TEO
DUA KUTUB DALAM SATU KEBANGKITAN:
PERBANDINGAN REFLEKSI TEOLOGIS KRISTIANI ATAS KEBANGKITAN MENURUT THOMAS F. TORRANCE DAN
KARL RAHNER SERTA RELEVANSINYA DALAM DISKURSUS TEOLOGIS PANDEMIK COVID-19
DI INDONESIA
Tesis
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Filsafat Keilahian
Oleh: Alfonsus Ardi Jatmiko NIM : 176312003
PROGRAM STUDI MAGISTER FILSAFAT KEILAHIAN FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2020
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ajaran kebangkitan di dalam iman Kristiani menjadi topik yang relevan dalam perdebatan teologis dari berbagai pihak. Thomas F. Torrance dan Karl Rahner menambah horison refleksi kebangkitan dari pendekatan metodologis yang berbeda untuk memperdalam perdebatan teologis tersebut. Perbedaan tersebut menghasilkan refleksi teologis yang berbeda pula.
Torrance, yang memiliki latar belakang teologi Protestan (Calvinis), menggunakan metode teologi alamiah (natural theology) untuk merefleksikan kebangkitan. Ia menekankan esensi dari objek sebagai penentu struktur rasional subjek, sehingga peristiwa kebangkitan, sebagai objek, menentukan pengetahuan akan kebangkitan itu sendiri dan Yesus, sebagai subjek di dalam peristiwa kebangkitan itu, menjadi sumber harapan dan iman umat Kristiani. Yesus pulalah, sebagai Allah yang berinkarnasi di dalam sejarah manusia, yang menjadikan peristiwa kebangkitan-Nya menjadi peristiwa historis yang sungguh bermakna.
Kebangkitan-Nya merupakan afirmasi dari Allah yang telah menerima jalan penebusan Yesus dan penolakan Allah atas dosa manusia. Maka, kebangkitan Yesus sungguh berdampak pada kebaruan eksistensi manusia di hadapan Allah.
Rahner yang berlatarbelakang teologi Katolik, sebaliknya, justru menawarkan suatu refleksi kebangkitan yang menekankan subjek. Penggunaan teologi transendental dalam merefleksikan kebangkitan menghasilkan suatu refleksi yang bertitiktolak pada kondisi konstitutif manusia sebagai makhluk historis dan transenden. Dengan titik tolak ini, ia meyakini bahwa Yesus juga mengalami kematian seperti manusia dan manusia akan mengalami kebangkitan seperti Yesus.
Harapan transendental dalam diri manusia menjadi cakrawala untuk memahami dan meyakini bahwa manusia akan mengalami kebangkitan seperti Yesus. Bahkan iman akan kebangkitan Yesus ini pun memiliki landasan yang kokoh dan diakui oleh Gereja Katolik, yaitu iman para rasul. Iman mereka tidak dapat terpisah dari iman Paskah. Kebangkitan Yesus menjadi cara Allah untuk mengkomunikasikan diri- Nya dalam sejarah keselamatan. Manusia menerima keselamatan berupa penyempurnaan eksistensinya oleh karena kebangkitan Yesus.
Dengan adanya perbedaan ini, masing-masing hanya dapat saling melengkapi sejauh ada kekurangan dari masing-masing pihak. Teologi Torrance dapat mengantisipasi subjektivitas yang dapat muncul dalam teologi Rahner dan teologi Rahner dapat mengantisipasi alineasi subjek karena peranan objek sangat kuat dalam teologi Torrance. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa teologi Kristiani bersifat plural dan ajaran Gereja dapat menjadi titik tolak dan dasar untuk mengembangkan refleksi-refleksi teologis yang dinamis dalam menanggapi perkembangan zaman.
Pluralitas dalam teologi Kristiani merupakan kekayaan yang dapat membantu umat Kristiani di Indonesia dalam merefleksikan cara mereka beriman. Dalam menghadapi pandemik Covid-19, teologi Torrance menawarkan rasionalitas yang objektif dalam bersikap dan beriman dan teologi Rahner menawarkan gagasan inklusif harapan akan keselamatan bagi para penderita Covid-19.
v
ABSTRACT
The doctrine of the Resurrection in the Christian faith is a relevant topic in theological debate for everyone. Thomas F. Torrance and Karl Rahner broaden the horizon of reflection on the Resurrection by using different methodological approaches, thus deepening theological debate. These differences produce different theological conclusions.
Torrance, who has a Protestant (Calvinist) theological background, uses natural theology to examine the Resurrection. He emphasizes the nature of the object as a determinant of the subject’s rational structure. It is the Resurrection event, as an object, which determines the knowledge of the Resurrection itself. Jesus, as the subject of the resurrection event, is the source of Christian hope and faith. Indeed, Jesus, who is incarnate God in human history, makes His Resurrection becomes substantial in history. His Resurrection is God’s affirmation in that God accepts Jesus’ redemption and God’s renunciation of human sin. Therefore, Jesus’
Resurrection causes brings about novelty in human being’s existence before God.
In contrast to Torrance, Rahner, who has a Catholic theological background, offers a reflection of the Resurrection that emphasizes the subject. The use of transcendental theology in examining the Resurrection results in the important of constitutive condition of humans as historical and transcendent beings. With this starting point, Rahner concludes that Jesus also experienced death as a human being, and Jesus’ fellow humans will experience a Resurrection just as Jesus did.
Transcendental hope in human beings becomes the horizon to understand and believe that humans will experience Jesus’ Resurrection. Indeed, faith in the Resurrection of Jesus also has a solid foundation and is recognized by the Catholic Church, namely the faith of the Apostles. Their faith cannot be separated from the Passover faith. Jesus’ Resurrection is the way God communicate himself in salvation history. Human beings receive their salvation in perfecting their existence that caused by the Resurrection of Jesus.
Although these two theological reflections are very different, each complements each other, as there are shortcomings on each side. Torrance’s theology anticipates subjectivity that can emerge in Rahner’s theology and Rahner’s theology anticipates the subject alienation because the role of objects is very strong in Torrance’s theology. Those differences show that Christian theology is plural and Church doctrine becomes a starting point and foundation for developing dynamic theological reflections to respond to contemporary developments.
Plurality in Christian theology is a treasure that can help Christians in Indonesia reflect more deeply about their way of being faithful to God. During this time of Covid-19 pandemic, Torrance’s theology offers objective rationality. Its rationality might help them to be more faithful and act rationally. Rahner’s theology offers the idea of inclusivity of salvation for Covid-19 patients.
vi
KATA PENGANTAR
Bagi banyak orang, kematian bisa menjadi hal yang menakutkan. Berbagai alasan muncul agar mereka tidak ingin cepat mati karena tentu saja hidup yang hanya satu kali ini ingin mereka manfaatkan sebaik-baiknya. Akan tetapi sampai saat ini, fenomena bunuh diri pun juga tidak mengalami penurunan. Kematian menjadi hal yang dengan mudahnya mereka lakukan demi meninggalkan permasalahan hidup.
Bagi penulis, kematian bukan menjadi hal yang menakutkan. Meskipun demikian, lantas bukan berarti penulis tidak akan menghargai kehidupan.
Kehidupan adalah suatu anugerah Allah yang luar biasa, sehingga juga perlu diisi dengan hal yang memuliakan Allah. Tepat di sinilah kehidupan juga akan semakin penuh dengan adanya kematian. Kematian menjadi hal yang memang tidak perlu ditakutkan lagi lantaran ada hal yang ditawarkan oleh Allah, yaitu kebangkitan badan dan kehidupan kekal.
Penelitian tentang kebangkitan menjadi tema pokok pada tesis ini, khususnya dalam upaya membandingkan dua teolog dari dua tradisi Kristiani yang berbeda yaitu Protestan (Calvinis) yang diwakilkan oleh Thomas F. Torrance dan Katolik yang diwakilkan oleh Karl Rahner. Tesis ini semakin menegaskan bahwa pluralitas di dalam teologi Kristiani adalah suatu kekayaan dalam teologi Kristiani.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada siapa saja yang mendukung atas terselesaikannya penulisan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Segala bentuk dukungan tentu saja sangat berpengaruh terhadap
vii
terselesaikannya penulisan tesis ini. Penulis merasakan bahwa dukungan-dukungan tersebut merupakan bentuk perhatian yang konkret terhadap diri penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan dari berbagai segi. Tentu saja diperlukan pengembangan lebih lanjut agar tesis ini menjadi semakin mendalam dan kontekstual dalam menanggapi permasalahan umat tentang eskatologi. Akhir kata, semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan iman umat Kristiani.
Yogyakarta, 14 Desember 2020
Alfonsus Ardi Jatmiko Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Diskursus Kebangkitan dalam Teologi Kontemporer ... 9
1.2.1. Perdebatan tentang Kebenaran Kebangkitan Yesus ... 10
1.2.2. Tantangan Realitas Kebangkitan di Zaman Modern ... 14
1.2.3. Dialektika Refleksi Kebangkitan Para Teolog Kontemporer ... 16
1.3. Dua Teolog yang Terpilih ... 20
1.4. Rumusan Masalah ... 29
1.5. Batasan Masalah ... 30
1.6. Tujuan Penulisan ... 31
1.7. Metodologi Penulisan... 32
1.8. Sistematika Penulisan... 35
BAB II KEBANGKITAN DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI ALAMIAH THOMAS F. TORRANCE ... 42
2.1. Jalan Panjang Sang Teolog Calvinis ... 44
2.1.1. Lahir di Tanah Misi ... 44
2.1.2. Pengaruh Tokoh-Tokoh Besar ... 45
2.1.3. Karya dan Pelayanan ... 48
2.1.4. Dialog dengan Ilmu Alam ... 52
2.2. Teologi Alamiah Thomas F. Torrance sebagai Metode Teologi ... 58
2.2.1. Teologi Alamiah Karl Barth dalam Pandangan Torrance ... 58
2.2.2. Kritik Barth atas Teologi Alamiah ... 62
2.2.3. Landasan Filosofis Teologi Alamiah Torrance ... 64
2.2.3.1. Realitas ... 64
2.2.3.2. Objektivitas ... 67
2.2.3.3. Logika ... 71
2.2.4. Penolakan Torrance Terhadap Teologi Alamiah yang Otonom ... 77
2.2.5. Teologi Alamiah sebagai Intra-Struktur Rasional Teologi ... 80
2.3. Refleksi Teologis Kebangkitan ... 84
ix
2.3.1. Kebangkitan dalam Pandangan Kitab Suci ... 87
2.3.1.1. Perjanjian Lama ... 87
2.3.1.2. Perjanjian Baru ... 90
2.3.2. Kebangkitan dan Pribadi Yesus Kristus ... 104
2.3.2.1. Kebangkitan Yesus Kristus sebagai Ketaatan Pasif dan Aktif ... 106
2.3.2.2. Relasi Kebangkitan dengan Kelahiran Kristus ... 110
2.3.3. Kebangkitan dan Karya Penebusan Yesus ... 112
2.3.3.1. Kebangkitan dan Pembenaran ... 112
2.3.3.2. Kebangkitan dan Rekonsiliasi ... 116
2.3.3.3. Kebangkitan dan Penebusan ... 121
2.3.4. Peristiwa Kodrati Kebangkitan ... 125
2.4. Peran Metode Ilmiah Ilmu Alam dalam Memahami Kebangkitan Yesus .. 136
2.5. Tali Simpul ... 142
BAB III KEBANGKITAN DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI TRANSENDENTAL KARL RAHNER ... 147
3.1. Lika-liku Kehidupan Sang Teolog Transendental ... 151
3.1.1. Keluarga sebagai Pembentuk Kesalehan ... 151
3.1.2. Panggilan Menjadi Seorang Jesuit ... 152
3.1.3. Tokoh-tokoh yang Berpengaruh dalam Perjalanan Intelektualitas Karl Rahner ... 157
3.1.4. Karya dan Pelayanan ... 161
3.1.5. Teolog Konsili Vatikan II ... 163
3.1.6. Aksi Membangun Dialog ... 165
3.1.6.1. Dialog dengan Para Ilmuwan ... 165
3.1.6.2. Dialog Ekumenisme ... 167
3.2. Teologi Transendental Karl Rahner sebagai Metode Teologi ... 168
3.2.1. Iklim Zaman di dalam Gereja ... 169
3.2.2. Karya Agung Rahner: Peletakan Gagasan Dasar Teologi Transendental ... 171
3.2.2.1. Spirit in the World ... 172
3.2.2.2. Hearers of the Word... 178
3.2.3. Menguak Teologi Transendental Karl Rahner... 186
3.2.3.1. Diartikan secara Lain ... 186
3.2.3.2. Manusia sebagai Subjek Teologi Transendental ... 188
3.2.3.3. Teologi sebagai Antropologi ... 192
3.3. Refleksi Teologis Kebangkitan ... 193
3.3.1. Kematian: Pendahulu Kebangkitan ... 196
3.3.1.1. Universalitas Kematian ... 197
x
3.3.1.2. Kematian sebagai Proses Alamiah: Keterpisahan Badan
dan Jiwa ... 199
3.3.1.3. Aspek Personal Kematian: Kematian sebagai Akhir Peziarahan Manusia ... 207
3.3.2. Harapan Transendental ... 209
3.3.2.1. Keterarahan pada Ada Futur Absolut ... 210
3.3.2.2. Harapan yang Berpijak pada Antropologi ... 213
3.3.3. Kebangkitan dalam Refleksi Karl Rahner ... 217
3.3.3.1. Cara Mengimani Kebangkitan Yesus ... 219
3.3.3.2. Pengalaman Para Rasul sebagai Dasar Iman Kebangkitan Yesus ... 222
3.3.3.3. Kebangkitan Yesus dalam Refleksi Kristologis dan Soteriologis ... 227
3.3.3.4. Badan yang Mengalami Kebangkitan ... 230
3.3.3.5. Kebangkitan pada Akhir Zaman ... 235
3.4. Tali Simpul ... 237
BAB IV OBJEK DAN SUBJEK SEBAGAI TITIK TOLAK PEMAHAMAN KEBANGKITAN DALAM REFLEKSI KEBANGKITAN TORRANCE DAN RAHNER ... 243
4.1. Kebenaran Kebangkitan Yesus: Suatu Pendekatan Epistemologis ... 247
4.1.1. Objek adalah Penentu Kebenaran ... 247
4.1.2. Kembali ke Subjek: Titik Tolak Kebenaran Kebangkitan Yesus ... 254
4.2. Harapan dan Iman: Tanggapan Manusia Terhadap Kebangkitan Yesus .... 260
4.2.1. Penolakan Subjektivitas ... 261
4.2.2. Harapan dan Iman yang Berbasis pada Pengalaman Transendental ... 263
4.3. Historisitas Kebangkitan Yesus ... 269
4.3.1. Kebangkitan Yesus yang Menyejarah ... 270
4.3.2. Sejarah Komunikasi Diri Allah dalam Sejarah Manusia ... 274
4.4. Esensi dan Makna Kebangkitan Yesus: Suatu Pendekatan Ontologis ... 278
4.4.1. Ketakterpisahan Kebangkitan dengan Inkarnasi... 278
4.4.2. Penyempurnaan Eksistensi Kemanusiaan Yesus ... 287
4.5. Dimensi Kristologis-Soteriologis Kebangkitan Yesus ... 292
4.5.1. Kebangkitan Yesus dalam Misi Penebusan Manusia ... 292
4.5.1.1. Pembenaran ... 295
4.5.1.2. Rekonsiliasi ... 297
4.5.1.3. Penebusan ... 299
xi
4.5.2. Yesus Sang ”Nabi” dan “Penyelamat Absolut” ... 300
4.6. Pluralitas yang Tak Terhindarkan ... 303
4.7. Pluralitas dalam Teologi Kristiani ... 312
4.8. Pluralitas yang Menguntungkan ... 328
4.9. Tali Simpul ... 335
BAB V PENUTUP ... 351
5.1. Rangkuman ... 353
5.2. Tanggapan Kritis atas Refleksi Teologis Torrance dan Rahner ... 371
5.2.1. Tegangan dalam Teologi Torrance ... 372
5.2.2. Dari Individualistik Menuju Sosiopolitis ... 379
5.3. Relevansi Refleksi Teologis Kebangkitan Torrance dan Rahner dalam Diskursus Teologis Pandemik Covid-19 di Indonesia ... 384
5.3.1. Iman yang Tidak Diimbangi dengan Rasionalitas ... 386
5.3.1.1. Logika Mistika yang Mengakar Kuat ... 386
5.3.1.2. Logika Mistika Baru Selama Masa Pandemik Covid-19 .. 392
5.3.1.3. Rasionalitas dalam Menghadapi Pandemik Covid-19... 394
5.3.1.4. Gereja Katolik dan Rasionalitas ... 399
5.3.2. Umat Kristiani di Indonesia Menjadi Bagian dari Pluralitas ... 403
5.3.2.1. Pluralitas sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia ... 403
5.3.2.2. Kehadiran Umat Kristiani di Indonesia dalam Pluralitas .. 408
5.3.2.3. Masyarakat Plural Indonesia Menghadapi Pandemik Covid-19 dalam Perspektif Refleksi Teologi Kebangkitan Rahner ... 414
DAFTAR PUSTAKA ... 429
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam Bahasa Latin ada adagium “hic et nunc” yang berarti “di sini dan sekarang”. Ada suatu pandangan hidup di balik maknanya, yaitu agar dapat memaknai hidup, perlulah berfokus dengan apa yang sedang dialami. Manusia tidak menjadikan pengalaman masa lalunya penghambat dalam mengembangkan diri.
Pengalaman tersebut menjadi batu loncatan untuk menjadi lebih baik. Sedangkan masa depan masih menjadi suatu hal yang terlampau jauh untuk dipikirkan. Masa depan dapat membuat manusia terbuai dengan keindahan-keindahan angan- angannya atau mimpi-mimpinya, yang belum tentu benar-benar akan terjadi. Jika ungkapan ini menjadi suatu prinsip hidup, pertanyaannya adalah apakah semua masa depan sungguh-sungguh hanya sebuah angan-angan atau mimpi-mimpi belaka sehingga tidak perlu dipikirkan bahkan digulati dalam terang iman di masa hidupnya?
Dalam ajaran Gereja Katolik, ada masa depan yang menjadi suatu janji dari Yesus, Sang Putra Allah, bagi yang percaya kepada-Nya. Janji itu berupa kehidupan kekal setelah menjalani peziarahan hidup di dunia. Manusia memiliki kehidupan
2
baru bersama Allah di surga. Gereja Katolik meyakini bahwa janji ini bukanlah menjadi suatu angan-angan atau mimpi bagi umat Katolik. Mereka meyakini bahwa apa yang disabdakan oleh Yesus, pasti benar-benar terjadi. Yang menarik tentang masa depan ini adalah iman dan harapan menjadi dasar keyakinan bahwa janji tersebut pasti terwujud di masa depan. Akan tetapi, iman dan harapan tersebut tidak dapat terlepas dari apa yang sedang dialami oleh manusia ketika ada di dunia.
Artinya apa yang terjadi saat ini dan di dunia ini sebenarnya juga memiliki keterarahan terhadap masa depan, yaitu tentang kehidupan kekal yang sudah dijanjikan oleh Allah. “Hic et nunc” tidak mencukupi untuk dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, khususnya umat Kristiani. Janji Yesus itu bukanlah merupakan suatu masa depan yang hanya berupa angan-angan atau mimpi belaka, melainkan suatu kepastian yang terus dipandang dalam terang iman dan harapan sehingga perlu terus digulati oleh manusia selama peziarahan hidupnya.
Persoalan yang muncul dalam diri penulis menanggapai hal ini adalah bagaimana orang yang masih hidup di dunia mempercayai kehidupan kekal yang hanya dialami oleh orang yang sudah meninggal, sedangkan orang yang telah meninggal itu tidak dapat mengkomunikasikan kehidupan kekal yang dialaminya sebagai pembuktikan janji Yesus secara empiris? Pada tahap inilah janji Yesus itu bukanlah janji yang hanya dapat dipahami oleh pengetahuan kodrati manusia.
Keterlibatan iman dan harapan dalam hal ini menjadi hal yang paling fundamental dan mendasar. Jika iman dan harapan ini menjadi hal yang diabaikan, orang yang beriman kepada Allah pun belum tentu akan meyakini kehidupan kekal setelah kematian.
Sebuah survei yang dikumpulkan oleh the ARDA (Association of Religion Data Archives)1 tentang kepercayaan akan kehidupan setelah kematian menunjukkan bahwa responden yang beragama Protestan meyakini hidup setelah kematian sebesar 83,5%, beragama Katolik sebesar 71,5%, beragama Yahudi sebesar 50,8%, beragama lain 77,3%, dan tidak beragama sebesar 43,1%. Sedangkan responden yang beragama Protestan namun tidak meyakini hidup setelah kematian sebesar 9,5%, beragama Katolik sebesar 15,8%, beragama Yahudi sebesar 33,8%, beragama lain sebesar 14,2%, dan tidak beragama sebesar 38,1%.
Data lain yang disusun oleh National Post, surat kabar di Kanada, menunjukkan bahwa 70% generasi milenial (18-29 tahun) mempercayai hidup setelah kematian.2 Hal menarik dari survei tersebut adalah generasi yang lebih tua memiliki prosentase lebih rendah, yaitu sebesar 66% dari generasi X (30-49 tahun), 65% dari generasi Boomers (50-69 tahun), dan 59% dari generasi Pre-Boomer (70 tahun ke atas).3 Akan tetapi, tingginya prosentase generasi milenial ini ternyata tidak diimbangi dengan kepercayaan mereka terhadap Allah. Data menunjukkan bahwa generasi milenial sebesar 66%, generasi X sebesar 72%, generasi Boomers sebesar 76%, dan generasi Pre-Boomers menjadi yang paling tinggi, yaitu 80%.4
1 _______, “Life After Death”, http://www.thearda.com/quickstats/qs_106_p.asp, 25 Juni 2020, 11.15.
2 Joseph Brean, “Millennials are More Likely to Believe in An Afterlife than are Older Generation”, https://nationalpost.com/news/canada/millennials-do-you-believe-in-life-after-life, 25 Juni 2020, 11.00.
3 Joseph Brean, “Millennials are More Likely to Believe”,
https://nationalpost.com/news/canada/millennials-do-you-believe-in-life-after-life, 25 Juni 2020, 11.00.
4 Joseph Brean, “Millennials are More Likely to Believe”,
https://nationalpost.com/news/canada/millennials-do-you-believe-in-life-after-life, 25 Juni 2020, 11.00.
4
Ketidaksinambungan hasil prosentase generasi milenial antara keyakinan hidup setelah kematian dan kepercayaan kepada Allah disebutkan oleh Reginald Bibby, seorang sosiolog di the University of Lethbridge, Kanada bahwa ini merupakan persoalan perubahan budaya dan cara pandang generasi milenial terhadap hidup spiritual mereka.5 Mereka terpengaruh budaya populer yang cenderung mengabaikan hidup keagamaan yang baik dan benar. Dengan tidak beribadah pun, mereka tidak akan menjadi lebih buruk dan masih bisa memiliki kehidupan setelah kematian.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa hidup setelah kematian masih menjadi suatu harapan bagi mereka. Terbukti dari lebih dari 50% responden tetap mempercayai kehidupan setelah kematian. Ajaran agama yang mereka yakini itu memberikan suatu ajaran yang dapat memunculkan suatu harapan di dalam hidup mereka tentang apa yang terjadi setelah kematian. Akan tetapi ajaran tentang hidup setelah kematian dari setiap agama pun juga tidak menjamin bahwa semua penganutnya secara otomatis mempercayai tentang apa yang masih menjadi misteri dalam hidup mereka, khususnya hidup setelah kematian. Adanya responden beragama yang tidak mempercayai hidup setelah kematian dan generasi milenial yang meskipun mempercayai hidup setelah kematian namun tidak memiliki iman kepada Allah adalah buktinya. Meskipun dalam sumber data tersebut tidak disebutkan hal-hal yang menyebabkan mereka tidak mempercayai hidup setelah kematian, pasti ada hal yang menyebabkan hal itu dapat terjadi. Bisa jadi, mereka
5 Joseph Brean, “Millennials are More Likely to Believe”,
https://nationalpost.com/news/canada/millennials-do-you-believe-in-life-after-life, 25 Juni 2020, 11.00.
menemui ketidakjelasan dalam ajaran agamanya maupun kebuntuan dalam memahaminya. Bahkan bisa jadi ada suatu peristiwa dalam hidup yang akhirnya membuat mereka tidak percaya akan kehidupan setelah kematian. Ini merupakan pergulatan iman yang sungguh konkret dalam mencari pengertian tentang apa yang mereka imani. Pergulatan tersebut menjadi sangat ontentik dan eksistensial karena merupakan hal yang benar-benar personal menyangkut hidup mereka.
Pergulatan iman tentang hidup setelah kematian pun penulis alami ketika menjalani tahun orientasi kerasulan di Micronesia. Pada waktu itu penulis bertugas menjadi guru agama untuk kelas IX. Materi yang diajarkan, menurut penulis, adalah materi dasar ajaran iman Katolik. Materi tersebut dibuat dengan skema seperti di dalam katekismus, yaitu berdasarkan kerangka doa “Aku Percaya”. Materi semacam ini cukup membantu para murid, karena tidak semua dari mereka yang beragama Katolik mengetahui soal ajaran dasar iman Katolik itu sendiri. Selain itu, skema tersebut dapat mempermudah bagi murid-murid yang beragama Kristen Protestan yang mempelajarinya. Mereka dapat mengenal iman dari agama lain dan mengetahui perbedaan teologis yang mendasar antara Protestan dan Katolik.
Pengalaman mengajar agama di Micronesia ini membalikkan pandangan iman penulis tentang hidup setelah kematian. Pada awalnya penulis tidak peduli dengan kehidupan setelah kematian. Kematian berarti selesainya peziarahan hidup di dunia.
Apa yang terjadi setelah kematian, penulis tidak pedulikan. Bagi penulis, apa yang terjadi setelah kematian adalah hal yang tidak jelas dan tidak pasti. Hal-hal seperti apakah penulis masuk surga atau neraka, bagaimana caranya masuk surga atau neraka, apakah benar-benar dibangkitkan pada saat Yesus datang kedua kalinya,
6
dan bagaimana proses kebangkitan terjadi bagi penulis merupakan hal yang penulis tidak pedulikan. Singkatnya, penulis apatis terhadap apa yang terjadi setelah kematian. Akan tetapi pada saat mengajar tema kehidupan setelah kematian, penulis diingatkan kembali tentang ajaran iman Katolik yang mengajarkan adanya harapan setelah kematian yaitu kehidupan kekal setelah kematian.
Dalam iman Katolik diajarkan bahwa setelah kebangkitan badan Yesus akan datang yang kedua kalinya, yaitu ketika Ia hadir sebagai hakim pada hari penghakiman terakhir. Yesus akan memisahkan orang-orang yang akan masuk ke surga dan ke neraka, seperti Ia memisahkan domba dan kambing (Mat 25: 31-46).
Mereka para “domba” akan hidup kekal bersama Allah dan para “kambing” akan hidup selamanya di neraka.
Pengetahuan sederhana ini meyakinkan penulis bahwa janji Yesus bukanlah suatu utopia belaka melainkan pasti akan terjadi, yaitu ketika Ia akan datang untuk kedua kalinya. Keyakinan penulis berubah dengan seketika karena iman dan harapan penulis terhadap apa yang telah disabdakan oleh Yesus sendiri. Bahkan Yesus sendirilah yang menjadi model dan acuan kebangkitan badan dalam ajaran Gereja. Ia pun menyebut diri-Nya “Akulah kebangkitan dan hidup” sebagai penegasan bahwa dengan beriman kepada-Nya, penulis juga akan mengalami kebangkitan seperti yang akan dialami oleh Yesus. Meskipun tidak terlalu mendalam, sekurang-kurangnya pengetahuan iman yang sederhana itu membawa penulis pada iman akan kehidupan kekal setelah kematian.
Setelah mengetahui ajaran iman Gereja ini, penulis semakin bergulat dengan keyakinan kebangkitan badan itu sendiri. Pada saat Yesus datang kedua kalinya
(Mat 24: 3, 27, 37, 39), Ia akan membangkitkan orang-orang mati (Yoh 5: 22). Akan tetapi semua itu tidak ada yang tahu kapan kebangkitan badan pasti akan terjadi.
Bahkan Yesus pun juga tidak tahu secara pasti kapan hal itu akan terjadi (Mark 13:
32). Soal kebangkitan orang mati sendiri, Injil banyak mengisahkannya sebagai mukjizat kebangkitan orang mati yang dilakukan oleh Yesus. Dalam Injil Yohanes misalnya, Lazarus dibangkitkan oleh Yesus (Yoh 11: 1-45). Akan tetapi bukan kebangkitan seperti itu yang penulis maksudkan, karena ia pun akan mengalami kematiannya kembali. Yang penulis maksudkan adalah kebangkitan yang mengarah pada kehidupan kekal, yaitu kebangkitan seperti yang dialami oleh Yesus sendiri. Kematian-Nya tidak mengikat-Nya lagi, namun hidup-Nyalah yang telah dipermuliakan melalui dan dalam kebangkitan-Nya. Kebangkitan Yesus inilah yang diyakini oleh Gereja sebagai model kebangkitan yang dialami oleh manusia pada akhir zaman. Ajaran Gereja sudah menjelaskan soal kebangkitan badan dengan cukup baik. Meskipun demikian, realitas kebangkitan badan seperti apa yang akan dialami oleh manusia pada akhir zaman tidaklah terlalu dijelaskan secara detail, bahkan di dalam Kitab Suci sekalipun. Bukti-bukti empiris juga tidak tersedia untuk membuktikan realitas Yesus yang telah bangkit. Kitab Suci hanya menjelaskan kisah-kisah penampakan Yesus yang telah bangkit sebagai kisah yang mengarahkan pembaca untuk beriman kepada Yesus yang sudah bangkit dan Allah yang telah membangkitkan Yesus. Dengan demikian, realitas kebangkitan badan yang mengacu pada realitas kebangkitan Yesus pun masih tetap menjadi suatu misteri.
8
Misteri di dalam kebangkitan badan ini dapat mengundang rasa keingintahuan yang mendalam. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang terjadi setelah kematian, pada umumnya, dan tentang kebangkitan, pada khususnya, pun pernah dilontarkan oleh orang muda. Beberapa kali penulis mendapatkan pertanyaan tentang hal tersebut dari mereka. Bahkan salah satu yang menanyakannya adalah orang muda Muslim. Ia menanyakan hal tersebut kepada penulis, agar ia juga mengerti kehidupan setelah kematian dari sudut pandangan iman Kristiani. Dalam hal ini penulis hanya menekankan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang bernada eskatologis ini bukanlah sesuatu yang ada di atas langit; tidak pernah dijangkau oleh banyak orang. Mereka tetap tertarik mengetahui lebih dalam tentang hal yang masih menjadi misteri bagi mereka; hal-hal yang sebenarnya sudah dijanjikan dan diajarkan oleh Yesus sendiri, namun bukti empiris dari janji tersebut belum bisa diketahui. Lebih daripada itu, ini merupakan persoalan yang eksistensial bagi manusia pada umumnya dan bagi penulis khususnya, yaitu persoalan yang menyangkut keberadaan manusia sebagai makhluk fana. Manusia akan mengalami kematian yang menjadi keniscayaan dalam hidupnya dan hidup setelah kematian tetap menjadi bagian dalam perziarahan panjang hidup baru manusia menuju kesatuannya dengan Allah. Maka tema kebangkitan, sebagai bagian yang diyakini oleh umat Kristiani akan apa yang terjadi setelah manusia mengalami kematian, mengusik penulis untuk diangkat menjadi suatu penelitian dalam bentuk tesis.
Tema ini tetap relevan diangkat dalam diskursus ilmiah sebagai bagian dari pencarian makna hidup manusia yang terarah pada masa depan. Secara khusus
penulis berminat untuk mendalaminya lebih lanjut dengan meneliti refleksi teologis kebangkitan yang dikembangkan oleh para teolog kontemporer.
1.2. Diskursus Kebangkitan dalam Teologi Kontemporer
Pada bagian ini, penulis memaparkan persoalan yang digulati oleh para teolog tentang kebangkitan. Pemaparan persoalan kebangkitan ini memberikan suatu cakrawala yang lebih luas tentang duduk perkara tema kebangkitan zaman ini, sehingga penulisan tesis ini juga dipandang dalam konteks persoalan kebangkitan tersebut. Pemaparan ini memang tidak dapat menjelaskan secara keseluruhan tentang persoalan kebangkitan. Penulis hanya mengambil beberapa permasalahan kebangkitan yang dapat merepresentasikan permasalahan pokok dari kebangkitan dalam sejarah perkembangan teologi Kristiani.
Semakin meluasnya berita tentang kebangkitan Yesus, semakin meningkat pula persoalan kebenaran peristiwa tersebut. Para ahli dari berbagai bidang keilmuan kemudian berargumen dengan sudut pandang yang bermacam-macam guna mengkaji lebih mendalam persoalan tersebut. Munculnya berbagai macam pandangan terhadap kebangkitan Yesus juga menandai bahwa diskursus kebangkitan ini bersinggungan dengan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, bagian ini hanya menyajikan sebagian kecil dari sekian banyak dan luasnya cakupan perdebatan kebangkitan yang melibatkan banyak ahli. Bagian ini pun juga
10
menjadi literature review permasalahan kebangkitan yang berkembang sesuai zamannya.
1.2.1. Perdebatan tentang Kebenaran Kebangkitan Yesus
Salah satu permasalahan yang ada dalam ajaran kebangkitan badan adalah realitas badan yang dibangkitkan. Ajaran iman Katolik mengatakan bahwa kebangkitan badan selalu mengacu pada apa yang dialami oleh kebangkitan Yesus.
Artinya realitas badan manusia itu akan mengalami hal sama seperti badan Yesus.
Jika badan Yesus pasca kebangkitan-Nya adalah badan yang sama seperti ketika sebelum wafat-Nya,6 demikianlah yang akan dialami oleh manusia. Dalam Kitab Suci tertulis, “Rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku” (Luk 24: 39). Akan tetapi badan Yesus pasca kebangkitan-Nya ini merupakan badan spiritual seperti yang disebutkan oleh Paulus, “yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah” (1Kor 15: 44). Thomas Aquinas memahami badan spiritual yang ditulis Paulus tersebut adalah badan yang termuliakan oleh jiwa karena jiwa menguasai badan.7
Perkataan Paulus tentang kebangkitan dalam suratnya kepada jemaat di Korintus sangatlah tegas dan lugas. Akan tetapi di dalam bahasa yang tegas dan lugas itu,
6 Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q. 54, a. 2 dan 3, Fathers of the English Dominican Province (penerjemah), New Advent, https://www.newadvent.org/summa/4054.htm.
7 Aquinas, Summa Theologiae Supp III, q. 85, a. 1, Fathers of the English Dominican Province (penerjemah), New Advent, https://www.newadvent.org/summa/5085.htm.
masih ada hal yang memancing pertanyaan-pertanyaan untuk didalami lebih lanjut, bahkan bisa jadi pertanyaan tersebut menjadi suatu permasalahan baru tentang makna kebangkitan di zaman ini. Di zaman Paulus, permasalahan kebangkitan salah satunya terletak pada perdebatan tentang realitas kebangkitan yang dialami oleh Yesus antara Paulus dan orang-orang yang tidak mempercayai kebangkitan karena adanya pengaruh alam pikiran Helenistik yang berpegang pada pandangan dualistik badan-jiwa.8
Permasalahan tentang kebangkitan terus berkembang seturut semakin meluasnya dan banyaknya para pengikut Kristus. Gerald O’Collins menyebutkan bahwa ada dua pandangan yang berlawanan dengan ajaran kebangkitan yang muncul pada abad II dan dua pandangan yang berlawanan lainnya yang muncul pada zaman modern.9 Dua pandangan yang melawan kebangkitan pada abad II adalah pandangan yang menyatakan bahwa para murid mengalami halusinasi dan menyamakan kematian dan kebangkitan Yesus seperti dewa-dewa. Pertama, halusinasi. Kematian Yesus dengan cara penyaliban merupakan suatu aib dan hal yang sangat memalukan bagi para murid. Mereka tidak menyangka bahwa gurunya akan mengalami suatu kematian yang begitu keji. Maka mereka pun dinilai berhalusinasi untuk memulihkan nama baik Yesus yang wafat di kayu salib itu dengan kisah-kisah penampakan. O’Collins sendiri menyebutkan ada beberapa tokoh yang mendukung argumen ini, misalnya Celsus, seorang filsuf dari abad II,
8 Ted Peters, “Resurrection: The Conceptual Challenge”, dalam Ted Peters, dkk. (eds.), Resurrection: Theological and Scientific Assessments (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing.
Co., 2002), p. 301.
9 Gerald O’Collins, “The Resurrection of Jesus: Four Contemporary Challenges”, dalam Catholic Theological Review, volume VI, 1984, p. 5-10.
12
dan didukung lagi oleh tokoh modern, David Friedrich Strauss (1808-1874).
Mereka menyebutkan bahwa halusinasi inilah yang memicu para murid pada kesadaran baru dan mengubah sikap para murid setelah Yesus wafat.10 Bahkan Joel Carmichael menyebutkan bahwa halusinasi pertama kali dialami oleh Petrus dan kemudian menyebar kepada para murid yang lainnya.11
Kedua, kematian dan kebangkitan Yesus sama seperti yang dialami oleh dewa- dewa. Dalam kepercayaan kuno, Dewa Isis, Dionisius, Osiris, atau Adonis diyakini menjelma dalam hidup barunya setelah mengalami kehancuran dan kematian di waktu musim dingin. Karena Yesus mengalami kematian pada saat musim dingin, kebangkitan Yesus setelah kematiannya dianggap sama seperti yang dialami oleh dewa-dewa tersebut. O’Collins menilai bahwa tidak ada kisah yang dapat disejajarkan antara kebangkitan Yesus dan pemujaan Adonis12. Yesus mati dengan tujuan jelas, yaitu demi umat manusia dan untuk menghapus dosa manusia, sedangkan Adonis mati karena ia berburu babi hutan. Para memuja Adonis pun hanya meyakini bahwa dengan memuja Adonis, mereka akan mendapatkan kesehatan dan kesejahteraan di dunia.
Dua pandangan lainnya yang muncul di zaman modern adalah swoon theory dan perubahan yang dialami oleh para murid. Pertama, swoon theory. Pandangan ini menyatakan bahwa ketika di salib, Yesus tidaklah wafat. Ia tetap hidup, namun dikuburkan. Di dalam kubur-Nya itu, Ia pun sadar dan keluar dari kubur untuk
10 O’Collins, “The Resurrection of Jesus“, p. 9.
11 O’Collins, “The Resurrection of Jesus“, p. 9.
12 Dalam mitologi kuno, Adonis merupakan seorang pemuda yang sangat dicintai oleh Aphrodite.
Ketika ia berburu babi hutan, ia akhirnya mati. Akan tetapi setiap tahun ia diijinkan untuk kembali ke Aphrodite dari alam baka selama enam bulan. O’Collins, “The Resurrection of Jesus“, p. 6.
‘menampaki’ para murid-Nya. Pandangan ini diyakini oleh Duncan Derrett, Robert Graves, D. H. Lawrence, George Moore, Barbara Thiering, dan bahkan disebutkan dalam kisah Yesus dari sudut pandang orang Muslim.13 Pandangan ini sangatlah tidak sesuai dengan apa yang sudah tertulis di Injil, Surat St. Paulus, dan kerigma para jemaat perdana. Di dalamnya tertulis bahwa Yesus mengalami kematian yang nyata karena Ia disalibkan dan kemudian dimakamkan setelah Ia wafat (Bdk. 1Kor 15: 4; Mark 15: 37, 42-47). Bahkan ada bukti lain yang menyatakan kematian Yesus. Sejarawan Yahudi, Flavius Josephus (37-100), dalam bukunya Antiquities 18: 63-64 menyebutkan bahwa Yesus disalibkan atas perintah Pilatus; sejarawan Roma, Tacitus, dalam Annals 15: 44, menyebutkan bahwa nama “Orang Kristen”
berasal dari pendiri sekte, yaitu Kristus, yang dijatuhi hukuman oleh Ponsius Pilatus sewaktu pemerintahan Kaisar Tiberius; dalam Talmud Babilonia (Sanhedrin 43a) disebutkan “Yeshu”, adalah orang yang menyesatkan orang-orang Israel dengan
“sihir”-Nya, namun kemudian Ia tergantung di salib sehari sebelum Paskah.14 Kedua, kebangkitan merupakan suatu peristiwa yang berakibat pada para murid Yesus. Paul Winter menyebutkan bahwa dalam pandangan ini, kebangkitan justru tidak memiliki pengaruh pada Yesus, bahkan Yesus tidak mengalami suatu transformasi dalam diri-Nya.15 Perubahan yang ditekankan akibat adanya kebangkitan justru ada pada diri para murid. Sekali lagi, pandangan ini sangat berlawanan dengan apa yang sudah tertulis di dalam Perjanjian Baru yang menyebutkan bahwa kebangkitan memang berdampak nyata pada eksistensi dan
13 O’Collins, “The Resurrection of Jesus”, p. 5.
14 O’Collins, “The Resurrection of Jesus”, p. 5.
15 O’Collins, “The Resurrection of Jesus”, p. 7.
14
badan Yesus.16 Misalnya “Ia telah dibangkitkan” (1Kor 15: 4), “Yesus inilah yang dibangkitkan Allah” (Kis 2:32), “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit” (Luk 24: 34).
1.2.2. Tantangan Realitas Kebangkitan di Zaman Modern
Ted Peters dalam “Resurrection: The Conceptual Challenge” menyebutkan salah satu permasalahan modern yang dihadapi dalam memaknai kebangkitan, khususnya terkait dengan perkembangan teknologi.17 Ia mengutip apa yang diutarakan oleh Frank Tipler, seorang fisikawan,18 yaitu konsep cybernetic immortality. Dalam konsep ini, jiwa sama halnya dengan kesadaran yang dipahami sebagai suatu bagian penting di dalam otak yang memiliki kompleksitasnya. Secara biologis, tubuh manusia ini merupakan suatu “mesin” yang memiliki identitasnya masing-masing.
Identitas tersebut dapat ditemukan dalam suatu pola-pola yang sudah tersedia di dalam otak manusia. Jika pola-pola tersebut dapat diduplikasi dengan teknologi komputer, maka ilmuwan dapat menduplikasi dan menyimpan jiwa manusia.
Dengan konsep semacam ini, kebangkitan pun hanya dimaknai sebagai hasil dari suatu proses evolusioner di masa depan dan kehidupan pun dipahami sebagai proses informasi yang dapat dipegang kendalinya. Dengan proses semacam itu, manusia dapat menciptakan suatu lingkungan suprafisis untuk eksistensinya ketika dunia
16 O’Collins, “The Resurrection of Jesus”, p. 7.
17 Ted Peters, “Resurrection”, p. 297-321.
18 Ia memiliki suatu gagasan dan rancangan berupa badan virtual masa depan (future virtual body), yaitu suatu replika badan fisik asli manusia dengan meneruskan proses-proses informasi yang ada di dalam kesadaran manusia melalui teknologi komputerisasi.
akan mengalami kehancuran.19 Penyimpanan proses informasi yang ada di dalam tubuh manusia sebagai esensi dari kesadaran manusia dibutuhkan selama proses penggandaan, khususnya dalam kerangka evolusi manusia. Dengannya manusia akan memiliki badan masa depan yang menjadi tiruan dari badan lamanya. Yang membedakan adalah badan masa depan itu tidak memiliki suatu cacat dan lebih sempurna. Frank Tipler pun mengutip apa yang dikatakan Paulus tentang “badan spiritual”. Badan masa depan yang merupakan hasil duplikasi itulah yang dimaksudkan Frank Tipler sebagai “badan spiritual”.20 Bahkan ia menjamin bahwa ada keberlanjutan identitas antara badan masa depan dengan badan lamanya.
Identitas badan lamanya ada pada proses informasi yang sudah diambil dan ditempatkan pada badan masa depannya. Maka badan masa depan merupakan replika diri yang sesungguhnya dari badan lama.
Untuk menanggapi cybernetic immortality, Ted Peters menggunakan argumen dari John Polkinghorne. Polkinghorne meyakini bahwa teologi Kristiani tidak mendasarkan pada optimisime evolusioner seperti yang diutarakan oleh Frank Tipler.21 Teologi Kristiani justru mendasarkan harapannya pada Allah sebagai realitas tertinggi dan bukan pada ciptaan-Nya. Dengan pendasaran yang nyata ini, artinya teologi Kristiani menyadari adanya peranan Allah dalam ciptaan-Nya.
Bahkan terkait dengan hidup setelah kematian, Allah diyakini bertindak atas kebangkitan orang mati. Transformasi yang ada di dalam kebangkitan orang mati merupakan tindakan Allah semata.
19 Frank J. Tripler, The Physics of Immortality (New York: Doubleday, 1994), p. 225.
20 Tripler, The Physics, p. 242.
21 John Polkinghorne, Science and Christian Belief (London: SPCK, 1994), p. 162-163 dalam Peters,
“Resurrection”, p. 318.
16
Polkinghorne menekankan bahwa penciptaan baru yang terjadi di dalam kebangkitan tidak akan terjadi karena adanya proses evolusi yang didasarkan dari apa yang ada di dalam ciptaan yang ada di dunia. Transformasi yang terjadi itu merupakan tindakan Allah semata. Oleh karena itu, kebangkitan manusia hanya disebabkan adanya kekuatan ilahi. Dengan dasar inilah, Polkinghorne kemudian menyatakan bahwa harapan Kristiani adalah tentang kematian dan kebangkitan yang disebabkan karena kekuatan ilahi dan bukan berdasarkan pada kekuatan manusia sepertia yang dikatakan Tipler.22
Permasalahan-permasalahan ini hanya sebagian dari sekian banyaknya permasalahan teologis yang dihadapi oleh teologi Kristiani tentang kebangkitan.
Permasalahan-permasalahan itu timbul seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia yang menyesuaikan dengan konteks zamannya. Ini menunjukkan bahwa persoalan kebangkitan akan terus mendapatkan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan konteks zamannya. Persoalan kebangkitan menjadi tidak pernah berhenti pada tataran ajaran dogmatis, melainkan menjadi semakin dinamis dengan adanya tantangan-tantangan baru dan refleksi yang semakin mendalam.
1.2.3. Dialektika Refleksi Kebangkitan Para Teolog Kontemporer
Munculnya berbagai macam refleksi teologis kebangkitan menjadi suatu pluralitas teologi Kristiani. Para teolog kontemporer memiliki refleksi yang tajam
22 Polkinghorne, Science, p. 163, dalam Peters, “Resurrection”, p. 319.
dan personal tentang pandangan antara badan dan jiwa, baik saat kematian maupun kebangkitan sesuai dengan metode teologi yang digunakannya.23 Karl Rahner (1904-1984) menyebutkan bahwa pada saat kematian, jiwa manusia akan terpisah dari badan dan jiwa akan kembali pada kesatuannya dengan semesta.24 Ia melawan gagasan bahwa setelah kematian jiwa tidak memiliki relasi yang dekat dengan materi. Oleh karenanya ia pun menegaskan bahwa selama kematian, jiwa tidak menjadi akosmis, melainkan pankosmis, yang secara teologis dapat dipertahankan gagasannya.25
Berkaitan dengan badan, teolog lain, Joseph Ratzinger (lahir 1927), menyebutkan bahwa kata soma dalam Bahasa Yunani dapat berarti tidak hanya
“badan” namun juga “diri”. Selain itu, soma dapat juga berarti sarx, yaitu badan di dunia, historis, dan kimiawi, fisis, dan inderawi, namun juga disebut nafas atau roh.
Ia pun menginterpretasikan bahasa Paulus bahwa badan dan roh adalah saling berlawanan, namun diartikan lebih-lebih sebagai badan berdaging (fleshy body) dan badan dalam ragam roh (body in the fashion of the spirit).26
Dalam menangapi gagasan Rahner dalam On Theology of Death, Ratzinger menghubungkan kebangkitan dengan materi, dalam artian bahwa “jika kosmos merupakan sejarah dan jika materi menunjukkan sebuah peristiwa dalam sejarah roh, lalu tidak ada suatu hal sebagai kombinasi materi dan roh yang abadi dan netral,
23 Bernard P. Prusak, “Bodily Resurrection in Catholic Perspectives”, dalam Theological Studies, vol. 61 (2000), p. 64-105.
24 Karl Rahner, On the Theology of Death, C.H. Henkey (penerjemah) (New York: Herder and Herder, 1972), p. 18.
25 Rahner, On the Theology of Death, p. 19-20.
26 Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity, terjemahan J. R. Foster (New York: Herder &
Herder, 1970), p. 276-277 dalam Prusak, “Bodily Resurrection”, p. 73.
18
namun sebuah “kompleksitas” akhir di mana dunia menemukan omega dan kesatuannya….ada sebuah hubungan akhir antara materi dan roh di mana kepadatan manusiawi dan dunia terwujud”.27
Di lain pihak, Schillebeeckx (1914-2009) memandang kebangkitan badan sebagai kebangkitan pribadi (resurrection of the person) termasuk jasmani (corporeality). Yang dimaksud jasmani artinya adalah “orkestra yang terlihat, melodi personal, tentang seorang pribadi yang mana orang lain menikmatinya”28. Pandangan ini tidak terlepas dari pandangan bahwa individu disebutnya sebagai sarx, body atau flesh di Injil. Atas dasar ini, ia menyebutkan bahwa pencapaian keselamatan dan kebahagiaan seorang individu dalam masyarakat yang sempurna (Kerajaan Allah) sebagai kebangkitan badan, yaitu pribadi manusia termasuk jasmani kemanusiaannya.29
Menanggapi gagasan Schillebeeckx sebelumnya, Gerald O’Collins (lahir 1932) memiliki perbedaan pandangan. Ia lebih menyoroti peristiwa kebangkitan sebagai sebuah peristiwa historis yang memiliki keterkaitannya dengan para murid yang Yesus tampaki. Kisah-kisah penampakan Yesus setelah kebangkitan-Nya dalam Perjanjian Baru merupakan sebuah bahasa penglihatan (the language of sight).
Artinya, adanya perjumpaan yang objektif dengan Yesus yang sudah bangkit memicu iman para murid akan Yesus dan selanjutnya ada dorongan untuk
27 “If the cosmos is history and if matter represents a moment in the history of spirit, then there is no such thing as an eternal, neutral combination of matter and spirit but a final ‘complexity’ in which the world finds its omega and unity. . . . [T]here is a final connection between matter and spirit in which the density of [humanity] and of the world is consummated.” Ratzinger, Introduction to Christianity, p. 277-278 dalam Prusak, “Bodily Resurrection”, p.72.
28 “The visible orchestration, the personal melody, of a person which others also enjoy.” Edward Schilleebeeckx, Church: The Human Story of God, John Bowden (penerjemah) (New York:
Crossroad, 1990), p. 133.
29 Prusak, “Bodily Resurrection”, p. 74.
mewartakan kebangkitan-Nya. Ia menolak bahwa peristiwa penampakan hanya sebagai sebuah penglihatan internal belaka namun juga sebuah penglihatan eksternal, karena para murid secara objektif benar-benar melihat Yesus yang sudah bangkit.
Dalam bukunya Jesus Risen, O’Collins menyatakan bahwa semua materi, termasuk semua materi manusia, “memiliki sesuatu hal yang spiritual tentang materi”30 dan ia menambahkan bahwa “semua material atomik di alam semesta setidaknya memungkinkan adanya materi manusia.”31 Maka kebangkitan berarti personalisasi dan spiritualisasi materi dan bukan pemusnahan materi. Melalui Roh Kudus, roh manusia akan menguasai materi secara penuh. Badan akan mengungkapkan dan mengabdi roh manusia yang termuliakan.32
Dengan melihat secara sekilas konteks permasalahan refleksi kebangkitan dari beberapa teolog tersebut, menjadi lebih jelas bahwa permasalahan tentang kebangkitan masih terus terbuka untuk diperbincangkan, dipikirkan, bahkan direfleksikan kembali. Apalagi adanya perkembangan ilmu alam dan teknologi zaman ini dapat mempengaruhi arah gerak refleksi teologis kebangkitan. Artinya bahwa pemaknaan akan permasalahan kebangkitan masih tetap relevan untuk dibahas.
30 “Has something spiritual about it.” Gerarld O’Collins, Jesus Risen: An Historical, Fundamental and Systematic Examination of Christ’s Resurrection (New York: Paulist, 1987), p. 181.
31 “All the atomic material in our universe is at least potentially human matter.” O’Collins, Jesus Risen, p. 226.
32 O’Collins, Jesus Risen, p. 225–226 n. 4. dalam Prusak, “Bodily Resurrection”, p. 80.
20
1.3. Dua Teolog yang Terpilih
Perkembangan ilmu alam dan teknologi zaman ini dapat menguji kebenaran iman yang dipegang oleh Gereja. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kebangkitan pun diartikan secara baru maknanya oleh Frank Tipler. Permasalahan ini hanya salah satu dari sekian banyak masalah lain yang dapat muncul karena adanya perkembangan ilmu alam dan teknologi. Terhadap permasalahan ini, penulis memilih seorang teolog Protestan, yaitu Thomas F. Torrance agar dapat merefleksikan kebangkitan dengan kacamata teologi yang juga dipengaruhi oleh perspektif metode ilmu alam. Selain sebagai seorang teolog, ia juga memiliki minat terhadap ilmu alam dan menggunakan metode teologi yang terpengaruh oleh suatu metode ilmiah ilmu alam dalam berteologi. Refleksi teologis Torrance ini akan dibandingkan dengan refleksi teologis Karl Rahner. Ia adalah seorang teolog Katolik yang menaruh minat dengan filsafat modern. Refleksi teologis Rahner dapat memberikan suatu cara pandang lain, yaitu filsafat modern dalam memaknai kebangkitan.
Melalui tesis ini, penulis menawarkan suatu refleksi teologi berdasarkan perbandingan refleksi teologis kebangkitan dari Torrance dan Rahner. Karakteristik kuat yang muncul dari perbandingan ini adalah tradisi teologi kedua teolog yang sangat berbeda. Torrance mewarisi tradisi teologi Calvinis, salah satu denominasi Protestan dan Rahner mewarisi tradisi teologi Katolik. Dalam hal ajaran iman, keduanya memiliki perbedaan yang cukup kuat sehingga berpengaruh terhadap cara mereka merefleksikan kebangkitan. Selain itu, metode teologi yang berbeda, yaitu
teologi alamiah (natural theology) yang digunakan oleh Torrance dan teologi transendental yang digunakan oleh Rahner menambah perbedaan cara pandang mereka dalam merefleksikan kebangkitan. Perbandingan ini menjadi semakin khas karena dari metode teologi yang berbeda itu ternyata juga dipengaruhi oleh filsafat barat modern yang mereka gunakan. Ini artinya mereka tidak memiliki antipati terhadap filsafat barat modern, melainkan mendialogkannya dan menjadikannya sebagai suatu pisau analisis dalam berteologi.
Torrance berteologi dengan metode teologi alamiah. Ia merekonstruksi teologi alamiah tradisional yang menekankan otonomi pengetahuan kodrati manusia.
Sebaliknya, dengan teologi alamiah barunya itu, ia menekankan objek sebagai penentu struktur rasional subjek. Dalam berteologi, yang dimaksudkan objek itu adalah Allah yang mewahyukan diri-Nya dalam pribadi Yesus. Artinya Allah sendirilah yang mencurahkan rahmat-Nya kepada manusia sehingga ia dapat mengetahui Allah dengan benar.
Molnar menyebutkan bahwa Torrance ingin menjelaskan teologi sebagai ilmu dan teologi itu merupakan sebuah pemikiran yang tidak akan didasarkan pada pilihan bebas, melainkan menempatkannya di bawah tuntutan kodrat sebuah objek yang diselidiki.33 Maka metode penyelidikan ilmiah ketat yang dipahami dengan cara ini bisa jadi diterapkan juga untuk teologi Kristen karena menghargai fakta bahwa objek iman Kristen adalah objek yang benar-benar unik yang tidak dapat diamati secara langsung di dalam alam yang diciptakan.34 Melalui metode teologi
33 Molar, Thomas, p. 9.
34 Molar, Thomas, p. 9.
22
alamiah, Torrance sebenarnya ingin menjawab persoalan bagaimana manusia bisa memahami pewahyuan diri Allah dengan pengetahuan akan Allah yang dimilikinya. Torrance ingin menawarkan sebuah teologi yang dibangun melalui struktur teologi rasional. Kemudian ia mensistesiskan teologi alamiah yang memiliki struktur rasional dengan teologi pewahyuan yang memiliki material teologis. Sintesis ini kemudian ia sebut sebagai sains teologis (theological science).
Inilah yang menjadi signifikansi dari teologi alamiah Torrance. Ia tidak hanya melebarkannya keluar, melainkan juga ke dalam mengenai isu-isu metode teologis.35
Dengan menggunakan teologi alamiah, Torrance merefleksikan tema kebangkitan. Ia memaknai kebangkitan sebagai peristiwa historis aktual dalam hidup Yesus. Artinya bahwa kebangkitan dapat dibandingkan dengan peristiwa kelahiran dan kematian-Nya. Kebangkitan pun juga dipandang sebagai sebuah peristiwa penebusan yang tergenapi. Dalam pandangan ini, kebangkitan dipahami dalam kerangka “penciptaan baru” dari suatu dunia yang dapat mengalami kehancuran, kematian, dan kerusakan. Sebagai peristiwa historis, kerangka pikir yang digunakan bukanlah kerangka berpikir historis sekular, melainkan pola pikir historis baru. Pola pikir historis baru semacam ini membutuhkan Roh Kudus untuk memahami proses kebangkitan Yesus. Tidak mungkin kebangkitan dipahami tanpa iman. Kebangkitan Yesus pun menjadi peristiwa sejarah yang bermakna karena Yesus yang memiliki kodrat manusia dan ilahi serta tindakan-Nya yang khas. Ia
35 Alexander J.D. Irving, “Natural Theology as The Intra-Structure of Theological Science: T. F.
Torrance’s Proposals for Natural Theology in the Context of the Synthesis of Rational Structure and Material Content”, dalam Participatio, vol. 7, 2017, p. 100.
menambahkan bahwa kebangkitan sebagai peristiwa historis dipahami juga sebagai tindakan penebusan sehingga kebangkitan berarti bahwa Yesus benar-benar mengalami kematian dan turun ke tempat penantian. Dengan kebangkitan-Nya itulah kehidupan manusia dipulihkan menjadi “manusia baru”.
Sebagai peristiwa historis, kemudian, ia menghubungkan peristiwa kebangkitan dengan makam kosong Yesus. Menurutnya kekosongan makam menjadi sebuah bukti kuat bahwa kebangkitan merupakan peristiwa historis dan tidak dapat dihilangkan untuk pertumbuhan iman para murid.36 Dengan menekankan kebangkitan sebagai peristiwa historis, ia dapat menjawab kritik dari aliran doketisme mengenai paham kebangkitan Yesus yang berkeyakinan bahwa selama kematian, Yesus seolah-olah hanya tidur selama tiga hari dan tidak mati, kemudian kebangkitan-Nya dipandang sebagai peristiwa bangun dari tidurnya. Pandangan doketisme itu ditolaknya dan ia berpendapat bahwa Yesus benar-benar mengalami kematian dan kebangkitan tubuh-Nya merupakan sebuah fakta dalam sejarah.
Torrance mengatakan bahwa selama berada di dunia, Yesus mengkosongkan diri-Nya dan menjadi manusia pada umumnya, kecuali dalam hal dosa. Kematian- Nya merupakan bentuk nyata bahwa Yesus menjadi manusia seutuhnya. Di saat kematian-Nyalah, Ia justru tidak menghadirkan keilahian-Nya untuk menghalau kematian-Nya, namun Ia memperkenankan kodrat manusiawinya terpenuhi dalam bentuk kematian itu. Ia pun kemudian dibangkitkan oleh Allah. Kebangkitan-Nya menjadi suatu bentuk penolakan atas dosa yang menghancurkan manusia dan bentuk persetujuan Allah yang telah menerima tugas perutusan Yesus untuk
36 Bdk. Torrance, Space, p. 86.
24
menebus dosa manusia dengan darah dan hidup-Nya. Kebangkitan-Nya membawa- Nya pada kemuliaan diri-Nya sebagai Putra Allah dan manusia pun juga mengalami dampak yang sangat nyata berupa kemenangannya atas dosa yang menyebabkan kehancuran.
Torrance sendiri memahami peristiwa kebangkitan Yesus sebagai hal yang tidak selaras dengan hukum alam. Ia memandang bahwa kebangkitan Yesus merupakan murni tindakan Allah atas diri Yesus untuk menghancurkan dosa dan kematian untuk keuntungan manusia. Oleh karena itu, Torrance sendiri mengatakan bahwa peristiwa kebangkitan ini merupakan peristiwa yang misterius atau mencenggangkan. Ilmu alam pun akan kesulitan untuk mengakuinya sebagai peristiwa yang berdasarkan hukum-hukum alam. Peristiwa kebangkitan pun menjadi sebuah peristiwa yang dapat mengganggu tatanan alami, karena kebangkitan merupakan tindakan Allah. Hukum-hukum alam tidak bisa diterapkan dalam peristiwa kebangkitan itu.
Pemikiran Torrance ini kemudian akan dibandingkan oleh penulis dengan pemikiran Karl Rahner. Ia merupakan teolog yang mengulas masalah teologi dengan bertolak dari antropologi sebagai dasar teologinya, yaitu teologi transendental.37 Ia merefleksikan permasalahan teologi, termasuk tema kebangkitan, dengan menggunakan pisau analisis teologi transendental, khususnya prasyarat-prasyarat apriori yang memungkinkan manusia dapat terbuka atas pewahyuan Allah.
37 Francis Schüssler Fiorenza, “Systematic Theology: Task and Methods”, dalam Francis Schussler Fiorenza dan John P. Galvin (ed.), Systematic Theology: Roman Catholic Perspectives, second edition (Minneapolis: Fortress Press, 2011), p. 31.
Kematian manusia menjadi awal dari refleksi kebangkitan Rahner. Dalam hal kematian, Rahner tidak menolak pandangan Gereja tentang kematian yang dimaknai sebagai terpisahnya jiwa dari badan dan jiwa akan tinggal bersama dengan Allah. Ia menambahkan refleksinya itu bahwa setelah jiwa terpisah dari badan, jiwa masih memiliki relasi dengan materi di dunia. Itulah yang disebut Rahner sebagai relasi pankosmis. Melalui kematian ini, manusia sudah mengalami suatu kepenuhan totalitas hidupnya dalam kebebasannya di hadapan Allah. Ini merupakan pilihan fundamental manusia. Ia secara aktif menyambut kematiannya dalam totalitas hidup sebagai bentuk pilihan moral.
Kematian yang disambut dengan daya aktif manusia itu membawanya pada sebuah harapan tentang apa yang terjadi setelah kematian. Dengan harapan tersebut, manusia akan bergerak melampaui kematiannya, yaitu mengarahkan dirinya kepada Allah Sang Masa Depan Absolut. Dengan harapan itu pula, manusia mendapatkan suatu cakrawala untuk memahami kebangkitan yang terjadi di dalam diri Yesus dan yang akan terjadi pada dirinya. Ia bertindak dengan kebebasannya dalam berpengharapan akan kebangkitan. Yang paling penting lagi adalah bagaimana prasyarat apriori yang ada dalam diri manusia juga berperan dalam memahami bahwa dalam kebangkitan itu ada dimensi eskatologis dan harapan yang menyertainya.
Kebangkitan, menurut Rahner, dialami secara penuh oleh Yesus. Kebangkitan Yesus sudah mengalami kepenuhannya pada saat Ia bangkit dari kematian.
Kebangkitan tersebut bukanlah kebangkitan badan material melainkan badan spiritual. Bertitiktolak atas pengalaman para rasul yang ditampaki oleh Yesus yang
26
telah bangkit dan adanya makam kosong, iman para rasul akan kebangkitan itu tidak dapat dipisahkan dari peristiwa kebangkitan itu sendiri.38 Gereja Katolik pun mendasarkan iman kebangkitan Yesus dengan pengalaman iman para rasul dan bukan pada penampakan mistik Yesus selain dari para rasul.
Untuk memaknai kebangkitan badan, pertama-tama Rahner mendasarkan refleksinya dari pengalaman kebangkitan Yesus sendiri. Menurutnya, kebangkitan badan memang tidak hanya merupakan sebuah peristiwa yang akan terjadi di masa depan, melainkan peristiwa yang sebetulnya sudah ada melalui Kristus. Peristiwa itu benar-benar sebuah fakta nyata, yang tetap “datang” hanya karena kebangkitan harus diwujudnyatakan dalam manusia.39 Maka dasar harapan akan penyelamatan ini akan menjadi sesuatu hal yang tak diragukan lagi dan benar jika kepercayaan dalam penyelamatan manusia atas harapan ini menjadi nyata dalam kebangkitan badan itu sendiri.40 Kebangkitan badan yang dijanjikan-Nya kepada para pengikut- Nya menjadi dimensi harapan yang menghantar manusia pada iman akan kepastian kehidupan kekal setelah kematian.41
Kebangkitan badan Kristus itu terkait erat dengan hidup, kematian, dan keseluruhan gambaran mengenai diri-Nya. Ia pun sadar bahwa apa saja yang dilakukan-Nya ada dalam motif penebusan manusia sebagai kesetiaan dan ketaatan- Nya kepada Bapa-Nya. Ia mengalami kematian sehingga Ia masuk ke dalam
38 Bdk. Karl Rahner, “Experiencing Easter”, dalam Theological Investigations, vol. VII, David Bourke (penerjemah) (London: Darton, Longman & Todd, 1971),pp.159-168.
39 Karl Rahner, The Resurrection of the Body, Rodelinde Albrecht (penerjemah) (New York: St. Paul Publications, 1966), p. 13.
40 Bdk. Rahner, The Resurrection, p. 13.
41 Bdk. “’Resurrection’ means, therefore, the termination and perfection of the whole man before God, which gives him ‘eternal life’”. Karl Rahner, “The Resurrection of the Body”, dalam Theological Investigations, vol. II, Karl-H. Kruger (penerjemah) (Baltimor: Helicon Press, 1963), p. 211.
kebangkitan-Nya. Kebangkitan-Nya memberikan penegasan akan kebenaran kematian-Nya secara definitif, final, dan tetap dari eksistensi historis-Nya.
Karya hidup-Nya, sebagai manusia, memang harus diakhiri dengan kematian karena ini menjadi dimensi historis manusia. Jika hal ini tidak terjadi, maka hidup- Nya di dunia tidak mengalami kepenuhannya.42 Maka kematian-Nya memang sebuah keniscayaan. Lalu dalam rangka untuk menebus dosa manusia, kematian- Nya bukan menjadi sebuah akhir. Kebangkitan menjadi kelanjutan setelah kematian-Nya. Jika Ia tidak mengalami kebangkitan, maka Ia tidak dapat menjadi pribadi yang mengawali Kerajaan Allah di dunia nyata.43 Tidak ada cara lain selain dengan cara kebangkitan-Nya.
Pandangannya tentang kebangkitan juga dipahami dalam kerangka besar sejarah dunia yang akan menuju sebuah akhir. Ia menekankan bahwa akhir dunia dan sejarah “tidak akan menjadi sebuah penghentian belaka, ‘tidak lagi’ dari dunia itu sendiri, namun keterlibatan di dalam kesempurnaan roh”.44 Artinya ia lebih menekankan bagaimana kesempurnaan sejarah pada saat mengalami kepenuhannya, yaitu pada saat setelah mengalami kematian. Kesejarahan dunia itu dipengaruhi oleh finalitas personal dan mencapai kepenuhan nyata dan pengungkapan eksplisit bersama dengan penyempurnaan dunia.45
Penjelasan singkat tentang refleksi teologi kebangkitan dari Torrance dan Rahner ini di satu sisi menambah cakrawala baru tentang kebangkitan selain yang sudah dijelaskan di dalam ajaran Gereja. Dua teolog ini memberikan suatu refleksi
42 Bdk. Rahner, The Resurrection, p. 15.
43 Bdk. Rahner, The Resurrection, p. 15.
44 Rahner, “The Resurrection”, p. 212-213, dalam Prusak, “Bodily Resurrection”, p. 67.
45 Prusak, “Bodily Resurrection”, p. 67.
28
yang memiliki titik tolak yang berbeda, yaitu objek menjadi titik tolak Torrance dan subjek menjadi titik tolak Rahner. Dari situlah kemudian mereka mengembangkan refleksinya itu sehingga dapat memperdalam makna kebangkitan itu sendiri dan umat Kristiani pun dapat mengobati keingintahuannya tentang kebangkitan.
Dari refleksi teologis Torrance dan Rahner ini, penulis menemukan bahwa ada kesamaan dan perbedaan. Kesamaan itu ada pada pribadi Yesus yang telah bangkit sebagai model kebangkitan yang akan dialami manusia dan mereka memaknai kebangkitan yang tidak terlepas dari dimensi soteriologi dalam diri manusia.
Perbedaan refleksi teologis ini dapat dilihat ketika refleksi teologis ini direfleksikan berdasarkan metode teologi yang berbeda pula. Dari metode teologi yang berbeda ini, penulis dapat memetakan tema perbandingan berdasarkan pokok filosofis dan teologis dalam refleksinya itu, yaitu pendekatan epistemologis yang mendasari tema harapan-iman dan historisitas serta pendekatan ontologis yang mendasari dimensi kristologis-soteriologis.
Tema-tema perbandingan tersebut merupakan hasil dari penelitian komparatif filosofis-teologis dari sumber-sumber literatur yang ditulis oleh Torrance, Rahner dan para penulis lainnya. Perbandingan filosofis-teologis ini akan dapat memberikan suatu tawaran bagi umat Kristiani yang haus akan kepastian tentang kebangkitan yang mengandung suatu misteri di dalamnya. Ini dapat menjadi sumbangan baru dalam ranah teologi, khususnya tentang kebangkitan yang dikaji dengan dua metode teologi yang berbeda.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang pembuatan tesis ini, penulis memiliki pertanyaan mendasar, yaitu apa persamaan dan perbedaan yang signifikan antara pemikiran Torrance dan Rahner tentang kebangkitan di dalam tulisan-tulisannya?
Apakah signifikansi perbedaan tersebut dalam teologi Kristiani? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dibutuhkan pula pertanyaan-pertanyaan pendukung agar pembahasan untuk menjawab pertanyaan dasar semakin komprehensif. Terlebih dahulu penulis bertanya, apa refleksi Torrance dan Rahner tentang kebangkitan?
Bagaimana pengaruh teologi alamiah bagi Torrance dan teologi transendental bagi Rahner sebagai metode teologi terhadap refleksinya itu?
Untuk mempertajam pertanyaan mendasar di atas, penulis memunculkan pertanyaan berkaitan dengan harapan dan iman, yaitu bagaimana refleksi kebangkitan dari masing-masing teolog dapat berpengaruh terhadap harapan dan iman umat di Indonesia, khususnya di masa pandemik Covid-19? Adanya perbedaan metode teologi kedua teolog tersebut, mengundang penulis untuk bertanya, apakah ada kemungkinan dialog antara dua refleksi tersebut? Pertanyaan ini menjadi relevan karena Torrance menggunakan teologi alamiah yang terpengaruh oleh metode ilmiah ilmu alam merefleksikan makna kebangkitan dan Rahner menggunakan teologi transendental dalam memaknai kebangkitan.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: refleksi teologis kebangkitan Torrance dan Rahner memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu terletak pada titik tolak mereka dalam berteologi. Torrance