Rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluannya sendiri. Orang yang tinggal di rumahtangga ini disebut anggota rumahtangga, sedangkan yang bertanggungjawab atau dianggap bertanggungjawab terhadap rumahtangga adalah kepala rumahtangga (Biro Pusat Statistik,1990)

Rumahtangga merupakan unit terkecil pengambil keputusan, karena hampir mirip dengan perusahaan jika ditinjau dari teori permintaan tenaga kerja. Seorang anggota keluarga akan bekerja, pasti harus melihat pertimbangan anggota lain. Dengan kata lain suplai tenaga kerja ditentukan secara simultan dalam rumahtangga untuk mencapai kepuasan maksimum dengan sumberdaya terbatas ( Becker,1976 dalam Hardjanto,1996).

2.10. Pendapatan Rumahtangga

Pendapatan rumahtangga adalah kumpulan dari pendapatan anggota-anggota rumahtangga dari masing-masing kegiatan. Menurut BPS (1993) pada sebagian rumahtangga pertanian, usaha pertanian masih merupakan penghasilan, tetapi bagi sebagian rumahtangga petani yang lain, usaha selain pertanian lebih menunjang kebutuhan hidupnya. Pendapatan rumahtangga pertanian tidak hanya berasal dari usaha pertanian tetapi juga berasal dari luar sektor tersebut seperti perdagangan, industri, pengangkutan dan sebagainya.

(30)

suatu daerah atau wilayah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan, semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Ilmu ekonomi menyebutkan bahwa pendapatan dari suatu rumahtangga dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1). pendapatan nominal dari suatu rumahtangga yaitu pendapatan yang diukur dengan unit uang; 2). pendapatan riil dari suatu rumahtangga yaitu daya beli dari pendapatan berupa uang yaitu jumlah barang -barang dan jasa yang dapat dibeli dengan pendapatan tersebut.

Yayasan Penelitian Survei Agro Ekonomi (1986) menyatakan bahwa sumber pendapatan rumahtangga digolongkan menjadi dua sektor, yaitu sektor pertanian dan sektor non pertanian. Pendapatan rumahtangga sektor non pertanian bersumber dari tiga jenis kegiatan yang cukup dominan yaitu industri rumah tangga, perdagangan dan berburuh.

Pendapatan rumahtangga atau pengeluaran per kapita menurut Saragih (1993), termasuk nilai dari konsumsi hasil produksi sendiri, merupakan variabel yang cukup dapat dipertanggungjawabkan sebagai pengukur kesejahteraan. Namun, kondisi ini masih kurang dapat menangkap faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik kesejahteraan seperti kesehatan, tingkat ”melek huruf”, harapan hidup, tingkat pengetahuan dasar, kesempatan kerja, kondisi perumahan dan aksesibilitas masyarakat. Pengukuran yang lebih baik adalah dengan melihat tingkat pengeluaran, seperti pangan, dengan jenis – jenis kalori, protein dan non pangan seperti pakaian, perumahan, rekreasi dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Pengukuran ini akan lebih bermakna jika dilengkapi dengan analisis atas variabel – variabel lain yang menggambarkan perbedaan kondisi rumahtangga, pola konsumsi, mata pencaharian dan lokasi.

2.11. Produksi dan Produktivitas

(31)

Menurut Gasperz (1998) dalam Purwanto (2004), produksi merupakan fungsi pokok dalam setiap organisasi, yang mencakup aktivitas yang bertanggungjawab untuk penciptaan nilai tambah produk yang merupakan output dari setiap organisasi itu. Produksi adalah bidang yang terus berkembang selaras dengan perkembangan teknologi, dimana produksi memiliki suatu jalinan hubungan timbal balik yang sangat erat dengan teknologi. Fungsi produksi menurut Swastha (2000) dalam Purwanto (2004) merupakan suatu persamaan yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat penggunaan input-input. Secara sederhana hubungan antara input dan output diformulasikan dalam fungsi produksi sebagai berikut :

Q = f ( X1, X2, X, ...Xn)

Keterangan : Q = Tingkat Produksi

X1,X2 ,Xn = Faktor-faktor input yang digunakan

Produktivitas menurut Swastha (2002) dalam Purwanto (2004) adalah sebuah konsep yang meggambarkan hubungan antara hasil (jumlah barang dan jasa yang diproduksi) dengan sumberdaya (jumlah tenaga kerja, modal, tanah dan energi) yang dipakai untuk menghasilkan hasil tersebut. Ravianto (1990) dalam Purwanto (2004) mengartikan produktivitas sebagai ukuran tingkat efisiensi dan kualitas dari setiap sumber yang digunakan selama proses produksi berlangsung dengan membandingkan jumlah yang dihasilkan (output) dengan sumberdaya yang digunakan (input), secara sederhana dapat diformulasikan sebagai berikut :

P =

Keterangan : P = Produktivitas I

O

O = Output

I = Input

(32)

2.12. Peramalan

Peramalan (forecasting) menurut Assauri (1984) dalam Purwanto (2004) adalah kegiatan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Mulyono (2000) dalam Jauhari (2007) menambahkan bahwa peramalan adalah suatu proses memperkirakan secara sistematik tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan berdasar informasi masa lalu dan sekarang yang dimiliki agar kesalahannya (selisih antara apa yang terjadi dengan hasil perkiraan) dapat diperkecil.

Hanke et al., (2003) menambahkan bahwa prediksi mengenai kejadian

masa depan jarang sekali yang akurat. Pelaku peramalan hanya dapat berusaha untuk membuat sekecil mungkin kesalahan. Peramalan adalah proses menduga masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, peramalan adalah alat bantu yang sangat penting dalam perencanaan yang efektif dan efisien, terlebih dalam dunia bisnis dan ekonomi yang cenderung dinamis dan penuh resiko. Peramalan bertujuan agar para pengambil keputusan dan penentu kebijakan dapat memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian tersebut.

Menurut Mulyono (2000) dalam Jauhari (2007) terdapat banyak teknik dan metode ilmiah untuk aktivitas peramalan yang dibedakan berdasarkan sifatnya seperti metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif (judgement) mengandalkan opini pakar dalam membuat prediksi masa depan dan berguna untuk tugas peramalan jangka panjang. Hasil peramalan dengan metode ini berdasarkan pengalaman masa lalu yang digabungkan dengan intuisi maupun ketajaman perasaan peramal sehingga bersifat sangat subyektif. Oleh sebab itu, metode ini disebut juga sebagai subjective atau intuitive method. Metode

kuantitatif yang murni jelas tidak memerlukan input pendapat pribadi ( Hanke et

al, 2003). Opini ini diperkuat oleh Firdaus (2006) yang menyatakan bahwa,

(33)

Metode peramalan kuntitatif terbagi atas metode time-series dan metode

kausal. Tujuan metode time-series adalah untuk menemukan pola dalam data

berskala data historis dan mengekstrapolasikan pola tersebut ke masa depan. Adapun komponen –komponen yang terdapat di dalam deret waktu yaitu

1. Kecenderungan ( trend) 2. Siklus

3. Variasi Musim

4. Fluktuasi tak beraturan

2.13. Tingkat Kesejahteraan

Kesejahteraan menurut Sukirno (1985) dalam Meilani (2003) adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Biro Pusat Statistik (1991) juga menyatakan bahwa kesejahteraan bersifat subyektif, sehingga ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain. Namun pada prinsipnya, kesejahteraan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar. Jika kebutuhan dasar bagi individu atau keluarga sudah dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan dari individu atau keluarga tersebut sudah tercapai. Tinjauan atas tingkat kesejahteraan rakyat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas yang dimiliki yaitu tempat tinggal. Perumahan (papan) adalah salah satu kebutuhan dasar yang penting selain makanan (pangan) dan pakaian (sandang) untuk mencapai kehidupan yang layak. Rumah pada saat ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan kehidupan rumahtangga atau masyarakat. Oleh karena itu, harus ditangani secara serius baik instansi swasta berkepentingan maupu pemerintah karena masih banyak masyarakat ekonomi lemah yang belum memiliki rumah memadai.

BPS (1998) dalam Meilani (2003) mengemukakan bahwa keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila memenuhi beberapa syarat yaitu :

(34)

2. Mampu menyediakan sarana untuk mengembalikan hidup sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat kompleks dan tidak memungkinkan untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator kesejahteraan rumahtangga yang telah ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik (1991) dan sudah dimodifikasi. Modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator tersebut terdiri atas :

1. Pendapatan rumahtangga 2. Konsumsi rumahtangga 3. Keadaan tempat tinggal 4. Fasilitas tempat tinggal

5. Kesehatan anggota rumahtangga

6. Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga medis atau paramedis, termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan memperoleh obat-obatan.

7. Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan. 8. Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi (pengangkutan). 9. Kehidupan beragama.

10. Perasaan aman dari gangguan kejahatan 11. Kemudahan dalam melakukan olahraga.

Pendapatan per kapita menurut Biro Pusat Statistik (1996) dalam Meilani (2003) sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Tingkat kesejahteraan keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) dalam Primayuda (2002) adalah sebagai berikut:

1. Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan.

(35)

Berencana (KB), interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tinggal serta kebutuhan transportasi.

3. Keluarga Sejahtera tahap II (S-2) yaitu keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya juga telah dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya seperti menabung dan memperoleh informasi.

4. Keluarga Sejahtera tahap III (S-3) adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan pengembangannya, akan tetapi belum dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap masyarakat seperti secara teratur memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif di masyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan dan sebagainya.

5. Keluarga Sejahteran tahap III plus (S-3+) yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula memberikan sumbangan nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.

2.14. Tingkat Kemiskinan

Sajogyo (1996) mengungkapkan konsep garis kemiskinan berdasarkan konsumsi beras per kapita per tahun yang diukur dengan nilai setara harga beras setempat pada tahun tersebut. Tingkat kemiskinan tersebut dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut :

1. Tidak miskin, yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih tinggi dari nilai tukar 320 kg beras untuk daerah pedesaan dan nilai tukar 480 kg beras untuk daerah perkotann.

2. Miskin, yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 320 kg beras untuk daerah pedesaan dan nilai tukar 480 kg beras untuk daerah perkotaan.

(36)

4. Paling miskin, yaitu apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 180 kg beras untuk daerah pedesaan dan nilai tukar 270 kg untuk daerah perkotaan.

Direktorat Jendaral Tata Guna Tanah, Direktorat Jendral Agraria diacu dalam Hardjanto (1996), mengklasifikasikan tingkat kemiskinan berdasarkan nilai konsumsi total sembilan bahan pokok dalam setahun yang dinilai dengan harga setempat. Kebutuhan hidup minimum yang dipergunakan sebagai tolak ukur yaitu 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg minyak goreng, 9 kg garam, 60 liter minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar dan 2 meter batik kasar. Besarnya standar kebutuhan hidup minimum per kapita per tahun dijadikan sebagai batas garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan tersebut dibagi dalam beberapa ketegori sebagai berikut:

1. Tidak miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari 200% dari nilai total sembilan bahan pokok dalam setahun.

2. Hampir miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 125%-200% dari nilai total sembilan bahan pokok dalam setahun.

3. Miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 75%-125% dari nilai total sembilan bahan pokok dalam setahun.

4. Miskin sekali, apabila pendapatan per kapita per tahun dibawah 75% dari nilai total sembilan bahan pokok dalam setahun.

(37)
(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukasari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Menurut administrasi kehutanan areal PHBM terletak di RPH Mandalawangi, BKPH Pandeglang, KPH Banten. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada tanggal 31 Juli 2007 sampai dengan 25 Agustus 2007.

3.2. Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan terhadap peserta PHBM selaku responden. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

x Daftar pertanyaan (kuesioner) x Alat tulis ( Ballpoint dan pensil ) x Kalkulator

x Alat perekam suara x Kamera

3.3. Definisi Operasional

1. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat ( PHBM ) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan secara bersama dengan jiwa berbagi antara Perum Perhutani, Masyarakat Desa Hutan dan pihak yang berkepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam ligkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan.

(39)

4. Desa Hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan.

5. Masyarakat Desa Hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya.

6. Pihak yang berkepentingan (stakeholder) adalah pihak-pihak di luar Perum

Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong ataupun menghambat proses optimalisasi serta berkembangnya PHBM, yaitu Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Donor.

7. Hasil hutan adalah semua yang diperoleh penggarap PHBM, berupa non kayu yang diperoleh dari areal PHBM.

8. Peserta PHBM adalah petani yang menggarap lahan PHBM.

9. Kelompok Tani Hutan (KTH) adalah sekelompok petani yang tinggal di sekitar hutan yang menggarap lahan PHBM.

10.Pendapatan PHBM adalah pendapatan bersih yang diterima oleh penggarap selama satu tahun dari areal dan kegiatan PHBM yaitu sama dengan nilai hasil pendapatan kotor dikurangi biaya usaha tani yang dikeluarkan.

11.Rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluan sendiri.

12.Anggota rumahtangga adalah seluruh orang yang berada dalam satu rumah dan merupakan tanggungjawab kepala keluarga.

13.Kontribusi PHBM terhadap pendapatan rumahtangga penggarap adalah persentase besarnya pendapatan dari PHBM, jika dibandingkan dengan pendapatan total rumahtangga penggarap.

(40)

15.Peramalan adalah kegiatan untuk memperkirakan produksi dan pendapatan PHBM yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

3.5. Jenis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari rumahtangga penggarap. Data primer yang diperlukan antara lain :

1. Data umum rumahtangga, meliputi : nama, umur, jumlah anggota keluarga, mata pencaharian, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.

2. Data potensi ekonomi rumah tangga, meliputi : luas pemilikan lahan, status kepemilikan lahan, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pengelolaan, penanaman, dan produksi.

3. Pendapatan rumahtangga : besar pendapatan rumahtangga dari dan luar usaha PHBM.

4. Pengelolaan PHBM : input-input produksi, pemilihan jenis tanaman, pola tanam, pengolahan tanah, tenaga kerja, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil.

5. Kelembagaan, meliputi struktur kelembagaan yang ada di Desa Sukasari.

Data sekunder adalah data yang menyangkut keadaan lingkungan. Baik fisik, sosial ekonomi masyarakat dan data lain yang berhubungan dengan obyek penelitian yang tersedia, baik di tingkat desa, kecamatan maupun instansi-instansi terkait lainnya. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur , baik data pokok maupun data penunjang yang terdiri dari :

1. Keadaan fisik penelitian, meliputi : luas areal, letak keadaan fisik lingkungan serta keadaan sosial ekonomi masyarakat.

(41)

3.6. Metode pengumpulan data 1. Teknik Observasi

Data yang dikumpulkan dengan mengadakan pengamatan langsung kehidupan rumahtangga masyarakat pada umumnya dan responden pada khususnya, mengamati keberadaan lahan PHBM dan kegiatan sehari-hari penggarap dalam mengelola lahannya.

2. Teknik Wawancara

Data yang dikumpulkan dengan melakukan wawancara secara langsung dengan responden. Wawancara dilakukan dengan dua teknik yaitu wawancara secara terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar kuesioner atau daftar pertanyaan yang telah disiapkan, sedangkan wawancara bebas dilakukan tanpa kuesioner mengenai hal-hal yang masih berhubungan dengan penelitian

3. Pengumpulan data-data sekunder

Data yang dikumpulkan adalah data yang mendukung penelitian dengan pengutipan data dari kantor-kantor desa dan instansi terkait.

3.7. Metode Penentuan Responden

Cara penentuan responden dilakukan secara sengaja berdasarkan stratifikasi dengan jumlah yang sama pada setiap stratum, yang diukur dari luas pemilikan lahan PHBM, dengan ketentuan sebagai berikut :

Stratum I : Luas lahan yang dikelola lebih dari 0,75 ha

Stratum II : Luas lahan yang dikelola 0,5 ha sampai dengan 0,75 ha Stratum III : Luas lahan yang dikelola kurang dari 0,5 ha

Total populasi yaitu 227 orang anggota KTH. Pada penelitian ini yang dijadikan unit contoh adalah 30 rumahtangga petani (KK) yang mengikuti PHBM, sehingga Intensitas sampling yang digunakan 13,2 %. Jumlah responden yang diambil pada setiap srata sebanyak 10 KK.

3.8. Metode Pengolahan dan Analisis Data

(42)

variabel lainnya untuk kemudian dianalisa. Analisa data dilakukan dengan mencari hal-hal yang terkait dengan PHBM, besarnya pendapatan rumah tangga per tahun dan kontribusi PHBM terhadap pendapatan total rumahtangga penggarap PHBM yang dianalisa secara deskriptif .

Rumus yang digunakan untuk menghitung Pendapatan PHBM yaitu: PPHBM = Pa+Pb+Pc...+Pz

PPHBM : Pendapatan PHBM (Rp)

Pa,Pb,Pc,Pz : Pendapatan dari luar kegiatan PHBM (Rp)

Rumus yang digunakan untuk menghitung pendapatan non PHBM yaitu : PNon PHBM = P1+P2+...+Pn

PNon PHBM : Pendapatan selain PHBM ( Rp)

P1,P2,Pn : Pendapatan dari luar kegiatan PHBM (Rp)

Rumus yang digunakan untuk menghitung pendapatan total rumahtangga yaitu

P total = PPHBM+ PNon PHBM Keterangan :

Ptotal = Pendapatan total rumahtangga (Rp) PPHBM = Pendapatan PHBM (Rp)

PNon PHBM = Pendapatan selain PHBM ( Rp)

Untuk mengetahui besar kontribusi pendapatan PHBM terhadap total pendapatan petani PHBM, masing – masing kategori pendapatan tersebut dijumlahkan dan dilakukan perhitungan dengan rumus berikut :

KPHBM = x100%

Ptotal PPHBM

KPHBM = Kontribusi PHBM terhadap total pendapatan petani (%)

PPHBM = pendapatan dari PHBM (Rp)

PNon PHBM = Pendapatan di luar PHBM (Rp)

(43)

Untuk mengetahui pendapatan penggarap sampai tahun 2015 perlu diketahui terlebih dahulu jumlah produksi per tanaman dan dilakukan perhitungan dengan rumus berikut :

PPHBM (n) = (x1 +x2+....xn)x a x h Keterangan:

PPHBM (n) = Pendapatan PHBM jenis tanaman ke-n X1 = Jumlah panen dengan tahun tanam ke-1 X2 = Jumlah panen dengan tahun tanam ke 2 Xn = Jumlah panen dengan tahun tanam ke- n a = Produksi panen (kg)

h = Harga jual (Rp/kg)

Asumsi – asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Semua harga hasil panen yang digunakan dalam analisis yaitu berdasarkan harga

yang berlaku pada saat penelitian berlangsung dengan asumsi harga konstan sampai tahun 2015.

2. Produksi panen setiap jenis tanaman tetap yaitu jumlah produksi panen setiap tahun tetap.

3. Umur tanaman melinjo pertama kali berproduksi, diperkirakan 6 tahun, kopi 7 tahun, petai 7 tahun, jengkol 7 tahun, durian 10 tahun, cengkeh 7 tahun, cokelat 7 tahun.

4. Persentase hidup tanaman di bawah umur 3 tahun sebesar 75 % 5. Pendapatan PHBM mulai dihitung sejak tahun 2007.

6. Pendapatan dari tanaman pertanian dihitung sesuai periodisitas panen.

7. Analisis dilakukan sesuai dengan praktik dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat.

(44)
(45)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Luas dan Letak Desa Sukasari

Desa Sukasari terletak di wilayah Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Desa Sukasari mempunyai wilayah desa seluas 117,20 ha yang terbagi atas 12 dusun yaitu (Kadu Kupa, Kandang Sapi, Tereleng, Pagelaran, Bojong Hejo Lebak, Batu Nungku, Cigadung, Lebak Salaksa, Bojong Hejo Tonggoh, Kadu Turus, Denuh, Kampung Sawah). Wilayah Sukasari berbatasan dengan wilayah lain, yaitu:

1) Sebelah Utara : Desa Ramea 2) Sebelah Selatan : Desa Karyawangi 3) Sebelah Barat : Desa Sukaraja 3) Sebelah Timur : Desa Banjarwangi

4.2. Topografi

Topografi Desa Sukasari secara umum adalah bergelombang sampai berbukit . Desa Sukasari terletak di kaki gunung Pulosari dan Aseupan dengan ketinggian 330 m dari permukaan laut.

4.3. Iklim

Berdasarkan data potensi desa Sukasari tahun 2006, suhu rata-rata harian di desa Sukasari yaitu 25° C, curah hujan sebesar 2300 mm/tahun dengan jumlah bulan basah adalah 6 bulan. Berdasarkan klasifikasi Schimdt dan Ferguson, tipe iklim di Desa Sukasari ini termasuk ke dalam tipe iklim C dengan nilai Q = 14,3 % - 33 %.

4.4. Tata Guna Lahan

(46)

Tabel 1 Tata guna lahan di Desa Sukasari

No Jenis Penggunaan Luas (ha) Persentase(%)

1 Pemukiman 18,8 16,04

2 Kebun rakyat 8,4 7,17

3 Sawah 22,4

11,2 a. Sawah Irigasi

b. Sawah tadah hujan 11,2

19,11

4 Kawasan Hutan 67,6 12,80 a. Hutan

b. Semak

Sumber : Data potensi Desa Sukasari tahun 2006

54,80

57,67

Total 117,20 100,00

Dari Tabel 1 luas pemilikan sawah dan kebun di Desa Sukasari ternyata masih sangat sempit, akibatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan lapangan kerja petani dan sumber pendapatan petani yang melakukan usahatani tidak intensif. Akibat lebih lanjut untuk pemenuhan kebutuhan, petani melakukan penyerobotan lahan hutan.

4. 5. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk

(47)

Tabel 2 Komposisi penduduk Desa Sukasari menurut kelompok umur tahun 2006

Kelompok Umur (Th)

Jumlah Jiwa (orang) Persentase (%)

0-4 340 8,67

5-9 329 8,39

10-14 388 9,89

Jumlah I 1.057 26,95

15-19 393 10,02

20-24 339 8,64

25-29 302 7,70

30-34 311 7,93

35-39 240 6,12

40-44 269 6,86

45 - 49 240 6,12

50-54 260 6,63

55-58 187 4,76

Jumlah II 2.541 64,77

> 58 325 8,28

Jumlah III 325 8,28

Jumlah Total 3.923 100,00

Sumber : Data Potensi Desa Sukasari tahun 2006

Rasio ketergantungan umur (Dependency Ratio-DR) menurut Tabel 2

(48)

2. Mata Pencaharian

Sebagian besar penduduk Desa Sukasari bermatapencaharian sebagai buruh tani, yaitu sekitar 17,92% (703 orang), petani sebanyak 615 orang (15,68 %), buruh sebanyak 524 orang (13,36%), pedagang sebanyak 405 orang (10,32 %) pengrajin 305 orang(7,78 %), PNS 15 orang (0,38 %), Sopir 40 orang (1,02 %), penjahit 5 orang (0,13 %), peternak 27 orang (0,69 %). Tabel 3 menunjukkan komposisi penduduk Desa Sukasari menurut mata pencaharian pokok.

Tabel 3 Kondisi penduduk Desa Sukasari menurut mata pencaharian pada tahun 2006

No Jenis Pekerjaan Jumlah

(orang)

Sumber : Data potensi Desa Sukasari tahun 2006

3. Pendidikan

(49)

yaitu 4 unit Sekolah Dasar dan 1 unit Madrasah Ibtidaiyah. Selain itu juga terdapat 1 unit TK, 3 unit lembaga pendidikan agama Islam dan 1 unit taman baca.

Untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP dan SLTA masyarakat harus menempuh jarak sekitar 3 km ke Kecamatan Jiput, karena di Desa Sukasari tidak ada SLTP.

Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk Desa Sukasari tahun 2006

No Pendidikan Jumlah (orang ) Persentase

(%) 1 Usia dibawah 7 tahun yang

belum sekolah

468 11,93

2 Usia 7-45 tahun yang tidak sekolah

Sumber : Data potensi Desa Sukasari tahun 2006

4. Kondisi Kesehatan, Perumahan, dan MCK

Selain pangan dan pendidikan, kesehatan juga merupakan indikator utama untuk mengukur tingkat kesejahteraan manusia, baik kesehatan pribadi maupun kesehatan lingkungan. Kesehatan masyarakat Desa Sukasari cukup baik, dilihat dari tidak adanya Kejadian Luar Biasa ( KLB), tidak adanya ibu melahirkan yang meninggal, dan imunisasi yang dilakukan setiap bulan di Desa Sukasari.

(50)

yang cukup parah, mereka harus berobat ke dokter umum yang letaknya sekitar 3 km dari Desa Sukasari, yaitu di Desa Sukaraja.

Kondisi perumahan di Desa Sukasari umumnya sudah memiliki kontruksi yang permanen (rumah yang ditembok sampai atas dan berlantai tembok). Kebutuhan air untuk keperluan hidup sehari-hari seperti Mandi Cuci Kakus (MCK) maupun keperluan masak dan minum, masih tergantung pada sumber mata air dari Gunung Aseupan. Untuk tipe rumah yang permanen umumnya mereka sudah memiliki sarana MCK tersendiri yang sudah berada di dalam rumah dengan tetap memanfaatkan sumber mata air pegunungan yang disalurkan melalui selang – selang plastik. Jarak mata air pegunungan ke rumah penduduk sekitar 1 -3 Km. Sedangkan untuk rumah semi permanen (rumah yang hanya ditembok hingga jendela dan berlantai tanah atau tembok) dan tidak permanen (rumah yang dindingnya terbuat dari bilik bambu (anyaman bambu ) dan berlantai tanah atau tembok), mereka menggunakan sarana MCK yang tidak permanen ( hanya terbuat dari kayu dan bambu serta berada di luar rumah) dan ada beberapa responden yang menggunakan saranan MCK umum. Tabel 5 menunjukkan karakteristik tipe rumah penggarap lahan PHBM.

Tabel 5 Karakteristik tipe rumah penggarap lahan PHBM

Tipe Rumah Jumlah Responden Persentase (%)

Tidak permanen 8 26,67

Semi Permanen 3 10,00

Permanen 19 63,33

Jumlah 30 100,00

Sumber : Data potensi Desa Sukasari tahun 2006 5. Agama dan kepercayaan

Penduduk Desa Sukasari seluruhnya beragama Islam (100%). Prasarana peribadatan yang tersedia yaitu Mesjid sebanyak 9 buah , Musholla sebanyak 16 buah, dan tempat perkumpulan keagamaan berupa Majelis Ta’lim ada 10 buah. 6. Kelembagaan Masyarakat

(51)

(Badan Perwakilan Desa). Selain itu terdapat 17 Kelompok Tani Hutan yang tergabung dalam LMDH ( Lembaga Masyarakat Desa Hutan ).

Lembaga perokonomian yang sudah terbentuk yaitu Koperasi Karya Mulia. Namun, karena baru terbentuk bulan Maret tahun 2007, koperasi ini belum aktif. Alasannya karena kepala Koperasi Karya Mulia adalah seorang mandor Perhutani yang cukup sibuk pada pekerjaannya sehingga belum sempat mengaktifkan koperasi tersebut.

4.6. Sarana dan Prasarana Desa

Sarana dan prasarana yang cukup penting di Desa Sukasari antara lain terdiri dari sarana dan prasarana transportasi, ibadah, olah raga, kesehatan, dan pendidikan. Untuk sarana transportasi terdiri dari jalan desa, jalan antar kecamatan, jembatan desa, jembatan antar desa/kecamatan. Sarana transportasi belum ada angkutan umum di Desa Sukasari, sehingga untuk menempuh perjalanan antar desa/kecamatan penduduk menggunakan jasa ojek.

Aksesibilitas Desa Sukasari sudah sangat baik dengan kondisi jalan beraspal yang menjangkau sebagian besar wilayah kampung dan jalan ini juga menjadi jalan alternatif menuju Pantai Carita. Sarana transportasi umum seperti angkutan kota (angkot) belum menjangkau ke desa ini. Angkot hanya sampai di Kecamatan Menes saja. Untuk dapat masuk ke Desa Sukasari harus menggunakan ojek atau kendaraan pribadi.

Jalan desa terdiri dari jalan aspal sepanjang empat km yang menghubungkan antara Desa Banjarwangi dan Desa Sukaraja dalam kondisi baik, jalan makadam sepanjang satu km dalam kondisi baik. Untuk jembatan desa terdapat jembatan beton sebanyak lima unit (empat unit dalam kondisi baik dan satu unit dalam kondisi rusak). Sedangkan jembatan antar desa/kecamatan terdapat jembatan beton sebanyak satu unit dalam kondisi baik. Selain itu terdapat tiga pangkalan ojek.

(52)

terletak di jalan utama atau jalan desa. Untuk mengatasi hal tersebut masyarakat menggunakan senter untuk beraktifitas di luar rumah pada malam hari.

(53)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Sejarah Lahan Hutan di Desa Sukasari

Desa Sukasari secara administratif termasuk wilayah hutan Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Mandalawangi. Faktor geografis ini menyebabkan interaksi antara masyarakat Desa Sukasari dengan wilayah hutan milik Perum Perhutani tergolong kuat. Interaksi tersebut dapat bersifat positif misalnya hubungan mitra kerja dalam kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

(PHBM) atau juga dapat bersifat negatif yang dapat mengancam kelestarian hutan misalnya penebangan pohon oleh masyarakat.

Hutan negara di Desa Sukasari memiliki luas 67,6 ha yang terdiri dari satu petak yaitu petak 43 dengan 3 anak petak (a, b dan c). Namun, tidak semua lahan hutan Desa Sukasari dijadikan lahan garapan PHBM. Lahan yang digarap oleh masyarakat seluas 60,46 % dari luas hutan di Desa Sukasari. Penggarapan lahan

hutan di Desa Sukasari yang masuk ke dalam RPH Mandalawangi pada petak 43 (a, b dan c ) sudah dimulai sejak tahun 1960. Hal ini terbukti dari adanya satu responden yang menyatakan telah menggarap di hutan sejak tahun 1960. Lahan yang digarap ditanami dengan tanaman buah – buahan seperti duren yang menghasilkan buah yang bisa dikonsumsi dan dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Menurut salah seorang warga pada tahun 1955 sampai 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) masuk

ke kampung-kampung dan juga memprovokasi masyarakat agar menggarap lahan hutan dengan menanami tanaman pangan seperti palawija, padi dan singkong. Selanjutnya, PKI membentuk suatu perkumpulan dengan anggotanya adalah petani – petani penggarap. Perkumpulan ini dinamakan Barisan Tani Indonesia (BTI). Kemudian petani – petani yang masuk ke dalam BTI diperintahkan oleh PKI untuk melakukan penggarapan lahan milik negara dan menjadikannya lahan pertanian.

Setelah PKI ditumpas tahun 1966, PKI dan seluruh organisasi dibawahnya

(54)

hutan, seperti petani menanam tanaman buah-buahan tanpa ada izin terlebih dahulu dan menebang tanaman lain, menimbulkan masalah bagi Perhutani sebagai pihak pengelola hutan. Pada tahun 1998 masyarakat mulai merambah hutan, kemudian pada

tahun 2001 masyarakat melakukan penebangan besar-besaran di lahan hutan, menurut mandor tanam dan KRPH (Kepala Resort Pemangkuan Hutan) hal ini terjadi karena kebutuhan masyarakat terhadap tempat tinggal mereka, mereka menggunakan kayu tersebut untuk membangun rumah mereka. Kemudian Perhutani mencari jalan keluar dengan membentuk suatu program yang melibatkan masyarakat yang sudah menggarap lahan hutan ke dalam program PHBM. Ada beberapa alasan dan latar

belakang yang dikemukakan oleh responden dalam menggarap lahan hutan sebelum disosialisikannya program PHBM. Sebanyak 16 responden (51,61 %) menjadikan pendapatan sebagai alasan utama penggarapan lahan hutan. Sebagian yang lain (48,38 %) menggarap lahan hutan karena “ikut-ikutan“ saja, hanya ingin menggarap lahan hutan sebagai tempat untuk menanam tanaman musiman seperti melinjo, kopi, cengkeh, petai dan jengkol.

PHBM di Desa Sukasari mulai disosialisasikan pada tahun 2004, sekaligus

dengan pembentukan struktur LMDH. Dalam pelaksanaan PHBM, Perhutani juga melibatkan LSM Bina Mitra Bandung dengan melakukan PRA(Participatory Rural Appraisal) pada tahun 2003, kemudian pada saat pelaksanaan PHBM Perhutani melibatkan LSM Komite Peduli Lingkungan (KOPLING) pada tahun 2005 yang berpusat di Kabupaten Pandeglang. Salah satu langkah pelaksanaannya adalah mengenalkan dan mengembangkan PHBM dalam bentuk penyuluhan. Namun pada

saat penelitian ini dilaksanakan banyak masyarakat yang tidak tahu LSM dan tidak merasakan peran dari LSM dalam menyukseskan program PHBM.

Kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing – masing pihak dibuat dalam program PHBM. Masyarakat mendapatkan hak yang legal dalam menggarap hutan, tetapi mereka pun diwajibkan untuk menjaga dan memelihara tanaman pokok (mahoni) yang tumbuh di lahan garapannya masing – masing. Berdasarkan sistem

(55)

buah-buahan. Para penggarap mendapatkan 75% dan Perhutani mendapatkan 25 %. Hak dan Kewajiban peserta PHBM yang dituangkan dalam Perjanjian Pengelolaan Sumberdaya Hutan antara Perum Perhutani KPH Banten dengan Lembaga

Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sukakarya yaitu : 1. Kewajiban Peserta PHBM

a. Memelihara tanaman Mahoni dan tanaman pertaniannya

b. Menyetorkan 25% hasil tanaman pertaniannya kepada Perhutani sebagai hak bagi hasil.

c. Menjaga keamanan tanaman hutan dan tanaman pertaniannya.

d. Melaporkan setiap tindakan pelanggaran hukum kepada pihak yang berwenang.

e. Bersama-sama Perhutani melakukan pemantauan dan penilaian terhadap keberhasilan tanaman pokok mahoni dan tanaman pertanian secara periodik. 2. Hak peserta PHBM

a Memperoleh informasi mengenai segala bentuk kegiatan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan dari pihak Perhutani.

b. Bersama Perhutani menyusun rencana teknis pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan yang menjadi obyek kerjasama.

c. Memperoleh upah pelaksanaan kegiatan sesuai tarif yang berlaku di Perum Perhutani sesuai kegiatan yang ada.

d. Mendapat pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan yang menjadi obyek kerjasama, minimal dua

bulan satu kali.

e. Memperoleh 75% dari hasil tanaman pertanian yang ditanam peserta PHBM. f. Memperoleh bibit tanaman mahoni untuk keperluan kegiatan penyulaman di

lokasi penanaman.

3. Kewajiban Perum Perhutani :

a. Memberikan informasi mengenai segala bentuk kegiatan dan kebijakan

(56)

b. Bersama peserta PHBM menyusun rencana teknis pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan yang menjadi obyek kerjasama.

c. Menyerahkan upah pelaksanaan kegiatan yang menjadi hak peserta PHBM

sesuai tarif yang berlaku di Perum Perhutani sesuai kegiatan yang ada.

d. Melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan yang menjadi obyek kerjasama.

e. Menyerahkan bibit tanaman mahoni untuk keperluan kegiatan penyulaman di lokasi penanaman.

4. Hak Perum Perhutani

a. Memperoleh kondisi tanaman pokok dan tanaman pertanian yang terpelihara dan terjaga dengan baik.

b. Memperoleh 25 % hasil tanaman pertanian yang ditanam peserta PHBM c. Memperoleh informasi dari peserta PHBM mengenai segala sesuatu yang

berkaitan dengan perkembangan kondisi tanaman mahoni dan tanaman pertanian yang menjadi obyek kerjasama.

d. Memperoleh laporan mengenai segala bentuk kejadian dan pelanggaran

hukum yang terjadi dalam kawasan hutan Negara yang terikat dalam perjanjian itu.

e. Memperoleh laporan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan peserta PHBM. Dalam pelaksanaan bagi hasil di Desa Sukasari, ada keterangan tambahan, yaitu dari 25 % yang disetorkan ke Perhutani dibagi lagi menjadi 10 % untuk Perhutani, 10% untuk LMDH, dan 5% untuk desa. Namun, sampai sekarang dari pihak desa

(Kepala Desa) belum pernah menerima bagi hasil tersebut untuk pembangunan desa. Hal ini dikarenakan administrasi yang tidak jelas dan rapih di LMDH Sukakarya.

5.2. Sosialisasi PHBM dan Bentuk Kegiatannya.

Pelaksanaan PHBM di Desa Sukasari ini diawali dengan pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH) yang merupakan penggarap – penggarap lahan hutan,

(57)

Badan Perwakilan Desa (BPD), aparat desa, Kepala RPH Mandalawangi, dan tokoh agama (Ust. Abdurrohim) di MI (Madrasah Ibtidaiyah) Bojong Hejo. Pada tanggal 7 Desember 2004 dibuat perjanjian kerjasama PHBM antara Perum Perhutani KPH

Banten dengan LMDH Sukakarya yang disaksikan oleh Kepala Desa Sukasari dan Camat Menes.

Kegiatan PHBM yang dilakukan oleh para penggarap dimulai dari pengolahan tanah, penanaman, dan pemeliharaan yang meliputi kegiatan penyulaman tanaman pokok, pemangkasan, penyiangan dilanjutkan dengan pemanenan dan pemasaran hasil selain tanaman pokok yaitu mahoni. Dalam kegiatan penanaman, pihak

Perhutani memberikan ketentuan jarak tanam untuk tanaman mahoni sebesar 6m x 2m, sedangkan untuk tanaman musiman tidak diberikan ketentuan mengenai jarak tanaman oleh Perhutani.

Pada tahap pemeliharaan, para penggarap jarang sekali melakukan pemupukan, karena keterbatasan dana untuk membeli pupuk. Pada tahap ini, para penggarap lebih banyak melakukan penyiangan dan pemangkasan. Untuk pemanenan tanaman musiman yang diperoleh oleh penggarap umumya dijual dan hanya sedikit yang

dikonsumsi. Responden tidak ada yang menjual hasil panen buah - buahan dengan sistem ijon, mereka menjual hasilnya langsung kepada pemborong yang berada di kampung mereka.

5.3. Karakteristik PHBM di Desa Sukasari

Para penggarap menggunakan pola kebun campuran dalam mengelola lahan

garapan PHBM. Status lahan garapan PHBM adalah milik negara. Jumlah responden yang memiliki lahan garapan dari pemberian saudaranya yaitu satu orang. Responden lain sebanyak 29 orang memperoleh lahan berdasarkan siapa yang lebih dahulu menggarap lahan, maka orang tersebut berhak untuk mengelolanya. Tidak ada responden yang melakukan jual beli lahan garapan karena mereka sudah mengerti bahwa lahan garapan tersebut adalah milik negara sehingga tidak bisa

Gambar

Tabel  1  Tata guna lahan di Desa Sukasari
Tabel 3  Kondisi penduduk Desa Sukasari menurut mata pencaharian pada tahun
Tabel  4  Tingkat pendidikan penduduk Desa Sukasari tahun 2006
Tabel 5  Karakteristik tipe rumah penggarap lahan PHBM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menyelesaikan persamaan panas, diperoleh persamaan distribusi suhu yang dinyatakan sebagai fungsi dari posisi suatu titik dalam tabung pemanas dispenser. Pola

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konformitas dengan perilaku agresi pada remaja, mengetahui tingkatan konformitas, mengetahui

Evaluasi dari simulasi menunjukkan bahwa JST GARBF dan AGARBF dapat memperbaiki akurasi untuk arsitektur JST RBF yang sederhana yaitu pada arsitektur dengan jumlah neuron

Dalam penelitian ini penulis ingin merancang sebuah sistem yang baru dalan mendiagnosa awal penyakit kanker lidah berbasis web sehingga dapat membantu masyarakat

Metode elemen hingga dalam rekayasa geoteknik adalah metode yang membagi-bagi daerah yang akan dianalisis kedalaman bagian-bagian yang kecil. Bagian-bagian yang kecil inilah

Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara lebih mengutamakan pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkualitas, berorientasi pada penelitian-penelitian yang sesuai dengan

KESEHATAN.. Penerapan ilmu kedokteran dengan pendekatan komprehensif melalui kedokteran promotif,preven- tif, kuratif dan rehabilitatif terhadap tenaga kerja

Variabel-variabel dalam penelitian ini yang meliputi variabel independen (eksogen, bebas) yaitu gaya kepemimpinan (X1), motivasi (X2), disiplin (X3), dan variabel