• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER TEOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER TEOLOGI"

Copied!
211
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM MAGISTER TEOLOGI

PERAN KELUARGA KRISTIANI DALAM PEMBANGUNAN GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH YANG MANDIRI, MISIONER DAN TERLIBAT DALAM MASYARAKAT MENURUT KARDINAL YUSTINUS DARMOJUWONO

Tesis diajukan oleh:

AGUS WIDODO

NPM : 086312002/PPs/M.Th.

untuk memperoleh

GELAR MAGISTER TEOLOGI 2010

(2)

ii

(3)

iii

Tulisan tentang “Peran Keluarga Kristiani dalam Pembangunan Gereja sebagai Umat Allah yang Mandiri, Misioner dan Terlibat dalam Masyarakat Menurut Kardinal Yustinus Darmojuwono” ini ditulis pada masa berlakunya Arah Dasar (ARDAS) Keuskupan Agung Semarang 2006-2010. Dalam ARDAS tersebut dinyatakan bahwa,

“Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dalam bimbingan Roh Kudus berupaya semakin menjadi persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus Kristus yang mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan (bdk. Luk 4:18-19)”. Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa untuk mewujudkan Kerajaan Allah tersebut, Gereja bertekad membangun habitus baru berdasarkan semangat Injil (bdk. Mat 5-7). “Habitus baru dibangun bersama-sama: dalam keluarga dengan menjadikannya sebagai basis hidup beriman; dalam diri anak, remaja, dan kaum muda dengan melibatkan mereka untuk pengembangan umat; dalam diri yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir dengan memberdayakannya.”

Pernyataan dalam ARDAS tersebut menegaskan bahwa pelaku utama untuk membangun habitus baru demi terwujudnya Kerajaan Allah adalah keluarga. Sebab, keluarga merupakan komunitas terkecil yang menjadi dasar bagi terbentuknya komunitas yang lebih besar, baik dalam Gereja maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu, habitus baru harus dibangun mulai dari keluarga, yang di dalamnya terdapat anak, remaja, kaum muda dan orangtua, baru kemudian meluas baik ke tingkat lingkungan, wilayah, paroki maupun masyarakat pada umumnya.

Tulisan ini berusaha untuk membahas peranan keluarga dalam pembangunan Gereja demi terwujudnya Kerajaan Allah yang dicita-citakan tersebut dengan berpijak pada pengalaman hidup menggereja di masa penggembalaan Kardinal Darmojuwono (1964-1981), di mana perhatian pastoral bagi keluarga-keluarga Kristiani pada waktu

(4)

iv

keluarga dalam membangun Gereja pada masa sekarang sekaligus untuk meningkatkan perhatian pastoral Gereja bagi keluarga-keluarga Kristiani.

Selama berproses untuk membuat tulisan ini, penulis selalu mengalami kemurahan Tuhan dalam bentuk uluran tangan dari banyak pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya, pada kesempatan ini penulis menghaturkan sembah sujud dan puji syukur kepada Tuhan karena Ia selalu setia dan menggenapi kekurangan penulis (bdk.

1 Tes 5:24). Tidak lupa, penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada:

1. Keuskupan Agung Semarang yang telah menerima penulis untuk menjadi bagian dari kolegialitas imam diosesan KAS;

2. Mgr. I. Suharyo, Rm. P. Riana Prapdi dan para Staf Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta yang memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Pasca Sarjana di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma;

3. Dr. Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dan Dr. M. Purwatma, Pr yang selalu setia membimbing penulis selama proses penyusunan tesis ini, serta Dr. St.

Gitowiratmo, Pr yang membantu penulis untuk mengkritisi tulisan ini;

4. Para staf Sekretariat Keuskupan Agung Semarang yang dengan sabar dan setia membantu penulis untuk mendapatkan data-data dari Arsip Keuskupan;

5. Para staf Perpustakaan Seminari Tinggi dan Kolese Ignatius serta staf Sekretariat Pasca Sarjana yang banyak membantu penulis baik dalam penyediaan buku-buku referensi maupun persyaratan-persyaratan administratif;

6. Para Romo Paroki Katedral Semarang yang memberi tumpangan selama penulis mengadakan penelitian di Keuskupan;

7. Para pemerhati Seminari dan para donatur, khususnya Bp. Ignatius Muljono Suntoro, Miss Esther dan Miss Anchi, Bp. Tirto Joewono dan Bp. Suntoso

(5)

v telah banyak membantu penulis;

8. Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta, baik para Staf, karyawan maupun teman-teman seperjalanan dalam panggilan, khususnya teman-teman angkatan tahbisan 29 Juni 2010;

9. Keluarga penulis: Bapak M. Joyosumitro dan Simbok Th. Sukiyah beserta adik sekeluarga M. Winingsih dan St. Eka Setiawan yang selalu mendukung penulis dalam menghayati panggilan Tuhan. Terimakasih pula kepada swargi Simbah Mathea Paiyem yang selalu hadir dalam kenangan penulis.

10. Para Romo di Pastoran Bintaran: Rm. M. Soegito, Rm. Willem dan Rm.

Wondo, juga seluruh umat di Paroki Bintaran dan Stasi Pringgolayan yang selalu memberi dukungan dan peneguhan selama penulis mempersiapkan ujian dan mengerjakan revisi atas tulisan ini.

11. Sahabat penulis, Siegfrieda Mursita Putri, yang dengan senang hati telah membantu memperindah terjemahan ABSTRAK ke dalam Bahasa Inggris.

Semoga tulisan sederhana ini dapat berguna, khususnya bagi mereka yang ingin lebih mengenal Kardinal Darmojuwono dan memberikan perhatian lebih bagi keluarga-keluarga Kristiani demi pembangunan Gereja yang mandiri, misioner dan terlibat dalam masyarakat. Segala masukan dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi lebih baiknya tulisan ini.

Yogyakarta, 1 Oktober 2010 Pesta St. Theresia dari Kanan-kanak Yesus

Agus Widodo

(6)

vi

Dengan ini, saya menyatakan bahwa di dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperolah gelar Pasca Sarjana di suatu Perguruan Tinggi, dan sejauh pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orag lain yang pernah ditulis atau diterbitkan, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tulisan ini dan dicantumkan dalam catatan kaki dan daftar pustaka.

Yogyakarta, 1 Oktober 2010

Agus Widodo

(7)

vii

Kardinal Darmojuwono menjadi Uskup Agung Semarang (1964-1981) tidak lama setelah Keuskupan Agung Semarang diakui sebagai Gereja mandiri oleh Tahta Suci (1961) sehingga beliau mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan dinamika kemandirian itu sekaligus semakin memantapkannya. Oleh karena itu, beliau bercita- cita dan berusaha untuk mewujudkan Gereja Keuskupan Agung Semarang sebagai Umat Allah yang mandiri. Umat diajak untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhannya, baik dalam bidang material maupun spiritual, kemudian merencanakan dan mengusahakan pemenuhannya dengan kemampuan atau usaha sendiri tanpa mengabaikan pertolongan dari pihak lain.

Usaha Kardinal Darmojuwono untuk membangun Gereja yang mandiri tersebut tidak dibatasi pada kemandirian intern Gereja Keuskupan Agung Semarang tetapi juga diperluas dengan gerak keluar untuk berbagi. Dalam lingkup internal Gereja Katolik, hal ini dilakukan dengan mengembangkan semangat misioner yang diwujudkan dengan mengirimkan tenaga-tenaga Imam diosesan KAS untuk membantu berkarya di keuskupan-keuskupan lain yang mengalami kekurangan Imam. Dalam lingkup eksternal kemasyarakatan, gerakan berbagi ini diwujudkan dengan keterlibatan Gereja dalam masyarakat, baik melalui keterlibatan sosial ekonomi terhadap mereka yang lemah, keterlibatan dalam membangun masyarakat maupun dalam mengatasi persoalan-persoalan aktual pada waktu itu.

Berdasarkan kerangka pemikiran Kardinal Darmojuwono tersebut, dapat dikatakan bahwa beliau mempunyai visi ekklesiologis untuk membangun Gereja sebagai Umat Allah yang mandiri, misioner dan terlibat dalam masyarakat. Untuk mewujudkan visi ekklesiologis ini dibutuhkan para pelaku yang harus menjadi aktor utama atau ujung tombak, yaitu keluarga-keluarga Kristiani. Sebab, mereka adalah kelompok terkecil baik dalam Gereja maupun dalam masyarakat sehingga menjadi dasar bagi keduanya. Dalam lingkup Gerejawi, keluarga Kristiani menjadi dasar terbentuknya lingkungan, wilayah, paroki, keuskupan dan akhirnya Gereja semesta.

Sementara itu, dalam lingkup masyarakat, keluarga Kristiani bersama dengan keluarga-keluarga yang lain menjadi dasar terbentuknya kelompok RT, RW, dusun, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi dan akhirnya negara. Dengan demikian, keluarga-keluarga Kristiani merupakan medan yang paling efektif untuk mencari, menghayati dan mengembangkan iman atau aspirasi Kristiani sekaligus untuk melaksanakan keterlibatan dalam masyarakat.

Mengingat betapa pentingnya peran keluarga Kristiani dalam mewujudkan visi ekklesiologinya, Kardinal Darmojuwono memberikan perhatian yang besar kepada mereka. Keluarga-keluarga Kristiani tidak cukup hanya menjadi kelompok sosiologis dalam bentuknya yang paling kecil tetapi juga harus menjadi perwujudan sekaligus penghayatan Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat.

Dalam konteks Keuskupan Agung Semarang pada masa penggembalaan Kardinal Darmojuwono, wujud konkret Kerajaan Allah tersebut adalah kemandirian, semangat misioner dan keterlibatan Gereja dalam masyarakat. Melalui ketiga hal tersebut, Gereja berusaha untuk menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah yang menyelamatkan umat-Nya. Maka, sesuai dengan hakikatnya sebagai perwujudan

(8)

viii

Untuk melaksanakan perannya tersebut, keluarga-keluarga Kristiani diserahi tugas perutusan yang konkret. Mereka diharapkan membangun keluarga yang sehat, melahirkan dan mendidik anak secara manusiawi dan Kristiani serta membangun ekonomi rumahtangga secara Kristiani. Sebab, keluarga yang sehat secara jasmani dan rohani menjadi dasar bagi terciptanya Gereja dan masyarakat yang sehat secara jasmani dan rohani pula; keluarga yang mendidik anak dengan baik menyediakan tenaga pastoral bagi Gereja masa depan, entah untuk mencukupi kebutuhan tenaga sendiri (mandiri), untuk membantu keuskupan lain yang berkekurangan (misioner) atau untuk mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat; keluarga yang mengelola ekonomi secara Kristiani semakin memperkokoh kemandirian dan semangat solidaritas Gereja.

(9)

ix

Cardinal Darmojuwono became the Archbishop of Semarang (1964-1981) immediately after the Holy See acknowledged the Archdiocese as an autonomous Church (1961). Thus, he had responsibilities to keep the dynamics and working also to stabilize it on a solid basis. Therefore, he desired and tried to establish the Archbishop of Semarang as autonomous people of God. They are invited to know their own needs, both material needs and spiritual needs, then to plan and to look for how to fulfill their needs with their effort without ignoring help from others.

His effort to establish such autonomous Church was not restricted to the internal autonomy in the Archdiocese of Semarang only, but also to others (outside the Archdiocese of Semarang). In internal scope of the Catholic Church, such effort was done by fostering the spirit of missionary which is implemented by sending diocesan priests to support other dioceses which are short of priest. In social external scope, such movement was realized by the involvement of the Church in the society, such as social economical involvement for the weak, building the society, and also coping with the actual problems.

Based on that mind frame of Cardinal Darmojuwono, it is inferred that he had an ecclesiastical vision to establish a Church which is autonomous, missionary, and society-involved . In order to realize that ecclesiastical vision agents, who are the main actors and the vanguards are needed. Those agents, according to the Cardinal, are the Christian families. Since Christian families are the smallest units of the Church as well as of the society, they become the foundation for both the Church and the society. In the Church, the Christian families are the foundation for the formation of lingkungan, wilayah, parish, diocese, and after all, the universal Church. Simultaneously in the society, together with other families, Christian families become the foundation for the formation of RT, RW, orchard, village, regency, province, and the state. Thus, Christian families are the most effective place / institution to find, to experience, and to develop the Christian faith or aspiration and at the same time, to get involved with the society.

Considering the importance of Christian families’ role in implementing his ecclesiastical vision, Cardinal Darmojuwono gave great attention to Christian families.

The Christian families are not only the smallest sociological group but also the implementation and the experience of God’s Kingdom in the society.

In the context of Archdiocese of Semarang during the time of Cardinal Darmojuwono’s leadership, the real shape of God’s Kingdom was being autonomous, spirit of missionary, and Church’s involvement in the society. Through those three things, Church has been trying to be the sign and means of God’s presence which save his own people. Thus, fit to their essence as the implementation of God’s Kingdom, Christian families are expected to be the vanguards in establishing Church whics is autonomous, missionary, and society-involved .

To perform their role, Christian families are given real duties. They are expected to build health families, to give birth and to educate children humanely and based on Christianity, and also to build a Christian household economy. Thus, families which are physically and spiritually healthy become a foundation for the Church and also a

(10)

x

(missionary) and also to participate in building the society; and families who carry out Christian economy will strengthen the autonomy and the spirit of solidarity of the Church.

(11)

xi

KUPERSEMBAHKAN KARYA TULIS SEDERHANA INI KEPADA YANG TERCINTA:

Allah Tritunggal Mahakudus. Semoga aku selalu memulai dan mengakhiri segala sesuatu “Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”

Bapak Kardinal Yustinus Darmojuwono, swargi. Terimakasih atas inspirasinya.

Semoga, aku dapat mengikuti jejak Panjenengan: menjadi imam diosesan KAS yang mencintai umat dan setia sampai akhir hayat

Umat Allah Keuskupan Agung Semarang. Semoga aku dapat mengabdi dan mencintaimu dengan sepenuh jiwa dan ragaku

(12)

xii

AA : Apostolicam Actuositatem – Dekrit tentang Kerasulan Awam ABM : Asian Bishops’ Meeting – Pertemuan para Uskup Asia AG : Ad Gentes – Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja APP : Aksi Puasa Pembangunan

BILA : Bishops’ Institutes for Lay Apostolate BKTM : Biro Koordinasi Tenaga Misioner

CD : Christus Dominus – Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja

CM : Congregatio Missionis

CU : Credit Union – Koperasi Kredit

DEWAP MAWI : Dewan Waligereja Pusat Majelis Agung Waligereja Indonesia DH : Dignitatis Humanae – Pernyataan tentang Kebebasan Beragama DOKPEN KWI : Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia DV : Dei Verbum – Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi

FABC : Federation of Asian Bishops’ Conferences – Federasi Konferensi- Konferensi para Uskup Asia

GE : Gravissimum Educationis – Pernyataan tentang Pendidikan Katolik

GS : Gaudium et Spes – Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini

HV : Humanae Vitae – Ensiklik Paus Paulus VI tentang Prokreasi IM : Inter Mirifica – Dekrit tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial K.A. Semarang : Keuskupan Agung Semarang

Kan. : Kanon

KHK : Kitab Hukum Kanonik KKK : Kursus Kader Katolik

KPTT : Kursus Pertanian Taman Tani KSED : Kursus Sosial Ekonomi Desa KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

LG : Lumen Gentium – Konstitusi Dogmatis tentang Gereja MAWI : Majelis Agung Waligereja Indonesia

(13)

xiii

MSF : Missionarii a Sacra Familia – Misionaris Keluarga Kudus NA : Nostra Aetate – Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan

Agama-Agama bukan Kristen O’Carm : Ordo Carmelit

OCSO : Ordo Cistersiensium Strictioris Observantiae – Ordo Trapist OE : Orientalium Ecclesiarum – Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur

Katolik

OMI : Oblat Maria Immaculata – Kongregasi Santa Perawan Maria Yang Terkandung Tanpa Dosa

OT : Optatam Totius – Dekrit tentang Pembinaan Imam

PC : Perfectae Caritatis – Dekrit tentang Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius

Pelita : Pembangunan Lima Tahun

PO : Presbyterorum Ordinis – Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam

PP : Populorum Progressio – Ensiklik Paus Paulus VI tentang Perkembangan Bangsa-Bangsa

Pr : Presbyter – Imam Diosesan/Keuskupan/Praja PSK : Program Sosial Kardinal

PTPM : Pembina Tenaga Pengembangan Masyarakat Repelita : Rencana Pembangunan Lima Tahun

SC : Sacrosanctum Concilium – Konstitusi tentang Liturgi Suci SCJ : Sacerdotes Cordis Jesu – Kongregasi Imam Hati Kudus Yesus SJ : Societas Jesu – Serikat Yesus

TKPKP : Tim Kerja Pendamping Keluarga Paroki

TMA : Tertio Millenio Adveniente – Ensiklik Paus Yohanes Paulus II untuk Menyambut Milelium III

TPK : Tim Pelayanan Kristiani

UR : Unitatis Redintegratio – Dekrit tentang Ekumenisme YPKT : Yayasan Pendidikan Kesejahteraan Tani

YSS : Yayasan Sosial Soegijapranata

(14)

xiv

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PENGESAHAN ...

KATA PENGANTAR ...

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...

ABSTRAK ...

ABSTRACT ...

HALAMAN PERSEMBAHAN ...

DAFTAR SINGKATAN ...

DAFTAR ISI ...

i ii iii vi vii

ix xi xii xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ...

1.2. Rumusan Masalah (Persoalan Teologis) ...

1.3. Tujuan ...

1.4. Metode dan Pendekatan ...

1.5. Sistematika ...

1 7 9 10 12

BAB II KONTEKS PENGGEMBALAAN KARDINAL

DARMOJUWONO ... 15 2.1. Situasi Intern Gerejani ...

2.1.1. Berdirinya Hirarki Gereja Indonesia (1961) ...

2.1.1.1. Sejarah Berdirinya Hirarki Gereja Indonesia ...

16 16 17

(15)

xv

2.1.2.1. Arah dan Hasil Konsili Vatikan II ...

2.1.2.2. Ekklesiologi Konsili Vatikan II ...

2.1.3. Berdirinya FABC (1972) ...

2.1.3.1. Sejarah Berdirinya FABC ...

2.1.3.2. Ekklesiologi FABC ...

2.1.4. Tahun Suci 1975 ...

2.1.4.1. Sejarah dan Makna Tahun Suci ...

2.1.4.2. Tema Sentral Tahun Suci 1975: Pembaruan dan Rekonsiliasi ...

2.1.4.3. Peran Gereja Lokal ...

2.2. Situasi Masyarakat Indonesia ...

2.2.1. Tragedi 1965 ...

2.2.2. Pemerintahan Orde Baru ...

2.3. Rangkuman ...

22 25 29 30 32 34 34 36 37 38 39 41 44

BAB III GEREJA: UMAT ALLAH YANG MANDIRI, MISIONER

DAN TERLIBAT DALAM MASYARAKAT ... 46 3.1. Gereja sebagai Umat Allah ...

3.1.1. Konteks Ekklesiologi Umat Allah ...

3.1.2. Pengertian Gereja sebagai Umat Allah ...

3.1.3. Anggota Keluarga Umat Allah ...

3.1.4. Dasar Kesatuan Umat Allah ...

3.2. Gereja yang Mandiri ...

48 50 51 52 54 56

(16)

xvi

3.2.3. Gagasan Dasar dan Strategi untuk Mewujudkan Gereja Mandiri ...

3.2.3.1. Melibatkan seluruh Umat ...

3.2.3.2. Tenaga Pastoral yang Cukup dan Berkualitas ...

3.2.3.2.1. Tenaga Pastoral Awam ...

3.2.3.2.2. Rohaniwan-Rohaniwati ...

3.2.3.2.3. Imam Diosesan ...

3.2.3.3. Managemen Paroki dan Solidaritas antar Paroki ...

3.2.3.4. Kerjasama yang Terpadu ...

3.3. Gereja yang Misioner ...

3.3.1. Pengertian Gereja Misioner ...

3.3.2. Perwujudan Gereja yang Misioner ...

3.4. Gereja yang Terlibat dalam Masyarakat ...

3.4.1. Dasar Keterlibatan Gereja dalam Masyarakat ...

3.4.1.1. Gereja Bersatu Erat dengan Masyarakat ...

3.4.1.2. Gereja Mengemban Amanat Cinta Kasih ...

3.4.1.3. Gereja harus Mewujudkan Imannya ...

3.4.1.4. Gereja Mengemban Misi Keselamatan ...

3.4.2. Wujud Konkret Keterlibatan Gereja dalam Masyarakat ...

3.4.2.1. Keterlibatan Sosial Ekonomi Pada Umumnya ...

3.4.2.2. Solidaritas terhadap Korban Tragedi 1965 ...

3.4.2.3. Keterlibatan dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara ...

60 61 66 66 68 70 74 76 78 79 80 82 83 84 85 88 89 90 91 94 97 3.5. Rangkuman ... 103

(17)

xvii

4.1. Tantangan Hidup Berkeluarga ...

4.1.1. Perubahan dalam Masyarakat ...

4.1.2. Poligami ...

4.1.3. Perceraian ...

4.1.4. Ledakan Jumlah Penduduk dan Keluarga Berencana ...

4.2. Pastoral tentang Keluarga ...

4.2.1. Menyadari Persoalan dan Kesulitan ...

4.2.1.1. Merosotnya Cinta Kasih ...

4.2.1.2. Kesulitan dalam Mendidik Anak ...

4.2.1.3. Kesulitan Ekonomi Rumah Tangga ...

4.2.1.4. Kurangnya Penghayatan Iman ...

4.2.1.5. Perkawinan Campur ...

4.2.1.6. Keluarga Berencana ...

4.2.2. Jati Diri Keluarga Kristiani ...

4.2.2.1. Keluarga sebagai Gereja Kecil ...

4.2.2.2. Keluarga sebagai Perwujudan Kerajaan Allah ...

4.2.3. Tugas dan Perutusan Keluarga sebagai Gereja Kecil ...

4.2.3.1. Membangun Keluarga yang Sehat Jasmani dan Rohani ...

4.2.3.1.1. Menghayati Hidup Berkeluarga sebagai Panggilan ...

4.2.3.1.2. Menghayati Iman dalam Hidup Sehari-hari ...

4.2.3.1.3. Saling Menyuburkan dalam Cinta Kasih ...

4.2.3.1.4. Saling Bekerjasama ...

107 108 110 111 114 115 116 116 117 118 120 121 122 123 124 130 133 133 134 136 138 140

(18)

xviii

4.2.4. Strategi Pastoral Menjadikan Keluarga sebagai Ujung Tombak Gereja 4.2.4.1. Memanfaatkan Pedoman-pedoman Pastoral Keluarga ...

4.2.4.2. Membuat Surat Gembala tentang Keluarga ...

4.2.4.3. Mengefektifkan Persiapan Hidup Berkeluarga ...

4.2.4.4. Mengefektifkan Penyelidikan Kanonik ...

4.2.4.5. Melibatkan Umat dalam Pendampingan Hidup Berkeluarga ...

4.2.4.6. Mengadakan Kunjungan Keluarga ...

4.2.4.7. Mengadakan Pendalaman tentang Keluarga ...

4.2.4.8. Mengefektifkan Kelompok-kelompok Kategorial ...

4.2.3.8.1. Marriage Encounter ...

4.2.3.8.2. Sekolah Minggu ...

4.2.4.9. Gerakan Keluarga Swasembada ...

4.3. Rangkuman ...

146 147 149 149 153 156 157 159 161 162 164 165 167

BAB V PENUTUP: KESIMPULAN DAN USULAN PASTORAL ... 172 5.1. Kesimpulan: Ekklesiologi Kardinal Darmojuwono ...

5.2. Usulan Pastoral ...

172 180

DAFTAR PUSTAKA ... 187

(19)

~ 1 ~ BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini, tantangan dan persoalan keluarga-keluarga kristiani semakin kompleks, baik berkaitan dengan relasi suami dan istri, relasi orangtua dan anak, penghayatan iman dalam keluarga maupun ekonomi rumah tangga.1 Persoalan dalam relasi suami dan istri, antara lain: kurangnya keterbukaan, komunikasi dan pengorbanan satu sama lain, adanya kecemburuan, dominasi bahkan tindak kekerasan terhadap pasangannya. Sedangkan, persoalan dalam relasi antara orangtua dan anak-anak, meliputi: kurangnya keakraban di antara mereka, ketidakpuasan anak-anak terhadap sikap atau kondisi orangtua dan sebaliknya ketidakpuasan orangtua terhadap sikap atau kondisi anak-anak mereka.

Sementara itu, persoalan dalam penghayatan iman, antara lain: kurang kuatnya iman entah semua atau sebagian anggota keluarga, kurang tepatnya pemahaman dan penghayatan sakramen perkawinan, kurangnya kemampuan orangtua dalam mengembangkan iman anak-anak dan kurangnya kemampuan mereka dalam menghadapi arus global yang sekularistik. Yang terakhir, persoalan dalam hal ekonomi rumah tangga, meliputi: kurangnya kemampuan mengelola ekonomi rumah tangga, kurangnya penghasilan, beban hutang, sulitnya mencari pekerjaan dan kurangnya kemampuan menghadapi godaan konsumerisme.

1 Persoalan-persoalan ini dirangkum dari angket yang disebarkan oleh Keuskupan Agung Semarang pada tahun 2006 dalam rangka persiapan Tahun Keluarga sebagaimana dimuat dalam Nota Pastoral tahun 2007, Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman, 15-16

(20)

~ 2 ~

Di tengah aneka macam tantangan dan persoalan tersebut, keluarga kristiani tetap diharapkan memegang peranan kunci dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Sebab, keluarga kristiani adalah persekutuan hidup yang terkecil baik dalam Gereja maupun dalam masyarakat sehingga menjadi dasar atau basis bagi persekutuan hidup lainnya yang lebih besar. Dalam lingkup Gerejawi, keluarga menjadi dasar terbentuknya lingkungan, wilayah, paroki, keuskupan dan akhirnya Gereja semesta. Sementara itu, dalam lingkup masyarakat, keluarga kristiani bersama dengan keluarga-keluarga yang lain menjadi dasar terbentuknya kelompok RT, RW, dusun, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi dan akhirnya negara. Inilah yang dinyatakan oleh Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, “Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat” (AA 11).

Selain menjadi dasar pembentukan Gereja dan masyarakat, keluarga kristiani juga merupakan ujung tombak kehidupan Gereja. Artinya, keluarga adalah pelaku yang utama dan pertama bagi pelaksanaan tugas dan perutusan Gereja. Hal ini dapat dimengerti karena keluarga-keluarga kristiani adalah bagian dari kaum awam yang merupakan jumlah terbesar dari anggota Gereja bila dibandingkan dengan para imam dan biarawan-biarawati. Bahkan, semua imam dan biarawan-biarawati pun berasal dari keluarga.

Mengingat bahwa di satu pihak keluarga kristiani mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan Gereja, dan di lain pihak mereka harus menghadapi aneka macam tantangan dan persoalan, penulis merasa tertarik dan tertantang untuk memperdalam permasalahan ini. Ketertarikan penulis ini ternyata

(21)

~ 3 ~

sejalan dengan ketertarikan penulis yang lain, yaitu untuk semakin mengenal ekklesiologi Kardinal Darmojuwono, Uskup Agung Semarang tahun 1964-1981, yang ternyata banyak memberikan perhatian kepada keluarga-keluarga kristiani.

Memang, tema tentang keluarga dalam ekklesiologi Kardinal Darmojuwono bukanlah merupakan tema yang pokok. Dalam pembicaraan mengenai keluarga, beliau hampir selalu menempatkannya dalam konteks pembicaraan tentang cita- cita dan usahanya untuk membangun Gereja swasembada atau Gereja mandiri, yang merupakan ekklesiologi pokoknya.

Hal tersebut tampak dalam Surat-surat Gembalanya. Paling tidak, dalam 7 (tujuh) dari 25 (duapuluh lima) Surat Gembala yang ditulis – dua di antaranya merupakan Surat Gembala MAWI dan satu Surat Gembala Bersama Para Uskup Propinsi Gerejawi Semarang – Kardinal Darmojuwono selalu menekankan peran keluarga dalam pembangunan Gereja. Bahkan, 2 (dua) di antara Surat-surat Gembala tersebut, yaitu Surat Gembala “Menuju Keluarga Bahagia” (13 Februari 1973) dan Surat Gembala Bersama Para Uskup Propinsi Gerejani Semarang

“Mengenai Hidup Keluarga yang Beriman” (16 Januari 1975) berbicara secara khusus tentang keluarga. Dalam Surat Gembala “Bersama Mewujudkan Gereja”

(25 Desember 1974), Kardinal Darmojuwono juga menekankan pentingnya pembinaan keluarga demi terwujudnya Gereja yang dicita-citakan. Sejalan dengan pemikiran-pemikiran Kardinal Darmojuwono tersebut, penulis tertarik untuk mempelajari tentang “Peran Keluarga dalam Membangun Gereja yang Mandiri, Misioner dan Terlibat dalam Masyarakat Berdasarkan Pemikiran Kardinal Justinus Darmojuwono”. Inilah alasan utama dari tema tulisan ini.

(22)

~ 4 ~

Selain alasan utama di atas, dalam memilih dan membahas tema ini, penulis juga mempertimbangkan beberapa alasan lain. Pertama, penulis ingin belajar dari pemikiran-pemikiran Kardinal Darmojuwono karena dalam menggembalakan umat Allah di Keuskupan Agung Semarang beliau mempunyai konteks penggembalaan yang khas. Beliau diangkat menjadi Uskup Agung Semarang pada tanggal 10 Desember 1963 dan ditahbiskan pada tanggal 6 April 1964 kemudian pensiun pada tanggal 21 Januari 1980 tetapi baru resmi berhenti sebagai Uskup pada bulan Desember 1981. Selama kurun waktu tersebut, Gereja dan masyarakat Indonesia, paling tidak mengalami 4 (empat) peristiwa penting, yaitu berdirinya hirarki Gereja Indonesia (3 Januari 1961), berlangsungnya Konsili Vatikan II (Oktober 1962 – Desember 1965), berdirinya FABC atau Federation of Asian Bishops’ Conferences (November 1972), dan diadakannya Tahun Suci atau Tahun Yubile (1975). Keempat peristiwa ini merupakan konteks yang sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan Kardinal Darmojuwono dalam arah dan tata penggembalaannya.2

Berkaitan dengan didirikannya hirarki Gereja Indonesia, Kardinal Darmojuwono mempunyai peran penting dalam mencari arah dan tata penggembalaan bagi Keuskupan Agung Semarang yang masih sangat muda.

Sejalan dengan usaha-usaha tersebut, beliau terlibat langsung dalam Konsili Vatikan II dan FABC. Keterlibatan ini menunjukkan partisipasi Gereja Indonesia dalam lingkup Gereja Universal dan Gereja Asia sekaligus membawa konsekuensi

2 Context means “the whole situation, background, or environment relevant (important, pertinent, applicable) to some happening or personality (lih. Noah Webster, Webster’s New Universal Unabridged Dictionary [Deluxe Escod Edition, Edited and Revisited by Jean L.McKechnie], New York: Dorest & Baber 1983, 394)

(23)

~ 5 ~

bagi Kardinal Darmojuwono untuk menerapkan dan menerjemahkan hasil Konsili dan FABC dalam konteks lokal Keuskupan Agung Semarang.

Dalam lingkup nasional, Kardinal Darmojuwono menjadi Uskup Agung Semarang pada saat bangsa Indonesia sedang mengalami pergolakan akibat peristiwa 30 September 1965. Hal ini tentu saja sangat mewarnai kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan dan menjadi konteks bagi hidup Gereja pada masa itu. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk melihat apa pengaruh timbal-balik antara peristiwa 30 September 1965 tersebut dengan keberadaan Gereja.

Pasca meletusnya Gerakan tersebut, bangsa Indonesia dipimpin oleh Pemerintah Orde Baru yang pada masa-masa awal terkenal dengan program pembangunannya. Situasi dan kebijakan-kebijakan Orde Baru (1966 – 1998) tentu saja juga memberikan pengaruh timbal-balik bagi kehidupan Gereja Keuskupan Agung Semarang yang berada di tengah-tengah Negara Indonesia. Dengan demikian, pemerintahan Orde Baru juga menjadi konteks dari penggembalaan Kardinal Darmojuwono.

Berhadapan dengan beberapa konteks tersebut, Kardinal Darmojuwono berusaha untuk membangun Keuskupan Agung Semarang sebagai Gereja yang mandiri, misioner dan terlibat dalam masyarakat.3 Sejauh mencermati Surat-surat Gembala dan tulisan-tulisan beliau yang lain, penulis menemukan kesan yang amat kuat bahwa Kardinal Darmojuwono berusaha untuk mewujudkan Gereja

3 J. Sunarka, SJ., “Tokoh „Ekklesiologi‟ Gereja Mengumat” dalam J. Hadiwikarta, Pr., (Peny.), Justinus Darmojuwono, Kardinal Indonesia Pertama (Aneka Kesan dan Kenangan), Jakarta:

OBOR 1987, 96-116; Mgr. I. Suharyo, “Refleksi Perjalanan dan Arah ke Depan Keuskupan Agung Semarang” dalam Fl. Hasto Rosariyanto, SJ., (ed.), Bercermin Pada Wajah-Wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius 2001, 292-295.

(24)

~ 6 ~

yang dicita-citakan tersebut dengan menekankan pentingnya peran keluarga.

Keluarga merupakan ujung tombak untuk membangun Keuskupan Agung Semarang menjadi Gereja yang mandiri, misioner dan terlibat dalam masyarakat.

Sebab, dalam keluargalah setiap orang pertama kali belajar untuk mandiri dan peka serta terlibat dalam kehidupan orang lain. Dalam keluarga pula, iman kristiani diperkenalkan, dikembangkan, dan dihayati secara intensif. Keluarga juga menjadi satu-satunya tempat yang dapat menyediakan tenaga-tenaga imam dan biarawan-biaraawati yang akan melaksakan karya misioner Gereja. Akhirnya, keluarga juga merupakan medan yang pertama dan utama bagi setiap orang untuk mengenal dan mempraktikkan cinta kasih, sebagai perwujudan iman yang konkret baik di dalam maupun di luar rumah.

Kedua, tulisan ini juga dilatarbelakangi oleh imbauan Paus Yohanes Paulus II tentang pentingnya pendokumentasian dan penulisan mengenai Gereja lokal sebagaimana dikemukakan dalam ensiklik Tertio Millenio Adveniente (TMA).4 Dalam ensiklik tersebut, ditegaskan bahwa, “... Gereja-gereja lokal harus berdaya upaya sekuat tenaga untuk menjamin agar mereka yang sudah mati sebagai martir dijaga dengan mengumpulkan dokumentasi yang diperlukan”

(TMA 37). Adapun yang dimaksud dengan martir, “... tidak hanya mereka yang telah menumpahkan darah demi Kristus, tetapi juga para guru iman, misionaris, pengaku iman, uskup, imam, perawan, suami-istri, janda-duda, dan anak-anak”.

Imbauan Paus Yohanes Paulus II ini mendorong penulis untuk mengambil bagian

4 Ensiklik TERTIO MILLENNIO ADVENIENTE dikeluarkan pada tanggal 10 November 1994, dalam rangka peringatan tujuhbelas tahun pontificat Paus Yohanes Paulus II dan persiapan untuk menyambut tahun 2000 sebagai Tahun Yubilium

(25)

~ 7 ~

dalam usaha mendokumentasikan dan menulis tentang Kardinal Darmojuwono yang telah membaktikan seluruh hidupnya sebagai Uskup Agung Semarang.

1.2. Rumusan Masalah (Persoalan Teologis)

Permasalahan pokok yang hendak dijawab melalui tulisan ini adalah bagaimana peran keluarga kristiani dalam kehidupan Gereja menurut pemikiran Kardinal Darmojuwono. Namun, untuk dapat menjawab permasalahan ini, harus dirumuskan terlebih dahulu mengenai Gereja macam apa yang dicita-citakan atau hendak dibangun oleh Kardinal Darmojuwono. Oleh karena itu, tulisan ini hendak menjawab dua permasalahan pokok, yaitu tentang Gereja macam apa yang dicita-citakan atau hendak dibangun oleh Kardinal Darmojuwono dan bagaimana peran keluarga kristiani dalam mewujudkan Gereja yang dicita- citakan itu.

Sebagai suatu kerangka pokok, Gereja yang dicita-citakan oleh Kardinal Darmojuwono berpangkal pada Konsili Vatikan II yang menghasilkan beberapa gagasan dogmatik tentang Gereja, yang meliputi: pemahaman diri Gereja, pendalaman tentang hidup Gereja sendiri, dan pendalaman tentang misi Gereja.5 Inilah yang secara ringkas menjadi maksud Konsili sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja bahwa “Gereja bermaksud menyatakan dengan lebih cermat kepada umatnya yang beriman dan kepada seluruh dunia, manakah hakekat dan perutusannya bagi semua orang” (LG 1). Singkatnya, ekklesiologi Konsili Vatikan II hendak menjawab permasalahan mengenai apa

5 B.S. Mardiatmadja, SJ., “Gagasan-Gagasan Dogmatik Seputar Konsili Vatikan Kedua”, dalam Spektrum XIV:1-2 (1986), 10-11

(26)

~ 8 ~

hakekat dan perutusan Gereja di dunia ini berhadapan dengan realitas dunia dan masyarakat yang konkret.

Permasalahan mengenai hakikat dan perutusan Gereja ini dijawab dengan singkat dan padat oleh Konsili dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini. Dalam dokumen tersebut, Konsili menegaskan bahwa Gereja adalah persekutuan yang terdiri orang-orang yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang (bdk. GS 1). Jadi, hakekat Gereja adalah persekutuan umat Allah dalam Kristus dan perutusannya adalah untuk menyampaikan warta keselamatan kepada semua orang.

Penghayatan atau pelaksananan hakikat dan perutusan Gereja tersebut menjadi sungguh nyata dan konkret dalam dinamika hidup Gereja-Gereja lokal, yang beranggotakan orang-orang tertentu, berada di wilayah tertentu dan di tengah masyarakat tertentu, serta dalam kurun waktu dan situasi tertentu pula. Dalam lingkup yang paling kecil, Gereja lokal tersebut tampak dalam keluarga yang tidak lain adalah Gereja Kecil, citra Gereja Semesta.6 Sebab, dari keluarga-keluarga itulah terbentuk umat Allah pada tingkat lingkungan, wilayah, paroki, keuskupan dan akhirnya Gereja semesta. Keluarga adalah Gereja dalam ukuran yang kecil (Church in miniature) sebagaimana disebut oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio no. 49.

6 Darmojuwono, Surat Gembala Puasa 1979, tertanggal 15 Februari 1979

(27)

~ 9 ~ 1.3. Tujuan

Tulisan tentang “Peran Keluarga dalam Membangun Gereja yang Mandiri, Misioner dan Terlibat dalam Masyarakat Berdasarkan Pemikiran Kardinal Justinus Darmojuwono” ini pertama-tama dibuat untuk menjawab kedua permasalahan pokok di atas. Jadi, tulisan ini bertujuan untuk: pertama, menguraikan mengenai hakekat Gereja sebagai persekutuan Umat Allah yang diutus untuk menyampaikan keselamatan kepada semua orang (bdk. GS 1) sebagaimana dihidupi dan dilaksanakan oleh Gereja Keuskupan Agung Semarang pada masa penggembalaan Kardinal Darmojuwono; kedua, menggali dan memaparkan pemikiran Kardinal Darmojuwono tentang peran keluarga kristiani dalam pelaksanaan tugas dan perutusan Gereja tersebut. Uraian pada bagian yang kedua ini dimaksudkan untuk semakin mempersempit sekaligus mengerucutkan dan memperdalam uraian pada bagian yang pertama serta menampilkan ekklesiologi Kardinal Darmojuwono secara lebih konkret dan mendarat.

Harapannya, apa yang menjadi pemikiran Kardinal Darmojuwono tersebut dapat dijadikan sebagai inspirasi atau pegangan hidup pada zaman sekarang, terutama berkaitan dengan peran keluarga dalam hidup menggereja dan memasyarakat.

Selain itu, tulisan ini juga bertujuan untuk menghargai jasa-jasa Kardinal Darmojuwono yang telah membaktikan seluruh hidupnya untuk melayani dan mengabdi Gereja Indonesia, khususnya Keuskupan Agung Semarang. Bentuk penghargaan tersebut, secara konkret diwujudkan dengan mendokumentasikan dan menuliskan data-data tentang penggembalaan beliau sesuai dengan amanat Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Tertio Millenio Adveniente (no. 37).

(28)

~ 10 ~

Harapannya, tulisan dapat memberikan sumbangan dalam menyediakan tambahan referensi untuk semakin mengenal baik Keuskupan Agung Semarang maupun pribadi dan tata penggembalaan Kardinal Darmojuwono.

Dalam kaitannya dengan kepedulian pokok Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma untuk ikut serta membangun Gereja yang hidup, tulisan ini juga bermaksud untuk mengambil bagian dalam kepedulian pokok fakultas tersebut.

Menurut hemat penulis, salah satu aspek dari Gereja yang hidup adalah sejarah.

Artinya, Gereja yang hidup adalah Gereja yang menyejarah dan menghargai sejarah. Dalam hal ini, penulis bermaksud untuk menggali dan menuliskan pengalaman sejarah Keuskupan Agung Semarang pada masa penggembalaan Kardinal Darmojuwono di masa lalu, kemudian menemukan relevansinya bagi masa sekarang dan masa yang akan datang.

Yang terakhir, tulisan ini juga dimaksudkan sebagai sebuah Tesis untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Magister Teologi pada Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Tujuan ini bukanlah sekedar syarat administratif tetapi lebih-lebih merupakan syarat akademis sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban penulis atas studi teologi pada jenjang Pasca Sarjana.

1.4. Metode dan Pendekatan

Proses penulisan tesis ini dilakukan dengan dua metode, yaitu penelitian dan studi pustaka. Metode yang pertama, yaitu penelitian dilakukan dalam beberapa langkah. Langkah yang pertama adalah mengumpulkan data-data seputar ajaran, kebijakan, dan keputusan-keputusan Kardinal Darmojuwono dalam

(29)

~ 11 ~

menggembalakan umat Allah di Keuskupan Agung Semarang. Data primer yang akan digunakan adalah Surat-surat Gembala dan tulisan-tulisan Kardinal Darmojuwono lainnya yang dibuat selama beliau menjadi Uskup Agung Semarang. Ada pun, tempat yang dijadikan sebagai sumber untuk mendapatkan data-data tersebut adalah Bagian Kearsipan Keuskupan Agung Semarang.

Langkah yang kedua adalah mempelajari data-data tersebut untuk mendapatkan benang merah atas ajaran, kebijakan, dan keputusan-keputusan Kardinal Darmojuwono berkaitan dengan arah dan tata penggembalaan beliau sebagai Uskup Agung Semarang. Oleh karena itu, Surat-surat Gembala dan tulisan-tulisan beliau tersebut akan dianalisis dengan pemikiran-pemikiran ekklesiologi Konsili Vatikan II karena masa penggembalaan Kardinal Darmojuwono mempunyai konteksnya pada Konsili Vatikan II dengan ekklesiologi barunya, yaitu Gereja Umat Allah.

Bertolak dari benang merah ini, penulis akan merumuskan ekklesiologi Kardinal Darmojuwono, yaitu gagasan mengenai Gereja dan cara hidup menggereja yang dikembangkan beliau, baik pada tataran ajaran dan kebijakan maupun dalam tataran praksis atau pastoral. Oleh karena itu, langkah kedua ini akan diperdalam melalui langkah ketiga, yaitu kesaksian dari beberapa orang yang mengalami penggembalaan Kardinal Darmojuwono dan terlibat di dalamnya.

Kesaksian tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan data-data mengenai cara hidup menggeraja sebagaimana dikembangkan oleh Kardinal Darmojuwono.

Dengan demikian, gambaran mengenai ekklesiologi Kardinal Darmojuwono menjadi lengkap, baik pada tataran gagasan maupun pada tataran praksis.

(30)

~ 12 ~

Metode yang kedua, yaitu studi pustaka akan ditempuh melalui studi atas buku-buku tentang ekklesiologi Konsili Vatikan II terutama mengenai Gereja sebagai Umat Allah, yang juga dikembangkan di Keuskupan Agung Semarang oleh Kardinal Darmojuwono. Selain itu, akan digunakan pula buku-buku yang memberikan informasi mengenai situasi baik Gerejawi maupun sosial- kemasyarakatan yang menjadi konteks bagi penggembalaan Kardinal Darmojuwono. Hal ini didasari oleh pengandaian bahwa Kardinal Darmojuwono mengembangkan Gereja Keuskupan Agung Semarang sebagai Gereja yang kontekstual sejalan dengan semangat aggiornamento Konsili Vatikan II.

Berkaitan dengan pendekatan, tulisan ini dibuat dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Artinya, usaha-usaha untuk menjawab permasalahan pokok mengenai hakekat dan perutusan Gereja Keuskupan Agung Semarang pada masa penggembalaan Kardinal Darmojuwono akan dilakukan dengan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang menjadi konteksnya. Pendekatan ini dipilih untuk membantu penulis dalam merefleksikan sejauh mana Gereja Keuskupan Agung Semarang sungguh merupakan Gereja yang hidup, yaitu Gereja yang melaksanakan tugas perutusannya secara kontekstual dan sadar akan tanggungjawab sejarahnya.

1.5. Sistematika

Tulisan tentang “Peran Keluarga dalam Membangun Gereja yang Mandiri, Misioner dan Terlibat dalam Masyarakat Berdasarkan Pemikiran Kardinal Justinus Darmojuwono” ini akan dijabarkan dalam lima Bab. Bagian yang

(31)

~ 13 ~

pertama adalah Bab Pendahuluan atau Bab I yang berisi gambaran umum mengenai latar belakang pemilihan tema, permasalahan pokok, tujuan penulisan, metode yang dipakai, dan sistematika dari tulisan ini.

Bab II akan menjabarkan mengenai konteks penggembalaan Kardinal Darmojuwono, baik konteks internal Gerejani maupun konteks eksternal kemasyarakatan. Situasi intern Gerejani akan dibatasi secara khusus pada empat peristiwa besar yang mendahului atau yang terjadi pada saat Kardinal Darmojuwono menjadi Uskup Agung Semarang. Keempat peristiwa tersebut adalah didirikannya hirarki Gereja Indonesia (1961), berlangsungnya Konsili Vatikan II (1963 – 1965), didirikannya FABC (1972) dan diadakannya Tahun suci atau Tahun Yubile (1975). Sementara itu, situasi ekstern kemasyarakatan akan dibatasi pada peristiwa 30 September 1965 dengan segala dampak-dampak sosial- politiknya dan juga situasi pemerintahan Orde Baru terkait dengan kebijakan- kebijakan Pemerintah. Peristiwa-peristiwa tersebut dipilih karena sungguh menjadi konteks yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan Kardinal Darmojuwono dalam menggembalakan umat Allah di Keuskupan Agung Semarang. Dengan demikian, bab ini berfungsi sebagai pengantar untuk masuk pada bab III dan IV.

Bab III akan berbicara mengenai “Gereja sebagai umat Allah yang mandiri, misioner, dan terlibat dalam masyarakat”. Inilah ekklesiologi Kardinal Darmojuwono yang dijadikan sebagai landasan sekaligus arah penggembalaan beliau sejak menjadi Uskup Agung Semarang sampai meletakkan jabatannya.

Dengan arah penggembalaan tersebut, Kardinal Darmojuwono berusaha

(32)

~ 14 ~

mewujudkan Gereja Keuskupan Agung Semarang sebagai Umat Allah (Populus Dei) yang mempunyai tiga karakteristik pokok, yaitu: mandiri, misioner dan terlibat dalam masyarakat.

Bab IV akan menguraikan tentang bagaimana Kardinal Darmojuwono mengusahakan terwujudnya Keuskupan Agung Semarang sebagai umat Allah yang mandiri, misioner, dan terlibat dalam masyarakat. Sejauh mencermati Surat- surat Gembala dan tulisan-tulisan beliau yang lain, Kardinal Darmojuwono mewujudkan Gereja yang dicita-citakan tersebut dengan menekankan pentingnya peran keluarga. Keluarga adalah ujung tombak pembangungan Gereja karena merupakan tempat pertama dan utama di mana iman atau aspirasi kristiani dihayati, dicari, dan dikembangkan serta di mana keterlibatan dalam masyarakat dimulai.

Bab V akan berisi dua hal pokok. Pokok yang pertama adalah kesimpulan mengenai ekklesiologi Kardinal Darmojuwono yang telah dijabarkan pada bab- bab sebelumnya. Bertolak dari kesimpulan ini, penulis akan membuat usulan- usulan pastoral yang kiranya dapat diterapkan untuk semakin meningkatkan peran timbal-balik antara Gereja dan keluarga-keluarga kristiani di Keuskupan Agung Semarang pada zaman sekarang.

(33)

~ 15 ~ BAB II

KONTEKS PENGGEMBALAAN KARDINAL DARMOJUWONO

Di dunia ini, Gereja hadir sebagai persekutuan yang kelihatan, disusun dan diatur dalam bentuk serikat (bdk. LG 8 dan GS 40). Namun, serikat tersebut tidak hanya merupakan kelompok sosial saja tetapi sekaligus merupakan persekutuan rohani yang diperkaya dengan karunia-karunia surgawi. Oleh karena itu, realitas Gereja tidak boleh dipandang hanya sebagai kelompok sosial atau persekutuan rohani saja, juga tidak boleh dipandang sebagai dua realitas yang terpisah;

melainkan sebagai satu kenyataan yang kompleks dan terwujud karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi (bdk. LG 8).

Gereja yang berada di dunia merupakan persekutuan umat Allah yang hadir di dunia, hidup bersamanya, dan bertindak di dalamnya sebab para anggotanya “terhimpun dari orang-orang yang termasuk warga masyarakat dunia”

(GS 40). Oleh karena itu, realitas dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dialami oleh masyarakat di dunia menjadi konteks dari pelaksanaan hakikat dan perutusan Gereja. Inilah yang menjadi pertimbangan mengapa sebelum berbicara mengenai gagasan-gagasan ekklesiologi Kardinal Darmojuwono, penulis menguraikan terlebih dahulu mengenai konteks penggembalaan beliau pada bagian ini.

Konteks penggembalaan Kardinal Darmojuwono yang akan diuraikan pada bagian ini dibagi menjadi dua, yaitu situasi intern Gerejani dan situasi ekstern yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Selain untuk mempermudah

(34)

~ 16 ~

pemahaman, pembagian ini juga dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa peristiwa-peristiwa intern Gerejani yang menjadi konteks penggembalaan Kardinal Darmojuwono sejajar begitu saja dengan perisitiwa-peristiwa kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia. Sebab, kendati keduanya menjadi konteks penggembalaan beliau secara bersama-sama, tetapi berada dalam ranah yang berbeda. Boleh dikatakan, situasi intern Gerejani yang terjadi merupakan peluang bagi Kardinal Darmojuwono dalam rangka membangun Gereja Keuskupan Agung Semarang, sedangkan situasi ekstern lebih merupakan tantangan yang harus dihadapi atau diubah sedemikian rupa sehingga dapat menjadi peluang.

2.1. Situasi Intern Gerejani

Peristiwa-peristiwa intern Gerejani yang penting sehingga mempunyai pengaruh signifikan bagi kebijakan-kebijakan Kardinal Darmojuwono dalam menggembalakan umat Allah di Keuskupan Agung Semarang antara lain:

berdirinya hirarki Gereja Indonesia (1961), berlangsungnya Konsili Vatikan II (1963 – 1965), berdirinya FABC (1970) dan Tahun Suci (1975). Berikut ini akan disampaikan uraian-uraian singkat mengenai keempat peristiwa tersebut.

2.1.1. Berdirinya Hirarki Gereja Indonesia (1961)

Berdirinya hirarki menunjukkan bahwa kemandirian Gereja lokal di suatu wilayah tertentu telah diakui sepenuhnya oleh Tahta Suci. Sebab, di situ telah hadir seorang uskup diosesan sebagai pemimpin yang mempunyai segala kuasa

(35)

~ 17 ~

berdasar jabatan, sendiri dan langsung untuk melaksanakan tugas pastoralnya dalam memimpin dan menggembalakan umat di keuskupannya (bdk. KHK 1917, Kan 334 § 1). Dengan demikian, seorang uskup mempunyai kuasa penuh untuk menggembalakan umat beriman di keuskupannya sekaligus untuk mewakili keuskupannya itu dalam mengambil bagian pada lingkup Gereja universal. Hal ini menunjukkan bahwa berdirinya hirarki merupakan hal yang sangat penting, baik demi penggembalaan umat beriman di keuskupan yang bersangkutan maupun demi keterlibatan Gereja lokal dalam lingkup Gereja universal.

2.1.1.1. Sejarah Berdirinya Hirarki Gereja Indonesia

Berdirinya hirarki Gereja Indonesia berkaitan erat dengan Konsili Vatikan II, khususnya dalam rangka melibatkan semakin banyak Gereja lokal di seluruh dunia. Untuk mendukung keterlibatan tersebut, Gereja lokal yang masih berstatus sebagai daerah misi – dengan demikian berada di bawah yurisdiksi Propaganda Fide (Kongregasi Kudus Penyebaran Iman) – harus diubah menjadi wilayah Gerejani mandiri dengan cara mendirikan hirarki. Sebab, dengan memiliki hirarki sendiri, Gereja-gereja lokal tersebut sudah mempunyai Uskup yang memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam konsili. Oleh karena itu, begitu Paus Yohanes XXIII menyerukan diadakannya persiapan Konsili Vatikan II, ada gerakan yang kuat di antara Gereja-gereja muda untuk mendapatkan hirarkinya sendiri.7

Inisiatif untuk mendirikan hirarki tersebut bukan melulu usaha dari Gereja Indonesia sendiri tetapi bekerjasama dengan Propaganda Fide. Bahkan, Huub

7 G. Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri. Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua Uskup (1940-1981), Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma 2005, 113

(36)

~ 18 ~

Boelaars menyimpulkan bahwa inisiatif untuk mendirikan hirarki Gereja Indonesia justru berasal dari Propaganda Fide.8 Kesimpulan ini ditarik dari data- data yang menunjukkan bahwa pada tahun 1959, Roma merasa prihatin akan ketidakstabilan Republik Indonesia terkait dengan konfrontasi Indonesia – Belanda tentang Papua. Dalam hal ini, Roma memandang pentingnya pendirian hirarki di Indonesia sebagai usaha untuk mengakui Republik yang masih muda sekaligus memantapkan kepemimpinan Gerejawi. Untuk merealisasikan hal tersebut, Mgr. Cajentano Alibrandi, Internuntius untuk Indonesia pada waktu itu, dibantu oleh Mgr. T. Van Lalenberg mempersiapkan berdirinya hirarki Gereja Indonesia.

Pada tanggal 25 September – 1 Oktober 1959, Kardinal Agagianian, Pro- prefek Propaganda Fide pada waktu itu, berkunjung ke Indonesia dan mengadakan pertemuan dengan 15 ordinaris di Indonesia pada tanggal 26 September bertempat di Internuntiatus Apostolik Jakarta. Fokus pembicaraan dalam pertemuan tersebut rencana pendirian hirarki Gereja Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, pada bulan Mei 1960, MAWI mengadakan sidang di Girisonta. Pada saat itu juga, MAWI merumuskan dan mengirimkan surat permohonan resmi kepada Bapa Suci supaya berkenan mendirikan hirarki di Indonesia. Paus Yohanes XXIII menyambut baik permohonan tersebut karena beliau menilai bahwa Gereja Katolik Indonesia sudah siap untuk memiliki hirarki sendiri. Oleh karena itu, pada tanggal 3 Januari 1961, beliau secara resmi mendirikan hirarki Gereja Indonesia melalui Konstitusi Apostolik “Quod

8 Huub J.W.M. Boelaars, OFM Cap., Indonesianisasi, Yogyakarta: Kanisius 2005,139-142

(37)

~ 19 ~

Christi”.9 Dengan berdirinya hirarki tersebut, maka terjadilah perubahan status Vicariat Apostolik menjadi Keuskupan Agung dan Perfectur Apostolik menjadi Keuskupan Sufragan. Oleh Pemerintah Republik Indonesia, perubahan ini kemudian dikuatkan melalui ”SK Menag no. 89 Th 1965”.

Pada saat hirarki didirikan, Gereja Indonesia mempunyai 25 Keuskupan yang terdiri dari 6 Keuskupan Agung dan 19 Keuskupan Sufragan, yaitu:10

Keuskupan Agung Keuskupan Sufragan

1. Keuskupan Agung Medan

1. Keuskupan Padang, 2. Keuskupan Palembang,

3. Keuskupan Tanjungkarang, dan 4. Keuskupan Pangkalpinang 2. Keuskupan Agung Jakarta

5. Keuskupan Bogor dan 6. Keuskupan Bandung

3. Keuskupan Agung Semarang

7. Keuskupan Purwokerto, 8. Keuskupan Surabaya, dan 9. Keuskupan Malang

4. Keuskupan Agung Pontianak

10. Keuskupan Ketapang, 11. Keuskupan Sintang,

12. Keuskupan Banjarmasin, dan 13. Keuskupan Samarinda

5. Keuskupan Agung Ujungpandang 14. Keuskupan Manado dan 15. Keuskupan Ambonia

6. Keuskupan Agung Ende

16. Keuskupan Larantuka, 17. Keuskupan Ruteng, 18. Keuskupan Atambua, dan 19. Keuskupan Denpasar

Di samping 25 Keuskupan tersebut, masih ada dua wilayah Gerejani yang mempunyai status Perfektur Apostolik lama, yaitu Weetebula dan Sibolga.

9 Actae Apostolicae Sedis 53 (1961), 244-248

10 Huub J.W.M. Boelaars, OFM Cap., Indonesianisasi, 143

(38)

~ 20 ~ 2.1.1.2. Keuskupan Agung Semarang

Dengan berdirinya hirarki Gereja Indonesia, status Vikariat Apostolik Semarang berubah menjadi Keuskupan Agung Semarang dan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ yang sebelumnya menjadi Vikaris Apostolik Semarang diangkat menjadi Uskup Agung Semarang. Namun, tugas ini tidak lama diembannya, karena pada tanggal 10 Juli 1963 beliau wafat di biara Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi di Steyl, Belanda. Pada waktu itu, beliau sedang mempersiapkan diri untuk menghadiri Sesi kedua Konsili Vatikan II. Meskipun demikian, selama menjadi Vicaris Apostolik Semarang beliau mempunyai peran yang sangat besar dalam mempersiapkan Gereja Indonesia, khususnya di Semarang untuk mendapatkan hirarkinya sendiri. Selain itu, beliau juga sangat berjasa dalam mengakarkan Gereja di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Pada tanggal 23 Desember 1963, Rm. Justinus Darmojuwono, yang pada waktu itu merupakan Pastor Paroki Katedral dan Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang, ditunjuk menjadi Uskup Agung Semarang oleh Paus Paulus VI.

Beliau ditahbiskan pada tanggal 6 April 1964. Mengingat bahwa pada waktu itu hirarki dan kemandirian Keuskupan Agung Semarang masih sangat muda, Mgr.

Justinus Darmojuwono mempunyai tanggungjawab besar untuk meneruskan dan mengembangkan apa yang sudah dirintis oleh pendahulunya dalam situasi baru yaitu tidak lagi di bawah yurisdiksi Propaganda Fide tetapi di bawah yurisdiksinya sendiri sebagai seorang uskup. Maka, beliau mempunyai tantangan untuk mencari dan menerapkan tata penggembalaan dan cara hidup menggereja yang semakin memantapkan kemandirian Keuskupan Agung Semarang.

(39)

~ 21 ~

2.1.2. Berlangsungnya Konsili Vatikan II (1962 – 1965)

Konsili Vatikan II diselengarakan mulai tanggal 11 Oktober 1962 sampai 8 Desember 1965 dan dibagi dalam empat periode sidang, yakni: Sesi I (11 Oktober – 8 Desember 1962), Sesi II (29 September – 4 Desember 1963), Sesi III (14 September – 21 November 1964), dan Sesi IV (14 September – 8 Desember 1965). Paus Yohanes XXIII, yang memprakarsai Konsili ini, mulai merencanakan Konsili pada tahun 1959 dengan mengeluarkan maklumat pada tanggal 25 Januari 1959. Kemudian, pada tanggal 25 Desember 1961, beliau mengeluarkan Konstitusi Apostolik “Humanae Salutis” sebagai pengumuman resmi diadakannya Konsili sekaligus sebagai undangan kepada para uskup di seluruh dunia untuk mengambil bagian dalam Konsili tersebut.11

Pada saat Konsili Vatikan II berlangsung, Gereja Indonesia sudah mempunyai hirarki sendiri sehingga para uskup Indonesia sudah mempunyai hak penuh untuk ikut serta dalam Konsili. Oleh karena itu, Keuskupan Agung Semarang pun mempunyai keterlibatan langsung dalam Konsili tersebut, yaitu melalui kehadiran Mgr. Albertus Soegijapranata SJ pada sesi I dan Mgr. Justinus Darmojuwono pada sesi III dan IV. Pada sesi II, Keuskupan Agung Semarang sedang mengalami tahta lowong (sede vacante) sehingga tidak dapat terlibat langsung dalam Konsili.

Keterlibatan Mgr. Justinus Darmojuwono dalam Konsili Vatikan II sebaiknya dilihat sebagai partisipasi hirarki Gereja Indonesia secara keseluruhan sebab kecuali sebagai Uskup Agung Semarang, beliau juga menjadi Ketua Dewan

11 Paus Yohanes XXIII, Konstitusi Apostolik “Humanae Salutis”, tertanggal 25 Desember 1961

(40)

~ 22 ~

Waligereja Pusat (DEWAP MAWI). Selama Konsili berlangsung, para Uskup dari Indonesia juga sering berkumpul sendiri satu atau dua kali dalam seminggu untuk membahas topik-topik yang dibicarakan dalam Konsili dikaitkan dengan konteks Indonesia.12 Dengan demikian, Konsili Vatikan II juga mempunyai makna yang besar bagi kesatuan Gereja Indonesia sehingga selama dan sesudah Konsili berlangsung, wawasan para uskup semakin diperluas untuk melakukan usaha- usaha nasional dalam menggumuli masalah bersama.13

Pasca Konsili, para Uskup mempunyai tugas untuk memperkenalkan hasil Konsili Vatikan II kepada seluruh umat di wilayah masing-masing dan melaksanakannya sesuai dengan konteks setempat. Tugas tersebut menjadi tidak mudah mengingat sebelum Konsili Vatikan II berakhir dan para Uskup masih berada di Roma, Indonesia mengalami tragedi 1965.14 Namun, justru dalam situasi tersebut Gereja tertantang untuk berbuat sesuatu sebagai pelaksanaan dari tugas perutusannya untuk menyampaikan warta keselamatan bagi semua orang, terutama mereka yang menderita.

2.1.2.1. Arah dan Hasil Konsili Vatikan II

Tujuan Paus Yohanes XXIII mengundang Konsili Vatikan II adalah untuk memaparkan Gereja dengan wajah baru yang disinari Injil bagi semua orang pada zaman sekarang sehingga Gereja menjadi aktual.15 Oleh karena itu, seruan umum

12 M. PM., Muskens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta: DOKPEN KWI 1974, Jilid 3b, 1474-1475

13 Huub J.W.M. Boelaars, OFM Cap., Indonesianisasi, 147

14 Darmojuwono, Perjalanan Umat Allah di Keuskupan Agung Semarang. Dari Konsili Vatikan II sampai Juni 1981, Semarang: Manuskrip Pribadi 1981, 3

15 B.S. Mardiatmadja, SJ., “Gagasan-gagasan Dogmatik Seputar Konsili Vatikan II”, 1

(41)

~ 23 ~

Konsili Vatikan II adalah aggiornamento (“aggiornare” = meng-hari-ini-kan), yaitu seruan agar Gereja di mana pun berada selalu hadir secara aktual sehingga dapat ikut serta menanggapi situasi zaman dan dapat memberikan sumbangan efektif bagi pemecahan masalah-masalah aktual di zaman modern.

Tujuan yang menjadi arah Konsili Vatikan II tersebut memberi gambaran yang cukup jelas bahwa pembicaraan dan hasil pokok Konsili Vatikan II adalah tentang Gereja. Bahkan, boleh dikatakan bahwa Konsili Vatikan II merupakan Konsili mengenai Gereja.16 Sebab, tema pokok yang dibicarakan dalam Konsili adalah tentang Gereja dan dokumen utama yang dihasilkan adalah Konstitusi tentang Gereja, baik dogmatis (Lumen Gentium, disingkat LG) maupun pastoral (Gaudium et Spes, disingkat GS). Semua dokumen lain, yakni Konstitusi Dei Verbum dan Sacrosanctum Concilium, berserta 9 dekrit dan 3 deklarasi, merupakan pelengkap.17 Artinya, dokumen-dokumen tersebut berisi penjabaran secara lebih lengkap, detail, dan terperinci mengenai tema-tema tertentu yang telah disampaikan secara ringkas dan padat dalam LG dan GS.

Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum, disingkat DV) dan Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosantum Consilium, disingkat SC) melengkapi dan menjelaskan LG bab I yang berbicara tentang Misteri Gereja.

Kata “Misteri” tidak menunjuk pada sesuatu yang “tidak dapat dimengerti” atau

“tersembunyi” saja, tetapi menunjuk pada “realitas ilahi yang transenden dan menyelamatkan yang sedikit banyak sudah diwahyukan dan dinyatakan”. Dalam hal ini DV menjelaskan bahwa karya keselamatan Allah yang berpuncak dalam

16 B.S. Mardiatmadja, SJ., Ekklesiologi, Makna dan Sejarahnya, Yogyakarta: Kanisius 1986, 134

17 Tom Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok Konsili Vatikan II”. Spektrum XIV:1-2 (1986), 23

(42)

~ 24 ~

Yesus Kristus telah dinyatakan kepada manusia dan senantiasa diteruskan melalui kesaksian Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium. Sementara itu, SC menekankan bahwa karya keselamatan Allah yang berpuncak pada Misteri Paskah dilestarikan oleh Gereja dan dilaksanakan dalam liturgi.

Dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio, disingkat UR) dan Gereja-Gereja Timur Katolik (Orientalium Ecclesiarum, disingkat OE) serta Deklarasi tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristen (Nostra Aetate, disingkat NA) dan Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes, disingkat AG) melengkapi dan memberi penjelasan atas LG bab II yang berbicara tentang Umat Allah. UR dan OE menjelaskan bahwa Gereja-Gereja bukan-katolik adalah sama- sama Umat Allah dan diakui sebagai Gereja Kristus (bdk. LG 15). Dengan mereka, Gereja Katolik membuka dialog dan ajakan untuk bersatu dalam penghayatan dan pengungkapan iman. Sementara itu, NA menunjukkan pengakuan dan penghargaan Gereja Katolik terhadap agama-agama bukan- kristiani (bdk. LG 16). Namun pengakuan dan penghormatan Gereja terhadap agama-agama lain tersebut tetap harus disertai dengan kewajiban untuk mewartakan Injil atau menjalankan karya misioner (bdk. LG 17). Dalam hal ini, AG memberikan penjelasan mengenai sifat hakiki Gereja yang misioner sekaligus menguraikan secara prinsipial dan praktis mengenai tugas misi Gereja.

Tiga Dekrit yang lain, yaitu Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup (Christus Dominus, disingkat CD), Kehidupan dan Pelayanan para Imam (Presbiterotum Ordinis, disingkat PO), dan Pembinaan Imam (Optatam Totius, disingkat OT) melengkapi penjelasan LG bab III tentang Susunan Hirarkis Gereja.

(43)

~ 25 ~

Sementara itu, Dekrit tentang Kerasulan awam (Apostolicam Actuositatem, disingkat AA) menjelaskan dan melengkapi LG bab IV tentang Kaum Awam.

Dekrit tentang Pembaruan dan Penyesuaian Hidup Religius (Perfectae Caritatis, disingkat PC) melengkapi penjelasan tentang para Religius dalam LG bab VI.

Ketiga dokumen Konsili yang lain, yaitu Dekrit tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial (Inter Mirifica, disingkat IM), Deklarasi tentang Kebebasan Beragama (Dignitas Humanae, disingkat DH), dan Deklarasi tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis, disingkat GE) melengkapi dan memberikan penjelasan pada beberapa bagian dari GS. Ketiga dokumen tersebut memberikan penjelasan dan penekanan pada tiga masalah aktual yang menjadi perhatian Konsili, yaitu kebebasan beragama (GS 17), komunikasi sosial (GS 40), dan pendidikan (GS 61). Dengan demikian, ketiganya semakin menegaskan keterbukaan Gereja untuk berdialog dan bekerjasama dengan dunia.

2.1.2.2. Ekklesiologi Konsili Vatikan II

Kata kunci untuk memahami ekklesiologi Konsili Vatikan II, sebagaimana terungkap dalam dua bab pertama “Lumen Gentium” adalah “Misteri” dan “Umat Allah”. Di sini, kata “Misteri” tidak diartikan secara filosofis sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami secara rasional, tetapi diartikan secara biblis dengan mengacu pada asal katanya, yaitu kata Yunani “mysterion” yang berarti rencana keselamatan Allah yang terlaksana dalam sejarah umat manusia dan berpuncak dalam diri Yesus Kristus. Dengan demikian, Gereja sebagai “Misteri”

ditempatkan dalam rencana keselamatan Allah bagi manusia.

(44)

~ 26 ~

Sebagaimana dengan kata “Misteri” Gereja ditempatkan dalam hubungannya dengan rencana keselamatan Allah, demikian pula, dengan kata

“Umat Allah”. Melalui pemahaman tentang Gereja sebagai Umat Allah, pembicaraan konkret mengenai Gereja tetap ditempatkan dalam kerangka sejarah keselamatan Allah, tidak langsung menjadi pembicaraan institusional- organisatoris.18 Pemahaman mengenai Gereja sebagai Umat Allah berakar pada tradisi Perjanjian Lama, yaitu sejak panggilan Abraham (Kej 12:1-9) untuk menjadi bapa bangsa Israel, umat pilihan Allah (bdk. Kel 6:6; Ul 27:9; LG 9).

Pilihan Allah atas bangsa Israel ini merupakan persiapan bagi Gereja sebagai Umat Allah baru (bdk. Kis 15:14; 1Ptr 2:9-10) yang lahir pada hari Pentakosta dan terus berkembang sebagai peziarah yang berorientasi pada kedatangan Kristus yang kedua (2 Ptr 3:10-15). Oleh karena itu, Gereja sebagai Umat Allah merupakan tahap keselamatan yang terbentang antara kebangkitan Kristus dan kedatangan-Nya kembali.

Untuk memahami hubungan antara Gereja dengan rencana keselamatan Allah sebaiknya digunakan kata “sakramen” yang oleh LG juga dipakai untuk menyebut Gereja (LG 1, 9, 48). Menurut Tom Jacobs, kata “misteri” dan

“sakramen” pada dasarnya memang memiliki arti yang sama: “misteri”

merupakan bagian dalam dari sakramen dan “sakramen” merupakan bentuk yang kelihatan dari rahmat (=misteri) yang tidak kelihatan.19 Oleh karena itu, Misteri Gereja menunjuk pada hakikat Gereja sebagai “sakramen keselamatan universal”

18 Tom Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok Konsili Vatikan II”, 29

19 Tom Jacobs, “Gagasan-Gagasan Pokok Konsili Vatikan II”, 27

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: performance quality berpengaruh positip terhadap

”ANALISIS RISIKO KESEHATAN AKIBAT PAPARAN KARBON MONOKSIDA PADA HARI KERJA DAN CAR FREE DAY DI KAWASAN JALAN RAYA PUPUTAN NITI MANDALA RENON DENPASAR TAHUN 2016” tepat

Akan ada perulangan sejumlah permutasi dan sebanyak jumlah kata atau shingle yang ada didalam dokumen lalu akan dilakukan perhitungan dari hashval dimana dengan

Ada bahan piezoelektrik untuk suhu tinggi umumnya digunakan untuk pembangkit energi listrik dengan panas, batubara atau yang lain, panas yang dihasilkan tidak sia-sia

AHMAD SOPYAN, M.Pd NIP... AHMAD SOPYAN,

PENINGKATAN DAYA SAING UKM KERAJINAN BATIK BAKARAN KECAMATAN JUWANA KABUPATEN PATI SEBAGAI SALAH SATU PRODUK INDUSTRI KREATIF UNGGULAN

berpengalaman akan berbagi semua untuk menjalankan bisnis ini. Ya, baik posisi bendahara maupun manajer mendapat konsumen akan melaporkan pada bagian sales, begitu juga

Berdasarkan pada pengalaman kami dan informasi yang ada, diharapkan tidak ada efek yang membahayakan jika ditangani sesuai dengan rekomendasi dan tindakan pencegahan yang sesuai