• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Iman dalam Penghayatan Sakramen Perkawinan

BAB IV PASTORAL BAGI KELUARGA-KELUARGA KATOLIK

4.4 Refleksi Teologis Atas Realitas di Paroki

4.4.2 Pengaruh Iman dalam Penghayatan Sakramen Perkawinan

Seseorang yang dibaptis dalam Gereja Katolik menjadi anggota keluarga Allah (Ef 2:19). Dengan kata lain, seseorang yang telah dibaptis memiliki relasi dengan Allah dan Gereja. Relasi ini diawali dengan iman. Kitab Suci menggambarkan secara jelas relasi antara Allah dan manusia. Allah mendatangi dan menyapa manusia sebagai umat-Nya dengan kasih-Nya. Kemudian manusia menjawab kasih Allah itu dengan iman. Iman adalah tanggapan manusia terhadap pernyataan diri Allah. Beriman artinya manusia menyerahkan diri seutuhnya untuk percaya kepada Allah. Dengan demikian dasar iman adalah percaya. Iman ini mempengaruhi penghayatan atas setiap panggilan hidup manusia. Oleh sebab itu perkawinan antara orang-orang dibaptis sejatinya melibatkan iman Gereja221.

“Ciri sakramental perkawinan hanya tersingkap melalui pewartaan, yang dengan

221 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, no. 955, 377.

iman-kepercayaan diterima. Maka sakramen perkawinan mengandaikan pewartaan yang tetap menyertai perkawinan dan iman yang tetap menyertainya222.”, artinya kelebihan sakramen perkawinan dibandingkan perkawinan pada umumnya terletak pada iman yang diwartakan oleh suami-istri itu sendiri. Relasi suami-istri dalam sakramen perkawinan adalah perwujudan relasi antara Kristus dan Gereja-Nya yang paling nyata. Oleh karena pembaptisan, suami-istri mengambil bagian dalam tata penyelamatan yang dimensi historisnya adalah Gereja. Daya penyelamatan ini bersumber dari peristiwa Yesus Kristus yang memberikan Roh Kudus kepada manusia223.

Iman membuat suami-istri mampu melihat dan mengalami perkawinan sebagai tanda ikatan Kristus dengan Gereja, Allah Penyelamat dengan manusia224. Iman yang sama membuat setiap anggota keluarga kuat dalam menghayati tugas-tugas panggilannya dan menghadapi berbagai pergumulan hidup.

Suami-istri beriman selalu percaya bahwa Allah, yang lebih dahulu telah mengasihi dan menyatukan mereka dalam sakramen perkawinan, selalu setia dalam perjalanan hidup umat-Nya. Kepercayaan kepada Allah membuat suami-istri mampu mengasihi Allah dan pasangannya juga. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Iman mendasari harapan akan dinamika hidup perkawinan yang menyelamatkan dan membahagiakan dalam berbagai situasi, artinya suami-istri yang percaya bahwa Allah selalu mengasihi dan menyertai perjalanan hidup

222 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, no. 956, 377.

223 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, no. 970, 382-383.

224 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, no. 953, 376.

berkeluarga mereka, akan memperoleh kekuatan untuk setia pada pasangan dan anak-anak mereka bahkan di saat-saat yang sulit.

Dalam dinamika hidup perkawinan, suami-istri hidup bukan dari roti saja melainkan dari setiap sabda Allah (Mat 4:4). Mereka membutuhkan makanan rohani supaya imannya tetap hidup. Makanan rohani yang utama bagi orang Katolik adalah Sakramen Ekaristi. Dalam Ekaristi, iman dirayakan sekaligus disegarkan kembali. Makna Ekaristi bukan sekedar menerima komuni kudus.

Ekaristi harus dimaknai secara utuh dari pembukaan hingga berkat penutup sebab tanda dan sarana rahmat Allah ada dalam seluruh rangkaian Ekaristi. Santapan berupa sabda Allah terletak pada liturgi sabda. Setiap doa dalam Ekaristi merupakan ungkapan syukur dan permohonan kepada Allah Bapa. Umat pun mendapat kesempatan untuk berekonsiliasi dengan Tuhan dan sesama secara khusus dalam Ekaristi. Pada puncak liturgi Ekaristi umat mengenangkan sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus, serta menerima tubuh dan darah-Nya. Manusia dapat menimba kekuatan dan daya ilahi dengan merayakan Ekaristi

Sebagai umat beriman katolik, mengikuti Ekaristi seharusnya bukan menjadi kewajiban melainkan kebutuhan untuk menyegarkan rohani. Ekaristi bagi suami-istri atau keluarga katolik, selain sebagai makanan rohani yang menguatkan peziarahan hidup perkawinan, sesungguhnya menjadi kesempatan bagi mereka untuk menyerahkan seluruh pergumulan dan perjuangan hidup mereka sebagai persembahan bagi Allah yang disatukan dengan persembahan tubuh dan darah Kristus kemudian dibagikan kepada banyak orang sebagai pewartaan iman Gereja.

Apa yang diterima umat dengan iman dan secara sakramental dalam perayaan Ekaristi, harus memberikan dampak nyata dalam

tingkah laku mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka menempuh seluruh hidup mereka dengan gembira dan penuh rasa syukur ditopang oleh santapan surgawi, sambil turut serta dalam wafat dan kebangkitan Tuhan. dengan demikian, setiap orang yang mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, haruslah penuh gairah ingin berbuat baik, menyenangkan Allah dan hidup pantas sambil membaktikan diri kepada Gereja, melaksanakan apa yang diajarkan kepadanya, dan bertumbuh dalam kesalehan. Ia pun akan siap menjadi saksi Kristus di dalam segala hal, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup manusia, agar dunia diresapi dengan semangat Kristus. Sebab tidak ada satu umat Kristiani pun dapat dibangun, kecuali kalau berakar dan berporos pada perayaan Ekaristi Mahakudus (Eucharisticum Mysterium, no. 13)225.

Iman yang makin dewasa dapat meneguhkan pribadi-pribadi dalam hidup perkawinan mereka. Iman sangat penting untuk menjaga komitmen dan kesetiaan perkawinan. Dengan iman, pasangan suami-istri percaya Tuhan senantiasa hadir dalam setiap dinamika hidup perkawinan mereka. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

(Mat 18:20). Kedekatan dengan Tuhan membuat suami-istri mampu menghayati, mengungkapkan, dan mewujudkan iman mereka dalam hidup perkawinannya.

Penghayatan iman suami-istri tampak ketika mereka memasrahkan pergulatan hidup perkawinan mereka kepada Tuhan. Ungkapan iman suami-istri tampak ketika mereka dekat dengan Tuhan melalui doa keluarga, Ekaristi, dan penyambutan sakramen-sakramen lainnya. Perwujudan iman suami-istri tampak

225 Sacred Congregation of Rites, Eucharisticum Mysterium, no.13: “What the faithful have received through faith and the sacrament in the celebration of the eucharist they should hold to by the way they live. They should strive to live their whole lives joyfully in the strength of this heavenly food, as sharers in the death and resurrection of the Lord. After taking part in the Mass therefore all should be "eager to do good works, to please God, and to live rightly, devoted to the Church, putting into practice what they have learned and growing in devotion."They will seek to fill the world with the Christian spirit and "in all things, even in the midst of human affairs," to become witnesses of Christ. For "no Christian community is ever built up unless it has its roots and center in the eucharistic liturgy, which, therefore, is the indispensable starting point for leading people to a sense of community."”

ketika mereka dekat dengan hidup menggereja. Kedekatan dengan Gereja dapat diusahakan dengan cara aktif dalam kegiatan lingkungan atau paroki, mau terlibat dalam karya SKK paroki atau lingkungan, dan menjadi teladan bagi keluarga-keluarga katolik lainnya. Semua itu dapat mengingatkan mereka untuk selalu bersyukur atas perkawinan mereka baik di saat suka maupun duka. Harapannya, suami-istri dapat memelihara kesetiaan dalam perkawinan karena mereka setia kepada Tuhan. Dengan kata lain, iman meneguhkan janji dan komitmen pasangan suami-istri.