• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM MAGISTER THEOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM MAGISTER THEOLOGI"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM MAGISTER THEOLOGI

BANTUAN DANA PAPA MISKIN

DI PAROKI ST. ALOYSIUS GONZAGA MLATI

MERUPAKAN SALAH SATU WUJUD SOLIDARITAS GEREJA DENGAN KAUM MISKIN

Tesis diajukan oleh:

SELESTINUS PANGGARRA NPM: 086312015/PPs/M.Th.

Untuk memperoleh

GELAR MAGISTER THEOLOGI

2011

(2)
(3)
(4)

iii

Perhatian pada kaum miskin merupakan salah satu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan Gereja. Perhatian ini berangkat dari iman Gereja akan Yesus Kristus yang telah terlebih dahulu mencintai kaum miskin. Perhatian ini tampak dalam berbagai cara baik itu melalui seruan (ajaran) maupun dalam tindakan-tindakan praktis, baik itu di tingkat Gereja Universal maupun di tingkat Gereja Lokal, baik dalam karya perorangan sebagai warga Gereja maupun sebagai karya tim.

Salah satu bentuk perhatian itu di tingkat Gereja Lokal adalah bantuan Dana Papa Miskin di Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati. Bantuan ini menjadi pusat kajian penulis dalam penelitian ini. Bantuan ini dimaksudkan untuk meringankan beban kaum miskin dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok (sembako), pendidikan dan kesehatan. Dana ini berasal dari segenap umat paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati. Pengumpulannya dilakukan melalui pemotongan 15%

kolekte mingguan dan persembahan bulanan. Itu berarti bahwa setiap umat paroki terlibat dalam pengelolaan dana ini.

Dalam pengelolaan dana ini, pengelola (Tim Kerja APP Plus, Angota PSE dan Ketua Wilayah/Lingkungan) memprioritaskan mereka yang paling miskin dan menderita bila dibandingkan dengan warga lainnya. Mereka bisa saja warga yang beragama Katolik atau beragama non-Katolik, orang lanjut usia atau yang masih muda, laki-laki atau perempuan.

Pada akhirnya, peneliti menemukan bahwa mereka yang telah menikmati bantuan tersebut mengalami Gereja sebagai Gereja yang bersolider dengan kaum miskin. Demi semakin terwujudnya Gereja kaum miskin maka pengelolaan dana ini perlu dikembangkan.

(5)

iv

ABSTRACT

Option for the poor is an unseparated aspect from the life of the Church. This option is based on the faith of the Church in Jesus Christ who loved all the people with the preferential option of loving the poor. The Church actualizes this option in many ways: through the official teaching of the Church; through the call or appeal of the Church; concrete actions like social-charity both in the level of the universal Church or in the local Church, both in personally actions or communitarian cares.

One of the cares in the level of the local Church is “fund management for the poor (Dana Papa Miskin) in the Parish of St. Aloysius Gonzaga – Mlati”. This is the central point of my research. The Parish of St. Aloysius Gonzaga – Mlati tries to be side by side with the poor with this kind of option in order to help them in fulfilling their basic needs or primary needs (sembako), education, and health. The fund comes from all parishioners of Mlati. The method of collecting the fund is interesting to be noted. From all the Sunday’s tributes or gifts (kolekte) and monthly contributions will be cut 15% for the poor. It does mean all the parishioners are really involved in the preferential option for the poor.

The responsible persons (team work of APP Plus, members of PSE, and the leaders of basic communities) in the process of management the fund try to give the priority to the poorest among the poor. And the fund is distributed to all the poorest among the poor without any discrimination. It could be distributed to the Moslems or Catholics, to the old aged or young, to the men or women.

At the end, the researcher find that those who have been touched by this kind of help, experience the Church as the Church of compassion. Passion for humanity means passion for Christ. It means the Church in Mlati is at the same time adoring God and solidarity with the poor. For the researcher, in order to be more and more the Church of the poor, this kind of fund management should be developed and increased especially in the Parish of Mlati and in all the parishes in general.

(6)

v

Syukur pada Tuhan atas tuntunanNya bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan yang berjudul: Pengelolaan Dana Papa Miskin di Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati merupakan Salah Satu Wujud Solidaritas Gereja dengan Kaum Miskin. Tulisan ini berangkat dari hasil penelitian pengelolaan Dana Papa Miskin di Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati, Sleman, DIY.

Tulisan ini dibuat untuk memperoleh gelar sarjana strata dua (Magister Teologi).

Penelitian dan penulisan ini terlaksana berkat campur tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dengan sepenuh hati mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis menyelesaikan tulisan ini. Mereka adalah:

1. Dewan Delegasi Independen Tarekat CMF Indonesia-Timor Leste yang berkenan memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi Program Magister Teologi.

2. Dr. Mateus Mali, CSSR sebagai pembimbing pertama penulisan tesis ini. Beliau selalu dengan tabah membimbing dan mendorong penulis menyelesaikan tesis ini.

3. Dr. F. A. Purwanto SCJ sebagai pembimbing kedua penulisan tesis ini. Beliau selalu setia mendampingi penulis dalam penelitian dan pengolahan hasil penelitian ini.

4. Rm. Ag. Sudarisman, Pr dan Rm. Adolfus Suratmo, Pr, Tim Kerja APP Plus, Anggota PSE, para Ketua Wilayah/Lingkungan dan segenap umat Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati yang telah memperkenankan penulis belajar banyak hal di paroki dan membantu penulis dengan berbagai cara untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan ini.

5. Rm. Kuriakose Thekkilakatil, CMF, Rm. Y. M. Vianey Lebuan, CMF, Rm. GYNOB Sagalaraja, CMF beserta seluruh anggota komunitas Wisma Claret Yogyakarta yang telah mendukung penulis dalam berbagai kesempatan serta menyediakan sarana dan prasarana demi selesainya penulisan tesis ini.

6. Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis namun selalu mendukung dan menjadi teman ziarah penulis dalam menuntaskan penulisan tesis ini, khususnya orang tua dan saudara-saudariku.

Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Dengan hati dan budi yang terbuka, penulis menerima segala masukan dan koreksi dari berbagai pihak demi kesempurnaan tulisan ini.

(7)

vi

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.1 Identifikasi Masalah ... 7

1.1.2 Batasan Masalah ... 7

1.1.3 Rumusan Masalah ... 8

1.2 Tujuan penelitian ... 8

1.3 Manfaat penelitian ... 9

1.4 Kerangka Pemikiran... 9

1.5 Metode Penelitian ... 14

BAB II SOLIDARITAS GEREJA DENGAN KAUM MISKIN ... 16

2.1 Solidaritas ... 16

2.1.1 Pengertian Solidaritas ... 16

2.1.2 Solidaritas dalam Kitab Suci ... 17

2.1.2.1 Solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama ... 18

2.1.2.2 Solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ... 25

(8)

vii

2.1.3.1 Sejarah Singkat Gerakan Solidaritas Dalam Gereja ... 30

2.1.3.2 Solidaritas Dalam Ajaran Sosial Gereja ... 34

2.1.3.3 Solidaritas Dalam Konsili Vatikan II ... 43

2.1.3.4 Solidaritas Dalam FABC ... 47

2.1.3.5 Solidaritas Di Keuskupan Agung Semarang ... 49

2.2 Kaum Miskin ... 56

2.2.1 Sepintas Tentang Kemiskinan... 56

2.2.2 Sebab-Sebab dan Upaya Mengatasi Kemiskinan ... 59

2.2.3 Kriteria Orang Miskin ... 65

2.3 Resume ... 69

BAB III DANA PAPA MISKIN ... 70

3.1 Asal Usul Dana Papa Miskin ... 70

3.2 Pengelolaan Dana Papa Miskin di Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati ... 73

3.2.1 Tahap Pertama (2004-Oktober 2006) ... 74

3.2.2 Tahap Kedua (November 2006-April 2010) ... 76

3.2.2.1 Periode November 2006-Februari 2008 ... 77

3.2.2.2 Periode Maret 2008-April 2010 ... 79

3.2.2.3 Catatan Kritis Kedua Periode Di Atas ... 83

3.2.3 Tahap Ketiga (2010-sekarang) ... 87

3.2.4 Peran Serta Anggota PSE, Ketua Wilayah dan Ketua Lingkungan dalam Proses Pencairan Dana ... 91

3.3 Resume ... 94

BAB IV LAPORAN DAN ANALISA HASIL PENELITIAN ... 96

4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 96

(9)

viii

4.1.2 Pelaksanaan Penelitian ... 96

4.1.3 Cara Pengumpulan Data Penelitian ... 99

4.2 Laporan Hasil Penelitian Lapangan ... 99

4.2.1 Identitas Penerima Dana Papa Miskin ... 100

4.2.2 Peran Petugas Lapangan (PSE Lingkungan dan Ketua Wilayah/ Lingkungan)112 4.2.3 Persepsi Penerima Tentang Bantuan yang Diterima ... 116

4.2.4 Persepsi Tentang Gereja ... 124

4.2.4.1 Pendapat Penerima Bantuan ... 124

4.2.4.2 Pendapat Anggota PSE Lingkungan ... 127

4.2.5 Dampak Dana Papa Miskin bagi Penerimanya ... 129

4.3. Catatan Kritis ... 130

4.4. Resume ... 131

BAB V PENUTUP ... 134

5.1 Kesimpulan ... 134

5.2 Wacana Pastoral ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 141

LAMPIRAN ... 147

Lampiran 1 ... 147

Lampiran 2 ... 152

Lampiran 3 ... 158

Lampiran 4 ... 159

Lampiran 5 ... 163

Lampiran 6 ... 166

Lampiran 7 ... 167

(10)

ix

Lampiran 9 ... 173

(11)

x

DAFTAR SINGKATAN

AA : Apostolicam Actuocitatem Ams. : Kitab Amsal

Am. : Kitab Amos

APP : Aksi Puasa Pembangunan ARDAS : Arah Dasar

Bil. : Kitab Bilangan Danpamis : Dana Papa Miskin DSPM : Dana Sosial Paroki Mlati Est. : Kitab Ester

FABC : Federation of Asian Bishops’ Conference Flp. : Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi Gal. : Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia GS : Gaudium et Spes

Hab. : Kitab Nabi Habakuk Hak. : Kitab Hakim-Hakim Hos. : Kitab Nabi Hosea

KAS : Keuskupan Agung Semarang Kel. : Kitab Keluaran

Kis. : Kisah Para Rasul

KLMT(D) : Kecil, Lemah, Miskin Tersingkir (Diffabel) Kor. : Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus KS I : Keluarga Sejahtera I

KS II : Keluarga Sejahtera II KS III : Keluarga Sejahtera III Lat. : Bahasa Latin

(12)

xi

LG : Lumen Gentium

Luk. : Injil Lukas Mat. : Injil Matius Mi. : Kitab Nabi Mika MM : Mater et Magistra Mrk. : Injil Markus

Mz. : Kitab Mazmur

OA : Octogesima Anno

Pra KS : Pra Keluarga Sejahtera PGPM : Pengurus Gereja Papa Miskin PDPP : Pedoman Dewan Pastoral Paroki PP : Populorum Progressio

PSE : Pengembangan Sosial Ekonomi Ptr. : Surat Rasul Petrus

QA : Quadraqesimo Anno

Raj. : Kitab Raja-raja

Raskin : Beras Untuk Kaum Miskin

Rm. : Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma

RN : Rerum Novarum

Rut. : Kitab Ruth Sam. : Kitab Samuel

SRS : Sollicitudo Rei Socialis Taw. : Kitab Tawarikh

Ul. : Kitab Ulangan Yer. : Kitab Nabi Yeremia Yes. : Kitab Nabi Yesaya Yoh. : Injil Yohanes Yos. : Kitab Yosua Zef. : Nubuat Zefanya

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan sudah menjadi pemandangan umum di seantero Indonesia entah itu di pedesaan maupun di perkotaan. Kenyataan ini tampil kepada kita dengan berbagai wajah: pemukiman kumuh, kelaparan, anak jalanan dan pengemis, putus sekolah, ketidakmampuan membiayai pengobatan murah, pekerjaan yang tidak layak, pengangguran dan lain sebagainya. Ketika Bank Dunia menetapkan garis/batas kemiskinan berdasarkan kemampuan daya beli pada angka US $1 perhari, maka prosentasi penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2006 adalah 49%. Itu berarti bahwa hampir separuh dari rakyat Indonesia adalah penduduk miskin.1 Untuk DIY dan Jawa Tengah, menurut Berita Resmi Statistik 1 Juli 2009, prosentase kemiskinan di DIY adalah 17,23% dan di Jawa Tengah adalah 17,72%. Hal ini menempatkan DIY pada peringkat ke-13 dan Jawa Tengah pada urutan ke-12 propinsi miskin di Indonesia.2

1 Data Strategis BPS, Statistik Kemiskinan 2009, diunduh dari Internet 21 April 2010, http://www.

tnp2k.wapresri.go.id/data.html.

2 Berita Resmi Statistik No. 43/07/h. XII, 1 Juli 2009.

(14)

2

Berhadapan dengan situasi ini, Gereja tidak dapat tinggal diam. Gereja memandang kenyataan ini sebagai kenyataan dirinya juga. Tak mengherankan bila Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral, “Gaudium et Spes” berkata, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1).

Keberpihakan Gereja pada mereka yang miskin dan menderita sudah menjadi ciri khas Gereja sejak awal. Gereja perdana, seperti yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul, membagi-bagikan kepunyaan mereka satu sama lain demi terpenuhinya kebutuhan mereka yang berkekurangan. Mereka didorong oleh kasih persaudaraan, hidup sehati dan sejiwa (lih. Kis 2:42-47; 4:32-37). Ketika karya pewartaan makin meluas dan anggota jemaat makin banyak maka demi tidak dilupakannya kaum miskin dan para janda dipilihlah para pelayan khusus yang mengurusi dan memperhatikan kaum miskin (lih. Kis 6:1-7).

Perhatian pada kaum miskin tidak hanya terjadi dalam jemaat setempat tetapi juga terjadi solidaritas antarjemaat. Jemaat yang kaya membantu yang miskin dan berkekurangan. Hal inilah yang menjadi salah satu perhatian St. Paulus sehingga ia mengumpulkan derma untuk keperluan Gereja induk di Yerusalem (lih. Rm 15:25- 26; 1Kor 16:1-4; 2Kor 8-9; Gal 2:10).

Perhatian Gereja pada kaum miskin merupakan wujud konkrit pengejewantahan ajaran dan cara hidup Sang Guru, Yesus Kristus. Perhatian dan keberpihakan Yesus

(15)

3

pada kaum miskin tampak dalam berbagai hal, baik dalam ajaran maupun dalam perbuatan-Nya. Bahkan kisah kelahiran-Nyapun dapat dilihat sebagai salah satu bentuk keberpihakan pada kaum miskin. Kelahiran-Nya diwartakan kepada mereka yang tak diperhitungkan dalam masyarakat. Dia bertumbuh sebagai seorang tukang yang mengusahakan sendiri makanan-Nya. Semasa karya-Nya di muka umum, keberpihakan itu nampak ketika Ia menyembuhkan yang sakit (lumpuh, buta, tuli, bisu, dll), memberi makan orang banyak yang tak mempunyai makanan, turut berduka atas meninggalnya anak seorang janda, dan berbagai kisah lainnya.3

Kaum miskin yang diperhatikan secara khusus oleh Yesus seperti yang dikisahkan dalam Injil dapat dikelompokkan sebagai berikut: mereka yang secara sosial dikucilkan, misalnya karena penyakit lepra; mereka yang secara sosial tergantung pada orang lain, misalnya janda; mereka yang secara kultural disingkirkan, misalnya perempuan; mereka yang secara fisik cacat, misalnya orang buta; mereka yang secara psikologis tersiksa, misalnya orang kerasukan setan;

mereka yang secara spiritual rendah hati, misalnya orang yang disebut takut akan Allah.4

Gereja, dengan mengikuti Yesus Kristus, memilih memberi perhatian kepada orang miskin dalam berbagai aspek seperti semangat, kesaksian, gaya hidup,

3 Michael Karimatton, “Option for The Poor”, Bible Bhashyam, Maret (1983) 39-44.

4 Seperti yang dikutip oleh J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Yogyakarta, Kanisius, 2002, 22.

(16)

4

pelayanan, prioritas karya, dan masih banyak lagi5. Pilihan yang berpola pada Kristus ini diungkapkan pula dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja. Dikatakan bahwa Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang sama yang telah dilalui oleh Kristus dalam melaksanakan karya penebusan yakni dengan jalan kemiskinan. Dengan jalan ini, Gereja melimpahkan kasihnya kepada semua yang terkena oleh halangan manusiawi dengan berusaha meringankan kemelaratan mereka (LG 8). Walaupun demikian, Gereja tidak menempatkan diri sebagai yang lebih tinggi dari kaum miskin.

Ia tidak tampil sebagai seorang bapak yang tahu segala-galanya dan menjadi pengambil keputusan bagai kaum miskin serta sebagai yang berkuasa atas kaum miskin. Gereja menampilkan diri sebagai Gereja kaum miskin. Gereja tampil sebagai pihak yang setara dengan kaum miskin karena Ia juga terdiri dari orang-orang miskin.

Keuskupan Agung Semarang memberi perhatian khusus kepada kaum miskin lewat Dana Papa Miskin. Pengelolaan Dana Papa Miskin ini didasarkan pada Pedoman Keuangan Paroki Keuskupan Agung Semarang tahun 1991. Pada pasal 6 pedoman tersebut dikemukakan prinsip-prinsip dasar setiap kegiatan di KAS. Pada poin d, dikatakan: “Mengusahakan terciptanya tatanan hidup demi kesejahteraan semua orang dengan mengutamakan saudara-saudara yang terlupakan dan menderita dalam bidang keuangan”. Prinsip ini diterjemahkan lebih lanjut dalam pasal 19 yang berbunyi: “Karena perhatian kepada yang terlupakan dan menderita juga menjadi ciri khas Gereja, paroki diminta menyediakan anggaran bagi kerasulan pelayanan kepada

5 Ignatius Suharyo, Pilihan Gereja Bagi Kaum Miskin, Seri Pastoral 320, Pusat Pastoral Yogyakarta 2001 No. 1, hal. 6.

(17)

5

saudara-saudara yang terlupakan dan menderita, minimal 10% dari anggaran paroki”.6

Hal tersebut menjadi rujukan pengelolaan Dana Papa Miskin di paroki-paroki di Keuskupan Agung Semarang. Namun dalam prakteknya, ada pergeseran di mana bukan lagi minimal 10% dari anggaran paroki tetapi 10% dari kolekte umum dan persembahan. Hal ini kemudian dituangkan dalam Pedoman Keuangan dan Akuntansi Paroki Keuskupan Agung Semarang 2008. Pada pasal 11.9.1 dikatakan:

“sepuluh persen (10%) dari akumulasi jumlah Kolekte Umum dan Persembahan selama satu bulan digunakan untuk Dana Papa Miskin”. Pernyataan ini ditegaskan pula dalam salah satu bagian Petunjuk Teknis Keuangan dan Akuntansi Paroki 2008 yang berbunyi: “Penerimaan Dana Papa Miskin yaitu penerimaan yang merupakan alokasi dari penerimaan Kolekte Umum dan Persembahan Bulanan yang besarnya ditetapkan sebesar 10% dari penerimaan Kolekte Umum dan Persembahan Bulanan yang diterima oleh paroki setiap bulan”.7 Pada bulan November 2009, prosentase kolekte dan persembahan untuk dana ini telah dinaikkan menjadi 15%.8

Berdasarkan ketentuan itu, paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati, sebagai salah satu paroki di Keuskupan Agung Semarang, mengalokasikan 15% dari akumulasi kolekte umum dan persembahan tiap bulan untuk Dana Papa Miskin. Pengelolaan

6 Pedoman Keuangan Paroki Keuskupan Agung Semarang tahun 1991

7 Tim Akuntansi Keuskupan Agung Semarang, Petunjuk Teknis Keuangan dan Akuntansi Paroki, bagian VII, B.3.a.2.1, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 63.

8 Memo Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang No. 1117/A/X/2009 tanggal18 Nov 2009 tentang Kenaikan Prosentase Dana Papa Miskin.

(18)

6

Dana Papa Miskin ini merupakan salah satu tanggung jawab Pastor Kepala Paroki dan Pastor Pembantu9. Pastor Kepala dan Pastor Pembantu memastikan terselenggaranya pelayanan kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan diffabel yang salah satunya adalah pemanfaatan dana 15% dari kolekte dan persembahan bulanan. Selanjutnya dana ini dikelola oleh Tim Kerja APP Plus bekerja sama dengan Ketua Wilayah dan Tim PSE Lingkungan.

Demi tepatnya sasaran dana ini, Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati menetapkan Pedoman Pengelolaan Dana Papa Miskin dan Aksi Puasa Pembangunan. Dalam pedoman tersebut, dikatakan bahwa Dana Papa Miskin digunakan untuk membantu siapapun yang dipandang oleh pengelola perlu untuk mendapatkannya dan tidak mengikat bagi si penerima dan paroki sebagai pemberi. Mereka yang dianggap perlu dibantu adalah mereka yang tergolong kecil, lemah, miskin, tersingkir atau siapapun yang dipandang perlu dibantu sebagai perwujudan keikutsertaan Gereja meringankan beban penderitaannya.

Dana Papa Miskin adalah dana karitatif yang pertama-tama tidak dimaksudkan untuk memberdayakan ekonomi warga tetapi lebih dimaksudkan untuk membantu mereka yang dipandang oleh pengelola membutuhkan dan perlu dibantu supaya bertahan hidup karena kebutuhan mendesak. Bantuan seperti ini tidak bertahan lama dan sekali pakai. Setelah penerima menikmatinya maka bantuna tersebut habis pada saat itu serta tidak menyelesaikan pokok permasalah kemiskinan.

9 Job Description, Vikaris Jenderal, Vikaris Episkopalis, Pastor Kepala-Pastor Pembantu, Komisi- komisi, Keuskupan Agung Semarang 2009.

(19)

7 1.1.1 Identifikasi Masalah

Salah satu bentuk solidaritas Gereja dengan kaum miskin di Paroki St Aloysius Gonzaga Mlati adalah pengelolaan Dana Papa Miskin. Permasalahannya ialah benarkah penyaluran bantuan ini merupakan suatu bentuk solidaritas Gereja bagi kaum miskin? Bagaimana penerima bantuan Dana Papa Miskin ini mengalami Gereja yang setia kawan dengan mereka dan siapakah orang miskin yang dimaksud dalam pengelolaan Dana Papa Miskin itu?

1.1.2 Batasan Masalah

Penelitian dibatasi pada penyaluran bantuan sembako, pendidikan, dan kesehatan dalam kurun waktu tahun 2007-2010 di paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati.

Pembatasan ini dimaksudkan untuk menyempitkan cakupan pembahasan demi terfokusnya penelitian. Peneliti memilih penyaluran bantuan sembako, pendidikan dan kesehatan dipilih oleh peneliti karena ketiga hal tersebut memiliki data yang cukup banyak seperti laporan keuangan, laporan penyaluran dan daftar penerima.

Sementara itu, penentuan kurun waktu 2007-2010 dipilih karena dalam kurun waktu itulah dana papa miskin/dana sosial dikelola secara sistematis di Paroki St.Aloysius Gonzaga Mlati.

(20)

8 1.1.3 Rumusan Masalah

Bagaimana pengelolaan Dana Papa Miskin di Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati sebagai salah satu bentuk perhatian Gereja kepada mereka yang terlupakan dan menderita menampilkan solidaritas Gereja dengan kaum miskin?

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1.2.1 Memahami solidaritas yang tampak dalam bantuan Dana Papa Miskin di Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati

1.2.2 Mengetahui siapakah orang miskin yang dilayani oleh Gereja dalam pengelolaan Dana Papa Miskin di Paroki St.Aloysius Gonzaga Mlati.

1.2.3 Mengetahui ketepatan sasaran dan manfaat bantuan Dana Papa Miskin di Paroki St.Aloysius Gonzaga Mlati.

1.2.4 Mengetahui pandangan kaum miskin tentang Gereja dalam kaitan dengan pengelolaan Dana Papa Miskin di Paroki St.Aloysius Gonzaga Mlati.

1.2.4.1 Untuk memperoleh gelar sarjana strata dua pada Program Pasca Sarjana Magister Theologi Universitas Sanata Dharma.

(21)

9 1.3 Manfaat penelitian

1.3.1 Hasil penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi Gereja Lokal secara khusus Gereja Katolik St. Aloysius Gonzaga Mlati untuk:

1.3.1.1 Mengembangkan pengelolaan Dana Papa Miskin demi semakin banyaknya orang miskin yang dilayani.

1.3.1.2 Menentukan kebijakan khusus untuk berkarya bersama kaum miskin.

1.3.1.3 Menampilkan diri sebagai Gereja yang benar-benar bersolider dengan warga miskin.

1.3.2 Penelitian ini juga menjadi sarana pembelajaran bagi penulis untuk berkarya bersama kaum miskin dalam karya pastoral di tempat misi.

1.4 Kerangka Pemikiran

Konsili Vatikan II menandaskan bahwa situasi dunia adalah juga situasi Gereja, keprihatinan dunia juga menjadi keprihatinan Gereja. Ini berarti bahwa Gereja mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.

Salah satu hal yang menjadi keprihatian Gereja adalah kaum miskin dan siapa saja yang menderita (GS 1). Hal ini dilakukan oleh Gereja bukan karena ambisi duniawi melainkan dengan “bimbingan Roh Penghibur, melangsungkan karya Kristus sendiri, yang datang ke dunia untuk memberi kesaksian akan kebenaran; untuk menyelamatkan, bukan untuk mengadili; melayani bukan untuk dilayani” (GS 3).

(22)

10

Hubungan erat antara Gereja dengan dunia khususnya dengan mereka di mana Gereja berada mendapat penekanan yang besar dalam konferensi Para Uskup Asia di Taipei 1974. Dalam kaitan dengan pewartaan Injil, dikatakan, “untuk mewartakan Injil di Asia masa kini hendaklah kita sungguh mendarah-dagingkan amanat dan hidup Kristus dalam budi dan perihidup bangsa-bangsa kita”10.

Menginkarnasikan amanat dan hidup Kristus dalam budi dan perihidup bangsa-bangsa di Asia bukanlah hal yang mudah mengingat begitu kompleksnya masyarakat dan budaya Asia dengan segala unsur-unsurnya. Walaupun ada kesulitan untuk membangun Gereja setempat yang sejati, tetapi hal inilah yang harus ditempuh.

Tujuannya supaya Gereja tidak menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat Asia.

Dalam pembangunan itu, diperlukan dialog terus-menerus dengan tradisi-tradisi, kebudayaan-kebudayaan serta agama-agama di Asia. Itu berarti bahwa Gereja berdialog dengan segala kenyataan hidup di mana ia berada. Dalam dialog itu, Gereja melihat kenyataan tersebut sebagai riwayat hidupnya sendiri. Dasar sikap Gereja ini terletak pada sikap Kristus sendiri yang telah mengambil jalan inkarnasi sampai pada misteri Paskah.11

Dalam relasi dengan kenyataan Asia tersebut, Gereja membangun dialog dengan agama-agama, kebudayaan-kebudayaan dan dengan rakyat khususnya kaum

10 KWI, ”Pewartaan Injil di Asia Zaman Sekarang”, Seri Dokumen Federasi Konferensi-konferensi para Uskup Asia (FABC) No. 1. Sidang-sidang FABC tahun 1970-1991, art. 9, diterjemahkan dari For All the Peoples of Asia, oleh R. Hardawiryana, DOKPEN KWI, Jakarta, 1995. Art. 9. Selanjutnya disingkat FABC I 1974 diikuti nomor artikelnya.

11 FABC I, 1974, art. 12.

(23)

11

miskin di Asia.12 Dialog dengan kaum miskin inilah yang akan diberi perhatian dalam kajian ini. Kaum miskin di sini bukanlah mereka yang miskin dalam nilai-nilai, kualitas ataupun potensi-potensi manusiawi. Mereka ini adalah orang-orang yang dirampas kesempatatannya untuk mempunyai harta dan sumber-sumber material yang mereka perlukan untuk hidup secara manusiawi. Perampasan itu terjadi karena penindasan melalui struktur-struktur sosial, ekonomis dan politis yang tidak adil.13

Dalam dialog dengan kaum miskin, Gereja melihat kaum miskin sebagai rekan dialog yang setara. Gereja sadar bahwa kaum miskin lebih tahu tentang kebutuhan dan aspirasi-aspirasinya. Oleh karena itu Gereja belajar dari kaum miskin dan sekaligus bekerja bersama mereka demi pemberdayaan mereka.14

Keprihatinan Gereja Asia ini juga menjadi keprihatinan Gereja Keuskupan Agung Semarang (KAS). Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang (ARDAS KAS) sejak periode 1990-1995 hingga saat ini (periode 2006-2010)15 mengutamakan kaum miskin dalam karya pemakluman Kerajaan Allah. Dalam ARDAS tersebut, kaum miskin diposisikan sebagai pihak yang dilecehkan martabatnya karena kuasa dosa.

Pelecehan itu tampak dalam sistem sosial yang diatur sedemikain rupa oleh pihak penguasa (ekonomi, hukum, pemerintahan , dlsb) sehingga kaum miskin tetap tinggal dalam kemiskinannya dan diperalat oleh penguasa untuk memenuhi segala keinginannya. Penegasan tentang hal ini misalnya nampak dalam ARDAS 1996-

12 FABC I, 1974,art. 13-24.

13 FABC I, 1974,art. 19.

14 FABC I, 1974, art. 20.

15 Ketika tulisan ini dibuat, ARDAS KAS 2011-2015 belum diumumkan.

(24)

12

2000, “Penghargaan terhadap martabat manusia mengalami kemerosotan karena kuasa dosa yang berbentuk: mental feodalisme, patriarki yang dominan, hedonisme, konsumerisme, tatanan yang tidak adil, dan primordialisme.” Tatanan yang tidak adil itu memunculkan sekaligus menindas kaum miskin, serta orang-orang kecil dan tidak berdaya. Usaha menjunjung tinggi martabat manusia dengan demikian terkait erat dengan pilihan dan prioritas pada orang miskin, kecil dan tak berdaya. Prioritas yang sama dijadikan tekanan khusus alinea kedua ARDAS 2001-2005, “mengutamakan yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir”. Rumusan ini merupakan tuntutan prinsip kesejahteraan bersama. Dengan gerakan mengutamakan mereka yang tidak berdaya inilah terwujud penghayatan nilai-nilai Kerajaan Allah. ARDAS 2006-2010 menempatkan mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir sebagai pelaku pembaruan menuju habitus baru dengan cara memberdayakannya.16

Pilihan mengutamakan kaum miskin di atas dilihat sebagai salah satu bentuk dialog. Hal ini tampak dalam Pedoman Dasar Dewan Paroki KAS 2004 dan Penjelasannya. Disebutkan bahwa umat beriman KAS ingin mewujudkan dan mengembangkan persekutuan paguyuban-paguyuban yang terbuka, bersahabat, saling mengasihi secara tulus, dan mengutamakan yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir.

Dalam menjalankan tugas perutusan itu, Gereja KAS ingin menghayati tiga macam dialog, pertama: dialog dengan yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir; kedua, dialog dengan aneka budaya yang hidup di tengah masyarakat; dan ketiga: dialog

16 M. Nur Widi, Eklesiologi ARDAS KAS, Kanisius, Yogyakarta, 2009, 120.

(25)

13

dengan umat yang beragama dan berkepercayaan lain sebagai teman sepeziarahan menuju Kerajaan Bapa17.

Perhatian pada kaum miskin tidak menempatkan kaum miskin sebagai objek belas kasihan tetapi sebagai subjek perubahan sosial. Ini berarti bahwa perubahan sosial menuju tata kehidupan baru dijalankan bersama dengan kaum miskin. Yang lemah dan sendirian dapat dibantu untuk memilih nilai-nilai personal dan sosial yang layak diperjuangkan. Penderitaan dikurangi bahkan sebisa mungkin dihilangkan.18 Dalam hal inilah dialog dengan kaum miskin memperoleh maknanya di mana mereka diberdayakan.

Namun ternyata bahwa tidak semua bantuan kepada kaum miskin merupakan pemberdayaan karena di samping itu diperlukan pula bantuan langsung yang berupa bantuan karitatif. Bantuan jenis ini dapat dilihat sebagai program jangka pendek dan darurat yang dengannya kaum miskin dibantu untuk hidup di saat ini sesuai dengan kebutuhan dasarnya. Tapi itu tidak berarti bahwa si penerima bantuan tidak perlu lagi diberdayakan karena pada dasarnya dalam ARDAS KAS sangat ditekankan pemberdayaan kaum miskin. Seperti yang tertuang dalam ARDAS KAS 2006-2010,

“Habitus baru dibangun bersama-sama…dalam diri yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir dengan memberdayakannya”.

17 Tentang dialog ini, Gereja KAS menghayati hal yang sama dengan yang dihayati oleh Gereja-gereja di Asia seperti tertuang dalam dokumen FABC I, 1974, 13-24.

18 M. Nur Widi, Eklesiologi ARDAS KAS, 122.

(26)

14

Keprihatinan Gereja terhadap kaum miskin di atas, oleh penulis dilihat sebagai suatu bentuk awal dari solidaritas dengan kaum miskin. Selain dokumen-dokumen di atas, salah satu dokumen Gereja KAS yang juga berbicara tentang solidaritas dengan kaum miskin adalah Nota Pastoral 2005. Di sana dikemukakan tentang pembangunan semangat solidaritas.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, penulis meneliti salah satu kebijakan pastoral KAS secara khusus di Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati yaitu pengelolaan Dana Papa Miskin. Berdasarkan pengelolaan dana tersebut, penulis meneropong bagaimana Gereja Katolik St. Aloysius Gonzaga Mlati membangun solidaritas dengan kaum miskin.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati. Dalam penelitian ini, pemilihan responden dilakukan secara acak (random sampling). Selanjutnya, pengumpulan dan analisa data dilaksanakan dengan mongkombinasikan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Peneliti mengkombinasikan pertanyaan- pertanyaan yang bersifat kuantitatif dengan pertanyaan yang bersifat kualitatif.

Keduanya berjalan seiring. Pertama-tama dilakukan wawancara dengan pertanyaan- pertanyaan yang bersifat kuantitatif. Selanjutnya, permasalahan diperdalam lagi dengan pertanyaan yang bersifat kualitatif. Pendalaman persoalan tidak hanya dilakukan untuk responden yang sama tetapi juga diperdalam melaui wawancara

(27)

15

dengan informan yang dianggap dapat mewakili pandangan umum tentang persoalan tersebut.

Berdasarkan data yang diperoleh tersebut, dibuatlah analisa dalam beberapa bagian. Pertama, pengolahan data hasil penelitian. Kedua, data yang terkumpul itu dikelompokkan dengan menggunakan cross tabulasi berdasarkan umur. Selanjutnya, data-data itu dianalisa secara pastoral.

(28)

16

BAB II

SOLIDARITAS GEREJA DENGAN KAUM MISKIN

2.1 Solidaritas

2.1.1 Pengertian Solidaritas

Secara etimologis, kata solidaritas merupakan kata turunan dari kata dasar solider. Solider berasal dari kata solidus (Lat.) yang berarti "kokoh, kuat, teguh, kerja sama, seluruh”. Kata ini selanjutnya diadaptasi ke dalam kata kerja bahasa Perancis solidaire yang berarti ”bersama, bersetia kawan, merasa senasib”1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, solidaritas berarti sifat (perasaan) solider; sifat satu rasa (senasib); perasaan setia kawan. Sementara itu solider diartikan sebagai mempunyai atau memperhatikan perasaan bersatu (senasib, sehina, semalu); (rasa) setia kawan2. Secara singkat solider dapat diartikan bersatu dengan teguh dalam kehendak dan perbuatan3.

Dari pengertian di atas, kita dapat merumuskan solidaritas sebagai rasa kesetiakawanan, hubungan batin yang kuat antara anggota suatu kelompok/

masyarakat, atau tindakan demi nasib dan kesejahteraan bersama yang diambil atas

1 Adolf Heuken, ”Solidaritas”, dalam Ensiklopedi Gereja, VIII Sel-To, Yayasan-Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2005, 90.

2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bangsa, ”Solidaritas”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.

3 Adolf Heuken, ”Solidaritas”, dalam Ensiklopedi Gereja, VIII Sel-To, 90.

(29)

17

perasaan tersebut. Solidaritas ini membuat para warga negara melupakan perbedaan- perbedaan yang ada demi tercapainya tujuan bersama. Mereka mendukung satu sama lain, karena memiliki kepentingan bersama yang melebihi kepentingan pribadi masing-masing4. Hal ini tampak, misalnya, dalam gerakan solidaritas kaum buruh di Polandia yang disebut solidarnosc. Gerakan ini bermula dari federasi organisasi buruh Polandia yang didirikan di galangan kapal Gdansk yang awalnya dipimpin oleh Lech Walesa. Pada tahun 1980-an organisasi ini mengusung suatu gerakan sosial anti komunis. Melaluinya kesejahteraan buruh disuarakan dan para buruh sendiri disatukan dalam suatu ikatan solidaritas. Pada akhirnya gerakan solidaritas ini berhasil menumbangkan rezim komunis di Polandia pada tahun 1989.5

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa solidaritas berarti rasa setia kawan yang menggerakkan orang atau kelompok tertentu untuk bertindak dan berjuang dalam kerja sama demi tercapainya kesejahteraan bersama.

2.1.2 Solidaritas dalam Kitab Suci

Setelah melihat secara singkat pengertian solidaritas, berikut ini penulis akan melihat solidaritas dalam Kitab Suci. Solidaritas sebagai sebuah terminologi tidak digunakan dalam Kitab Suci tetapi sebagai konsep, ia adalah salah satu hal yang

4 K. Bertens, ”Demokrasi dan Solidaritas”, dalam Sketsa-Sketsa Moral, Kanisus, Yogyakarta, 2004, 15-16.

5Jacek Kuron dan Karol Modzelewzki, Solidarność: The Missing Link?: A New Edition of Poland's Classic Revolutionary Socialist Manifesto, Bookmarks, 1982, 6.

(30)

18

penting dalam Kitab Suci. Konsep ini tersebar luas di seluruh Kitab Suci. Boleh dikatakan bahwa keseluruhan Kitab Suci memuat unsur-unsur solidaritas baik itu Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru. Ada satu kesamaan umum dalam setiap unsur itu yakni adanya perasaan senasib baik itu karena situasi sosial maupun religius. Solidaritas tidak hanya terjadi di antara manusia dengan manusia tetapi juga antara Allah dan manusia.

2.1.2.1 Solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama

Menurut G.W Grogon, konsep solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, tampak pada fenomena sosial dan religius. Fenomena sosial itu antara lain hubungan keluarga/kekerabatan, perkawinan, kesamaan tempat tinggal, kesamaan pekerjaan/

jabatan, ikatan perjanjian dan hal-hal yang bersifat subjektif yakni afeksi. Secara religius, solidaritas tampak dalam relasi Yahwe dengan Israel6.

Solidaritas yang muncul dari ikatan perkawinan tampak jelas misalnya dalam perkawinan Lewirat7. Ikatan perkawinan ini membawa serta konsekuensi dalam bentuk solidaritas saudara laki-laki sang suami untuk melanjutkan keturunannya dengan cara menikahi si istri bila sang suami meninggal dunia tanpa mempunyai

6 G. W. Grogon, “The Old Testament Concept of Solidarity”, dalam Tyndale Bulletin 49 (1998) 159- 173.

7 Lewirat dari kata bahasa latin levir = ipar laki-laki. Peraturan yang bertujuan mengabadikan nama dan menjamin tertahannya harta dalam keluarga; saudara tua dari orang yang meninggal tanpa adanya keturunan, wajib menikah dengan istri almarhum itu yakni dengan jandanya. Bila antara kedua belah pihak terdapat hubungan darah yang dilarang untuk menikah, maka peraturan ini dapat tidak berlaku.

Kebiasaan peraturan ini tergambar dalam kisah Tamar, Rut dan dalam pertanyaan yang diajukan kaum Saduki untuk menertawakan Yesus. (Xavier Leon-Dufour, ”Lewirat”, dalam Ensiklopedi Perjanjian Baru, Kanisius, 1990, 370).

(31)

19

keturunan. Di sini ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita memunculkan konsekuensi yuridis bagi saudara si suami. Konsekuensi ini dapat dilihat sebagai sebuah solidaritas demi kelangsungan keturunan dan alasan sosial lainnya seperti menghindarkan berpindahnya kekayaan keluarga tersebut ke keluarga lain karena menikahnya si istri (janda) setelah suaminya meninggal.

Pada pihak lain, walaupun seseorang bukan warga Yahudi dan tidak mempunyai ikatan perkawinan (keluarga/kekerabatan) dengan sebuah keluarga Yahudi tetapi karena disunat maka ia dapat ikut bersantap dalam Paskah Yahudi (Kel 12:43-49; Ul 10:18-19). Pengambilan bagian dalam perjamuan ini dilihat sebagai suatu bentuk solidaritas yang muncul karena adanya persamaan dalam hal sunat.

Hal lain yang menunjukkan solidaritas dalam Perjanjian Lama yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan adalah penggunaan term ‘ayah’ dan ‘anak’. Kosa kata ini tidak terbatas pada hubungan garis lurus ayah dan anak tetapi lebih luas maknanya yakni keturunan atau suku (Bil 11-10; Yos 21:4,5,10). Penggunaan istilah ini memunculkan ikatan solidaritas antar mereka yang berada dalam kelompok tersebut;

mereka ditempatkan sebagai satu keluarga besar. Demikian halnya dengan term

‘keturunan’. Term ini tidak hanya mengacu pada mereka yang lahir dari orang tua yang sama (rahim yang sama) tetapi juga mereka yang ada dalam ikatan kekerabatan secara lebih luas (Est 10:3). Penggunaan term ‘saudara’ pun mengacu pada hal yang sama. Term ini mengacu pada anggota kerabat laki-laki (Kej 16:12; Bil 25:6),

(32)

20

anggota suku yang sama (Bil 8:23-26; Hak 18:2,8), atau sebangsa (2Sam 2:27; Yer 34:9 dst).

Keterkaitan satu sama lain juga ditonjolkan dalam solidaritas karena kesamaan tempat. Dalam Ul 23:7 kita mendengar: “Janganlah engkau menganggap keji orang Edom, sebab dia saudaramu. Janganlah engkau menganggap keji orang Mesir, sebab engkau pun dahulu adalah orang asing di negerinya”. Dari kutipan ini nampak bahwa bangsa Israel bersolider dengan orang Edom dan bahkan orang Mesir karena mereka tinggal pada daerah/tanah yang sama (bdk Hak 5: 13-18, 23; 1Raj 12;

2Taw 35:18).

Hal lain yang menjadi pengikat solidaritas antarumat Israel adalah kesamaan panggilan dan suku. Kaum Levi, misalnya, memiliki ikatan solidaritas sekaligus dalam hal panggilan maupun dalam hal suku. Demikian juga dengan persatuan para nabi seperti yang dikisahkan dalam 1Sam 19:20 dan 2Raj 6:1. Kesamaan tersebut menjadi pengikat solidaritas antara mereka. Para nabi, seperti yang dikisahkan dalam 1Sam 19:20, bersolider untuk membangun tempat tinggal mereka sebagai satu kelompok yang sama.

Kadangkala solidaritas lebih bersifat subjektif dengan afeksi yang sangat mendalam. Solidaritas seperti ini ditunjukkan Daud atas meninggalnya Saul dan Yonatan (2Sam 1:26; Mz 55:12 dst) serta juga ditunjukkan Rut pada Naomi. Karena cintanya pada Yonatan dan Saul, Daud berkabung saat Saul dan Yonatan gugur di medan perang (1Sam 20:30-34; 2Sam 1:26) walaupun dalam pertempuran itu Saul

(33)

21

berkeinginan untuk membunuh Daud. Keprihatinan yang sama tampak juga pada kesetiaan Rut kepada Naomi. Demi kasih dan kesetiaannya pada Naomi, mertuanya, Rut tidak mau meninggalkan Naomi pergi sendirian kembali kepada bangsanya di Betlehem, walaupun Rut sendiri adalah orang asing, perempuan Moab. Rut berkata kepada Naomi, “Ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16).

Solidaritas dalam Perjanjian Lama dapat juga dilihat dalam kerangka perjanjian antara Yahweh dan Israel. Pada dasarnya Allah membuat perjanjian dengan semua umat manusia (Kej 9:8-17) tetapi Perjanjian Lama lebih menekankannya pada relasi antara Allah dan Israel. Gelar-gelar Ilahi yang muncul dari relasi ini sering melukiskan aspek solidaritas itu. Misalnya: “Tuhan Allah orang Ibrani (Kel 7:16; 13:3), “Yang Mahakuat pelindung Israel” (Yes 1:24), “Allah Israel”

(Yes 21:10), dan “Gunung Batu Israel” (Yes 30:9). Gelar-gelar Yahweh tersebut menunjukkan sedemikian dalamnya relasi Yahweh dan Israel.

Relasi Israel dengan Yahweh tidak berdasar pada hubungan alamiah seperti yang ada pada mitologi bangsa-bangsa kuno8 tetapi berdasar pada perjanjian.

Perjanjian ini mengikat kedua belah pihak sehingga Israel menjadi umat milik Yahweh dan Yehweh menjadi Allah Israel. Relasi ini digambarkan secara analogis

8 Pada mitologi bangsa-bangsa kuno, Yang Ilahi digambarkan mempunyai hubungan khusus dengan manusia. Hubungan ini muncul dari relasi lahir-melahirkan. Yang Ilahi melahirkan makhluk-makhluk yang ada termasuk manusia (G. W. Grogon, “The Old Testament Concept of Solidarity”, dalam Tyndale Bulletin 49 (1988) 159-173).

(34)

22

dengan relasi suami-istri (Yes 50:1 dst; Yer 2:2; Yeh 16:8 dst; Hos). Salah satu contoh penggambaran kedalaman relasi tersebut adalah Kitab Nabi Hosea. Di sana relasi Hosea dengan istrinya, Gomer, menggambarkan relasi Yahweh dengan Israel.

Relasi Yahweh dengan Israel tidak hanya digambarkan dengan relasi suami- istri tetapi juga sebagai anak dengan Bapa. Israel secara kolektif diposisikan sebagai anak Allah (Yes 61:7; Hos 11:1-2; Mal 1:8).

Relasi yang muncul dari perjanjian ini mengikat Yahweh dan Israel. Yahweh tidak pernah meninggalkan Israel walaupun Israel sering tidak setia pada perjanjian itu. Ia peduli pada situasi Israel. Relasi ini melahirkan hak penebusan bagi Israel (Kel 6:1-8, Mz 78:35). Dari relasi semacam inilah lahir solidaritas Yahweh dengan Israel.

Secara sosio-religius, solidaritas dikaitkan juga dengan perhatian pada kaum miskin. Para nabi bersolider dengan kaum miskin lewat pembelaannya bagi mereka.

Para nabi tampil sebagai orang yang berpihak pada kaum miskin. Hal ini tampak pada seruan profetisnya membela kaum miskin dan tertindas. Di balik itu tampak pula solidaritas Yahweh, yang diwakili oleh para nabi, dengan kaum miskin. Salah satu contohnya adalah seruan nabi Amos. Ia dengan berani menentang ketidakadilan yang menindas kaum miskin dengan berkata:

1 "Dengarlah firman ini, hai lembu-lembu Basan, yang ada di gunung Samaria, yang memeras orang lemah, yang menginjak orang miskin, yang mengatakan kepada tuan-tuanmu: bawalah ke mari, supaya kita minum-minum!

2 Tuhan ALLAH telah bersumpah demi kekudusan-Nya: sesungguhnya, akan datang masanya bagimu, bahwa kamu diangkat dengan kait dan yang tertinggal di antara kamu dengan kail ikan.

3 Kamu akan keluar melalui belahan tembok, masing-masing lurus ke depan, dan kamu akan diseret ke arah Hermon," demikianlah firman TUHAN. (Am 4:1-3).

(35)

23

Kehidupan di kota-kota Israel pada zaman itu sungguh berlawanan dengan nilai-nilai solidaritas karena kehidupan yang mewah dari segelintir orang itu dibangun di atas penderitaan orang yang melarat. Inilah yang mau dibongkar oleh sang nabi. Nabi membongkar kedok peranan wanita Samaria yang kaya, yang disebutnya sebagai ”lembu-lembu Basan”, suatu gelar yang kedengarannya menyakitkan. Mereka menjadikan suami mereka alat pemuas keinginan mereka sendiri, sambil memerintah masyarakat dari belakang layar. Mereka mempunyai kekuasaan di balik pengadilan yang korup (bdk Am 5:10-11) dan melalui praktek- praktek bisnis yang tercela (bdk Am 8:4-7) 9.

Demikian pula dengan nabi Yesaya. Ia mengkritik praktek-praktek pemerintahan yang tidak adil, yang memihak pada para penguasa dan orang-orang kaya tetapi menindas kaum lemah. Hal itu tampak dalam Yes 1:23-3:12, 14b-15;

3:16-18,24; 5:8; 10:1-3. Salah satu kritikan itu adalah yang ditujukan kepada para hakim. Mereka disebutnya pangeran-pangeran yang hanya sibuk dengan mencari keuntungan-keuntungan mereka sendiri, ”Para pemimpinmu adalah pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan mengejar sogok.

Mereka tidak membela hak anak-anak yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai kepada mereka” (Yes 1:23)

9 Herman Hendriks, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta, 1990, 47.

(36)

24

Para janda dan yatim piatu tak dapat menemukan pembela yang bisa diandalkan. Ungkapan ”anak-anak yatim dan janda-janda” berarti orang-orang yang tidak berdaya10. Mereka inilah yang dibela oleh sang nabi.

Suara kenabian yang menunjukkaan keberpihakan pada kaum miskin tampak juga pada nabi Mikha. Mikha tanpa gentar memperjuangkan perkara orang-orang miskin dan orang-orang yang dirampas haknya. Ia mengikuti tradisi nabi Amos dalam melancarkan tuduhannya terutama terhadap orang kaya. Penduduk kotalah yang biasanya menjadi sasaran kemarahan Mikha. Ia berseru melawan mereka yang terjaga di waktu malam untuk merancang rencana-rencana baru untuk untuk merebut sisa milik orang miskin (Mi 2:1-3). Pengadilan-pengadilan penuh dengan penyuapan dan korupsi, sementara para imam maupun nabi berupaya untuk meraih segala yang dapat mereka peroleh, mereka tak memikirkan apa-apa lagi kecuali memperoleh uang (Mi 3:11)11.

Selain para nabi di atas, Hosea (Hos 12:8), Zefanya (Zef 1:7-9; 3:1-5; 3:11- 13), Habakuk (Hab 1:1-4; 2:12), Yeremia dan Yehezkiel juga menekankan hal yang sama.

Berdasarkan uraian di atas, unsur-unsur solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tampak dalam beberapa hal seperti: kesediaan untuk mengambil alih tugas dan peran orang lain demi kelangsungan hidup dan keturunan (misalnya dalam perkawinan Lewirat); perasaan sebagai satu keluarga; kesamaan profesi yang

10 Herman Hendriks, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, 47.

11 Herman Hendriks, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, 47.

(37)

25

mengantar pada kerjasama untuk kesejahteraan bersama (misalnya solidaritas kaum Lewi dan solidaritas para nabi); ikut merasakan kesusahan orang yang dicintai (tampak dalam perkabungan Daud atas meninggalnya Yonatan dan Raja Saul);

perjanjian yang memunculkan ikatan di antara pihak-pihak yang berjanji untuk taat dan setia pada perjanjian (tampak pada perjanjianYahweh dengan Israel); dan keberpihakan pada kaum tertindas seperti yang disuarakan oleh para nabi.

2.1.2.2 Solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Baru

Solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Baru berpangkal pada solidaritas Allah dengan manusia. Solidaritas Allah dengan manusia sungguh nyata pada misteri inkarnasi dan misteri paskah. Dalam misteri inkarnasi, Allah rela menjadi manusia, hidup sebagai manusia, dan merasakan suka duka hidup manusia bahkan hingga pada kenyataan hidup manusia yang paling pahit. Hal ini berpuncak dalam misteri paskah di mana Yesus, Sang Putera rela menderita dan wafat demi manusia. Solidaritas Allah dengan manusia tidak berhenti pada sengsara dan wafat Yesus tetapi terlebih pada kebangkitan. Allah tidak hanya memihak manusia dalam kelemahan tetapi juga mengangkat manusia dari kedosaannya dan menyelamatkannya melalui kebangkitanNya dari mati.12

Kepedulian Allah pada manusia tidak hanya tampak ketika Sang Sabda menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus dan ketika Ia menderita, wafat dan bangkit

12 E. A. Weis, “Incarnation”, dalam William J. McDonald (ed.), New Catholic Encyclopedia, Vol II, McGraw-Hill Book Company, New York, 1967, 415.

(38)

26

tetapi dalam seluruh hidup dan karya harian Yesus. Sejak kelahiranNya, solidaritas itu sudah tampak bukan hanya dalam arti bahwa Ia lahir sebagai seorang manusia tetapi lebih khusus keberpihakannya pada manusia yang lemah, miskin dan tersingkir.

Bila kita mencoba menelusuri kisah kelahiran Yesus seturut Kitab Suci, di sana kita menemukan berbagai bentuk keberpihakan itu. Hal ini misalnya tampak dalam kisah kelahiran Yesus yang dilukiskan oleh Penginjil Lukas. Di sana ditampilkan Yesus yang lahir dari keluarga miskin, dilahirkan di kandang dan dibaringkan pada palungan (lih. Luk 2:6-7).

Kisah pembaptisan Yesus (Mat 3:13-17) juga menjadi tanda solidaritasNya dengan seluruh umat manusia. Dengan dibaptis, Yesus tampil sebagai seorang manusia konkrit yang sama dengan manusia lainnya yang butuh pembaptisan demi penyuciannya. Walaupun Yesus tidak berdosa tetapi Ia mau bersolider dengan manusia yang berdosa demi ketaatanNya pada Bapa13.

Selain itu, dalam karya dan pewartaanNya, Yesus pun berpihak pada kaum miskin. Di awal karyaNya di kampung halamanNya, Nazaret, seperti yang dituliskan oleh Lukas (Luk 4:16-21), Ia secara tegas memaklumkan ”program” hidupNya. Ia berkata:

18”Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku 19untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”. 20Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan

13 L. Hartman. 'Into the Name of the Lord Jesus': Baptism in the Early Church, Edinburgh: T&T Clark Ltd. ,1997, 24.

(39)

27

mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. 21 Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." (Luk 4:18-21)

Dalam perikop ini Lukas memaparkan suatu wejangan programatis yang membuka pelayanan Yesus. Dengan kutipan ini kita dapat melihat bahwa Kristus tetap berada di pihak kaum miskin, dalam arti yang paling luas yakni mereka yang melarat, yang terinjak, yang tercampak, para penjahat, dan sebagainya. Tetapi orang Nazaret tidak mau menerima Kristus yang demikian itu, karena itu ”Ia pun pergi”, bukan dalam arti bahwa Yesus luput dari kemarahan orang banyak itu, melainkan berjalan lewat dari tengah-tengah mereka. Yesus berangkat untuk memaklumkan kabar baik kepada orang-orang miskin14.

Selain hal tersebut di atas, keberpihakan Yesus pada kaum miskin dapat juga dilihat dalam status sosialnya. Secara sosial Ia tergolong warga masyarakat yang berada pada kelas sosial rendah (anak tukang kayu, berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa tempat tinggal yang tetap) dan memilih murid-muridNya dari kalangan kaum rendah. Dia mendekati orang-orang yang dibuang dan makan bersama para pendosa (Mrk 1-3; Luk 4-7). Sikap Yesus ini menunjukkan solidaritasNya kepada mereka yang lemah, miskin dan terpinggirkan15.

Uraian di atas kiranya dengan jelas menunjukkan keberpihakan Yesus pada mereka yang miskin. Keberpihakan ini tidak hanya tampak dalam kata-kata dan ajaranNya tetapi juga dalam seluruh karya dan hidupNya.

14 Herman Hendriks, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, 95.

15 Ronaldo Munos, “Option for the Poor”, dalam Virginia Fabella dan R.S. Sugirtharaja (eds.), Dictionary of The Third World Theologies, Orbis Books, Maryknoll, New York, 2000, 155.

(40)

28

Solidaritas Yesus dengan manusia khususnya dengan mereka yang miskin selanjutnya menjadi salah satu bentuk penghayatan iman Para Rasul dan Gereja Perdana. Sikap dan pilihan hidup Para Rasul sungguh menunjukkan solidaritas dengan kaum miskin, lemah dan tersingkir. Pengajaran mereka menekankan nilai- nilai solidaritas seperti semangat berbagi dengan sesama atau jemaat lainnya. Salah satu contohnya adalah cara hidup jemaat perdana yang digambarkan oleh Lukas dalam Kisah Para Rasul. Mereka saling berbagi satu sama lain dan hidup sehati sejiwa (Kis 2:41-47; 4:32-37). Hal yang sama dilanjutkan dalam perkembangan Gereja selanjutnya. Jemaat yang satu membantu jemaat lainnya di tempat lain, contohnya pengumpulan dana demi membantu orang-orang miskin di Yerusalem (Rm 15:25-27; Gal 2:10, 1Kor 16:1-4; 2Kor 8-9).

Salah satu perhatian Rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus adalah kesatuan jemaat. Ia menggambarkan Gereja sebagai Tubuh Kristus yang walaupun terdiri dari banyak anggota tetapi tetap satu tubuh (1Kor 12:12-30). Di sana setiap anggota mempunyai fungsi dan tugasnya masing-masing tetapi itu tidak berarti bahwa mereka berdiri sendiri. Mereka bersama-sama membentuk satu kesatuan tubuh dalam Roh. Setiap anggota menjalankan fungsinya sesuai dengan karunia yang diterimanya. Itu semua dilakukan untuk membangun satu tubuh yang sama. Di sana tampak jelas solidaritas dengan anggota yang lain dalam suka dan duka. Hal tersebut kiranya terwakili dalam kutipan berikut:

24 Hal itu tidak dibutuhkan oleh anggota-anggota kita yang elok. Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota-anggota yang tidak mulia diberikan penghormatan khusus, 25supaya jangan terjadi perpecahan

(41)

29

dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. 26 Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.

27Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. (1Kor 12:24-27).

Tema solidaritas ini juga dapat ditemukan dalam Surat Pertama Petrus. Di sana umat diundang untuk bersolider dalam penderitaan. Solidaritas ini didasarkan atas kesatuan dalam dan dengan Kristus yang telah lebih dahulu mengalami penderitaan. Penderitaan salah satu anggota jemaat merupakan penderitaan semua anggota jemaat karena mereka semua satu dalam Kristus (1Ptr 2:18-25; 3:13-4:6;

4:12-16; 5:1,8-9). Dalam menanggung penderitaan ini, Kristuslah yang menjadi teladan karena Ia sendiri telah rela menderita bukan bagi diriNya sendiri tetapi bagi orang lain (2: 21). Persekutuan jemaat merupakan kesatuan sebagai satu keluarga Allah (2:4-10 dan 4:12-19). Dalam kesatuan sebagai keluarga Allah inilah solidaritas dibangun16.

Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa solidaritas dalam Perjanjian Baru adalah solidaritas yang berpangkal pada solidaritas Allah dengan manusia dalam diri Yesus Kristus. DariNya jemaat membangun solidaritas antar mereka demi membangun Keluarga Allah. Solidaritas dalam Perjanjian Baru dapat dimengerti sebagai tindakan mengambil bagian dalam nasib orang lain demi keselamatan.

16 D.N. Freedman, The Anchor Yale Bible Dictionary, V, New York, Doubleday, 1996, 275.

(42)

30 2.1.3 Solidaritas Dalam Gereja

Nilai-nilai solidaritas yang diwariskan Yesus tidak berhenti pada Jemaat Perdana. Nilai ini tetap dihidupi oleh Gereja dalam perkembangan selanjutnya.

Berikut ini akan ditampilkan secara singkat beberapa pandangan dan gerakan solidaritas dalam Gereja sejak abad keempat hingga saat ini baik itu pada Gereja Lokal maupun Gereja Universal.

2.1.3.1 Sejarah Singkat Gerakan Solidaritas Dalam Gereja

Solidaritas dalam Gereja tak terlepas dari solidaritas yang ada dalam Kitab Suci yakni solidaritas yang berpangkal pada solidaritas Allah dengan manusia.

Solidaritas sebagaimana dihidupi oleh jemaat perdana juga dihidupi oleh Gereja dalam perjalanan sejarah selanjutnya. Solidaritas tersebut dapat dilihat dalam keberpihakan Gereja dengan kaum kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Salah satunya adalah perhatian Gereja dalam bentuk karitatif bagi kaum miskin. Tiga abad lamanya umat Kristen terdiri dari orang sederhana. Namun demikian, orang miskin selalu diperhatikan, misalnya oleh diakon St. Laurensius di Roma atau oleh umat Allah di Suriah (yang pada abad ke-4 menghidupi 4000 orang yang kurang mampu). Kolekte- kolekte digunakan antara lain untuk membebaskan budak belian atau untuk janda dan yatim piatu.17

17 Adolf Heuken, ”Solidaritas”, dalam Ensiklopedi Gereja, VIII Sel-To, 95.

(43)

31

Demikian halnya pada masa revolusi industri di Eropa18. Pada masa itu, ada begitu banyak masalah sosial yang muncul pada masyarakat Eropa. Salah satunya adalah kemiskinan kaum buruh. Berhadapan dengan situasi ini, banyak orang Kristen yang iba hati untuk membantu mereka. Bantuan itu dilaksanakan dengan pendekatan

“karitatif” dan bersifat amal19. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan penderitaan walaupun tidak membawa banyak perubahan. Gerakan-gerakan itu misalnya yang dibuat di Perancis oleh Frederic Ozanam (1813-1853). Ia, melalui “Perkumpulan St.

Vincentius”, menggerakkan kelompok awam untuk meringankan penderitaan orang miskin dengan karya amal.

Selain itu, antara 1813 dan 1850-an, didirikanlah berbagai institusi religius (terutama suster-suster) untuk menjalankan karya karitatif di Perancis, Belgia, Jerman dan Belanda. Demikian halnya di Italia, Yohanes Don Bosco dan rekan-rekannya mengumpulkan pemuda-pemuda buruh di wilayah Italia Utara20.

Sementara itu di Jerman, Adolf Kolping (1813-1865), seorang tukang sepatu yang menjadi imam, mendirikan rumah-rumah pertemuan untuk para tukang dan kaum buruh di daerah industri Ruhr. Kolping menjadi “bapa para tukang”. Yang

18 Revolusi industri terhitung mulai dengan penemuan mesin uap tahun 1769 (B. Kieser, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 17).

19 Tindakan karitatif di sini dimengerti secara umum sebagai cinta kasih persaudaraan kristiani pada mereka yang membutuhkan dan menderita melalui aksi-aksi konkrit, misalnya pengumpulan dana, perawatan orang sakit, dll. Tindakan ini diilhami oleh Roh Kristus. (bdk. Erich Reisch, ”Charitable Organizations”, dalam Karl Rahner dkk (eds.), Sacramentum Mundi An Encyclopedia of Theology, Vol 1, Burn &Oates, London, 1968, 294).

20 B. Kieser, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 20.

(44)

32

diinginkan oleh Kolping bukanlah perubahan struktur tetapi perubahan sikap Gereja terhadap masalah sosial. Ia berkata,

Gereja tidak dapat cuci tangan dari masalah sosial; Gereja harus hadir di tengah-tengah hidup manusia dan tidak boleh menghindari perjuangan melawan musuh-musuhnya, …Andaikata komunisme kristiani selalu diwujudkan dengan tepat, komunisme yang anti-kristen itu pasti tidak muncul21.

Pada pihak lain, Wilhelm Emanuel Freiherr von Ketteler (1811-1877), berusaha dengan keras membangkitkan kesadaran akan masalah buruh sebagai masalah sosial. Dalam pertemuan umat Katolik Jerman di keuskupannya, Keuskupan Mainz, pada tahun 1848, ia berkesempatan untuk menyebarkan gagasan pokoknya bahwa pembangunan religius tidak mungkin tanpa perubahan sosial. Menurut dia, untuk mencapai hal itu Gereja perlu meneguhkan organisasi-organisai buruh. Hal ini perlu dilakukan karena pada masa itu (tahun 1875), di daerah industri baru di tepi sungai Rhein dan Ruhr, terhitung 30 organisasi buruh sosialis dengan 2.300 anggota, dan 2.999 organisasi katolik dengan 46.000 anggota22.

Pemerasan hebat dan kemiskinan luar biasa yang dialami oleh para buruh di Eropa dan Amerika Utara pada akhir abad 19 mendesak Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum (tahun 1891). Mulai saat itulah Gereja (hirarki) terus- menerus menanggapi masalah-masalah sosial lewat ajaran sosialnya.23

Berkaitan dengan penggunaan istilah solidaritas di dalam Gereja, menurut Matthew L. Lamb, terminologi ini baru muncul dalam abad 20 yang menunjukkan

21 B. Kieser, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, 21.

22 B. Kieser, Solidaritas, 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, 23.

23 Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 1988, 39.

(45)

33

kecenderungan umum untuk menyatukan suatu kelompok atau bangsa. Kata solidaritas diadopsi oleh para teoritikus katolik (misalnya Heinric Pesch24) dari gerakan kesatuan buruh. Mereka menggunakan “solidaritas” untuk membedakan teori sosial katolik dengan teori-teori liberalisme dan komunisme25. Liberalisme sangat menjunjung tinggi kebebasan individual warga masyarakat. Pendewaan kebebasan individual itu mengabaikan kodrat sosial manusia26. Penekanan yang berlebihan pada kebebasan individu mengakibatkan rendahnya rasa tanggungjawab setiap individu kepada orang lain walaupun mereka hidup dalam satu kelompok tertentu. Bagi kaum liberal komunitas tidak lain daripada sekadar perkumpulan individu-individu yang memiliki kesamaan pikiran.

Pada pihak lain, komunisme tampil sebagai sebuah pandangan hidup yang mencita-citakan kehidupan bersama tanpa hak milik pribadi. Semua tanah, barang- barang produksi atau alat-alat kerja dimiliki secara bersama. Setiap orang bekerja menurut kemampuannya, dan memperoleh hasil produksi bersama menurut kebutuhannya27.

24 Heinrich Pesch adalah seorang ekonom Jerman yang termasyur. Ia menolak sosialisme dan individualisme. Ia menggunakan istilah solidarisme sebagai jalan tengah untuk menghadapi bahaya sosialisme dan individualism (R.E. Mulcahy, “Solidarism”, dalam Willian J. McDonald (ed.), New Catholic Encyclopedia, Vol 13, McGraw-Hill Book Company, New York, 1967, 419).

25 Matthew L. Lamb, “Solidarity”, dalam Judith A. Dwyer (ed.), The New Dictionary of Catholic Social Thought, A Michael Glazier Book, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 1994, 908.

26 Al. Purwa Hadiwardaya, 7 Masalah Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 2006, 26.

27 Al. Purwa Hadiwardaya, 7 Masalah Sosial, 28.

(46)

34 2.1.3.2 Solidaritas Dalam Ajaran Sosial Gereja

Kesetaraan martabat manusia menjadi dasar bagai setiap mansuia untuk saling menghargai dan menghormati. Tidak ada seorang pribadi yang berkuasa atas pribadi yang lain. Tetapi itu tidak berarti bahwa manusia hidup dalam kebebasan absolut sehingga tidak ada lagi norma-norma yang mengatur hidup bersama. Norma ini diperlukan demi kehidupan bersama di mana setiap orang saling menghargai hak dan kewajibannya. Semua itu dimaksudkan demi kesejahteraan bersama.

Namun tak jarang cita-cita untuk mencapai kesejahteraan bersama tidak dapat tercapai karena ketidakadilan yang pada saat yang sama menodai martabat manusia.

Hal ini diperparah oleh ideologi-ideologi yang berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan28. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja melalui ajarannya menyerukan penghormatan terhadap martabat dan pribadi manusia. Inilah yang melatarbelakangi munculnya Ajaran Sosial Gereja.

Dalam uraian berikut beberapa Ajaran Sosial Gereja akan dikemukakan.

Dalam setiap ajaran itu, penulis berusaha menampilkan aspek-aspek solidaritas Gereja dengan kaum lemah, miskin dan tersingkir.

a. Ensiklik Rerum Novarum (1891)

Ajaran Sosial Gereja dalam dunia modern ditandai dengan dikeluarkannya ensilik Rerum Novarum29 oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891. Ensiklik ini

28 Misalnya komunisme, sosialisme, liberalisme dan individualisme.

29 Michael Schultheis, Ed. P. DeBerri dan Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, 21.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk melakukan analisa hasil dari system, hal yang dilakukan adalah meyebarkan kuesioner kepada calon mawapres,tim juri seleksi mawapres, sekretariat WR III serta

Berdasarkan hasil penelitian bahwa Pendaftaran Peralihan dari Pemisahan Hak Guna Bangunan Induk ke Hak Guna Bangunan Perseorangan dalam Jual Beli Perumahan di Kabupaten Sleman

Dan faktor jabatan yang dimiliki oleh Sri Purnomo juga ikut mempengaruhi, seperti diketahui bahwa Sri Purnomo pada pilkada tahun 2015 yang lalu masih menjadi bupati

Penelitian ini bertujuan: 1) Mengetahui dan memahami karakteristik santri lansia dalam meningkatkan hafalan Al-Qur’an di Majelis Ummahat Ishlahunnisa’ Ngebel Yogyakarta; 2)

Padahal seharusnya menurut Cecep, log book diisi pada masa berlayar oleh orang-orang yang berada di kapal, baik nelayan, awak kapal atau nakhoda yang menangkap

Berdasarkan hasil pengumpulan data terhadap responden di daerah penelitian, secara umum tingkat keberdayaan masyarakat yang menjadi anggota kelompok tani Ngudi Makmur Dusun Turgo

terintegrasi dalam keteladan guru di lingkungan sekolah dan kedalam mata pelajaran tertentu khususnya mata pelajaran agama Islam. Dengan penanaman konsep takwa yang

Sedangkan Kotler (1997) menyatakan bahwa kepuasan pembeli adalah tingkat keadaan perasaan seseorang yang merupakan hasil perbandingan antara penilaian kinerja/hasil akhir produk