YANG MANDIRI, MISIONER DAN TERLIBAT DALAM MASYARAKAT
3.4. Gereja yang Terlibat dalam Masyarakat
3.4.2. Wujud Konkret Keterlibatan Gereja dalam Masyarakat
3.4.2.3. Keterlibatan dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara
Pada saat berpamitan dengan para Pejabat di Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 2 September 1981, Kardinal Darmojuwono antara lain mengungkapkan,
“Saya mencoba dengan kekuatan yang ada pada saya, untuk mengarahkan umat Katolik di daerah K.A. Semarang dalam Negara yang berdasarkan Pancasila ini, agar menjadi warga negara yang baik berdasarkan iman Katolik, jujur dan bertanggung-jawab kepada Tuhan, sesama, dan diri sendiri. Karya-karya yang ditangani oleh Gereja setempat diarahkan sebagai sumbangan kepada Negara dan Bangsa.”202
201 Darmojuwono, Surat Gembala Puasa 1967, tertanggal 15 Januari 1967
202 Darmojuwono, Sambutan Bapak Kardinal pada saat pamitan dengan para pejabat di DIY, tertanggal 2 September 1981
~ 98 ~
Sambutan Kardinal Darmojuwono pada akhir masa penggembalaannya ini menunjukkan bahwa beliau sungguh-sungguh mempunyai perhatian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini didasari oleh kesadaran beliau bahwa semua orang Indonesia yang menjadi katolik sekaligus juga merupakan warga negara Indonesia.203 Oleh karena itu, beliau menegaskan bahwa kendati
“tugas sebagai pemimpin Gereja di wilayah ini memang berlainan dengan pemimpin Negara. Tetapi yang dipimpin sama, ialah warga negara Indonesia. Maka, mau tidak mau tentu terjalin kerjasama antar kedua pimpinan, baik langsung maupun tidak langsung.”204
Selama beliau menjadi Uskup Agung Semarang, Indonesia berada di bawah Pemerintah Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Berkaitan dengan hal ini, Kardinal Darmojuwono memberi dukungan sepenuhnya. Bahkan, Pada tahun 1966, beliau bersama para Uskup Indonesia mengeluarkan sebuah surat yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Surat tersebut dibuka dengan seruan, “Tidak ada tempat untuk negara Hindu, tidak ada tempat untuk negara Islam, tidak ada tempat untuk negara Katolik, yang ada negara Pancasila”.205
Pada tahun 1969, seruan tersebut ditegaskan kembali melalui pernyataan beliau yang menegaskan bahwa,
“Gereja Katolik mendukung dan menghargai setiap usaha Pemerintah untuk menegakkan Negara Pancasila yang adil dan makmur, dan merasa syukur akan hasil-hasil yang telah tercapai. Dalam hal ini, umat Katolik berterimakasih atas perjuangan ABRI yang gigih menegakkan Negara
203 Darmojuwono, Surat Gembala Puasa 1971, 6 Februari 1971
204 Darmojuwono, Sambutan Bapak Kardinal pada saat pamitan dengan para pejabat di DIY, tertanggal 2 September 1981
205 MAWI, Surat MAWI kepada Saudara-saudara Sebangsa dan Setanah Air, tertanggal 11 Juni 1966
~ 99 ~
Pancasila dan selanjutnya mendukung peranan ABRI serta ikut berusaha memberi sumbangan yang berguna dan konstruktif”.206
Dukungan Gereja terhadap usaha-usaha untuk mempertahankan dan membela Pancasila didasari oleh 2 (dua) hal. Pertama, Pancasila memberi tempat pada kebhinekaan sehingga Negara Indonesia yang mempunyai dasar Pancasila mengakui setiap pribadi manusia yang berbeda-beda dalam cara berpikir dan beragama.207 Kedua, sebagai dasar Negara, Pancasila tidak hanya menjadi alat pemersatu kebhinekaan tetapi juga menjamin hak setiap warganegara untuk hidup sungguh-sungguh sebagai manusia sebab Pancasila menjamin perikemanusiaan yang adil dan beradab.208
Selain bercita-cita untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, Orde Baru juga menggulirkan program pembangunan dengan menerapkan Trilogi Pembangunan, yang meliputi: stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya. Salah satu strategi pembangunan yang menjadi andalannya adalah Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahunan) yang ditetapkan sejak tanggal 1 April 1969.
Berkaitan dengan strategi Pembangunan Lima Tahun (Pelita), Kardinal Darmojuwono juga menunjukkan dukungan sekaligus ajakan kepada seluruh warga masyarakat untuk bekerjasama mewujudkan Pelita. Hal ini tampak dari tanggapan beliau ketika Pelita dimulai pada tanggal 1 April 1969, berikut ini:
206 Darmojuwono, Pernyataan Gereja Katolik Indonesia mengenai Beberapa Masalah Penting di Tanah Air, tertanggal 31 Maret 1969.
207 MAWI, Surat Gembala MAWI, tertanggal 10 Februari 1965
208 MAWI, Surat MAWI kepada Saudara-saudara Sebangsa dan Setanah Air, tertanggal 11 Juni 1966
~ 100 ~
“Fajar mulai menyingsing, dan sampailah kita pada Repelita, yang sekarang bukan merupakan rencana lagi, melainkan merupakan pedoman realisasi pembangunan lima tahun, dimulai tanggal gembira ini. Repelita merupakan langkah permulaan dari pada suatu pembangunan yang besar.
Sasaran dari pada Repelita bukan hanya menaikkan taraf hidup rakyat banyak, tetapi juga menaikkan derajat hidup rakyat, sehingga rakyat tidak hanya cukup sandang, cukup pangan, tetapi juga hidup aman, akrab dalam kekeluargaan, sedang Hukum menjadi jaminan. Itu semua memerlukan usaha rakyat itu sendiri, yang diterima baik, didukung dan dibimbing baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Setempat sampai di pelosok-pelosok, sesuai dengan Repelita itu sendiri. ... Akhirnya, sambil bekerja sekuat tenaga, dengan semangat ikhlas mengabdi negara – masyarakat – dan sesama, sebagai realisasi dari pengabdian kepada Tuhan, marilah kita mempersatukan diri dalam SATU GOLONGAN, ialah: GOLONGAN PEMBANGUNAN, demi suksesnya Repelita, ialah tercapainya cita-cita masyarakat adil dan makmur, yang sekaligus akan sangat memuliakan Tuhan.”209
Seruan dan ajakan Kardinal Darmojuwono agar seluruh umat Katolik dan seluruh rakyat Indonesia mengambil bagian dan memberikan sumbangan dalam pembangunan juga ditegaskan dalam beberapa Surat Gembalanya. Dalam Surat Gembala Puasa 1970, beliau meminta agar hasil APP digunakan untuk kepentingan umum sebagai bentuk sumbangan yang konkret bagi pembangunan.
Secara konkret, beliau meminta agar hasil APP tersebut digunakan untuk mengadakan proyek kecil yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dengan cara ini, umat Katolik ikut serta membangun kerukukan dalam masyarakat dan meskipun hanya dalam skala kecil juga ikut menyumbang dalam pembangunan materiil yang didambakan oleh segenap rakyat Indonesia dan dititik-beratkan oleh Pemerintah.210 Dalam Surat Gembala Tahun Suci yang ditulis pada tahun 1973, beliau juga menegaskan bahwa Gereja tidak dapat mengelak dari tugas pembangunan. Keterlibatan umat Katolik dalam pembangunan bukan hanya suatu
209 Darmojuwono, Tanggapan Kardinal Darmojuwono tentang Repelita di mulai pada tanggal 1 April 1969
210 Darmojuwono, Surat Gembala Puasa 1970, tertanggal 19 Januari 1970
~ 101 ~
kewajiban sebagai warga negara yang baik tetapi merupakan pelaksanan dari panggilannya untuk menjadi sakramen keselamatan.211
Pada tahun 1974, Kardinal Darmojuwono mengeluarkan Surat Gembala yang ditujukan kepada para imam, biarawan-biarawati, dewan paroki dan pamong wilayah. Di dalamnya, beliau memberikan 3 (tiga) prinsip yang harus diingat berkaitan dengan keterlibatan Gereja dalam pembangunan. Ketiga prinsip tersebut adalah: a) partisipasi Gereja dalam pembangunan ditunjukkan terlebih dalam sumbangan inspirasi dan motivasi bagi pembangunan; b) Gereja mempunyai fungsi profetis, yang sebenarnya mampu mengarahkan dan bahkan menyelamatkan usaha besar-besaran dalam membangun ini, di mana tidak jarang manusia tertindas dan menjadi kurban; c) orang katolik sendiri harus semakin menyadari sebagai bagian integral dari bangsa, bukan penonton belaka yang berada di luar medan permainan.212
Berkaitan dengan fungsi profetis Gereja dalam pembangunan di atas, beliau mengingatkan adanya kemungkinan bahaya yang dapat timbul baik dalam proses maupun pemanfaatan hasil pembangunan. Beliau menyatakan, “ada celah-celah, lobang-lobang dalam karya raksasa pembangunan itu. Bila kurang diperhatikan, bisa jadi parang berbisa. Tahu-tahu menusuk dan menghancurkan pembangunan itu sendiri.”213 Salah satu bahaya terbesar dari pembangunan adalah direndahkannya martabat manusia. Manusia tidak lagi diperlakukan sebagai tujuan pembangunan tetapi dijadikan sebagai alat atau sarana yang dengan mudah
211 Darmojuwono, Surat Gembala Berhubung dengan Tahun Suci 1975, tertanggal 5 Juni 1973
212 Darmojuwono, Bersama Mewujudkan Gereja. Surat Gembala ditujukan kepada: Para imam, para biarawan-biarawati, para anggota dewan paroki, para pamong wilayah di Keuskupan Agung Semarang, tertanggal 25 Desember 1974
213 Darmojuwono, Surat Gembala Berhubung dengan Tahun Suci 1975, tertanggal 5 Juni 1973
~ 102 ~
ditindas dan dikurbankan atas nama pembangunan. Oleh karena itu, beliau mengingatkan agar pembangunan diabdikan demi kesejahteraan setiap manusia dan manusia seutuhnya sehingga pembangunan pribadi manusia, terutama mentalitasnya, tidak boleh diabaikan sebagaimana diajarkan oleh Paus Paulus VI dalam ensiklik Populorum Progressio (lih. PP 14,20,29,42).214 Jadi, pelaksanaan pembangunan tidak boleh merendahkan martabat dan merampas hak azasi manusia tetapi harus diabdikan demi perkembangan dan kesejahteraan manusia seutuhnya, lahir dan batin.
Kardinal Darmojuwono juga menyadari bahwa bahaya dari pembangunan tersebut akan banyak dialami oleh keluarga-keluarga yang merupakan salah satu pelaku utama pembangunan. Maka, beliau menyatakan,
“Masyarakat kini tengah menghirup udara pembangunan. Bahwasanya cukup dicurahkan perhatian terhadap para pelakunya, ialah keluarga-keluarga, sungguh merupakan pertanda baik. Diakui tidak sedikitlah kesulitan yang dihadapi oleh keluarga-keluarga. Tidak jarang keluarga pecah berkeping-keping. Anak jadi korban karena keluarga-keluarga sendiri tidak utuh, tidak lagi mampu memberikan ruang buat berkembang, yang sangat dibutuhkan.”215
Berhadapan dengan hal ini, beliau bersama dengan MAWI mencoba mendalami masalah keluarga sebagai landasan pembangunan dan kemudian menerbitkan
“Pedoman Pastoral Keluarga: Pegangan dalam Menghadapi Beberapa Masalah Pembinaan Keluarga Katolik” pada tanggal 22 Juni 1975.216
214 Darmojuwono, Surat Gembala Berhubung dengan Tahun Suci 1975, tertanggal 5 Juni 1973
215 Darmojuwono, Surat Gembala Puasa 1973, tertanggal 13 Februari 1973
216Darmojuwono, Bersama Mewujudkan Gereja. Surat Gembala ditujukan kepada: Para imam, para biarawan-biarawati, para anggota dewan paroki, para pamong wilayah di Keuskupan Agung Semarang, tertanggal 25 Desember 1974
~ 103 ~ 3.5. Rangkuman
Konsili Vatikan II merumuskan ekklesiologi mengenai Gereja sebagai Umat Allah. Yang dimaksud dengan Umat Allah di sini adalah seluruh anggota Gereja, bukan hanya kaum awam saja, tetapi juga hirarki dan kaum religius.
Memang, anggota Gereja dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan besar, yaitu hirarki, kaum religius atau biarawan-biarawati, dan kaum awam. Namun, ketiganya mempunyai kesamaan martabat dan perutusan sebagai Umat Allah sehingga merupakan satu-kesatuan tak terpisahkan (bdk. LG 23). Perbedaan mereka tidak terletak pada martabat dan tugas perutusan sebagai Umat Allah tetapi terletak pada bagaimana cara mereka masing-masing melaksanakan tugas perutusan itu sesuai dengan tempat, fungsi dan perannya di dalam Gereja.
Ekklesilogi mengenai Gereja sebagai Umat Allah inilah yang oleh Kardinal Darmojuwono dibawa ke Keuskupan Agung Semarang untuk diterapkan dan dikembangkan sesuai dengan konteks setempat. Mengingat, Gereja Keuskupan Agung Semarang masih sangat muda dan baru saja dinyatakan mandiri, maka Kardinal Darmojuwono bercita-cita untuk semakin memperkokoh kemandirian itu. Beliau ingin membangun Keuskupan Agung Semarang ini menjadi Gereja Umat Allah yang mandiri, baik dalam tenaga maupun dana.
Dalam rangka mewujudkan kemandirian itu, ditempuhkan usaha-usaha untuk mengumatkan Gereja dan menggerejakan umat. Artinya, Gereja sungguh-sungguh menjadi milik dan tanggungjawab umat sehingga umat harus terlibat dalam pembangunan Gereja, baik materiil maupun spiritual, melalui sumbangan yang
~ 104 ~
berupa pemikiran, tenaga, dan dana. Oleh karena itu, keterlibatan umat dalam hidup menggereja sangat ditekankan.
Usaha untuk menggerakkan dan meningkatkan keterlibatan seluruh umat tersebut ditempuh dengan berbagai macam cara, antara lain: menerapkan prinsip desentralisasi dan subsidiaritas; meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga pastoral baik awam, biarawan-biarawati, maupun imam – khususnya imam diosesan; meningkatkan managemen keuangan dan menggalang solidaritas; dan mensinergikan berbagai macam kegiatan Gerejawi yang ada. Melalui keterlibatan umat yang semakin banyak, sinergis dan tertata, Keuskupan Agung Semarang berkembang menjadi Gereja yang mengumat – karena Gereja sungguh menjadi milik dan tanggungjawab umat – dan berswasembada – karena umat sungguh terlibat dalam memikirkan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan Gereja.
Cita-cita Kardinal Darmojuwono untuk mewujudkan Gereja yang mandiri tidak hanya berhenti pada swasembada untuk mencukupi kebutuhannya sendiri tetapi ditingkatkan menjadi kepedulian dan solidaritas, terutama terhadap mereka yang berkekurangan. Sebab, hanya melalui kepedulian dan solidaritas ini, Gereja dapat melaksanakan tugas perutusannya sebagai sakramen keselamatan universal bagi semua orang secara lebih konkret dan berdaya guna.
Dalam lingkup intern Gereja Katolik, kepedulian dan solidaritas tersebut diwujudkan dengan mengembangkan semangat misioner. Beberapa imam diosesan Keuskupan Agung Semarang diutus untuk berkarya di keuskupan di Kalimantan dan dalam perjalanan waktu juga di keuskupan-keuskupan lain di Sumatra dan Papua. Pada lingkup ekstern, semangat kepedulian
~ 105 ~
dan solidaritas tersebut diwujudkan dengan berbagai bentuk keterlibatan dalam masyarakat, misalnya melalui karya-karya caritatif dan pemberdayaan bagi masyarakat yang miskin, lemah, dan tertindas, kepedulian terhadap para korban Tragedi 1965 dan keterlibatan dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Demikianlah Kardinal Darmojuwono bersama seluruh umat di Keuskupan Agung Semarang berusaha untuk mewujudkan Gereja sebagai Umat Allah yang mandiri, misioner dan terlibat dalam masyarakat. Pertanyaannya adalah, dari mana perwujudan Gereja sebagai Umat Allah yang mandiri, misioner dan terlibat dalam masyarakat tersebut dimulai? Siapa yang mempunyai peranan kunci dalam arti yang terutama dan pertama-tama (harus) berperan untuk mewujudkan Gereja yang dicita-citakan itu? Jawabannya adalah keluarga.
Keluarga adalah kelompok terkecil baik dalam Gereja maupun masyarakat sehingga merupakan medan yang paling efektif di mana iman atau aspirasi kristiani dihayati, dicari dan dikembangkan, dan di mana keterlibatan dalam masyarakat terjadi. Dengan mengutip Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, dinyatakan di sana bahwa keluarga merupakan “tempat lahirnya warga-warga baru masyarakat manusia, yang berkat rahmat Roh Kudus karena babtis diangkat menjadi anak-anak Allah, untuk melestarikan Umat Allah dari abad ke abad” (LG 11). Dalam bab IV berikut ini, peran keluarga dalam mewujudkan Gereja sebagai Umat Allah yang mandiri, misioner dan terlibat dalam masyarakat akan dibahas dan diuraikan secara lebih detail dan mendalam.
~ 106 ~ BAB IV