• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS SANATA DHARMA FAKULTAS TEOLOGI PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UNIVERSITAS SANATA DHARMA FAKULTAS TEOLOGI PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SANATA DHARMA FAKULTAS TEOLOGI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI

PENGHAYATAN SAKRAMEN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI KATOLIK DI PAROKI SANTO ANTONIUS PADUA BIDARACINA

Tesis diajukan oleh:

Theresia Vita Prodeita NIM: 116312017 untuk memperoleh

GELAR MAGISTER TEOLOGI

2015

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

KATA KUNCI: SAKRAMEN PERKAWINAN, GEREJA KATOLIK, SUAMI- ISTRI KATOLIK, IMAN KATOLIK, PASTORAL KELUARGA

Gereja memiliki mutiara berupa ajaran tentang nilai-nilai hakiki perkawinan. Gereja memandang perkawinan sebagai panggilan hidup yang luhur dan menguduskan sebab Allah sendiri yang mendirikan dan memberkati lembaga perkawinan. Perkawinan menjadi satu dari tujuh sakramen Gereja sebab Kristus mengangkat perkawinan antara dua orang dibaptis menjadi tanda dan sarana karya keselamatan. Perkawinan sakramen menjadi lambang kasih setia antara Kristus dan Gereja-Nya.

Berbagai permasalahan sosial telah mengancam dan merendahkan keluhuran martabat perkawinan. Perkawinan sakramen pun tak luput dari pengaruh arus zaman hingga menyebabkan meningkatnya kasus perceraian sipil dan pisah ranjang. Namun demikian, masih banyak pula pasangan suami-istri katolik yang mampu memelihara kesetiaan dalam perkawinan mereka.

Di tengah keprihatinan hidup berkeluarga masa kini, Gereja tak lelah menyerukan keluhuran martabat perkawinan. Keluhuran martabat perkawinan sesungguhnya diusahakan oleh subjek perkawinan itu sendiri yaitu suami-istri.

Gereja terus berupaya membantu suami-istri mewujudkan keselamatan perkawinan. Dalam konteks perkawinan sakramen, rahmat sakramen perkawinan menolong suami-istri mewujudkan diri mereka sebagai keluarga kristiani sejati.

Dalam rangka menyelamatkan perkawinan sakramen, calon suami-istri katolik sebaiknya mempersiapkan perkawinan secara baik dan mendalam.

Orangtua dan keluarga berperan besar dalam mempersiapkan panggilan hidup berkeluarga melalui teladan hidup keluarga Kristen dan pendidikan iman.

Persiapan perkawinan sebaiknya dilaksanakan secara bertahap sejak dini yaitu persiapan jauh, menengah, dan dekat. Penanaman nilai-nilai luhur perkawinan

(5)

berpedoman pada Kitab Suci, Magisterium, dan Kitab Hukum Kanonik.

Pengajaran ini bertujuan supaya calon suami-istri katolik sungguh-sungguh memahami makna sakramen perkawinan dan berbagai tanggung jawab yang mengikutinya. Pemahaman yang baik tentang hal ini akan sangat mendukung suami-istri dalam menghayati hidup berkeluarga.

Penelitian ini bermaksud untuk melihat keterkaitan antara pemahaman suami-istri katolik mengenai nilai-nilai sakramen perkawinan, peran iman dalam penghayatan hidup perkawinan, dan terwujudnya kesetiaan perkawinan. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode kombinasi yang menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif (mixed method).

Penelitian dilaksanakan di Paroki Santo Antonius Padua, Bidaracina, Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Pemahaman suami-istri katolik terhadap nilai-nilai sakramen perkawinan mempengaruhi penghayatan hidup perkawinan; 2) iman dan keterlibatan dalam hidup menggereja meneguhkan penghayatan suami-istri akan nilai-nilai sakramen perkawinan; 3) dengan demikian, para suami-istri katolik mampu memelihara kesetiaan perkawinan mereka.

Usaha-usaha pastoral pendampingan keluarga di paroki perlu dikembangkan dan diberikan perhatian serius. Salah satu usaha pastoral yang penting untuk dilaksanakan adalah katekese tentang perkawinan yang berjenjang bagi anak-anak, remaja, dan orang tua. Harapannya adalah semakin banyak perkawinan katolik yang utuh dan setia. Dengan demikian, umat Allah yang terpanggil untuk hidup berkeluarga, senantiasa mampu merayakan perkawinan mereka dalam langkah laku hidup yang pantas.

(6)

ABSTRACT

KEYWORD: The SACRAMENT of MARRIAGE, CATHOLIC CHURCH, CATHOLIC SPOUSE, CATHOLIC FAITH, PASTORAL CARE of the FAMILY

The Church has a pearl which means a doctrine of marriage authentic values. Church regards marriage as a supreme and sacred life call because God himself leads and blesses this marriage institution. Marriage is one of the seven sacraments of Church because Christ takes marriage between two persons which are baptized to be the sign and the means of salvation work. The sacrament of marriage becomes a symbol of faithful affection between Christ and his Church.

Various social problems have threatened and humiliated the grandeur of dignity of marriage. The sacrament of marriage itself does not spare from the influence of globalization which cause the increasing of civil divorce cases and husband-and-wife who are not sleeping together on the same bed. Nevertheless there are still a lot of catholic spouses who are able to maintain their fidelity in marriage.

In apprehensive of family call recently, Church is not tired or continuously proclaims the grandeur of marriage dignity. The grandeur of marriage dignity actually is attempted by the subjects of the marriage itself; they are the couple of husband and wife. Church is making serious efforts to help the spouse to bring the salvation of marriage into reality. In the sacrament of marriage context, God‟s grace in sacrament of marriage helps the spouse to bring the marriage fidelity into reality as a true Christian family.

In the aim to safe the sacrament of marriage, for those who want to be catholic spouses are better to prepare the marriage well and seriously. Parents and families have big roles in preparing family life call through the model of Christian family life and faith education. Marriage preparations are preferable held step by step as early as possible, they are remote, proximate, and immediate preparations.

(7)

The cultivation of the grandeur values of marriage guided by the Holy Bible, Magisterium, and the Code of Canon Law. This doctrine heads for intended catholic husband and wife to really understand the meaning of marriage sacrament and the responsibilities that follow it. The better understanding about it will support the spouse in full and total comprehension of family life.

This research intends to look deeply the intertwine between the understanding catholic spouse about the values of marriage sacrament, faith roles in full and total comprehension of marriage life, and materialize marriage fidelity.

This research is done in descriptive research and combination method which combines the quantitative and qualitative data (mixed method).

The research is held in Saint Anthony of Padua Parish, Bidaracina, East Jakarta. The results show: 1) the understanding of catholic spouse toward the sacrament of marriage values which influences the full and total comprehension of marriage life; 2) the faith and the involvement in church life strengthen the full and total comprehension of the spouse toward the sacrament of marriage values;

3) so that catholic spouses are able to maintain their marriage fidelity.

The family pastoral care efforts need to be developed and given serious care in parish. One of the important pastoral efforts to be implemented is ranging marriage catechesis for children, teenagers, and adults. The expectation is the more catholic marriages which are solid and faithful. Thus, the people of God who are called to take family life will always capable to celebrate their marriages in an appropriate way of life.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis sangat bersyukur dapat melanjutkan studi di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pengalaman belajar pada Program Magister Teologi sangat berharga dalam mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik penulis. Penulis banyak belajar mengenai realitas Umat Allah dan iman Katolik yang kontekstual. Artinya, menyintesakan antara iman Katolik dan situasi umat tertentu. Para pendidik dengan sepenuh hati membantu kami dalam memahami dan membahasakan pewartaan iman sesuai konteks umat.

Penulisan tesis ini secara khusus mengangkat tema sakramen perkawinan.

Penulis meneliti konteks „penghayatan sakramen perkawinan pada pasangan suami-istri katolik‟. Masalah utama yang dikaji adalah: „Apakah penghayatan sakramen perkawinan yang baik membuat suami-istri katolik mampu menjaga kesetiaan dalam perkawinan?‟. Proses penelitian menggunakan metode kuesioner dan wawancara mendalam terhadap para responden.

Penelitian ini mempelajari pemahaman dan penghayatan suami-istri katolik dalam menghidupi perkawinan mereka yang merupakan sakramen.

Harapan dari proses penulisan ini adalah makin banyak orang dari berbagai kalangan – khususnya mereka yang terpanggil untuk hidup berkeluarga – dapat sungguh memahami sakramen perkawinan serta penghayatannya.

(9)

Dalam proses penelitian ini, penulis menghaturkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini. Proses penulisan tesis ini memang mengalami berbagai kendala dan hambatan, namun berkat bimbingan Tuhan dan bantuan dari banyak pihak, tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rm. Dr. Al. Purwahadiwardaya, MSF dan Rm. Dr. R. Rubiyatmoko, Pr, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan kesediaan mendampingi sehingga penulisan tesis ini dapat selesai hingga akhir.

2. Rm. Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, selaku pembaca dan penguji ketiga sekaligus dosen pengampu selama perkuliahan Program Magister Teologi, yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada penulis serta membekali banyak ilmu pengetahuan dan pendidikan selama masa perkuliahan.

3. Rm. Dr. V. Indra Tanureja, Pr, selaku Kepala Program Studi Magister Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang selalu mendukung dan membantu penulis dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan perhatian, sejak awal perkuliahan hingga akhir penulisan tesis.

4. Mgr. I. Suharyo, Pr, yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan studi Magister Teologi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

(10)

5. Staf dosen dan sekretariat Program Studi Magister Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang telah mendidik dan mendukung penulis dengan sabar, setia, dan sepenuh hati selama masa perkuliahan.

6. Rm. Y. Purbo Tamtomo, Pr; Rm. Dr. F. Purwanto, SCJ; Rm. Alexander Erwin Santoso, MSF; Rm. Alfonsus Zeam Rudi, SCJ; Rm. Ignasius Tari, MSF; SKK Paroki St. Antonius Padua, Bidaracina; seluruh responden (umat) yang terlibat dalam penelitian, dan umat yang telah menyediakan tempat bagi penulis untuk melakukan observasi dan penelitian di Jakarta.

Sr. Dominica, OP; Rm. Dr. CB. Mulyatno, Pr dan umat Lingkungan St.

Yustinus di Paroki Kristus Raja - Baciro, terima kasih atas segala bantuan, perhatian, dan dukungan selama proses penulisan tesis ini.

7. Para sahabat di Prodi Magister Teologi Universitas Sanata Dharma dan Program Bakaloreat Fakultas Teologi Wedhabakti angkatan 2011, khususnya Sr. Claudia, AK, terima kasih atas kebersamaan, pembelajaran, pemberian motivasi, dukungan semangat, perhatian dan bantuan yang tulus selama ini.

8. Seluruh staf Perpustakaan Kolese St. Ignatius (Kolsani), Perpustakaan Pusat Universitas Sanata Dharma, dan Perpustakaan Seminari Tinggi St.

Paulus, Kentungan, yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyelesaian tesis ini.

9. Papa dan Mama tercinta yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik secara moril maupun materiil, juga semua anggota keluarga yang

(11)

telah mendukung dan membantu, khususnya Cici Mariana, terima kasih untuk semuanya.

10. Kuria, Dewan Karya Pastoral, dan Tim Karya Kunjungan Pastoral, Keuskupan Agung Jakarta; Staf dosen Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik – Fakultas Pendidikan dan Bahasa, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta; terima kasih atas segala perhatian, doa dan dukungan yang selalu diberikan bagi penulis.

Serta semua pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah mendukung dan membantu penulisan tesis ini. Semoga Tuhan memberikan rahmat dan berkat yang melimpah kepada mereka.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun demi penyempurnaan tesis ini.

Semoga para pembaca dapat memperoleh manfaat dan inspirasi dari tesis ini sehingga iman kepada Kristus semakin berkembang dan berbuah lebat di dalam keluarga dan komunitas, juga dalam Gereja dan masyarakat.

Yogyakarta, Juli 2015

Theresia Vita Prodeita

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN……… xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah dalam Penelitian ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Metode Penelitian ... 3

1.5 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II AJARAN TENTANG PERKAWINAN DALAM GEREJA KATOLIK ... 6

2.1 Perkawinan dalam Pandangan Masyarakat ... 6

2.2 Perkawinan dalam Pandangan Gereja Katolik... 7

2.2.1 Perkawinan menurut Kitab Suci ... 8

2.2.1.1 Perjanjian Lama ... 8

a) Kitab Kejadian ... 9

b) Kitab Hosea ... 10

c) Kitab Tobit ... 10

(13)

2.2.1.2 Perjanjian Baru ... 12

a) Injil Sinoptik ... 12

b) Surat Rasul Paulus ... 14

2.2.2 Perkawinan menurut Magisterium ... 16

2.2.2.1 Arcanum Divinae Sapientiae ... 16

2.2.2.2 Casti Connubii ... 17

2.2.2.3 Gaudium et Spes... 18

2.2.2.4 Humanae Vitae ... 20

2.2.2.5 Familiaris Consortio ... 22

2.2.3 Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik... 24

2.2.3.1 Hakikat dan Tujuan Perkawinan ... 25

2.2.3.2 Ciri Hakiki Perkawinan ... 27

2.2.3.3 Kesepakatan Nikah ... 29

2.3 Perkawinan pada Umumnya dan Perkawinan Sakramen ... 31

2.3.1 Perkawinan pada Umumnya ... 32

2.3.2 Perkawinan sakramental ... 33

2.3.3 Moral Perkawinan dan Keluarga Katolik ... 34

2.3.4 Sakramen perkawinan ... 37

2.4 Kesimpulan ... 48

BAB III PENELITIAN TERHADAP PARA PASANGAN SUAMI-ISTRI PAROKI SANTO ANTONIUS PADUA DI BIDARACINA ... 52

3.1 Pengantar ... 52

3.2 Prosedur Penelitian ... 52

3.2.1 Metode dan Tipe Penelitian ... 53

a) Kuantitatif ... 55

b) Kualitatif ... 56

3.2.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 57

3.2.3 Tujuan Penelitian ... 57

(14)

3.2.4 Variabel Penelitian ... 58

3.2.5 Rumusan Masalah ... 58

3.2.6 Hipotesa ... 59

3.2.7 Pengumpulan Data ... 60

3.3 Analisa Hasil Penelitian ... 60

3.3.1 Kuantitatif ... 61

3.3.1.1 Deskripsi Responden ... 61

3.3.1.2 Pemahaman Nilai-Nilai Sakramen Perkawinan ... 63

a) Analisa Pemahaman Nilai-Nilai Sakramen Perkawinan ... 63

b) Analisa Pengaruh Iman dalam Penghayatan Nilai-Nilai Sakramen Perkawinan ... 73

c) Analisa Penghayatan Kesetiaan Perkawinan ... 80

3.3.1.3 Kekuatan dan Kelemahan Data Kuantitatif ... 90

a) Kekuatan: ... 90

b) Kelemahan: ... 91

3.3.2 Kualitatif ... 92

3.3.2.1 Deskripsi Responden ... 92

a) Pemahaman tentang Nilai-nilai Sakramen Perkawinan ... 93

b) Pengaruh Iman terhadap Penghayatan Nilai-nilai Sakramen Perkawinan 93 c) Penghayatan Kesetiaan dalam Perkawinan ... 94

3.3.2.2 Kekuatan dan Kelemahan Data Kualitatif ... 95

a) Kekuatan: ... 95

b) Kelemahan: ... 95

3.3.3 Analisa Gabungan Data Kuantitatif dan Kualitatif Berdasarkan Variabel Penelitian ... 95

3.3.3.1 Pemahaman tentang Nilai-nilai Sakramen Perkawinan ... 95

3.3.3.2 Pengaruh Iman terhadap Penghayatan Nilai-nilai Sakramen Perkawinan ... 96

3.3.3.3 Penghayatan Kesetiaan dalam Perkawinan... 97

3.4 Rangkuman ... 98

(15)

3.5 Catatan Pribadi Penulis ... 99

BAB IV PASTORAL BAGI KELUARGA-KELUARGA KATOLIK ... 103

4.1 Pengantar ... 103

4.2 Pastoral Bagi Keluarga-Keluarga Katolik... 104

4.2.1 Persiapan Pernikahan ... 105

4.2.1.1 Persiapan Jauh ... 105

4.2.1.2 Persiapan Dekat ... 106

4.2.1.3 Persiapan Langsung ... 107

4.2.2 Pastoral Seusai Pernikahan ... 107

4.2.3 Struktur Pastoral Bagi Keluarga ... 109

4.2.4 Pelaksana Pastoral Bagi Keluarga ... 110

4.3 Pastoral Bagi Keluarga di Paroki dalam Keuskupan Agung Jakarta.... 111

4.3.1 KWI dan Keuskupan ... 111

4.3.2 Paroki Santo Antonius Padua Bidaracina ... 112

4.3.3 Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta ... 115

4.4 Refleksi Teologis Atas Realitas di Paroki... 118

4.4.1 Sumber Pengajaran tentang Sakramen Perkawinan ... 126

4.4.2 Pengaruh Iman dalam Penghayatan Sakramen Perkawinan ... 127

4.4.3 Rahmat Sakramen Menjaga Kesetiaan Perkawinan ... 131

4.5 Usulan Program Pastoral Pendampingan Keluarga di Tingkat Paroki . 138 BAB V PENUTUP ... 148

DAFTAR PUSTAKA ... 154

LAMPIRAN ... 162

(16)

DAFTAR SINGKATAN

CC Casti Connubii CT Catechesi Tradendae

Ef Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus EG Evangelii Gaudium

FC Familiaris Consortio

GS Gaudium et Spes

Hos Kitab Hosea

HUP Hari Ulang tahun Perkawinan

HV Humanae Vitae

KAJ Keuskupan Agung Jakarta

Kan. Kanon

Kej Kitab Kejadian

KHK Kitab Hukum Kanonik Komkel Komisi Kerasulan Keluarga

Kor Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus KPP Kursus Persiapan Perkawinan

KWI Konferensi Waligereja Indonesia

LG Lumen Gentium

ME Marriage Encounter Mrk Injil Markus

OMK Orang Muda Katolik Pasutri Pasangan suami-istri SKK Seksi Kerasulan Keluarga

SKKL Seksi Kerasulan Keluarga tingkat Lingkungan

St. Santo

Tob Kitab Tobit Yoh Injil Yohanes

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gereja tidak bisa menutup mata terhadap keluarga-keluarga katolik yang mengalami kesulitan dan berbagai persoalan berat. Persoalan-persoalan itu dipengaruhi oleh situasi dunia yang mengalami globalisasi dan sekularisasi.

Sekularisasi cenderung melemahkan iman umat1. Sekularisme tidak memberi peran kepada Allah dan menyebabkan kemerosotan moral. Keluarga- keluarga katolik pun dipengaruhi oleh sekularisme seperti kelompok-kelompok sosial lain dalam masyarakat.

Meskipun demikian, ternyata masih ada keluarga-keluarga katolik yang baik, keluarga-keluarga yang tetap beriman. Karena itu, penulis melakukan penelitian terhadap keluarga-keluarga katolik yang mampu mempertahankan kesetiaan dalam perkawinan mereka. Penelitian ini dapat menjadi sarana pembelajaran untuk memahami faktor-faktor apa saja yang diperlukan untuk mempertahankan kesetiaan dalam perkawinan.

1 Evangelii Gaudium art. 64: The process of secularization tends to reduce the faith and the Church to the sphere of the private and personal.

(18)

1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah dalam Penelitian

Fokus penelitian penulis adalah pemahaman pasangan suami-istri katolik tentang nilai-nilai sakramen perkawinan dan sejauh mana hal itu mendukung kesetiaan dalam perkawinan. Penulis membatasi penelitian dalam lingkup perkawinan sakramen (perkawinan antara dua orang baptis yang sah). Variabel- variabel penelitian adalah: a) pemahaman akan nilai-nilai sakramen perkawinan, b) pengaruh iman terhadap perkawinan, dan c) penghayatan kesetiaan dalam perkawinan. Penelitian dilakukan di Paroki Santo Antonius Padua, Bidaracina.

Responden (populasi sampel) yang diambil adalah 100 pasang suami-istri katolik dengan usia pernikahan di atas 20 tahun (kuantitatif) dan 20 pasang suami-istri katolik dengan usia pernikahan di atas 20 tahun (kualitatif). Karya tulis ini diawali dengan tinjauan atas ajaran Gereja tentang sakramen perkawinan dan diakhiri dengan refleksi teologis sekaligus usulan tentang pastoral bagi keluarga-keluarga katolik.

Masalah-masalah yang diangkat adalah:

1) Bagaimana para suami-istri katolik di Paroki Santo Antonius Padua, Bidaracina memahami nilai-nilai sakramen perkawinan?

2) Bagaimana pengaruh iman terhadap penghayatan sakramen perkawinan para suami-istri katolik di Paroki Santo Antonius Padua, Bidaracina?

3) Apakah pemahaman serta penghayatan nilai-nilai sakramen perkawinan dan iman para suami-istri katolik di Paroki Santo Antonius Padua Bidaracina berdampak pada kesetiaan dalam perkawinan mereka?

(19)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji ajaran Gereja Katolik tentang nilai-nilai sakramen perkawinan dan membandingkannya dengan realitas keluarga-keluarga katolik yang bertahan dalam perkawinan mereka. Sementara itu, tujuan-tujuan khusus penelitian ini adalah:

1) Memahami ajaran Gereja Katolik tentang sakramen perkawinan dan nilai- nilainya;

2) Memahami peranan iman dalam hidup berkeluarga;

3) Membantu umat agar mereka mampu menghayati kesetiaan dalam perkawinan melalui pastoral bagi keluarga.

4) Memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Teologi.

1.4 Metode Penelitian

Penulis melakukan penelitian dalam dua tahap. Tahap pertama, penelitian kuantitatif. Tahap kedua, penelitian kualitatif. Analisa atas penelitian kuantitatif dan kualitatif itu lalu dipadukan. Metode ini disebut metode kombinasi (mixed method2).

Pendekatan kuantitatif berpijak pada hal-hal yang bersifat konkret, dapat diuji, dan menghasilkan data faktual. Tujuan pendekatan ini adalah menguji teori,

2 J.W. Creswell, Research Design: Qualitative, quantitative, and mixed method approaches, 2003, USA, Sage Publications, 15-17.

(20)

membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variabel, memberikan deskripsi statistik, dan menginterpretasikan data3.

Penelitian kualitatif bertujuan untuk mengungkap dan memahami suatu fenomena beserta konteksnya yang unik dan khas, yang dialami oleh suami-istri katolik untuk mencapai perkawinan sakramen yang dicita-citakan Gereja. Dengan penelitian kualitatif ini peneliti berharap dapat mengetahui dinamika panggilan hidup berkeluarga di tingkat paroki.

Dalam konteks sakramen perkawinan, penulis mempelajari dan berusaha memahami pengalaman subjek penelitian (pasangan suami-istri katolik) sejak persiapan pernikahan hingga “berhasil” mempertahankan kesetiaan dalam perkawinan. Peneliti menggunakan kuesioner dan wawancara sebagai metode pengumpulan data.

1.5 Sistematika Penulisan

Tulisan ini terbagi atas lima bab. Kelima bab tersebut akan didistribusikan sebagai berikut:

Bab pertama berisi latar belakang penulisan, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi ajaran Gereja Katolik tentang perkawinan. Pemikirannya dimulai secara umum (deduktif) dari perkawinan dalam pandangan masyarakat lalu mengerucut ke sakramen perkawinan dalam pandangan Gereja Katolik

3 J. Sarwono, Mixed Methods: Cara menggabung riset kuantitatif dan riset kualitatif secara benar,2011, Jakarta, Elex Media Komputindo, 19.

(21)

(berdasarkan Kitab Suci, Magisterium, Kitab Hukum Kanonik 1983, dan sejarah Gereja Katolik serta teologi sakramen perkawinan).

Bab ketiga berisi hasil penelitian terhadap para pasangan suami-istri katolik di Paroki Santo Antonius Padua, Bidaracina. Bab ini membahas analisa terhadap data penelitian. Bagian pengantar berisi prosedur penelitian dan metodologi hingga langkah-langkah penelitian. Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel-tabel yang disertai penjelasan analisanya masing-masing.

Analisa ini dipakai untuk melihat kekuatan dan kelemahan kondisi keluarga- keluarga katolik di Paroki Santo Antonius Padua, Bidaracina dalam memahami dan menghayati nilai-nilai sakramen perkawinan.

Bab keempat berisi refleksi teologis dan usulan pastoral bagi keluarga di paroki. Bagian awal membahas pastoral bagi keluarga menurut Familiaris Consortio, Pedoman Pastoral Keluarga KWI dan Kitab Hukum Kanonik 1983.

Tiga sumber tersebut digunakan sebagai dasar yang ideal untuk refleksi teologis.

Bagian selanjutnya berisi refleksi teologis atas penelitian yang didasarkan pada wawancara romo paroki dan romo ketua komisi kerasulan keluarga KAJ. Dari refleksi teologis tersebut disusun sejumlah usulan pastoral bagi keluarga di tingkat paroki.

Bab kelima merupakan kesimpulan akhir, saran-saran, dan penutup dari tulisan ini.

(22)

BAB II

AJARAN TENTANG PERKAWINAN DALAM GEREJA KATOLIK

2.1 Perkawinan dalam Pandangan Masyarakat

Oleh masyarakat umum perkawinan dipandang sebagai cara hidup yang sesuai dengan kodrat manusia. Perkawinan merupakan semacam konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk seksual. Dengan kata lain, seksualitas manusia menyebabkan terjadinya perkawinan4. Seksualitas manusia ini datangnya dari Allah Sang Pencipta. Allah memiliki rencana dan tujuan mulia atas perkawinan antar manusia. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Karenanya, perkawinan semestinya terlaksana hanya antara laki-laki dan perempuan.

Perkawinan merupakan suatu jenjang hidup yang penting bagi sebagian besar orang. Secara sosial, perkawinan dipandang sebagai usaha untuk membangun suatu ikatan hidup bersama yang tetap dan diatur oleh masyarakat5. Pengaturan perkawinan oleh masyarakat ini terwujud antara lain dalam hukum adat, hukum agama, dan hukum sipil. Jika suatu ikatan antara seorang lelaki dan seorang perempuan tidak diurus secara hukum berarti ikatan itu belum mendapat pengakuan masyarakat. Biasanya dikatakan konkubinat6 atau kumpul kebo kalau

4 B.S. Balun, Perkawinan Katolik, Lamalera, Yogyakarta, 2011, 25.

5 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Yogyakarta, 1993, 19-20.

6 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Yogyakarta, 1993, 20.

(23)

pasangan itu hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang diakui oleh masyarakat. Selain hukum sipil, hukum agama, dan hukum adat, perkawinan sesungguhnya diatur pula oleh hukum ilahi. Hukum ini dipahami oleh akal budi manusia sebagai pemberian dari Allah. Hukum ilahi terkait dengan kodrat manusia itu sendiri. Sedangkan bagi orang-orang Katolik ada satu hukum lagi yang mengatur perkawinan yaitu hukum kanonik7.

Ikatan perkawinan membentuk suatu pranata sosial baru yaitu keluarga.

Keluarga yang terbentuk melalui perkawinan merupakan satuan kelompok terkecil dalam masyarakat. Maka perkawinan disebut pranata sosial primer8. Perkawinan dapat melahirkan anggota baru yaitu anak-anak. Inilah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak kandung mereka.

2.2 Perkawinan dalam Pandangan Gereja Katolik

Menurut Gereja Katolik, perkawinan bukan institusi sosial semata.

Perkawinan memiliki nilai pribadi dan berhubungan dengan rencana Allah sendiri9. Gereja Katolik mengimani bahwa perkawinan adalah lembaga yang dikehendaki dan diatur oleh Allah Pencipta10. Laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah (Kej 1:27). Seperti telah disebutkan di atas, seksualitas manusia merupakan pemberian Allah. Seksualitas merupakan identitas seluruh diri manusia sebagai laki-laki atau perempuan. Dengan begitu seorang manusia laki- laki hendaklah ia tumbuh dan berkembang serta melakukan perannya sebagai

7 R. Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Hukum Kanonik, Kanisius, Yogyakarta, 2011, 28.

8 S. Syarbaini; Rusdiyanta, Dasar-Dasar Sosiologi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, 77; 80.

9 Yosef Lalu, Makna Hidup dalam Terang Iman Katolik: SERI 1, Kanisius, Yogyakarta, 2010, 231.

10 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Yogyakarta, 1993, 303.

(24)

lelaki dan manusia perempuan hendaklah tumbuh dan berkembang serta melakukan perannya sebagai perempuan. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi agar mereka sejahtera dan dapat melahirkan keturunan.

Perkawinan merupakan panggilan hidup manusia. Melalui perkawinan manusia ikut berpatisipasi dalam karya penciptaan Allah. Perkawinan diharapkan mampu melanggengkan tata penciptaan dan mewujudkan tata keselamatan11. Pernyataan ini dapat ditelaah dari sumber iman Gereja yaitu Kitab Suci dan Magisterium.

2.2.1 Perkawinan menurut Kitab Suci

Perihal perkawinan telah dibahas dalam Kitab Suci. Kitab Kejadian dimulai dengan kisah penciptaan bumi dan seluruh isinya, termasuk manusia.

Dalam kisah penciptaan, Allah menetapkan lembaga perkawinan dengan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan kemudian memberkati mereka untuk terlibat dalam karya penciptaan Allah yang berlangsung terus-menerus.

“Perkawinan” Adam dan Hawa menjadi awal terbangunnya umat manusia yang kemudian mengelola alam ciptaan Allah.

2.2.1.1 Perjanjian Lama

Umat Perjanjian Lama pada umumnya memandang perkawinan sebagai lembaga untuk melanjutkan keturunan, yang merupakan berkat dari Allah.

11 Piet Go, Seksualitas dan Perkawinan, STFT Widya Sasana, Malang, 1985, 80.

(25)

a) Kitab Kejadian

Kisah penciptaan manusia mengungkapkan suatu “teologi perkawinan”.

Seluruh ciptaan Allah sejak hari pertama hingga hari kelima ditujukan untuk mempersiapkan penciptaan “suami-istri pertama”. Allah lebih dulu menciptakan rumah bagi mereka. Setelah semua keperluan hidup manusia siap, barulah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan12.

Meski manusia diciptakan dengan seksualitas yang berbeda (laki-laki dan perempuan) namun mereka memiliki kodrat yang sama. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej 1:27).

Laki-laki dan perempuan bersama-sama membentuk “gambar-Nya”. Seksualitas merupakan hasil karya Allah13. Maka dari itu seksualitas merupakan unsur hakiki manusia sejak dijadikan oleh Allah14.

Menurut Kej 2:18-24 perkawinan merupakan kesatuan antara seorang laki- laki dan seorang perempuan yang sedemikian erat sehingga keduanya menjadi satu persona baru (Kej 2:24)15. Persatuan suami-istri terjadi karena Allah menghendaki mereka menjadi “teman yang sepadan” (Kej 2:20). Menurut Kej 1:28, sebelum laki-laki dan perempuan bersatu, mereka diberkati terlebih dahulu oleh Allah lalu diperkenankan untuk beranak cucu.

12 Pauline A. Viviano, “Tafsir Kejadian”, dalam Dianne Bergant (eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta, 2002, 35.

13 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Yogyakarta, 1993, 54.

14 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Yogyakarta, 1993, 54.

15 Pauline A. Viviano, “Tafsir Kejadian”, dalam Dianne Bergant (eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta, 2002, 35.

(26)

b) Kitab Hosea

Kitab Nabi Hosea terdiri dari dua bagian. Bagian pertama (Hos 1-3) mengisahkan dinamika hidup perkawinan Hosea. Sedangkan bagian kedua (Hos 4-14) merupakan kumpulan nubuat Hosea. Hosea 1-3 mengungkapkan makna simbolik religius dari perkawinan16. Allah yang telah “mengawini” Israel mau menerima kembali Israel meskipun sudah tidak setia17. Penyelewengan Israel terhadap Allah dengan menyembah dewa-dewi Kanaan itu bagaikan istri yang tidak setia kepada suaminya. Persundalan Israel itu telah merusak ikatan perjanjian dengan Allah. Namun Allah menunjukkan belas kasih-Nya kepada Israel dengan kesetiaan pada perjanjian-Nya. Hosea menekankan kesetiaan eksklusif dalam perkawinan sebagaimana Allah menuntut kesetiaan dalam perjanjian.18

c) Kitab Tobit

Kitab Tobit memuat idealisme tentang keluarga Yahudi19. Kitab ini menenun kisah indah keluarga Tobit yang saleh sebagai model bagi keluarga- keluarga Yahudi. Kitab Tobit merenungkan kesabaran dan ketekunan dua

16 C. Stuhlmueller, “Tafsir Hosea”, dalam D. Bergant (eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, A.S.

Hadiwiyata (penerj.), Kanisius, Yogyakarta, 2002, 629.

17 Analogi itu diangkat kembali oleh Nabi Yesaya (1:2), Yeremia (2:2-3; 3:6-11), Yehezkiel (16:23) dan Deutero-Yesaya (Yes 54:4-6; 62:4-5).

18 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, 1993, 75.

19 J. Craghan, Tobit, Yudit, Barukh, diterjemahkan dari Old Testament Message 16, oleh St.

Darmawijaya, Kanisius, Yogyakarta, 1990, 15.

(27)

keluarga Yahudi dalam penderitaan serta mengarahkan pembaca untuk memahami kebaikan Allah dalam situasi yang sulit20.

Kisah perkawinan Tobia dengan Sara merupakan bagian penting dalam kisah keluarga saleh ini. Perkawinan mereka membawa keselamatan bagi dua keluarga. Tobia dan Sara tampil sebagai model kesetiaan dan kesetiakawanan dalam keluarga21. Pengosongan diri mereka membuahkan kekayaan bagi seluruh keluarga. Relasi yang terbangun dalam perkawinan mereka merupakan karya Allah22.

Doa Tobia (Tob 8:5-8) memuat pandangan tentang perkawinan yang dikehendaki Allah. Doa yang mengutip kisah penciptaan manusia (Kej 2:18-25) ini menegaskan bahwa perkawinan memuat janji untuk menjadi sedarah-sedaging;

setia dalam suka dan duka. Tobia menikahi Sara karena mencintainya. Ia menekankan perkawinan berdasarkan ketulusan dan kemurnian (Tob 8:7). Cinta suami-istri itu amat penting dalam perkawinan (bdk. Tob 6:11-19; Kej 24:61-67).

Kisah Tobit dan Tobia berpangkal dan berujung pada kasih, kesetiaan, dan kekuatan doa. Tiga hal ini patut menjadi bekal bagi setiap orang beriman dalam peziarahan hidupnya termasuk dalam perkawinan.

20 J. Craghan, Tobit, Yudit, Barukh, diterjemahkan dari Old Testament Message 16, oleh St.

Darmawijaya, Kanisius, Yogyakarta, 1990, 16.

21 J. Craghan, Tobit, Yudit, Barukh, diterjemahkan dari Old Testament Message 16, oleh St.

Darmawijaya, Kanisius, Yogyakarta, 1990, 34.

22 I. Nowell, “Tobit”, dalam D. Bergant (eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, A.S. Hadiwiyata (penerj.), Kanisius, Yogyakarta, 2002.

(28)

2.2.1.2 Perjanjian Baru a) Injil Sinoptik

Perkawinan dipandang oleh orang Yahudi sebagai lembaga untuk mempertahankan marga suami23. Akibatnya moral perkawinan Yahudi terpusat pada kepentingan kaum laki-laki. Budaya patriarkat menempatkan kedudukan suami lebih tinggi daripada istri. Suami dapat menceraikan istrinya yang tidak mampu memberikan keturunan atau memenuhi keinginan suami. Dengan pandangan seperti itu maka praktik perceraian biasa terjadi di kalangan Yahudi.

Pembelaan atas praktik perceraian didasarkan pada peraturan yang dibuat Musa di mana tertulis dalam Ul 24:1-4 sehingga menjadi teks kunci mengenai perceraian24.

Yesus berhadapan dengan masyarakat yang diwarnai oleh kebiasaan kaum laki-laki mengeksploitasi perempuan. Yesus tampil sebagai seorang yang revolusioner dengan melarang perceraian25. Yesus mengalihkan pembicaraan dari perceraian demi kepentingan kaum suami ke kehendak Allah yang tidak menginginkan perceraian26. Tujuan utama ketetapan Ul 24:1 yang dibuat oleh Musa bukanlah pengesahan praktik perceraian melainkan usaha membatasi dan membendung akibat-akibat negatif yang dtimbulkan oleh tindakan para suami yang tidak bertanggungjawab27. Menurut Yesus, Nabi Musa terpaksa memberi izin perceraian karena ia didesak oleh kaum laki-laki yang berdosa. Ketetapan

23 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, Kanisius, Yogyakarta, 2003, 321.

24 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 322.

25 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 322.

26 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 323.

27 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 324.

(29)

Musa merupakan suatu kompromi atas kedosaan manusia. Sikap Musa itu jangan dipakai untuk “membenarkan yang salah”28.

Kemudian Yesus berbicara tentang perkawinan yang sesuai dengan kehendak Allah (Mrk 10:6-9), dengan mengutip Kej 2:24 yang menggambarkan rencana Allah sehubungan dengan perkawinan29. Kej 2:24 menyatakan bahwa Allah mempersatukan laki-laki dan perempuan yang diciptakan-Nya. Maka Ul 24:1-4 dinilai-Nya merupakan suatu penyimpangan dari rencana Allah tersebut30. Laki-laki dan perempuan rela meninggalkan orangtua mereka untuk bersatu dalam perkawinan31. Mrk 10:9 menegaskan: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.

Yesus dengan sangat tegas menolak perceraian. Sikap tegas Yesus ini dapat menegakkan kesederajatan suami-istri dalam perkawinan. Bukan hanya istri yang harus setia kepada suami tetapi suami juga harus setia kepada istri. Hanya dengan cara ini suami-istri dapat berelasi secara benar. Hanya dalam relasi semacam itulah Allah hadir dan mempersatukan32.

Teks Matean (Mat 19:3-9) pun menegaskan bahwa perkawinan bersifat tak terceraikan33. Matius mengulang pesan Markus bahwa Yesus mengecam kesalahpahaman hukum Yahudi yang menyimpang dari hukum Allah34. Allah sendirilah yang telah menyatukan suami-istri agar mereka menjadi “satu daging”.

28 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 324.

29 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 325.

30 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 325.

31 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 326.

32 Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 328.

33 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, 1993, 111.

34 John P. Meier, New Testament Message 3, Michael Glazier, Inc., Delaware, 1980, 214.

(30)

Sama seperti Markus, Matius mengutip Kej 2:24 (Mat 19:5). Yesus menggunakan ayat tersebut untuk meletakkan perkawinan dalam tata penciptaan dan tata keselamatan. Menurut Yesus, dalam rencana Allah yang asli, perkawinan bersifat tidak terceraikan dan tidak ada institusi manusiawi manapun yang dapat mengakhiri persatuan demikian (Mat 19:6). Yesus secara absolut melarang perceraian. Yesus menuntut suami-istri untuk hidup dalam kesetiaan dan persatuan sampai mati.

b) Surat Rasul Paulus

Pembicaraan mengenai perkawinan terutama terdapat dalam Ef 5:22-33 dan 1Kor 7:1-16. Perbedaan antara 1Kor 7 dengan Ef 5 adalah tujuan penulisannya35. 1Kor 7 menyajikan etos Kristen berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di tengah jemaat Korintus, sedangkan Ef 5 menyajikan etos bagi perkawinan pada umumnya. Tulisan Ef 5 memberikan nasihat kepada suami-istri berdasarkan analogi persatuan laki-laki dan perempuan dengan persatuan Kristus dan Gereja36. Ef 5:25-32 adalah dasar biblis yang eksplisit mengenai perkawinan sakramental37. Ef 5:31 mengutip Kej 2:24 untuk menunjukkan adanya persatuan suami-istri, yang merepresentasikan persatuan Kristus dengan Gereja-Nya. Ef 5:22-33 menyajikan suatu norma perkawinan, yakni bahwa suami-istri katolik harus saling mengasihi seperti Kristus saling mengasihi dengan Gereja-Nya (Ef 5:25-32).

35 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, 1993, 131.

36 Kathryn Sullivan, Tafsir Perjanjian Baru 8: Surat-Surat Paulus 3, diterjemahkan dari New Testament Reading Guide:St. Paul‟s Epistles to the Philippians, Philemon, Colossians, Ephesians, oleh A.S. Hadiwiyata-LBI, Kanisius, Yogyakarta, 1988, 110-111.

37 E. Schillebeeckx, Marriage Vol. II, Sheed and Ward, London, 1965, 168.

(31)

Paulus menyebut persatuan erat antara Kristus dan Gereja-Nya itu sebagai

“rahasia”38. “Rahasia” dalam ayat 32 itu berarti pewahyuan tersembunyi dari Allah. Kata “rahasia” menunjuk pada relasi mesra Kristus dengan Gereja-Nya39. Perkawinan Katolik hendaknya menjadi lambang “perkawinan soteriologis”

antara Kristus dan Gereja40. Paulus menjelaskan bahwa Perjanjian Lama adalah pengajaran bagi umat sebelum Kristus datang. Perjanjian Lama adalah persiapan menuju kedatangan Kristus. Paulus dan kekristenan awal melihat berbagai petunjuk tersembunyi dalam teks Perjanjian Lama yang mengarah pada Kristus41. Menurut Paulus, suami-istri harus saling mengasihi dan menghormati. Ajaran dan hidup Yesus telah memberikan pencerahan tentang perkawinan42. Hubungan Kristus dengan Gereja merupakan dasar ontologis relasi suami dan istri43. Oleh sebab itu perlakuan suami terhadap istri tidak boleh bersifat tirani. Segala hak dan kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya hendaklah didasarkan pada cinta44.

38 (Kemudian diterjemahkan sebagai “sakramen” yang berasal dari kata Yunani “mysterion”) Al.

Purwahadiwardaya, Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 1988, 24.

39 G.H.P. Thompson, The Letters of Paul to the Ephesians to the Colossians and to Philemon, Cambridge University Press, Great Britain, 1967, 87.

40 Piet Go, Seksualitas dan Perkawinan, STFT Widya Sasana, Malang, 1985, 77.

41 G.H.P. Thompson, The Letters of Paul to the Ephesians to the Colossians and to Philemon, Cambridge University Press, Great Britain, 1967, 87.

42 G.H.P. Thompson, The Letters of Paul to the Ephesians to the Colossians and to Philemon, Cambridge University Press, Great Britain, 1967, 83.

43 Markus Barth, Ephesians: Translation and Commentary on Chapters 4-6, Doubleday &

Company, New York, 1974, 622.

44 G.H.P. Thompson, The Letters of Paul to the Ephesians to the Colossians and to Philemon, Cambridge University Press, Great Britain, 1967, 83.

(32)

2.2.2 Perkawinan menurut Magisterium 2.2.2.1 Arcanum Divinae Sapientiae

Ensiklik Arcanum dikeluarkan pada 10 Februari 1880 oleh Paus Leo XIII.

Ensiklik ini secara khusus membahas soal perkawinan, sumber dan dasar persekutuan keluarga45. Paus meyakini bahwa untuk membangun masyarakat yang sejahtera Gereja perlu membenahi satuan terkecilnya yakni keluarga.

Pertama-tama ensiklik menegaskan kembali keyakinan Kristen tentang perkawinan. Perkawinan berasal dari Allah (Kej 2:18-24). Yesus menegaskan hal itu dalam Mrk 10 dan Mat 19. Allah menghendaki bahwa persatuan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan berciri monogam dan permanen46. Kristus menyempurnakan hukum Musa dengan ajaran-Nya. Yesus menentang poligami dan perceraian. Ia mengembalikan keluhuran asali perkawinan (Mat 19:9)47.

Gereja kemudian menegaskan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen48. Kristus menyempurnakan cinta suami-istri dan meneguhkan kesatuan suami-istri yang tak terceraikan (Ef 5:25-32). Ensiklik ini secara tegas mengajarkan bahwa Gereja berwenang mengatur perkawinan umatnya oleh karena sakralitasnya49. Negara hanya boleh mengatur perkawinan dalam hal-hal yang bersifat sipil50.

45 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 5.

46 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 5.

47 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 8.

48 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 9.

49 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 19. Bdk. Kieser, Paguyuban Manusia dengan Dasar Firman, Kanisius, Yogyakarta, 1991, 67.

50 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 40.

(33)

2.2.2.2 Casti Connubii

Paus Pius XI mengeluarkan Ensiklik Casti Connubii pada 31 Desember 1930. Ensiklik ini menegaskan kembali ajaran Paus Leo XIII. Sesuai dengan ajaran Santo Agustinus, Paus menyatakan bahwa perkawinan memiliki tiga nilai yaitu keturunan, kesetiaan suami-istri dan ke-tidak-terceraian perkawinan. Pada bagian pastoral Paus mengungkapkan keprihatinan Gereja terhadap masalah kebebasan seks yang mengancam keluhuran perkawinan51. Masyarakat yang terpengaruh sekularisasi mulai meninggalkan nilai-nilai luhur perkawinan52. Orang Kristen pun terbawa arus kemerosotan moral perkawinan.

Setelah mengucapkan kesepakatan nikah dengan kehendak bebasnya pasangan suami-istri terikat oleh hukum ilahi atau hukum kodrat. Suami-istri harus setia pada kesepakatan nikah mereka. Hukum ilahi tidak mengizinkan adanya orang ketiga dalam perkawinan53. Ikatan eksklusif ini didasarkan pada cinta suami-istri yang merupakan alasan dan motif pokok perkawinan54. Cinta kasih ini harus bersifat unitif dan prokreatif. Tujuan primer dan sekunder perkawinan adalah keturunan dan kesejahteraan suami-istri.

Paus sangat menekankan kesucian perkawinan. Karena itu ia menolak perceraian pasangan55, penggunaan alat kontrasepsi56, aborsi dalam bentuk apa pun57, serta perkawinan campur atau beda agama58. Paus menegaskan wewenang

51 Al. Purwahadiwardaya, Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 1988, 87.

52 Casti Connubii, art. 3.

53 Casti Connubii, art. 19.

54 Casti Connubii, art. 23.

55 Casti Connubii, art. 89.

56 Casti Connubii, art. 56.

57 Casti Connubii, art. 63-64.

58 Casti Connubii, art. 82.

(34)

Gereja atas masalah-masalah moral perkawinan dan menyarankan agar pemerintah sipil mengikuti jejak Gereja. Paus menekankan perlunya persiapan perkawinan bagi calon suami-istri, penerimaan sakramen, serta pendidikan yang menekankan kesucian perkawinan59. Para uskup, imam, dan awam yang kompeten dalam mendampingi keluarga diminta membela keluhuran perkawinan dengan berbagai cara60.

2.2.2.3 Gaudium et Spes

Gaudium et spes merupakan konstitusi pastoral yang dihasilkan oleh Konsili Ekumenis Vatikan II dan diundangkan pada 7 Desember 1965. Gaudium et Spes art. 47-52 membahas masalah perkawinan. Konsili menunjukkan bahwa nilai-nilai perkawinan makin terabaikan dan mengajak seluruh umat Allah untuk mengatasi persoalan itu61.

Menurut Konsili, Allah menetapkan keluarga sebagai “persekutuan kehidupan dan cinta kasih”62. Adanya keluarga baru diawali dengan janji perkawinan yang menimbulkan ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. “Maka dari itu keluarga kristiani, karena berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja” (Ef 5:32)63. Dalam perkawinan ada relasi antar pribadi yang bersifat eksklusif, yang terungkap secara khas dalam hubungan seksual suami- istri.

59 Casti Connubii, art. 100, 108, 112.

60 Casti Connubii, art. 106.

61 Gaudium et Spes, art. 46.

62 Gaudium et Spes, art. 48.

63 Gaudium et Spes, art. 48.

(35)

Konsili memandang perkawinan sebagai perjanjian (foedus), istilah yang bersifat alkitabiah. Dalam Alkitab, perjanjian antara Allah dan umat-Nya sering dilukiskan sebagai relasi suami-istri64. Konsili juga melihat perjanjian suami-istri sebagai lambang perjanjian antara Kristus dan Gereja65. Konsili mengajarkan bahwa perkawinan diadakan oleh Sang Pencipta, dikukuhkan dengan hukum- hukum-Nya, serta dibangun dengan perjanjian perkawinan yang tidak dapat ditarik kembali66. Konsili melihat cinta-kasih yang tak terbagi sebagai landasan perkawinan67. Dalam sakramen perkawinan, Tuhan berkenan menyehatkan, menyempurnakan dan mengangkat cinta kasih itu dengan karunia rahmat yang istimewa dan kasih sayang-Nya68.

Cinta-kasih suami-istri mencerminkan cinta-kasih Allah kepada umat manusia, cinta-kasih Kristus terhadap Gereja-Nya. Suami-istri harus setia, sebab Allah selalu setia kepada umat-Nya. Perkawinan mengandung perutusan untuk menghadirkan cinta kasih Allah dengan tindakan konkret. Suami-istri Kristen dilimpahi dengan anugerah-anugerah yang mengalir dari sumber cinta-kasih ilahi69.

64 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, 1993, 327.

65 Gaudium et Spes, art. 48.

66 Gaudium et Spes, art. 48.

67 Gaudium et Spes, art. 49.

68 Gaudium et Spes, art. 49.

69 Gaudium et Spes, art. 48-49.

(36)

2.2.2.4 Humanae Vitae

Ensiklik Humanae Vitae dikeluarkan pada tanggal 25 Juli 1968 oleh Paus Paulus VI70. Masalah utama yang melatarbelakangi penulisan ensiklik Humanae Vitae adalah makin maraknya penggunaan alat pengendali kelahiran (kontrasepsi).

Banyak keluarga mengatasi persoalan ekonomi dengan menghindari punya anak71. Menanggapi permasalahan tersebut, Gereja ditantang untuk tetap menjaga keluhuran perkawinan.

Ensiklik melihat cinta suami-istri sebagai sesuatu yang terkait erat dengan hakikat, tujuan, dan ciri hakiki atau sifat khas perkawinan katolik. Cinta suami- istri melambangkan cinta kasih Allah (1Yoh 4:8). Suami-istri saling memberikan diri secara khusus dan eksklusif. Suami-istri bekerja-sama dengan Allah untuk melanjutkan generasi manusia. Perkawinan dua orang dibaptis melambangkan persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Oleh sebab itu, suami-istri diharap bekerja sama dengan Allah dalam karya penciptaan72. Dalam ensiklik tersebut, tampak jelas pandangan Paus tentang cinta suami-istri (conjugal love).

Dalam ensiklik ini, Paus Paulus VI menekankan beberapa sifat cinta suami-istri73. Pertama, cinta suami-istri (di atas segalanya) bersifat manusiawi74. Ciri manusiawi memadukan indera dan jiwa. Tindakan manusiawi ini bukan melulu naluri atau dorongan nafsu emosional semata. Tindakan ini merupakan suatu kehendak bebas. Di dalamnya terdapat kepercayaan. Kepercayaan inilah yang menghidupi perjuangan dalam mengarungi kebahagiaan maupun kesukaran

70 Ensiklik ini dapat diakses melalui http://www.vatican.va

71 K. Hahn, Live-Giving Love 1, Dioma, Malang, 2007, 26.

72 Humanae Vitae, art. 8.

73 Humanae Vitae, art. 9, par. 1.

74 Humanae Vitae, art. 9, par. 2.

(37)

hidup sehari-hari. Kepercayaan juga menumbuhkembangkan suami-istri untuk sejalan, sehati, dan sejiwa dalam perkawinan sehingga mereka dapat mencapai pemenuhan manusiawinya bersama-sama.

Kedua, cinta suami-istri bersifat total75. Relasi cinta kasih suami-istri merupakan relasi persahabatan personal. Dalam relasi ini mereka berbagi segalanya dengan tulus hati. Mereka tidak lagi memikirkan kenyamanan diri mereka sendiri, sebaliknya mereka berbuat segala sesuatu demi kebahagiaan dan kebaikan pasangannya. Mereka saling memperkaya pasangan dengan kelebihan masing-masing. Cinta kasih suami-istri terwujud dalam tindakan nyata yang bertujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan pasangan.

Ketiga, cinta suami-istri bersifat setia dan eksklusif hingga maut memisahkan76. Suami-istri secara bebas berjanji untuk setia. Setiap pasangan selalu harus mengusahakan kesetiaan satu sama lain. Kesetiaan itu membawa mereka pada kehormatan hidup perkawinan serta memberikan manfaat yang baik bagi mereka. Lebih dari itu, kesetiaan tersebut memberikan teladan bagi anak- anak mereka dan orang-orang di sekitar mereka. Banyak pasangan yang telah membuktikan kesetiaan dalam perkawinan mereka. Kesetiaan merupakan sifat perkawinan yang mendatangkan kebahagiaan.

Cinta suami-istri juga bersifat subur (fecundus)77. “Menurut hakikatnya perkawinan dan cintakasih suami-istri tertuju kepada adanya keturunan serta

75 Humanae Vitae, art. 9, par. 3.

76 Humanae Vitae, art. 9, par. 4.

77 Humanae Vitae art. 9, par. 5.

(38)

pendidikan anak-anak”78. Karunia perkawinan yang paling luhur adalah anak- anak. Orangtua dapat memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan dari anak-anak mereka. Setiap usaha yang dilakukan pasangan untuk menghalangi terbentuknya kehidupan baru melawan kehendak Allah dan menjadi keprihatinan Gereja.

Gereja menghimbau pasangan suami-istri untuk mempertanggungjawabkan panggilan mereka sebagai orangtua.

2.2.2.5 Familiaris Consortio

Familiaris Consortio adalah anjuran apostolik yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II, 22 November 1981. Tulisan Yohanes Paulus II ini antara lain menyapa kaum muda yang sedang merintis jalan menuju pernikahan dan hidup berkeluarga supaya mereka mampu mencapai keindahan dan keagungan panggilan cintakasih dan bakti pada kehidupan79.

Familiaris Consortio dibagi atas empat bagian. Bagian pertama (no. 4-10) menunjukkan sisi positif dan negatif kondisi aktual keluarga. Bagian kedua (no.

11-16) membahas ajaran biblis dan teologis perkawinan dan keluarga. Bagian ketiga (no. 17-64) membahas peranan keluarga untuk mendidik anak, memperjuangkan hidup manusia, berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat, dan terlibat dalam hidup perutusan Gereja. Bagian keempat (no. 65-85) membicarakan reksa pastoral keluarga. Penekanan cinta kasih suami-istri sebagai dasar hidup berkeluarga semakin dipertegas.

78 Gaudium et Spes, art. 50.

79 Familiaris Consortio, art. 1.

(39)

Melalui anjuran apostolik ini, Paus Yohanes Paulus II mengingatkan kembali bahwa pernikahan dan hidup berkeluarga merupakan kehendak Allah dalam tata penciptaan (Kej 1-2) yang tertuju pada pemenuhannya dalam Kristus (Ef 5:22-33)80. Allah memberikan panggilan kepada laki-laki dan perempuan untuk saling mengasihi dan hidup dalam persekutuan. Cinta kasih mendorong seorang laki-laki dan seorang perempuan membuat kesepakatan untuk menikah dengan sungguh dan bebas lahir-batin81. Perkawinan sebagai persekutuan cinta kasih antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga sebagai masa depan serta harapan Gereja dan masyarakat. Harapan itu dapat terwujud melalui keluarga-keluarga yang dipersiapkan dan dibentuk dengan baik dan benar.

Pernikahan adalah perjanjian cinta-kasih suami-istri (yang secara resmi dinyatakan) untuk hidup dalam kesetiaan sepenuhnya terhadap rencana Allah Pencipta82. Selayaknya Gereja memberikan bantuan kepada umat beriman untuk mewujudnyatakan panggilan itu. Gereja melalui pribadi-pribadi yang beritikad baik berusaha secara istimewa menyelamatkan dan memupuk nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan keluarga. Hendaklah mereka memperlihatkan cinta kasih yang istimewa kepada keluarga-keluarga. Ini adalah suatu kewajiban yang mengundang tindakan nyata.

80 Familiaris Consortio, art. 3.

81 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Yogyakarta, 1993, 321

82 Familiaris Consortio, art. 11.

(40)

2.2.3 Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik

Hukum kanonik memandang perkawinan secara sangat berbeda daripada hukum sipil83. Maksud dan tujuan pengaturan perkawinan secara yuridis dalam KHK adalah agar perkawinan orang-orang katolik tetap berjalan dalam koridor hukum ilahi/kodrati, hukum kanonik, dan hukum sipil sejauh menyangkut ketentuan sipil (Kan. 1059)84. Gereja mengatur perkawinan umatnya demi menjaga keluhuran martabat dan nilai perkawinan85.

Pada tanggal 25 Januari 1983, Kitab Hukum Kanonik yang baru dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II bagi seluruh Gereja Katolik ritus Latin, dan diberlakukan sejak 27 November 198386. Kitab Hukum bertujuan untuk menumbuhkan keteraturan dalam masyarakat gerejawi, memberikan tempat utama kepada cinta kasih, rahmat dan karisma-karisma, lebih memudahkan usaha perkembangan yang teratur dari segala aspek hidup baik dalam masyarakat gerejawi maupun dalam kehidupan tiap-tiap orang yang termasuk di dalamnya87.

Perkawinan orang-orang katolik diatur oleh tiga hukum yaitu: 1) hukum ilahi/kodrati, 2) hukum kanonik, dan 3) hukum sipil sejauh menyangkut akibat- akibat sipil88. Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami oleh Gereja sebagai hukum yang berasal dari Allah89. Hukum ilahi dalam konteks perkawinan terkait

83 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Yogyakarta, 1993, 74 (Hukum perkawinan sipil memandang perkawinan sebagai lembaga yang mesti mengatur dan mengarahkan seksualitas dan penerusan keturunan secara teratur baik secara biologis maupun secara kultural dan religius.).

84 R. Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Hukum Kanonik, Kanisius, Yogyakarta, 2011, 28.

85 Arcanum, art. 19.

86 Kitab Hukum Kanonik, Edisi Resmi Bahasa Indonesia, KWI, Jakarta, 2006, 7.

87 Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik Sacrae Disciplinae Leges, 1983.

88 R. Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Hukum Kanonik, 2011, 28.

89 R. Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Hukum Kanonik, 2011, 28.

(41)

dengan unsur-unsur esensial perkawinan yaitu tujuan perkawinan, sifat perkawinan, dan hakikat perkawinan. Hukum ilahi mengikat semua orang dan semua perkawinan tanpa kecuali oleh karena sifatnya yang kodrati.

Hukum kanonik bersifat gerejawi sehingga hanya mengikat orang-orang Katolik dan mereka yang mau menikah dengan orang Katolik (kanon 11). Hukum kanonik tentang perkawinan termuat dalam kanon 1055-1165 Kitab Hukum Kanonik 198390. Hukum ini mengatur perkawinan antara orang-orang katolik serta orang-orang non-katolik yang hendak menikah dengan orang katolik91.

Hukum perkawinan kanonik memuat pandangan teologi perkawinan secara padat dan ringkas92. Maka, selayaknya perkawinan katolik dilaksanakan sesuai dengan hukum ilahi dan hukum kanonik. Lebih sempurna lagi apabila hidup perkawinan berkembang melebihi tuntutan hukum, sebab manusia memerlukan nilai-nilai yang lebih dari sekedar hukum.

2.2.3.1 Hakikat dan Tujuan Perkawinan

Kanon 105593 merupakan kanon yang menegaskan hakikat dan tujuan perkawinan94. Kanon 1055 §1 menggambarkan perkawinan sebagai suatu

90 Selanjutnya kanon-kanon ini disebut Hukum Perkawinan Kanonik.

91 R. Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Hukum Kanonik, 2011, 29.

92 Piet Go, Memilih Pasangan Hidup, Analekta Keuskupan Malang, Thn. VII, No. 2, April 1989, 5.

93 Kanon 1055 – §1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan, diangkat ke martabat sakramen.

§2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.

94 R. Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Hukum Kanonik, Kanisius, Yogyakarta, 2011, 17.

(42)

perjanjian. Sedangkan kanon 1055 §2 menyebut perkawinan sebagai kontrak.

Pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang saling melengkapi.

“Perjanjian” memiliki nilai yang lebih dalam daripada “kontrak”, sebab kata

“perjanjian” mengandung makna pemberian diri yang personal95. Dalam perjanjian, dua pihak yang berjanji saling memberikan diri dengan akal budi dan kehendak bebasnya96. Istilah perjanjian menerjemahkan kata Latin “foedus”. Kata foedus (perjanjian) yang melukiskan hakikat perkawinan mulai dipakai sejak Konsili Vatikan II.97 Istilah ini tertulis pada Gaudium et Spes art. 48. Perkawinan sebagai sebuah perjanjian memiliki unsur dinamis, intimitas dan relasi interpersonal dua pribadi. Perjanjian perkawinan merupakan simbol perjanjian antara Allah dan Israel (Perjanjian Lama), dan perjanjian antara Kristus dan Gereja-Nya (Perjanjian Baru)98.

Perjanjian perkawinan terwujud dalam kesepakatan nikah. Kesepakatan nikah mengandung tiga unsur penting yaitu subjek, forma, dan objek99. Subjeknya adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan. Forma-nya adalah rumusan kesepakatan perkawinan (janji nikah). Objeknya adalah kebersamaan seluruh hidup suami-istri yang terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan

95 B. Yosef Bria, Pastoral Perkawinan Gereja Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983:

Kajian dan Penerapannya (Edisi Revisi), Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2007, 35.

96 Catur Raharso, Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, Dioma, Malang, 2008, 18.

97 John P. Beal, New Commentary on the Code of Canon Law, The Canon Law Society of America, Paulist Press, 2000, 1239.

98 The Canon Law Society of Great Britain and Ireland, The Canon Law: Letter and Spirit, The Liturgical Press, Minnesota, 1995, 572-573.

99 Catur Raharso, Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, Dioma, Malang, 2008, 18-19.

Referensi

Dokumen terkait

Saya bermaksud mengadakan kegiatan penelitian dengan judul “ Jiwa Kewirausahaan Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Ditinjau dari Kultur Keluarga, Program Studi, dan Jenis

Dalam penelitian ini ditemukan enam kritik sosial yang terdapat pada naskah skenario Gie Karya Riri Riza yaitu, (1) kesenjangan sosial yang terjadi pada masa pemerintahan

Penulis tidak dapat menyebut semua yang telah berkontribusi selama kuliah dan penulisan tesis, tetapi terima kasih serta doa yang tulus kiranya Tuhan memberkati bapak,

Jadi pembicaraan secara terpisah hanya bersifat teknis dan untuk dimudahkannya saja (Nurgiyantoro, 2015: 314). Cerita pendek Kukila ini pun menghadirkan akhir yang

Teater dan ketoprak sudah banyak disinggung diawal, maka dalam pembahasan kali ini akan disinggung mengenai TSD dan juga ketoprak milik Universitas Sanata

Sesuai dengan situasi dan kondisi di Kantor Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P&P) Kabupaten Mappi-Papua, bahwa belum semua staf dilibatkan dalam aktivitas

harga minyak dunia dan kurs Rupiah tidak mempunyai pengaruh secara simultan terhadap Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode

Berdasarkan apa yang penulis telah tuliskan maka dapat ditemukan bahwa terjadi perubahan pemahaman terhadap Tallu Lolona sehingga mengalami keterpisahan serta tidak lagi menjadi