• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rahmat Sakramen Menjaga Kesetiaan Perkawinan

BAB IV PASTORAL BAGI KELUARGA-KELUARGA KATOLIK

4.4 Refleksi Teologis Atas Realitas di Paroki

4.4.3 Rahmat Sakramen Menjaga Kesetiaan Perkawinan

Dalam konteks sakramen perkawinan, iman suami-istri tentunya sudah ada sebelum pernikahan. Namun iman mereka mendapat bentuk baru yang disebabkan relasi baru sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi beriman bagi diri sendiri, tetapi beriman bersama pasangannya. Suami-istri secara bersama-sama menampakkan dan mewujudkan iman Gereja. Relasi suami-istri sejatinya menampakkan kasih Kristus kepada Gereja dan penyerahan diri Gereja kepada Kristus. Demikian pula halnya dalam memahami rahmat sakramen perkawinan. Sesungguhnya rahmat telah diterima saat orang dibaptis. Namun saat orang tersebut menikah dengan pasangan yang seiman, sakramen perkawinan memberikan wujud baru kepada rahmat226. Wujud baru rahmat ini dapat meneguhkan dinamika penyelamatan pada mereka yang menikah sehingga mutu dan luas cakupan dinamika itu semakin berkembang.

226 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, no. 975, 385-386.

Rahmat dalam sakramen perkawinan dimaknai sebagai kekuatan bagi suami-istri untuk menghadapi setiap pergulatan hidup berkeluarga. Rahmat ini terkadang tidak disadari ketika suami-istri sibuk dengan segala pekerjaan duniawi mereka. Namun saat mereka memberikan ruang bagi Kristus dalam setiap dinamika hidup berkeluarga mereka, rahmat sakramen akan terus mengalir di dalam keluarga. Rahmat sakramen perkawinan dapat dipahami sebagai “Kristus tinggal pada mereka justru sebagai suami-istri dan dinamika Kristus dengan bentuk baru berperan dalam hidup mereka sebagai suami-istri. [….] rahmat itu mencakup mereka dalam kebersamaan sebagai dwitunggal”. Dengan kata lain,

Suami-isteri kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas. Berkat kekuatan-Nya-lah mereka menunaikan tugas mereka sebagai suami-isteri dalam keluarga;

mereka dijiwai semangat Kristus, yang meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih; mereka bersama-sama makin mendekati kesempurnaannya sendiri dan makin saling menguduskan, dan dengan demikian bersama-sama makin memuliakan Allah (GS, 48).

Suami-istri yang mewujudkan diri sebagai orang kristiani adalah suami-istri yang menghidupi perkawinan sebagaimana dimengerti oleh segenap umat beriman. Esensi paling sederhana tentang (sakramen) perkawinan adalah ikatan yang satu untuk selamanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Dalam hukum kanonik disebut ciri-ciri hakiki perkawinan adalah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen (Kan.

1056).

Perkawinan adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Oleh sebab itu, Gereja memakai paham perjanjian dalam perkawinan katolik. Perjanjian mengandaikan kehendak bebas dan kesanggupan untuk saling memberi dan menerima antara dua orang yang saling membutuhkan dan setara. Meski perjanjian perkawinan suami-istri dilandasi oleh cinta keduanya, cinta kasih mereka tetap bersifat manusiawi sehingga rapuh dan tidak lepas dari tantangan yang seringkali tak mudah. Suami-istri harus mampu bekerja sama berdua dalam menghadapi tantangan atau kesulitan yang kerap muncul dalam hidup perkawinan.

Tantangan dan godaan duniawi selalu mengelilingi perkawinan. Jika cinta suami-istri hanya sebatas cinta manusiawi, perkawinan mungkin sulit dipertahankan. Namun, jika cinta suami-istri dilandasi Kasih Allah, dalam situasi sulit pun perkawinan akan berjalan terus. Dengan begitu kesetiaan suami-istri tetap utuh dan eksklusif.

Dalam dinamika hidup perkawinan ada saja situasi sulit yang tidak diharapkan namun bisa terjadi. Berbagai situasi seperti permasalahan ekonomi, pendidikan anak, sulit mendapatkan anak, karir yang mandeg, penyakit yang tak terelakkan, salah satu anggota keluarga meninggal, relasi mertua-menantu yang kurang harmonis, kelahiran anak yang difabel, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perselingkuhan.

Fenomena perselingkuhan, KDRT, dan perceraian makin marak dalam masyarakat. Sementara itu Gereja Katolik berpegang teguh pada sifat perkawinan yang monogam dan tak terceraikan. Sifat perkawinan katolik tersebut tidak hanya

melarang poligami dan adanya orang ketiga (PIL/WIL), tetapi juga melarang orang yang sudah menikah untuk “jajan” misalnya ketika pasangan sedang sakit atau dinas di luar kota. Paham perkawinan dalam Gereja Katolik adalah relasi suami-istri yang sangat eksklusif. Seluruh perasaan dan tindakan cinta yang intim sepenuhnya menjadi milik suami-istri itu sendiri.

Fenomena perselingkuhan biasanya berawal dari rasa jenuh pada rutinitas atau gangguan pada relasi suami-istri yang kurang harmonis dan terbuka. Ketika pasangan malas berkompromi, muncul godaan untuk melepas penat dan mencari penghiburan dari orang ketiga. Kasus perselingkuhan biasanya terjadi di tempat kerja. Ada kecenderungan untuk mencurahkan isi hati pada rekan kerja yang adalah lawan jenis. Ada pula kasus perselingkuhan dengan kawan lama atau bekas pacar. Biasanya lawan jenis tersebut juga mempunyai masalah dalam keluarganya sehingga muncul perasaan senasib dan sehati yang dapat berujung pada cinta sesaat atau bahkan berlanjut hingga sulit berpisah.

Bisa terjadi pula ketika suami atau istri menginjak usia empat puluh-an, tergoda dengan perempuan atau laki-laki yang lebih menarik, lebih mapan, atau lebih muda (fenomena puber kedua). Pertanyaan pertama yang sebaiknya ditanyakan dalam diri orang yang terjebak dalam situasi perselingkuhan adalah:

“Bagaimana saya mempertanggungjawabkan janji perkawinan saya di hadapan Tuhan?”.

Berhadapan dengan godaan ketidaksetiaan, seseorang harus sungguh-sungguh memahami akibat yang akan ditimbulkan terhadap pasangan, anak-anak, dan keluarga besar. Secara personal, seseorang perlu memikirkan perasaan

pasangan dan pengorbanan/dedikasi yang selama ini selalu diberikan bagi pasangan dan anak-anak. Ada pula akibat yang langsung menyentuh kesehatan, misalnya terkena penyakit menular seksual (PMS) atau HIV AIDS dan penyakit lainnya. Secara sosial, dampak perselingkuhan akan mempengaruhi relasi di tempat kerja dan lingkungan masyarakat.

Tindakan preventif terhadap permasalahan ketidaksetiaan perkawinan sesungguhnya dapat diusahakan sejak awal perkawinan. Suami-istri bersama-sama belajar menjadi pasangan, sahabat, dan kekasih227 yang baik bagi satu sama lain. Kunci utama ketika dihadapkan pada masalah ketidaksetiaan adalah pengampunan. Hal ini barangkali tidak mudah, namun tanpa pengampunan persoalan apa pun akan sulit diatasi bersama. Komunikasi juga merupakan kunci utama dalam membangun hidup berkeluarga dan memelihara kesetiaan perkawinan. Manusia dengan segala kelemahan dan kerapuhannya membutuhkan rahmat Tuhan demi menjaga keutuhan keluarga dan kesetiaan akan janji perkawinan.

Bagi pasangan yang sangat sulit mengatasi persoalan dalam hidup perkawinan secara bersama-sama, Gereja mengatur ketentuan berpisah dengan tetap adanya ikatan perkawinan228. Perpisahan ini sifatnya sementara sebab tidak memutuskan ataupun membatalkan ikatan perkawinan. Hal-hal yang menimbulkan alasan legitim untuk berpisah dengan pasangan adalah jika

227 Makna “kekasih” adalah orang yang dicintai. Sebutan kekasih tidak dimaksudkan untuk orang-orang yang sedang berpacaran saja tetapi pasangan suami-istri juga bisa disebut pasangan kekasih.

Dengan kata lain, kemesraan atau romantisme semasa pacaran sebaiknya tetap dipertahankan setelah menikah.

228 Kan. 1151-1155.

pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa dan badan pihak lain atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat229.

Contoh kasus yang sering terjadi misalnya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di mana satu pihak sering memukuli pihak lain atau anaknya hingga mengancam nyawa pihak yang dipukuli; tindak kekerasan seksual seperti sado-masokis, hiperseksual, pemerkosaan anak; perselingkuhan hingga melahirkan anak yang tidak sah. Jika pihak yang tidak bersalah memutuskan untuk berpisah maka dalam waktu enam bulan ia harus melapor kepada otoritas gerejawi. Setelah mendapat laporan, otoritas gerejawi itu hendaknya menyelidiki kasus yang dilaporkan supaya dapat mempertimbangkan apakah pasangan yang tidak bersalah dapat diajak untuk mengampuni kesalahan serta tidak memperpanjang perpisahan untuk seterusnya230. Dalam semua kasus tersebut, apabila alasan perpisahan sudah terhenti maka hidup bersama suami-istri perlu dipulihkan, kecuali ada keputusan lain dari otoritas gerejawi231.

Kondisi ini biasanya disebut pisah ranjang atau pisah rumah. Tujuannya supaya pasangan suami-istri yang bermasalah berat dapat mengambil jarak sejenak dan memanfaatkan waktu sendiri untuk merefleksikan apa yang sudah terjadi serta mengusahakan rekonsiliasi untuk bersatu kembali. Tetapi jika memang sulit untuk bersatu kembali, mereka diharapkan tetap menjaga kesetiaan perkawinan dengan cara tidak menikah lagi sehingga kesucian perkawinan tetap

229 Kan. 1153 § 1.

230 Kan. 1152 § 3.

231 Kan. 1153 § 2.

dipelihara, artinya tidak melakukan pernikahan di luar Gereja dan tidak hidup bersama lawan jenis yang bukan pasangan sahnya.

Perkawinan sakramen tentu mengalami jatuh bangun seperti perkawinan pada umumnya. Yang menjadikannya istimewa adalah rahmat Allah yang senantiasa menjaga keutuhan dan kesetiaan perkawinan. Dengan rahmat itu, suami-istri tidak langsung seenaknya terbawa emosi yang justru dapat memperburuk situasi dan relasi mereka. Rahmat Allah mampu membuka hati dan pikiran, mengusahakan rekonsiliasi, dan mendewasakan relasi asalkan suami-istri dengan tulus mau membangun kerjasama yang baik dan saling membuka diri.

Tindakan orang beriman dalam sakramen perkawinan adalah tanda rahmat Allah sekaligus perwujudan dari rahmat yang tak terlihat itu232. Maka menjadi jelas bahwa suami-istri katolik yang menjaga kesetiaan dalam perkawinan sama dengan mewujudnyatakan rahmat sakramen perkawinan.

Sakramen adalah tanda dan sarana rahmat Allah. Dalam sakramen perkawinan, suami-istri dalam kebersamaan sebagai satu (dwitunggal) adalah subjek yang bersama-sama menjadi tanda dan sarana kehadiran Kristus dalam hidup sehari-hari sebagai pasangan , orang tua , dan rasul awam . Sakramen ini tentu harus dilandasi kasih, sebab Allah adalah kasih dan suami-istri menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah sendiri. Suami-istri menjadi saluran rahmat bagi satu sama lain dan sesama. Dapat dikatakan rahmat itulah yang menyempurnakan cinta kasih mereka, yang membantu mereka menjalani hidup perkawinan, dan yang menyucikan mereka sebagai kesatuan anggota tubuh Kristus. Perkawinan

232 M.G. Lawler, “The Mutual Love and Personal Faith of the Spouses as the Matrix of the Sacrament of Marriage”, Worship Vol. 65, No. 4, July 1991, 339.

adalah panggilan untuk hidup dalam iman dan kasih. Suami-istri dipanggil untuk saling menyucikan dan menyelamatkan. Di sana hadir Roh Kudus yang meneguhkan iman, harapan, dan kasih dalam relasi suami-istri.

4.5 Usulan Program Pastoral Pendampingan Keluarga di Tingkat Paroki