• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II AJARAN TENTANG PERKAWINAN DALAM GEREJA

2.2 Perkawinan dalam Pandangan Gereja Katolik

2.2.2 Perkawinan menurut Magisterium

Ensiklik Arcanum dikeluarkan pada 10 Februari 1880 oleh Paus Leo XIII.

Ensiklik ini secara khusus membahas soal perkawinan, sumber dan dasar persekutuan keluarga45. Paus meyakini bahwa untuk membangun masyarakat yang sejahtera Gereja perlu membenahi satuan terkecilnya yakni keluarga.

Pertama-tama ensiklik menegaskan kembali keyakinan Kristen tentang perkawinan. Perkawinan berasal dari Allah (Kej 2:18-24). Yesus menegaskan hal itu dalam Mrk 10 dan Mat 19. Allah menghendaki bahwa persatuan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan berciri monogam dan permanen46. Kristus menyempurnakan hukum Musa dengan ajaran-Nya. Yesus menentang poligami dan perceraian. Ia mengembalikan keluhuran asali perkawinan (Mat 19:9)47.

Gereja kemudian menegaskan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen48. Kristus menyempurnakan cinta suami-istri dan meneguhkan kesatuan suami-istri yang tak terceraikan (Ef 5:25-32). Ensiklik ini secara tegas mengajarkan bahwa Gereja berwenang mengatur perkawinan umatnya oleh karena sakralitasnya49. Negara hanya boleh mengatur perkawinan dalam hal-hal yang bersifat sipil50.

45 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 5.

46 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 5.

47 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 8.

48 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 9.

49 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 19. Bdk. Kieser, Paguyuban Manusia dengan Dasar Firman, Kanisius, Yogyakarta, 1991, 67.

50 Arcanum Divinae Sapientiae, art. 40.

2.2.2.2 Casti Connubii

Paus Pius XI mengeluarkan Ensiklik Casti Connubii pada 31 Desember 1930. Ensiklik ini menegaskan kembali ajaran Paus Leo XIII. Sesuai dengan ajaran Santo Agustinus, Paus menyatakan bahwa perkawinan memiliki tiga nilai yaitu keturunan, kesetiaan suami-istri dan ke-tidak-terceraian perkawinan. Pada bagian pastoral Paus mengungkapkan keprihatinan Gereja terhadap masalah kebebasan seks yang mengancam keluhuran perkawinan51. Masyarakat yang terpengaruh sekularisasi mulai meninggalkan nilai-nilai luhur perkawinan52. Orang Kristen pun terbawa arus kemerosotan moral perkawinan.

Setelah mengucapkan kesepakatan nikah dengan kehendak bebasnya pasangan suami-istri terikat oleh hukum ilahi atau hukum kodrat. Suami-istri harus setia pada kesepakatan nikah mereka. Hukum ilahi tidak mengizinkan adanya orang ketiga dalam perkawinan53. Ikatan eksklusif ini didasarkan pada cinta suami-istri yang merupakan alasan dan motif pokok perkawinan54. Cinta kasih ini harus bersifat unitif dan prokreatif. Tujuan primer dan sekunder perkawinan adalah keturunan dan kesejahteraan suami-istri.

Paus sangat menekankan kesucian perkawinan. Karena itu ia menolak perceraian pasangan55, penggunaan alat kontrasepsi56, aborsi dalam bentuk apa pun57, serta perkawinan campur atau beda agama58. Paus menegaskan wewenang

51 Al. Purwahadiwardaya, Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 1988, 87.

52 Casti Connubii, art. 3.

53 Casti Connubii, art. 19.

54 Casti Connubii, art. 23.

55 Casti Connubii, art. 89.

56 Casti Connubii, art. 56.

57 Casti Connubii, art. 63-64.

58 Casti Connubii, art. 82.

Gereja atas masalah-masalah moral perkawinan dan menyarankan agar pemerintah sipil mengikuti jejak Gereja. Paus menekankan perlunya persiapan perkawinan bagi calon suami-istri, penerimaan sakramen, serta pendidikan yang menekankan kesucian perkawinan59. Para uskup, imam, dan awam yang kompeten dalam mendampingi keluarga diminta membela keluhuran perkawinan dengan berbagai cara60.

2.2.2.3 Gaudium et Spes

Gaudium et spes merupakan konstitusi pastoral yang dihasilkan oleh Konsili Ekumenis Vatikan II dan diundangkan pada 7 Desember 1965. Gaudium et Spes art. 47-52 membahas masalah perkawinan. Konsili menunjukkan bahwa nilai-nilai perkawinan makin terabaikan dan mengajak seluruh umat Allah untuk mengatasi persoalan itu61.

Menurut Konsili, Allah menetapkan keluarga sebagai “persekutuan kehidupan dan cinta kasih”62. Adanya keluarga baru diawali dengan janji perkawinan yang menimbulkan ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. “Maka dari itu keluarga kristiani, karena berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja” (Ef 5:32)63. Dalam perkawinan ada relasi antar pribadi yang bersifat eksklusif, yang terungkap secara khas dalam hubungan seksual suami-istri.

59 Casti Connubii, art. 100, 108, 112.

60 Casti Connubii, art. 106.

61 Gaudium et Spes, art. 46.

62 Gaudium et Spes, art. 48.

63 Gaudium et Spes, art. 48.

Konsili memandang perkawinan sebagai perjanjian (foedus), istilah yang bersifat alkitabiah. Dalam Alkitab, perjanjian antara Allah dan umat-Nya sering dilukiskan sebagai relasi suami-istri64. Konsili juga melihat perjanjian suami-istri sebagai lambang perjanjian antara Kristus dan Gereja65. Konsili mengajarkan bahwa perkawinan diadakan oleh Sang Pencipta, dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya, serta dibangun dengan perjanjian perkawinan yang tidak dapat ditarik kembali66. Konsili melihat cinta-kasih yang tak terbagi sebagai landasan perkawinan67. Dalam sakramen perkawinan, Tuhan berkenan menyehatkan, menyempurnakan dan mengangkat cinta kasih itu dengan karunia rahmat yang istimewa dan kasih sayang-Nya68.

Cinta-kasih suami-istri mencerminkan cinta-kasih Allah kepada umat manusia, cinta-kasih Kristus terhadap Gereja-Nya. Suami-istri harus setia, sebab Allah selalu setia kepada umat-Nya. Perkawinan mengandung perutusan untuk menghadirkan cinta kasih Allah dengan tindakan konkret. Suami-istri Kristen dilimpahi dengan anugerah-anugerah yang mengalir dari sumber cinta-kasih ilahi69.

64 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, 1993, 327.

65 Gaudium et Spes, art. 48.

66 Gaudium et Spes, art. 48.

67 Gaudium et Spes, art. 49.

68 Gaudium et Spes, art. 49.

69 Gaudium et Spes, art. 48-49.

2.2.2.4 Humanae Vitae

Ensiklik Humanae Vitae dikeluarkan pada tanggal 25 Juli 1968 oleh Paus Paulus VI70. Masalah utama yang melatarbelakangi penulisan ensiklik Humanae Vitae adalah makin maraknya penggunaan alat pengendali kelahiran (kontrasepsi).

Banyak keluarga mengatasi persoalan ekonomi dengan menghindari punya anak71. Menanggapi permasalahan tersebut, Gereja ditantang untuk tetap menjaga keluhuran perkawinan.

Ensiklik melihat cinta suami-istri sebagai sesuatu yang terkait erat dengan hakikat, tujuan, dan ciri hakiki atau sifat khas perkawinan katolik. Cinta suami-istri melambangkan cinta kasih Allah (1Yoh 4:8). Suami-suami-istri saling memberikan diri secara khusus dan eksklusif. Suami-istri bekerja-sama dengan Allah untuk melanjutkan generasi manusia. Perkawinan dua orang dibaptis melambangkan persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Oleh sebab itu, suami-istri diharap bekerja sama dengan Allah dalam karya penciptaan72. Dalam ensiklik tersebut, tampak jelas pandangan Paus tentang cinta suami-istri (conjugal love).

Dalam ensiklik ini, Paus Paulus VI menekankan beberapa sifat cinta suami-istri73. Pertama, cinta suami-istri (di atas segalanya) bersifat manusiawi74. Ciri manusiawi memadukan indera dan jiwa. Tindakan manusiawi ini bukan melulu naluri atau dorongan nafsu emosional semata. Tindakan ini merupakan suatu kehendak bebas. Di dalamnya terdapat kepercayaan. Kepercayaan inilah yang menghidupi perjuangan dalam mengarungi kebahagiaan maupun kesukaran

70 Ensiklik ini dapat diakses melalui http://www.vatican.va

71 K. Hahn, Live-Giving Love 1, Dioma, Malang, 2007, 26.

72 Humanae Vitae, art. 8.

73 Humanae Vitae, art. 9, par. 1.

74 Humanae Vitae, art. 9, par. 2.

hidup sehari-hari. Kepercayaan juga menumbuhkembangkan suami-istri untuk sejalan, sehati, dan sejiwa dalam perkawinan sehingga mereka dapat mencapai pemenuhan manusiawinya bersama-sama.

Kedua, cinta suami-istri bersifat total75. Relasi cinta kasih suami-istri merupakan relasi persahabatan personal. Dalam relasi ini mereka berbagi segalanya dengan tulus hati. Mereka tidak lagi memikirkan kenyamanan diri mereka sendiri, sebaliknya mereka berbuat segala sesuatu demi kebahagiaan dan kebaikan pasangannya. Mereka saling memperkaya pasangan dengan kelebihan masing-masing. Cinta kasih suami-istri terwujud dalam tindakan nyata yang bertujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan pasangan.

Ketiga, cinta suami-istri bersifat setia dan eksklusif hingga maut memisahkan76. Suami-istri secara bebas berjanji untuk setia. Setiap pasangan selalu harus mengusahakan kesetiaan satu sama lain. Kesetiaan itu membawa mereka pada kehormatan hidup perkawinan serta memberikan manfaat yang baik bagi mereka. Lebih dari itu, kesetiaan tersebut memberikan teladan bagi anak-anak mereka dan orang-orang di sekitar mereka. Banyak pasangan yang telah membuktikan kesetiaan dalam perkawinan mereka. Kesetiaan merupakan sifat perkawinan yang mendatangkan kebahagiaan.

Cinta suami-istri juga bersifat subur (fecundus)77. “Menurut hakikatnya perkawinan dan cintakasih suami-istri tertuju kepada adanya keturunan serta

75 Humanae Vitae, art. 9, par. 3.

76 Humanae Vitae, art. 9, par. 4.

77 Humanae Vitae art. 9, par. 5.

pendidikan anak-anak”78. Karunia perkawinan yang paling luhur adalah anak-anak. Orangtua dapat memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan dari anak-anak mereka. Setiap usaha yang dilakukan pasangan untuk menghalangi terbentuknya kehidupan baru melawan kehendak Allah dan menjadi keprihatinan Gereja.

Gereja menghimbau pasangan suami-istri untuk mempertanggungjawabkan panggilan mereka sebagai orangtua.

2.2.2.5 Familiaris Consortio

Familiaris Consortio adalah anjuran apostolik yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II, 22 November 1981. Tulisan Yohanes Paulus II ini antara lain menyapa kaum muda yang sedang merintis jalan menuju pernikahan dan hidup berkeluarga supaya mereka mampu mencapai keindahan dan keagungan panggilan cintakasih dan bakti pada kehidupan79.

Familiaris Consortio dibagi atas empat bagian. Bagian pertama (no. 4-10) menunjukkan sisi positif dan negatif kondisi aktual keluarga. Bagian kedua (no.

11-16) membahas ajaran biblis dan teologis perkawinan dan keluarga. Bagian ketiga (no. 17-64) membahas peranan keluarga untuk mendidik anak, memperjuangkan hidup manusia, berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat, dan terlibat dalam hidup perutusan Gereja. Bagian keempat (no. 65-85) membicarakan reksa pastoral keluarga. Penekanan cinta kasih suami-istri sebagai dasar hidup berkeluarga semakin dipertegas.

78 Gaudium et Spes, art. 50.

79 Familiaris Consortio, art. 1.

Melalui anjuran apostolik ini, Paus Yohanes Paulus II mengingatkan kembali bahwa pernikahan dan hidup berkeluarga merupakan kehendak Allah dalam tata penciptaan (Kej 1-2) yang tertuju pada pemenuhannya dalam Kristus (Ef 5:22-33)80. Allah memberikan panggilan kepada laki-laki dan perempuan untuk saling mengasihi dan hidup dalam persekutuan. Cinta kasih mendorong seorang laki-laki dan seorang perempuan membuat kesepakatan untuk menikah dengan sungguh dan bebas lahir-batin81. Perkawinan sebagai persekutuan cinta kasih antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga sebagai masa depan serta harapan Gereja dan masyarakat. Harapan itu dapat terwujud melalui keluarga-keluarga yang dipersiapkan dan dibentuk dengan baik dan benar.

Pernikahan adalah perjanjian cinta-kasih suami-istri (yang secara resmi dinyatakan) untuk hidup dalam kesetiaan sepenuhnya terhadap rencana Allah Pencipta82. Selayaknya Gereja memberikan bantuan kepada umat beriman untuk mewujudnyatakan panggilan itu. Gereja melalui pribadi-pribadi yang beritikad baik berusaha secara istimewa menyelamatkan dan memupuk nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan keluarga. Hendaklah mereka memperlihatkan cinta kasih yang istimewa kepada keluarga-keluarga. Ini adalah suatu kewajiban yang mengundang tindakan nyata.

80 Familiaris Consortio, art. 3.

81 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Kanisius, Yogyakarta, 1993, 321

82 Familiaris Consortio, art. 11.