Perkembangan ilmu alam dan teknologi zaman ini dapat menguji kebenaran iman yang dipegang oleh Gereja. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kebangkitan pun diartikan secara baru maknanya oleh Frank Tipler. Permasalahan ini hanya salah satu dari sekian banyak masalah lain yang dapat muncul karena adanya perkembangan ilmu alam dan teknologi. Terhadap permasalahan ini, penulis memilih seorang teolog Protestan, yaitu Thomas F. Torrance agar dapat merefleksikan kebangkitan dengan kacamata teologi yang juga dipengaruhi oleh perspektif metode ilmu alam. Selain sebagai seorang teolog, ia juga memiliki minat terhadap ilmu alam dan menggunakan metode teologi yang terpengaruh oleh suatu metode ilmiah ilmu alam dalam berteologi. Refleksi teologis Torrance ini akan dibandingkan dengan refleksi teologis Karl Rahner. Ia adalah seorang teolog Katolik yang menaruh minat dengan filsafat modern. Refleksi teologis Rahner dapat memberikan suatu cara pandang lain, yaitu filsafat modern dalam memaknai kebangkitan.
Melalui tesis ini, penulis menawarkan suatu refleksi teologi berdasarkan perbandingan refleksi teologis kebangkitan dari Torrance dan Rahner. Karakteristik kuat yang muncul dari perbandingan ini adalah tradisi teologi kedua teolog yang sangat berbeda. Torrance mewarisi tradisi teologi Calvinis, salah satu denominasi Protestan dan Rahner mewarisi tradisi teologi Katolik. Dalam hal ajaran iman, keduanya memiliki perbedaan yang cukup kuat sehingga berpengaruh terhadap cara mereka merefleksikan kebangkitan. Selain itu, metode teologi yang berbeda, yaitu
teologi alamiah (natural theology) yang digunakan oleh Torrance dan teologi transendental yang digunakan oleh Rahner menambah perbedaan cara pandang mereka dalam merefleksikan kebangkitan. Perbandingan ini menjadi semakin khas karena dari metode teologi yang berbeda itu ternyata juga dipengaruhi oleh filsafat barat modern yang mereka gunakan. Ini artinya mereka tidak memiliki antipati terhadap filsafat barat modern, melainkan mendialogkannya dan menjadikannya sebagai suatu pisau analisis dalam berteologi.
Torrance berteologi dengan metode teologi alamiah. Ia merekonstruksi teologi alamiah tradisional yang menekankan otonomi pengetahuan kodrati manusia.
Sebaliknya, dengan teologi alamiah barunya itu, ia menekankan objek sebagai penentu struktur rasional subjek. Dalam berteologi, yang dimaksudkan objek itu adalah Allah yang mewahyukan diri-Nya dalam pribadi Yesus. Artinya Allah sendirilah yang mencurahkan rahmat-Nya kepada manusia sehingga ia dapat mengetahui Allah dengan benar.
Molnar menyebutkan bahwa Torrance ingin menjelaskan teologi sebagai ilmu dan teologi itu merupakan sebuah pemikiran yang tidak akan didasarkan pada pilihan bebas, melainkan menempatkannya di bawah tuntutan kodrat sebuah objek yang diselidiki.33 Maka metode penyelidikan ilmiah ketat yang dipahami dengan cara ini bisa jadi diterapkan juga untuk teologi Kristen karena menghargai fakta bahwa objek iman Kristen adalah objek yang benar-benar unik yang tidak dapat diamati secara langsung di dalam alam yang diciptakan.34 Melalui metode teologi
33 Molar, Thomas, p. 9.
34 Molar, Thomas, p. 9.
22
alamiah, Torrance sebenarnya ingin menjawab persoalan bagaimana manusia bisa memahami pewahyuan diri Allah dengan pengetahuan akan Allah yang dimilikinya. Torrance ingin menawarkan sebuah teologi yang dibangun melalui struktur teologi rasional. Kemudian ia mensistesiskan teologi alamiah yang memiliki struktur rasional dengan teologi pewahyuan yang memiliki material teologis. Sintesis ini kemudian ia sebut sebagai sains teologis (theological science).
Inilah yang menjadi signifikansi dari teologi alamiah Torrance. Ia tidak hanya melebarkannya keluar, melainkan juga ke dalam mengenai isu-isu metode teologis.35
Dengan menggunakan teologi alamiah, Torrance merefleksikan tema kebangkitan. Ia memaknai kebangkitan sebagai peristiwa historis aktual dalam hidup Yesus. Artinya bahwa kebangkitan dapat dibandingkan dengan peristiwa kelahiran dan kematian-Nya. Kebangkitan pun juga dipandang sebagai sebuah peristiwa penebusan yang tergenapi. Dalam pandangan ini, kebangkitan dipahami dalam kerangka “penciptaan baru” dari suatu dunia yang dapat mengalami kehancuran, kematian, dan kerusakan. Sebagai peristiwa historis, kerangka pikir yang digunakan bukanlah kerangka berpikir historis sekular, melainkan pola pikir historis baru. Pola pikir historis baru semacam ini membutuhkan Roh Kudus untuk memahami proses kebangkitan Yesus. Tidak mungkin kebangkitan dipahami tanpa iman. Kebangkitan Yesus pun menjadi peristiwa sejarah yang bermakna karena Yesus yang memiliki kodrat manusia dan ilahi serta tindakan-Nya yang khas. Ia
35 Alexander J.D. Irving, “Natural Theology as The Intra-Structure of Theological Science: T. F.
Torrance’s Proposals for Natural Theology in the Context of the Synthesis of Rational Structure and Material Content”, dalam Participatio, vol. 7, 2017, p. 100.
menambahkan bahwa kebangkitan sebagai peristiwa historis dipahami juga sebagai tindakan penebusan sehingga kebangkitan berarti bahwa Yesus benar-benar mengalami kematian dan turun ke tempat penantian. Dengan kebangkitan-Nya itulah kehidupan manusia dipulihkan menjadi “manusia baru”.
Sebagai peristiwa historis, kemudian, ia menghubungkan peristiwa kebangkitan dengan makam kosong Yesus. Menurutnya kekosongan makam menjadi sebuah bukti kuat bahwa kebangkitan merupakan peristiwa historis dan tidak dapat dihilangkan untuk pertumbuhan iman para murid.36 Dengan menekankan kebangkitan sebagai peristiwa historis, ia dapat menjawab kritik dari aliran doketisme mengenai paham kebangkitan Yesus yang berkeyakinan bahwa selama kematian, Yesus seolah-olah hanya tidur selama tiga hari dan tidak mati, kemudian kebangkitan-Nya dipandang sebagai peristiwa bangun dari tidurnya. Pandangan doketisme itu ditolaknya dan ia berpendapat bahwa Yesus benar-benar mengalami kematian dan kebangkitan tubuh-Nya merupakan sebuah fakta dalam sejarah.
Torrance mengatakan bahwa selama berada di dunia, Yesus mengkosongkan diri-Nya dan menjadi manusia pada umumnya, kecuali dalam hal dosa. Kematian-Nya merupakan bentuk nyata bahwa Yesus menjadi manusia seutuhnya. Di saat kematian-Nyalah, Ia justru tidak menghadirkan keilahian-Nya untuk menghalau kematian-Nya, namun Ia memperkenankan kodrat manusiawinya terpenuhi dalam bentuk kematian itu. Ia pun kemudian dibangkitkan oleh Allah. Kebangkitan-Nya menjadi suatu bentuk penolakan atas dosa yang menghancurkan manusia dan bentuk persetujuan Allah yang telah menerima tugas perutusan Yesus untuk
36 Bdk. Torrance, Space, p. 86.
24
menebus dosa manusia dengan darah dan hidup-Nya. Kebangkitan-Nya membawa-Nya pada kemuliaan diri-membawa-Nya sebagai Putra Allah dan manusia pun juga mengalami dampak yang sangat nyata berupa kemenangannya atas dosa yang menyebabkan kehancuran.
Torrance sendiri memahami peristiwa kebangkitan Yesus sebagai hal yang tidak selaras dengan hukum alam. Ia memandang bahwa kebangkitan Yesus merupakan murni tindakan Allah atas diri Yesus untuk menghancurkan dosa dan kematian untuk keuntungan manusia. Oleh karena itu, Torrance sendiri mengatakan bahwa peristiwa kebangkitan ini merupakan peristiwa yang misterius atau mencenggangkan. Ilmu alam pun akan kesulitan untuk mengakuinya sebagai peristiwa yang berdasarkan hukum-hukum alam. Peristiwa kebangkitan pun menjadi sebuah peristiwa yang dapat mengganggu tatanan alami, karena kebangkitan merupakan tindakan Allah. Hukum-hukum alam tidak bisa diterapkan dalam peristiwa kebangkitan itu.
Pemikiran Torrance ini kemudian akan dibandingkan oleh penulis dengan pemikiran Karl Rahner. Ia merupakan teolog yang mengulas masalah teologi dengan bertolak dari antropologi sebagai dasar teologinya, yaitu teologi transendental.37 Ia merefleksikan permasalahan teologi, termasuk tema kebangkitan, dengan menggunakan pisau analisis teologi transendental, khususnya prasyarat-prasyarat apriori yang memungkinkan manusia dapat terbuka atas pewahyuan Allah.
37 Francis Schüssler Fiorenza, “Systematic Theology: Task and Methods”, dalam Francis Schussler Fiorenza dan John P. Galvin (ed.), Systematic Theology: Roman Catholic Perspectives, second edition (Minneapolis: Fortress Press, 2011), p. 31.
Kematian manusia menjadi awal dari refleksi kebangkitan Rahner. Dalam hal kematian, Rahner tidak menolak pandangan Gereja tentang kematian yang dimaknai sebagai terpisahnya jiwa dari badan dan jiwa akan tinggal bersama dengan Allah. Ia menambahkan refleksinya itu bahwa setelah jiwa terpisah dari badan, jiwa masih memiliki relasi dengan materi di dunia. Itulah yang disebut Rahner sebagai relasi pankosmis. Melalui kematian ini, manusia sudah mengalami suatu kepenuhan totalitas hidupnya dalam kebebasannya di hadapan Allah. Ini merupakan pilihan fundamental manusia. Ia secara aktif menyambut kematiannya dalam totalitas hidup sebagai bentuk pilihan moral.
Kematian yang disambut dengan daya aktif manusia itu membawanya pada sebuah harapan tentang apa yang terjadi setelah kematian. Dengan harapan tersebut, manusia akan bergerak melampaui kematiannya, yaitu mengarahkan dirinya kepada Allah Sang Masa Depan Absolut. Dengan harapan itu pula, manusia mendapatkan suatu cakrawala untuk memahami kebangkitan yang terjadi di dalam diri Yesus dan yang akan terjadi pada dirinya. Ia bertindak dengan kebebasannya dalam berpengharapan akan kebangkitan. Yang paling penting lagi adalah bagaimana prasyarat apriori yang ada dalam diri manusia juga berperan dalam memahami bahwa dalam kebangkitan itu ada dimensi eskatologis dan harapan yang menyertainya.
Kebangkitan, menurut Rahner, dialami secara penuh oleh Yesus. Kebangkitan Yesus sudah mengalami kepenuhannya pada saat Ia bangkit dari kematian.
Kebangkitan tersebut bukanlah kebangkitan badan material melainkan badan spiritual. Bertitiktolak atas pengalaman para rasul yang ditampaki oleh Yesus yang
26
telah bangkit dan adanya makam kosong, iman para rasul akan kebangkitan itu tidak dapat dipisahkan dari peristiwa kebangkitan itu sendiri.38 Gereja Katolik pun mendasarkan iman kebangkitan Yesus dengan pengalaman iman para rasul dan bukan pada penampakan mistik Yesus selain dari para rasul.
Untuk memaknai kebangkitan badan, pertama-tama Rahner mendasarkan refleksinya dari pengalaman kebangkitan Yesus sendiri. Menurutnya, kebangkitan badan memang tidak hanya merupakan sebuah peristiwa yang akan terjadi di masa depan, melainkan peristiwa yang sebetulnya sudah ada melalui Kristus. Peristiwa itu benar-benar sebuah fakta nyata, yang tetap “datang” hanya karena kebangkitan harus diwujudnyatakan dalam manusia.39 Maka dasar harapan akan penyelamatan ini akan menjadi sesuatu hal yang tak diragukan lagi dan benar jika kepercayaan dalam penyelamatan manusia atas harapan ini menjadi nyata dalam kebangkitan badan itu sendiri.40 Kebangkitan badan yang dijanjikan-Nya kepada para pengikut-Nya menjadi dimensi harapan yang menghantar manusia pada iman akan kepastian kehidupan kekal setelah kematian.41
Kebangkitan badan Kristus itu terkait erat dengan hidup, kematian, dan keseluruhan gambaran mengenai diri-Nya. Ia pun sadar bahwa apa saja yang dilakukan-Nya ada dalam motif penebusan manusia sebagai kesetiaan dan ketaatan-Nya kepada Bapa-ketaatan-Nya. Ia mengalami kematian sehingga Ia masuk ke dalam
38 Bdk. Karl Rahner, “Experiencing Easter”, dalam Theological Investigations, vol. VII, David Bourke (penerjemah) (London: Darton, Longman & Todd, 1971),pp.159-168.
39 Karl Rahner, The Resurrection of the Body, Rodelinde Albrecht (penerjemah) (New York: St. Paul Publications, 1966), p. 13.
40 Bdk. Rahner, The Resurrection, p. 13.
41 Bdk. “’Resurrection’ means, therefore, the termination and perfection of the whole man before God, which gives him ‘eternal life’”. Karl Rahner, “The Resurrection of the Body”, dalam Theological Investigations, vol. II, Karl-H. Kruger (penerjemah) (Baltimor: Helicon Press, 1963), p. 211.
kebangkitan-Nya. Kebangkitan-Nya memberikan penegasan akan kebenaran kematian-Nya secara definitif, final, dan tetap dari eksistensi historis-Nya.
Karya hidup-Nya, sebagai manusia, memang harus diakhiri dengan kematian karena ini menjadi dimensi historis manusia. Jika hal ini tidak terjadi, maka hidup-Nya di dunia tidak mengalami kepenuhannya.42 Maka kematian-Nya memang sebuah keniscayaan. Lalu dalam rangka untuk menebus dosa manusia, kematian-Nya bukan menjadi sebuah akhir. Kebangkitan menjadi kelanjutan setelah kematian-Nya. Jika Ia tidak mengalami kebangkitan, maka Ia tidak dapat menjadi pribadi yang mengawali Kerajaan Allah di dunia nyata.43 Tidak ada cara lain selain dengan cara kebangkitan-Nya.
Pandangannya tentang kebangkitan juga dipahami dalam kerangka besar sejarah dunia yang akan menuju sebuah akhir. Ia menekankan bahwa akhir dunia dan sejarah “tidak akan menjadi sebuah penghentian belaka, ‘tidak lagi’ dari dunia itu sendiri, namun keterlibatan di dalam kesempurnaan roh”.44 Artinya ia lebih menekankan bagaimana kesempurnaan sejarah pada saat mengalami kepenuhannya, yaitu pada saat setelah mengalami kematian. Kesejarahan dunia itu dipengaruhi oleh finalitas personal dan mencapai kepenuhan nyata dan pengungkapan eksplisit bersama dengan penyempurnaan dunia.45
Penjelasan singkat tentang refleksi teologi kebangkitan dari Torrance dan Rahner ini di satu sisi menambah cakrawala baru tentang kebangkitan selain yang sudah dijelaskan di dalam ajaran Gereja. Dua teolog ini memberikan suatu refleksi
42 Bdk. Rahner, The Resurrection, p. 15.
43 Bdk. Rahner, The Resurrection, p. 15.
44 Rahner, “The Resurrection”, p. 212-213, dalam Prusak, “Bodily Resurrection”, p. 67.
45 Prusak, “Bodily Resurrection”, p. 67.
28
yang memiliki titik tolak yang berbeda, yaitu objek menjadi titik tolak Torrance dan subjek menjadi titik tolak Rahner. Dari situlah kemudian mereka mengembangkan refleksinya itu sehingga dapat memperdalam makna kebangkitan itu sendiri dan umat Kristiani pun dapat mengobati keingintahuannya tentang kebangkitan.
Dari refleksi teologis Torrance dan Rahner ini, penulis menemukan bahwa ada kesamaan dan perbedaan. Kesamaan itu ada pada pribadi Yesus yang telah bangkit sebagai model kebangkitan yang akan dialami manusia dan mereka memaknai kebangkitan yang tidak terlepas dari dimensi soteriologi dalam diri manusia.
Perbedaan refleksi teologis ini dapat dilihat ketika refleksi teologis ini direfleksikan berdasarkan metode teologi yang berbeda pula. Dari metode teologi yang berbeda ini, penulis dapat memetakan tema perbandingan berdasarkan pokok filosofis dan teologis dalam refleksinya itu, yaitu pendekatan epistemologis yang mendasari tema harapan-iman dan historisitas serta pendekatan ontologis yang mendasari dimensi kristologis-soteriologis.
Tema-tema perbandingan tersebut merupakan hasil dari penelitian komparatif filosofis-teologis dari sumber-sumber literatur yang ditulis oleh Torrance, Rahner dan para penulis lainnya. Perbandingan filosofis-teologis ini akan dapat memberikan suatu tawaran bagi umat Kristiani yang haus akan kepastian tentang kebangkitan yang mengandung suatu misteri di dalamnya. Ini dapat menjadi sumbangan baru dalam ranah teologi, khususnya tentang kebangkitan yang dikaji dengan dua metode teologi yang berbeda.