Bagian awal tesis, Bab I, menjadi pintu masuk pada metode dan isi pokok pembahasan. Bagian ini sering disebut sebagai pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, metode penulisan, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
36
Di Bab II, pengalaman hidup, metode teologi dan refleksi teologis kebangkitan dari Torrance menjadi pokok pembahasan. Pada bagian metode teologi, penulis akan menjelaskan landasan filosofis, kritik terhadap teologi alamiah tradisional dan rekonstruksi teologi alamiah yang mendasarkan pada objek pada dirinya sendiri, sehingga struktur rasional subjek ditentukan oleh objek tersebut. Dalam teologi, objek yang dimaksudkan adalah Allah yang mewahyukan diri-Nya kepada manusia dalam diri Yesus. Dengan metode ini, Torrance merefleksikan kebangkitan.
Yesus memiliki signifikansi dalam makna kebangkitan, yaitu Ia sebagai pribadi manusia seutuhnya dan memiliki kodrat ilahi. Dari titik tolak inilah, kebangkitan Yesus memiliki makna kristologis, soteriologis, dan eskatologis. Makna kristologis kebangkitan ada pada sikap Yesus terhadap perutusan yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu ketaatan pasif dan aktif. Dalam kerangka karya penebusan itu, kebangkitan kemudian menjadi suatu afirmasi dari Allah atas karya Yesus di dunia dan sekaligus bentuk penolakan Allah terhadap dosa-dosa manusia. Makna soteriologis kebangkitan adalah berupa pembebasan manusia dibebaskan dari derita kematian yang disebabkan karena dosa-dosanya. Ia mengalami suatu pembaruan eksistensi, yaitu menjadi manusia yang dilahirkan kembali di hadapan Allah.
Makna eskatologis kebangkitan ini erat terkait dengan penciptaan baru yang disebabkan adanya kebangkitan Yesus, yaitu dunia baru dan waktu baru akan tercipta dan tersedia bagi pada pengikut Kristus yang setia.
Refleksi teologis Rahner akan dijelaskan di Bab III dengan didahului kisah hidup dan metode teologi yang digunakan Rahner. Rahner merefleksikan kebangkitan dengan menggunakan teologi transendental yang memandang manusia sebagai
kesatuan antropologis antara historis dan transenden. Dengan historisitasnya, manusia terhubung dengan dunia melalui spasial-temporal dan pengalaman aktualnya, termasuk pengalaman akan Allah. Dengan transendentalitasnya, manusia mampu melampaui keterbatasan historisnya untuk membuka diri terhadap pewahyuan Allah sebagai bentuk komunikasi diri Allah kepadanya.
Teologi transendental ini menjadi pisau analisis terhadap kebangkitan yang direfleksikan oleh Rahner. Ia memulai refleksinya itu dengan merefleksikan kematian. Kematian dianggapnya sebagai bagian totalitas manusia yang merupakan ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Dari kematian, Rahner beralih pada harapan transendental sebagai cakrawala untuk memahami kebangkitan. Adanya harapan transendental menjadi sebuah sikap alternatif untuk beriman terhadap apa yang akan terjadi pada kehidupan setelah kematian.
Refleksi kematian dan harapan transendental ini diterapkan di dalam refleksi kebangkitan Yesus. Kematian Yesus menjadi peristiwa yang membawa-Nya masuk pada kebangkitan. Kebangkitan Yesus ini kemudian dipahami oleh para rasul sebagai dasar iman Paskah. Iman mereka tidak dapat dipisahkan dari kebangkitan yang dialami oleh Yesus sendiri. Yesus yang hadir di dalam sejarah manusia juga memiliki dampak signifikan pada sejarah manusia, yaitu kebangkitan yang akan dialami oleh manusia. Manusia dan dunia mengalami penyempurnaan berkat adanya kebangkitan Yesus. Kondisi badan manusia yang telah bangkit memiliki kondisi yang berbeda dengan kondisi badan sebelum kematian.
Bab IV adalah bab yang mana penulis akan membandingkan pemikiran pokok kebangkitan dari kedua teolog. Penulis membagi perbandingan tersebut
38
berdasarkan lima tema besar yaitu pendekatan epistemologis, harapan-iman, historisitas kebangkitan, pendekatan ontologis dan dimensi kristologis-soteriologis.
Pertama, pendekatan epistemologis. Torrance mendasarkan pada objek yang menentukan struktur rasional subjek, yaitu Allah yang mewahyukan diri-Nya dalam diri Yesus dan Rahner mendasarkan pada kondisi konstitutif manusia sebagai subjek yang terbuka terhadap pewahyuan Allah.
Kedua, harapan-iman. Bagi Torrance, Yesus Kristus yang telah bangkit menjadi sumber harapan dan iman dan tidak sumber-sumber lainnya. Bagi Rahner, harapan-iman ini memiliki pendasaran kuat pada harapan-iman yang muncul dari para rasul yang pada waktu itu mengalami langsung penampakan Yesus dan makam Yesus yang kosong. Iman para rasul ini tidak terpisahkan dari peristiwa kebangkitan Yesus karena peristiwa kebangkitan Yesus menjadi objek iman yang meneguhkan iman para rasul itu sendiri.
Ketiga, historisitas. Torrance menilai bahwa kebangkitan Yesus memang benar-benar terjadi dalam sejarah. Selain itu peristiwa kebangkitan Yesus ini menjadi sangat penting di dalam sejarah karena subjek, yaitu Yesus, merupakan pribadi yang istimewa. Rahner memiliki posisi yang berbeda. Manusia akan mengalami apa yang dialami oleh Yesus dalam kematian dan kebangkitan karena manusia berada di dalam sejarah dunia yang juga merupakan sejarah komunikasi diri Allah sekaligus sejarah pewahyuan Allah.
Keempat, pendekatan ontologis. Torrance memulai refleksinya dengan melihat pribadi Yesus yang merupakan Putra Allah yang berinkarnasi. Inkarnasi membawa Yesus pada kefanaan dunia berupa kematian, akan tetapi justru kefanaan itu
membawa-Nya pada kebangkitan untuk menyelamatkan manusia. Allah bertindak di dalam kebangkitan Yesus itu sebagai bentuk persetujuan-Nya atas karya penebusan Putra-Nya dan merupakan penolakan atas keberdosaan manusia. Rahner memaknainya secara lain lagi. Kondisi Yesus yang telah bangkit itu mengalami perubahan radikal dan hanya dapat dipahami melalui harapan dan iman yang ada di dalam diri manusia. Kebangkitan Yesus lebih diartikan sebagai hidup Yesus yang telah mencapai kebenaran akhir dan tidak akan pernah berubah lagi karena kematian-Nya ada di dalam kebebasan dan ketaatan-Nya. Kebangkitan Yesus ini akan berdampak pada keselamatan manusia berupa pembaruan eksistensi manusia.
Kelima, kristologis-soteriologis. Torrance menjelaskannya dalam kaitannya dengan motif penebusan Yesus dalam bentuk ketaatan pasif dan aktif Yesus. Selain itu kebangkitan Yesus itu berdampak pada pembenaran, rekonsiliasi dan penebusan manusia. Di dalam refleksi Rahner, dimensi kristologis-soteriologis merupakan bagian dari sejarah dunia. Ia melihat Yesus yang menjadi bagian dari sejarah dunia;
Ia mengalami kematian sebagai satu kesatuan dengan kebangkitan. Kebenaran tentang kebangkitan Yesus tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan hidup Yesus selama di dunia. Oleh karenanya, Ia disebut sebagai “Nabi” dan “Penyelamat Absolut”
Kelima tema ini kemudian ditanggapi oleh penulis dengan menunjukkan bahwa dua refleksi teologis yang berbeda ini merupakan wujud pluralitas teologi Kristiani.
Keduanya mewarisi tradisi Kristiani yang berbeda, yaitu dari Protestan dan Katolik, sehingga masing-masing memiliki paradigma refleksi yang berbeda pula. Pluralitas dalam teologi Kristiani ini menjadi suatu kekayaan yang menjadikan teologi tidak
40
berhenti pada ajaran dogmatis Gereja, melainkan terus dinamis dan semakin mendalam seiring dengan perkembangan zaman.
Bab V merupakan bagian penutup dari tesis ini. Penulis terlebih dahulu akan mengikat pokok-pokok dari Bab II sampai Bab IV. Selanjutnya penulis memberikan tanggapan terhadap refleksi teologis Torrance dan Rahner. Terhadap refleksi teologis Torrance, penulis menyoroti tegangan yang ada di dalam penggunaan metode teologi alamiah Torrance. Terhadap refleksi teologi Rahner, penulis menyoroti perubahan arah dan corak refleksi Rahner. Bermula bercorak individualistik dan eksistensialis berubah menjadi sosiopolitis.
Lalu penulis akan memberi sebuah relevansi dari refleksi teologis Torrance dan Rahner terhadap diskursus teologis dalam menanggapi pandemik Covid-19.
Peristiwa yang diangkat oleh penulis adalah pengaruh pandemik Covid-19 terhadap persoalan iman yang tidak diimbangi oleh rasionalitas dan persoalan tawaran kebangkitan atau keselamatan di dalam pluralitas agama di Indonesia. Penulis menerapkan refleksi teologis Torrance untuk persoalan pertama karena dalam menanggapi permasalahan itu, iman saja tidak cukup dan diperlukan rasionalitas yang berdasarkan objek yang dikaji selain Allah yang mewahyukan diri-Nya, yaitu pandemik Covid-19.
Refleksi teologis Rahner lebih relevan bila diterapkan pada kasus yang kedua.
Rahner menawarkan suatu refleksi yang inklusif terkait dengan kebangkitan dan keselamatan bagi mereka yang non-Kristiani. Mereka juga berhak mendapatkan kebangkitan dan keselamatan karena dalam diri mereka, menurut Rahner, juga
memiliki kondisi konstitutif yang mengarahkan mereka pada keterbukaan akan rahmat Allah dan Allah memang menghendaki keselamatan untuk semua orang.