BAB II SOLIDARITAS GEREJA DENGAN KAUM MISKIN
2.1 Solidaritas
2.1.2 Solidaritas dalam Kitab Suci
2.1.3.1 Sejarah Singkat Gerakan Solidaritas Dalam Gereja
Solidaritas dalam Gereja tak terlepas dari solidaritas yang ada dalam Kitab Suci yakni solidaritas yang berpangkal pada solidaritas Allah dengan manusia.
Solidaritas sebagaimana dihidupi oleh jemaat perdana juga dihidupi oleh Gereja dalam perjalanan sejarah selanjutnya. Solidaritas tersebut dapat dilihat dalam keberpihakan Gereja dengan kaum kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Salah satunya adalah perhatian Gereja dalam bentuk karitatif bagi kaum miskin. Tiga abad lamanya umat Kristen terdiri dari orang sederhana. Namun demikian, orang miskin selalu diperhatikan, misalnya oleh diakon St. Laurensius di Roma atau oleh umat Allah di Suriah (yang pada abad ke-4 menghidupi 4000 orang yang kurang mampu). Kolekte-kolekte digunakan antara lain untuk membebaskan budak belian atau untuk janda dan yatim piatu.17
17 Adolf Heuken, ”Solidaritas”, dalam Ensiklopedi Gereja, VIII Sel-To, 95.
31
Demikian halnya pada masa revolusi industri di Eropa18. Pada masa itu, ada begitu banyak masalah sosial yang muncul pada masyarakat Eropa. Salah satunya adalah kemiskinan kaum buruh. Berhadapan dengan situasi ini, banyak orang Kristen yang iba hati untuk membantu mereka. Bantuan itu dilaksanakan dengan pendekatan
“karitatif” dan bersifat amal19. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan penderitaan walaupun tidak membawa banyak perubahan. Gerakan-gerakan itu misalnya yang dibuat di Perancis oleh Frederic Ozanam (1813-1853). Ia, melalui “Perkumpulan St.
Vincentius”, menggerakkan kelompok awam untuk meringankan penderitaan orang miskin dengan karya amal.
Selain itu, antara 1813 dan 1850-an, didirikanlah berbagai institusi religius (terutama suster-suster) untuk menjalankan karya karitatif di Perancis, Belgia, Jerman dan Belanda. Demikian halnya di Italia, Yohanes Don Bosco dan rekan-rekannya mengumpulkan pemuda-pemuda buruh di wilayah Italia Utara20.
Sementara itu di Jerman, Adolf Kolping (1813-1865), seorang tukang sepatu yang menjadi imam, mendirikan rumah-rumah pertemuan untuk para tukang dan kaum buruh di daerah industri Ruhr. Kolping menjadi “bapa para tukang”. Yang
18 Revolusi industri terhitung mulai dengan penemuan mesin uap tahun 1769 (B. Kieser, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 17).
19 Tindakan karitatif di sini dimengerti secara umum sebagai cinta kasih persaudaraan kristiani pada mereka yang membutuhkan dan menderita melalui aksi-aksi konkrit, misalnya pengumpulan dana, perawatan orang sakit, dll. Tindakan ini diilhami oleh Roh Kristus. (bdk. Erich Reisch, ”Charitable Organizations”, dalam Karl Rahner dkk (eds.), Sacramentum Mundi An Encyclopedia of Theology, Vol 1, Burn &Oates, London, 1968, 294).
20 B. Kieser, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 20.
32
diinginkan oleh Kolping bukanlah perubahan struktur tetapi perubahan sikap Gereja terhadap masalah sosial. Ia berkata,
Gereja tidak dapat cuci tangan dari masalah sosial; Gereja harus hadir di tengah-tengah hidup manusia dan tidak boleh menghindari perjuangan melawan musuh-musuhnya, …Andaikata komunisme kristiani selalu diwujudkan dengan tepat, komunisme yang anti-kristen itu pasti tidak muncul21.
Pada pihak lain, Wilhelm Emanuel Freiherr von Ketteler (1811-1877), berusaha dengan keras membangkitkan kesadaran akan masalah buruh sebagai masalah sosial. Dalam pertemuan umat Katolik Jerman di keuskupannya, Keuskupan Mainz, pada tahun 1848, ia berkesempatan untuk menyebarkan gagasan pokoknya bahwa pembangunan religius tidak mungkin tanpa perubahan sosial. Menurut dia, untuk mencapai hal itu Gereja perlu meneguhkan organisasi-organisai buruh. Hal ini perlu dilakukan karena pada masa itu (tahun 1875), di daerah industri baru di tepi sungai Rhein dan Ruhr, terhitung 30 organisasi buruh sosialis dengan 2.300 anggota, dan 2.999 organisasi katolik dengan 46.000 anggota22.
Pemerasan hebat dan kemiskinan luar biasa yang dialami oleh para buruh di Eropa dan Amerika Utara pada akhir abad 19 mendesak Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum (tahun 1891). Mulai saat itulah Gereja (hirarki) terus-menerus menanggapi masalah-masalah sosial lewat ajaran sosialnya.23
Berkaitan dengan penggunaan istilah solidaritas di dalam Gereja, menurut Matthew L. Lamb, terminologi ini baru muncul dalam abad 20 yang menunjukkan
21 B. Kieser, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, 21.
22 B. Kieser, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, 23.
23 Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 1988, 39.
33
kecenderungan umum untuk menyatukan suatu kelompok atau bangsa. Kata solidaritas diadopsi oleh para teoritikus katolik (misalnya Heinric Pesch24) dari gerakan kesatuan buruh. Mereka menggunakan “solidaritas” untuk membedakan teori sosial katolik dengan teori-teori liberalisme dan komunisme25. Liberalisme sangat menjunjung tinggi kebebasan individual warga masyarakat. Pendewaan kebebasan individual itu mengabaikan kodrat sosial manusia26. Penekanan yang berlebihan pada kebebasan individu mengakibatkan rendahnya rasa tanggungjawab setiap individu kepada orang lain walaupun mereka hidup dalam satu kelompok tertentu. Bagi kaum liberal komunitas tidak lain daripada sekadar perkumpulan individu-individu yang memiliki kesamaan pikiran.
Pada pihak lain, komunisme tampil sebagai sebuah pandangan hidup yang mencita-citakan kehidupan bersama tanpa hak milik pribadi. Semua tanah, barang-barang produksi atau alat-alat kerja dimiliki secara bersama. Setiap orang bekerja menurut kemampuannya, dan memperoleh hasil produksi bersama menurut kebutuhannya27.
24 Heinrich Pesch adalah seorang ekonom Jerman yang termasyur. Ia menolak sosialisme dan individualisme. Ia menggunakan istilah solidarisme sebagai jalan tengah untuk menghadapi bahaya sosialisme dan individualism (R.E. Mulcahy, “Solidarism”, dalam Willian J. McDonald (ed.), New Catholic Encyclopedia, Vol 13, McGraw-Hill Book Company, New York, 1967, 419).
25 Matthew L. Lamb, “Solidarity”, dalam Judith A. Dwyer (ed.), The New Dictionary of Catholic Social Thought, A Michael Glazier Book, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1994, 908.
26 Al. Purwa Hadiwardaya, 7 Masalah Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 2006, 26.
27 Al. Purwa Hadiwardaya, 7 Masalah Sosial, 28.
34 2.1.3.2 Solidaritas Dalam Ajaran Sosial Gereja
Kesetaraan martabat manusia menjadi dasar bagai setiap mansuia untuk saling menghargai dan menghormati. Tidak ada seorang pribadi yang berkuasa atas pribadi yang lain. Tetapi itu tidak berarti bahwa manusia hidup dalam kebebasan absolut sehingga tidak ada lagi norma-norma yang mengatur hidup bersama. Norma ini diperlukan demi kehidupan bersama di mana setiap orang saling menghargai hak dan kewajibannya. Semua itu dimaksudkan demi kesejahteraan bersama.
Namun tak jarang cita-cita untuk mencapai kesejahteraan bersama tidak dapat tercapai karena ketidakadilan yang pada saat yang sama menodai martabat manusia.
Hal ini diperparah oleh ideologi-ideologi yang berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan28. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja melalui ajarannya menyerukan penghormatan terhadap martabat dan pribadi manusia. Inilah yang melatarbelakangi munculnya Ajaran Sosial Gereja.
Dalam uraian berikut beberapa Ajaran Sosial Gereja akan dikemukakan.
Dalam setiap ajaran itu, penulis berusaha menampilkan aspek-aspek solidaritas Gereja dengan kaum lemah, miskin dan tersingkir.
a. Ensiklik Rerum Novarum (1891)
Ajaran Sosial Gereja dalam dunia modern ditandai dengan dikeluarkannya ensilik Rerum Novarum29 oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891. Ensiklik ini
28 Misalnya komunisme, sosialisme, liberalisme dan individualisme.
29 Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, 21.
35
menentang kondisi-kondisi tidak manusiawi yang dialami kaum buruh dalam masyarakat-masyarakat industri pada masa itu.
Tentang solidaritas, Rerum Novarum 30menggunakan istilah “persaudaraan kristiani” (RN 24-25). Berdasarkan prinsip inilah Gereja bersolider dengan kaum buruh. Solidaritas itu tampak dalam perhatian Gereja pada kaum buruh sebagai pihak korban dari industrialisasi. Gereja tampil membela hak-hak kaum buruh seperti hak untuk mempunyai harta pribadi (RN 43), hak untuk memperoleh upah yang adil (RN 44-46), hak untuk beristirahat (RN 42). Selain itu, Gereja juga mau mendidik kaum buruh agar berdaya misalnya dengan mengupayakan pembentukan perserikatan-perserikatan kerja (RN 49-58) dan peningkatan semangat menabung (RN 47-48).
b. Ensiklik Quadragesimo Anno (1931)
Setelah empat puluh tahun dikeluarkannya Rerum Novarum, pada tahun 1931 Paus Pius XII mengeluarkan Ensiklik Quadragesimo Anno31. Ensiklik ini menekankan kembali peran Gereja dalam menyikapi situasi sosial sesuai dengan amanat Rerum Novarum. Berhadapan dengan masalah sosial dan ekonomi yang ada, Gereja tidak tinggal diam. Gereja memiliki hak dan kewajiban untuk ikut terlibat dalam masalah-masalah itu. Hak dan kewajiban itu adalah tugas yang diserahkan oleh Allah pada Gereja. Gereja harus memberikan penilaian-penilaian terhadap masalah-masalah sosial dan ekonomi, karena mempengaruhi masalah-masalah-masalah-masalah moral (QA
30 Selanjutnya disingkat RN diikuti nomor aretikelnya.
31 Selanjutnya disingkat dengan QA dikuti nomor artikelnya.
36
43). Salah satu bentuk perhatian Gereja adalah penegasan kembali penghargaan martabat manusia, khususnya dalam kaitan dengan kerja (QA 83). Di sana kerja dilihat bukanlah semata-semata barang dagangan tetapi perlu dilihat dalam kerangka penghormatan dan pengakuan martabat manusia.32
Gereja bersolider dengan umat manusia secara khusus mereka yang martabatnya direndahkan oleh pengaruh individualisme dan kolektivisme, kapitalisme dan komunisme (QA 45-46). Ideologi ini berat sebelah dan sama-sama berakar pada materialisme. Dalam pemikiran materialistis, manusia diperlakukan sebagai alat produksi (QA 44-46)33. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja tampil membela manusia khususnya kaum buruh yang martabatnya direndahkan karena diperlakukan sebagai alat produksi.34
Selain hal-hal di atas, ensiklik ini juga menekankan kembali pentingnya pembagian kekayaan secara adil demi kesejahteraan umum (QA 56-58). Hal ini dapat dicapai melalui pemberian upah yang adil, yang dapat menjamin kehidupan buruh dan keluarganya (QA 63-75), dan melalui pemugaran tatanan sosial (QA 76-98).
32 Ensiklik ini dengan tajam mengeritik kapitalisme maupun komunisme yang merendahkan martabat manusia di hadapan kerja (Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, 45).
33 Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme Memahami Keterlibatan Sosial Gereja, 93.
34 Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, 47.
37 c. Ensiklik Mater et Magistra (1961)
Pada tahun 1961, Paus Yohanes XXIII mengeluarkan Ensiklik Mater et Magistra.35 Ensilik ini selain menegaskan kembali apa yang sudah dikemukakan dalam Rerum Novarum dan Quadragesimo Anno (MM 7-45), juga menanggapi permasalahan sosial yang belum ditanggapi dengan eksplisit dalam kedua Ajaran Sosial Gereja terdahulu. Permasalahan-permasalahan itu antara lain kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin di dunia, pertanian, perkembangan ekonomi dan kerjasama internasional.36
Permasalahan itu ditanggapi oleh Yohanes XXIII dengan mengupas masalah-masalah pertanian (MM 122-149) dan perlunya bantuan bagi negara-negara yang sedang berkembang (MM 161-177). Dia mendesak pembangunan kembali hubungan-hubungan sosial (MM 150-177) menurut prinsip-prinsip ajaran sosial Katolik dan menyatakan tanggungjawab masing-masing orang Katolik dalam bekerja sama untuk menciptakan dunia yang lebih adil (MM 191-194).37
Tanggapan terhadap permasalahan tersebut menekankan pentingnya solidaritas. “Solidaritas umat manusia dan persaudaraan Kristiani menghendaki agar ketimpangan-ketimpangan itu sedapat mungkin diatasi” (MM 155). Solidaritas antar semua manusia merupakan dasar untuk menjamin masa depan manusia (MM 23, 53, 146, 155).
35 Selanjutnya disingkat MM diikuti nomor artikelnya.
36 Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, 52.
37 Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, 51.
38 d. Ensiklik Populorum Progressio (1967)
Pada tahun 1967 Paus Paulus VI mengeluarkan ensiklik Populorum Progressio38. Melalui ensiklik ini, Paus menanggapi masalah perkembangan bangsa-bangsa. Perkembangan ini memunculkan berbagai persoalan seperti kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit, dan pendidikan (PP 1). Berhadapan dengan situasi ini, Gereja merasa wajib membantu semua orang untuk mengkaji masalah tersebut secara lebih mendalam (PP 1). Oleh karena itu dibentuklah Panitia Keadilan dan Perdamaian (PP 5). Melalui panitia ini, Gereja mendesak semua orang untuk memikirkan secara bersama dengan serius serta bekerja sama demi perkembangan setiap manusia secara utuh dan perkembangan seluruh bangsa manusia (PP 5).
Perkembangan yang dialami bangsa-bangsa tidak merata di semua bidang dan negara. Ada negara yang sudah sangat maju tetapi ada pula negara yang masih sedang berkembang bahkan baru memperoleh kemerdekaan (PP 6). Dalam situasi seperti itu, struktur-struktur yang ada tidak memadai untuk menanggapi masalah ekonomi, keadilan, sosial, budaya, moral dan religius (PP 9-10).
Gereja menyadari bahawa situasi-situasi tersebut tidak bisa diatasi dengan usaha orang per orang atau kelompok tertentu saja melainkan perlu usaha bersama semua pihak untuk mendalami setiap aspek persolan (PP 13). Usaha-usaha itu bertujuan untuk membantu perkembangan manusia seutuhnya dalam kesatuan dengan
38 Selanjutnya disingkat PP diikuti nomor artikelnya.
39
masyarakat. Humanisme yang mau dicapai di sini tidak semata-mata secara material tetapi juga secara rohani (PP 42).
Secara konkrit Gereja menyerukan ditingkatkannya solidaritas manusiawi.
Bangsa-bangsa yang lebih kaya berkewajiban membantu bangsa-bangsa yang lebih miskin. Hal ini berakar pada persaudaraan manusiawi dan adikodrati manusia yang mencakup tiga kewajiban: (1) solidaritas timbal-balik (bantuan yang oleh bangsa-bangsa yang lebih kaya harus diberikan kepada bangsa-bangsa-bangsa-bangsa yang sedang berkembang); (2) keadilan sosial (usaha membereskan hubungan-hubungan niaga antara bangsa-bangsa yang kuat dan lemah); (3) cintakasih yang meliputi semua orang (usaha membangun persekutuan global yang lebih manusiawi, yang memungkinkan semua orang untuk memberi dan menerima, sehingga kemajuan pihak-pihak tertentu tidak diperoleh dengan merugikan pihak-pihak lain) (PP 44).
Gereja yakin bahwa semua usaha itu hanya bisa dicapai bila ada kerja sama semua pihak. Oleh karena itu Gereja mengajak semua orang dari segala golongan dan untuk memainkan peranan dalam usaha bersama ini (PP 83).
e. Surat Apostolik Octogesima Anno (1971)
Ketika dunia menghadapi persoalan baru yakni urbanisasi, Paus Paulus VI mengeluarkan sebuah Surat Apostolik yakni Octogesima Anno39. Surat Apostolik ini dikeluarkan bertepatan dengan ulang tahun ke-80 Rerum Novarum.
39 Selanjutnya disingkat OA diikuti nomor artikelnya.
40
Paus Paulus VI memulai surat ini dengan mendesak agar dibuat usaha-usaha yang lebih besar lagi bagi keadilan dan mencatat tugas-tugas Gereja lokal untuk menanggapi situasi-situasi khusus (OA 7). Paus kemudian memperbincangkan keanekaragaman masalah sosial yang baru yang muncul karena urbanisasi (OA 8-11).
Masalah-masalah itu mencakup kaum wanita, kaum muda, dan orang-orang “miskin baru” (OA 13-17). Paus Paulus VI lalu membahas aspirasi-aspirasi dan ideologi-ideologi modern, khususnya liberalisme dan marxisme (OA 26-37). Dia menekankan kebutuhan untuk menjamin persamaan dan hak semua orang untuk berperanserta di dalam masyarakat. Dia menutup surat itu dengan mendorong semua orang kristiani untuk merefleksikan situasi zaman ini, menerapkan prinsip-prinsip Injil dan melaksanakan tindakan politis bila dirasa tepat (OA 51-52)40.
f. Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987)
Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis41 dengan tegas mengemukakan bahwa perhatian Gereja bagi mereka yang tak berdaya dan martabatnya direndahkan tidaklah sekadar perasaan yang dangkal dan sementara.
Dalam SRS 38 dikatakan,
Solidaritas itu bukan perasaan belas kasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyak orang, dekat maupun jauh.
Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya kepada kesejahteraan semua orang dan setiap orang perorangan karena kita semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang.
40 Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, 81.
41 Selanjutnya disingkat SRS diikuti nomor artikelnya.
41
Solidaritas itu terselenggara jika sesama warga saling mengakui sesamanya sebagai pribadi. Pengakuan ini menuntut suatu tanggungjawab antarpribadi. Setiap orang merasa bertanggungjawab terhadap yang lain. Yang berlebih hendaknya merasa bertanggungjawab atas yang berkekurangan. Sebaliknya, yang berkekurangan jangan hanya bersikap pasif. Kelompok tengah jangan hanya mendesakkan kepentingan mereka semata. Pihak lain bukanlah alat belaka yang dapat dieksploitasi secara murah, lalu disingkirkan jika telah tidak berguna lagi. Mereka itu adalah benar-benar mitra (SRS 39)42.
Pengakuan sesama sebagai pribadi sama artinya dengan mencintai setiap orang sebagaimana adanya. Dalam pemahaman seperti ini, solidaritas dapat dikatakan sebagai keutamaan Kristiani. Di dalamnya ada begitu banyak titik temu dengan cintakasih. Di dalam solidaritas tampak dimensi-dimensi khas keutamaan Kristiani seperti kemurahan hati yang sepenuhnya, pengampunan dan pendamaian. Dalam terang solidaritas, sesama ditempatkan lebih mulia karena di dalam dirinya ada dimensi Ilahi. Pada SRS 40 dikatakan,
Sesama bukan melulu manusia beserta hak-haknya sendiri dan kesetaraan dasariah dengan manusia lain manapun juga, melainkan menjadi citra yang hidup menyerupai Allah Bapa, ditebus berkat darah Yesus Kristus, dan tiada hentinya diliputi oleh karya Roh Kudus. Oleh karena itu sesama harus dikasihi, juga kalau ia seorang musuh, dengan cinta sama seperti kasih Tuhan sendiri terhadapnya. Dan demi sesama itu orang harus bersedia berkorban, bahkan sampai tuntas: menyerahkan nyawanya demi saudara-saudari (SRS 40).
42 Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme Bukan Sosialisme Memahami Keterlibatan Sosial Gereja, 2004, 142.
42
Di sini solidaritas muncul dari kesadaran bahwa seluruh umat manusia bersaudara dalam Kristus dan pada saat yang sama melihat Allah sebagai Bapa semua orang (bdk. SRS 40). Alasan inilah yang mengantar manusia pada gerak saling mengasihi seperti Tuhan sendiri mengasihinya. Di dalam solidaritas itu, ikatan-ikatan manusiawi dan kodrati dilampaui oleh ikatan kasih.
Gereja memanggil umat manusia baik pada taraf orang perorangan, maupun pada taraf masyarakat nasional dan internasional untuk mempraktekkan solidaritas ini. Gereja yakin bahwa dengan cara seperti ini ‘mekanisme-mekanisme jahat” dan
“struktur-struktur dosa” yang telah membuat begitu banyak orang menderita dapat diatasi (SRS 40).
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa Gereja sungguh berpihak pada mereka yang menderita. Keberpihakan ini telah dicontohkan oleh begitu banyak saksi iman dalam Gereja43. Keberpihakan mereka ini merupakan buah dari keteladanan mereka akan Kristus. Cinta kasih mengutamakan kaum miskin mau tak mau harus merangkul umat manusia yang menderita yang jumlahnya tak terbilang banyaknya.
Secara konkret mereka itu adalah “mereka yang lapar, serba kekurangan, tunawisma, tuna pelayanan kesehatan, dan terutama tanpa pengharapan akan masa depan” (SRS 42).
43 SRS 40 menyebutkan beberapa tokoh itu antara lain: St. Petrus Claver yang mengabdikan dirinya bagi para budak di Kartagena de Indias dan St. Maksimilian Kolbe yang mengorbankan hidupnya menggantikan seorang tawanan yang tidak dikenalnya dalam kamp konsentrasi di kota Auschwitz.
43 g. Resume
Berbicara tentang solidaritas dalam Ajaran Sosial Gereja bukanlah perkara yang gampang. Kesulitannya terletak pada luasnya cakupan solidaritas dalam Ajaran-ajaran tersebut44. Masing-masing dokumen mempunyai keprihatinannya sendiri sesuai dengan permasalahan jamannya. Perbedaan latar belakang setiap dokumen merupakan kesulitan tersendiri untuk menarik kesimpulan umum tentang solidaritas dari semua dokumen yang ada. Namun demikian, kami berkesimpulan bahwa hampir semua Ajaran Sosial Gereja mempunyai muatan refleksi tentang solidaritas. Di sana Gereja tampil demi pembelaan manusia yang martabatnya seringkali direndahkan dan demi kesejahteraan semua orang. Solidaritas ini dibangun dalam persaudaraan dengan semua orang.
2.1.3.3 Solidaritas Dalam Konsili Vatikan II
Solidaritas Gereja dalam Konsili Vatikan II dapat dilihat dalam dua arah:
tindakan Gereja yang bersolider dengan semua orang secara khusus mereka yang menderita dan solidaritas dalam bentuk ajaran dan himbauan bagi seluruh dunia untuk menghayati nilai-nilai solidaritas. Manusia dan permasalahannya dilihat oleh Gereja sebagai bagian tak terpisahkan dari dirinya. Dengan mengkuti Yesus Kristus, Gereja
44 Di sini tidak ditampilkan semua Ajaran Sosial Gereja dari tahun 1891-2010. Hanya beberapa dokumen yang ditampilkan dengan pertimbangan bahwa tulisan ini tidak secara khusus membahas tentang Ajaran Sosial Gereja.
44
mau terlibat dalam suka duka hidup manusia. Hal ini tampak dalam kutipan konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini ”Gaudium et Spes” artikel 1.
Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1).
Dengan menyatakan demikian, Gereja menampilkan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari umat manusia dan dunia seluruhnya. Melaluinya Gereja menjalankan tugas perutusannya yakni meneruskan warta keselamatan yang telah diterimanya.
Dalam pewartaan tersebut, Gereja bersolider dengan semua umat manusia. Di sini solidaritas dipahami sebagai keikutsertaan Gereja membuat dunia ini semakin sesuai dengan kehendak Allah, semakin adil dan semakin ditandai oleh persaudaraan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa Gereja harus berani mengeritik segala sesuatu yang bertentangan dengan Kerajaan Allah dan nilai-nilaiNya. Semuanya ini harus dijalankan bukan dari luar dunia atau melarikan diri dari dunia, melainkan dalam solidaritas mendalam dengan umat manusia, khususnya dalam penderitaan mereka.
Dalam menghidupi solidaritas ini, Gereja lebih berpihak pada mereka yang lemah (kaum miskin dan mereka semua yang menderita). Ini menjadi pilihan Gereja karena pengambilan bagian dalam perutusan Kristus. Tentang hal ini para bapak Konsili Vatikan II menyatakan:
45
Seperti Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang sama, supaya menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia. Kristus Yesus
“walaupun dalam rupa Allah, […] telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2:6-7). Dan demi kita Ia “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2Kor 8:9). Demikianlah Gereja, kendati memerlukan upaya-upaya manusiawi untuk menunaikan perutusan-Nya, didirikan bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi, melainkan untuk menyebarluaskan kerendahan hati dan pengingkaran diri juga melalui teladan-Nya. Kristus diutus
“walaupun dalam rupa Allah, […] telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2:6-7). Dan demi kita Ia “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2Kor 8:9). Demikianlah Gereja, kendati memerlukan upaya-upaya manusiawi untuk menunaikan perutusan-Nya, didirikan bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi, melainkan untuk menyebarluaskan kerendahan hati dan pengingkaran diri juga melalui teladan-Nya. Kristus diutus