• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

i

BERMAIN- MAIN DALAM TRANSGRESI:

FANTASI DALAM DARK PLAY EMPAT VOKALIS EKSTREM METAL PEREMPUAN DI INDONESIA

TITLE PAGE

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma

Disusun oleh Yulianus Febriarko

NIM: 166322002

PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

vi ABSTRAK

Febriarko, Yulianus. 2020. Bermain-main dalam Transgresi: Fantasi dalam Dark play Empat Vokalis Ekstrem Metal Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Magister Kajian Budaya. Universitas Sanata Dharma.

Skena musik ekstrem metal selama ini dipandang sebagai sebuah skena yang didominasi laki-laki dan dibangun berdasarkan imaji-imaji maskulinitas sehingga perempuan yang ingin ikut ambil bagian di dalamnya harus menyesuaikan dengan aturan-aturan dan kode-kode maskulin. Tindakan misoginis dan penyingkiran sifat-sifat feminin terlihat dari praktik-praktik yang terjadi di skena ekstrem metal yang membuat perempuan terpinggirkan. Hal ini memungkinkan kekuatan dan kontrol laki-laki direproduksi terus menerus lewat praktik transgresi yang menjadi ciri khas ekstrem metal. Meski begitu, banyak perempuan yang tetap terjun dan terlibat di skena ekstrem metal sebagai vokalis yang aktif dan berkarya dalam band ekstrem metal.

Melalui pendekatan kualitatif, studi ini mengeksplorasi daya performance empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia yang terdiri dari Fransisca Ayu dari band metalcore asal Yogyakarta Killed on Juarez (KoJ) dan band matchcore Leftyfish, Lilin Purnamasari dari band grindcore asal Jakarta GOADS, Popo Puji dari band death metal asal Bandung Demons Damn, dan Hera Mary dari band sludge metal asal Bandung OATH.

Data-data mengenai performance mereka menunjukkan bahwa mereka melakukan dark

play dengan mengadopsi transgresi khas ekstrem metal yaitu sonic transgression, discursive transgression, dan bodily transgression sebagi upaya mereka untuk

mendisrupsi aturan-aturan yang bersifat maskulin yang melekat pada ekstrem metal. Daya disrupsi ini muncul dari cara mereka bermain-main dalam tiga transgresi yang dapat diamati dalam penggunaan teknik vokal growl/scream, fashion panggung, aksi panggung, dan penulisan lirik mereka. Dark play yang mereka lakukan dapat disebut sebagai sebuah strategi resistensi mereka terhadap sistem patriarki dan sifat maskulin ekstrem metal yang selama ini memarjinalkan peran mereka.

Konsep fantasi dalam psikoanalisis Lacanian digunakan sebagai perspektif yang mampu menjabarkan dasar atau penyangga dark play yang dilakukan oleh Ayu, Lilin, Popo, dan Hera dalam performance mereka. Kastrasi yang hadir lewat aturan-aturan tak tertulis (unwritten rules) yang dianggap bersifat maskulin membuat keempat vokalis tersebut mengalami keterasingan dengan skena ekstrem metal yang mereka masuki. Untuk mengatasi keterasingan itu, fantasi akan kebebasan dan fantasi akan kesetaraan menjadi dua fantasi yang menyangga strategi resistensi lewat dark play dalam performance mereka. Meski dapat dilhat bahwa di satu sisi mereka turut memperkuat aturan-aturan tak tertulis lewat performance mereka, tetapi dua fantasi tersebut menjadi penting untuk terus menerus menggulirkan wacana ekstrem metal yang bebas dan setara.

(3)

vii ABSTRACT

Febriarko, Yulianus. 2020. Playing in Transgression: Fantasy on the Dark Play of Four Women Extreme Metal Vocalists in Indonesia. Yogyakarta: Graduate School of Cultural Studies. Sanata Dharma University.

Extreme metal scene has been known as a male-dominated scene which built upon masculine images. Hence, women who want to participate in the scene must do things on men’s terms and masculine codes. Misogynists acts and marginalization of women often happened and can be seen from the scene’s practices. This results in reproduction of control and power of men through extreme metal’s transgression characteristics. However, many women still actively engaged in this scene as vocalists of extreme metal bands.

Using qualitative approach, this study aims to explore the power of four women extreme metal vocalists’ performance. They are Fransisca Ayu from Yogyakarta’s metalcore band Killed on Juarez (KoJ) and matchcore band Leftyfish, Lilin Purnamasari dari from Jakarta’s grindcore band GOADS, Popo Puji from Bandung’s death metal band Demons Damn, and Hera Mary from Bandung sludge metal band’s OATH.

The data show that the four vocalists do a dark play by adopting three characteristics of extreme metal transgression which are sonic transgression, discursive transgression, and bodily transgression. They did the dark play in order to disrupt the masculine codes that has been long associated to extreme metal. The power of this disruption can be seen in the way they use growl/scream style of vocal, fashion on the stage, stage act which includes moshing and stage diving, and in their lyrics. The dark play also can be said as a strategy to resist extreme metal’s patriarchal system and masculine codes in which they are marginalized by.

Then Lacanian concept of fantasy is used as a perspective to explain fantasy that frame the dark play throughout their performance. The castration which happened through the masculine codes and unwritten rules lead these four vocalists to alienation in extreme metal scene. In order to overcome it, fantasy about freedom and equality arise and framed the dark play in their performance. While their dark play can be empowered the law and unwritten rules, on the other hand these two fantasies become important in order to produce and reproduce the discourse of freedom and equality in extreme metal.

(4)

viii

KATA PENGANTAR

Ungkapan terima kasih saya kirimkan kapada berbagai pihak yang mendukung penulisan tesis ini. Kepada keluarga saya, terutama Bapak dan Ibu saya, yang tidak pernah melarang saya untuk mendengarkan Slayer, Metallica, Cannibal Corpse, Mayhem, hingga Eyehategod. Dari situlah kemudian muncul kerinduan saya untuk mempelajari dan memperdalam tentang kultur musik metal dan segala bentuk dinamikanya. Terima kasih untuk adikku yang selalu hadir di saat-saat genting. Kepada Ibu Devi Ardhiani yang darinya saya menyadari adanya banyak keruwetan dalam tulisan-tulisan saya dan kemudian membantu saya untuk menyederhanakannya. Juga kepada St. Sunardi, Katrin Bandel, Budi Subanar, SJ., Bagus Laksana, SJ., Baskara Tulus Wardaya, SJ., Budi Susanto, SJ., Hari Juliawan, SJ., Tri Subagya, dan Supratiknya. Lewat perjumpaan dengan mereka, saya menyadari bahwa saya perlu berbenah untuk berubah.

Diskusi-diskusi panjang nan melelahkan yang berujung pada saran dan masukan untuk tesis ini juga saya lalui dan terima dari kawan-kawan seperjuangan di IRB. Terima kasih khusus untuk kawan-kawan IRB Angkatan 2016. Kepada Albertus Harimurti, pemilik padepokan Berbah, saya ucapkan terima kasih atas masukan untuk tesis ini dan juga untuk bahan overthinking di malam hari yang diberikannya. Kepada kawan-kawan di Motherbase Nggerus Reading Club, saya ucapkan terima kasih untuk kopi dan cerita-ceritanya. Juga untuk kawan-kawan lintas angkatan dan juga para staff di Pascasarjana USD yang telah berdinamika dengan saya melalui cara yang berbeda-beda, saya ucapkan beribu terima kasih.

Kepada Francisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, serta Hera Mary saya ucapkan pula terima kasih atas cerita-cerita hidup kalian di dunia metal. Tesis ini secara khusus saya persembahkan untuk kalian yang tidak lelah berjuang di tengah himpitan berbagai tantangan dalam skena.

Terakhir, bukan berarti tidak utama, rasa terima kasih saya kirimkan juga untuk Lidwina Wimalasari yang membuat saya menyadari adanya kerapuhan-kerapuhan dalam diri saya dan untuk Elisabeth Tamara Sabatini yang telah menemukan lalu menemani saya ketika saya sedang berusaha memeluk kerapuhan-kerapuhan itu sembari menjalani kehidupan yang tidak akan pernah baik-baik saja ini.

(5)

ix DAFTAR ISI

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 A.Latar Belakang ... 1 B.Rumusan Masalah ... 8 C.Tujuan Penelitian ... 8 D.Manfaat Penelitian ... 9 E. Tinjauan Pustaka ... 9 F. Kerangka Teori ... 21 G.Metode Penelitian ... 29 H.Sistematika Penulisan ... 31 BAB II ... 32

PEREMPUAN DAN SKENA EKSTREM METAL ... 32

A.Dari Heavy Metal ke Ekstrem Metal ... 32

B.Mengonsumsi Distorsi: Skena Ekstrem Metal Indonesia ... 43

C.Perempuan dan Hegemoni Maskulinitas dalam Skena Ekstrem Metal ... 50

(6)

x

BAB III ... 59

BERMAIN-MAIN DALAM TRANSGRESI ... 59

A.Geraman/Teriakan: Transgresi Suara ... 60

B.Kuasa Kata: Transgresi Diskursif ... 74

C.Dressing and Moshing: Transgresi Kebertubuhan ... 84

D.Dark play dalam Transgresi: Disrupsi pada Dominasi ... 91

E. Kastrasi Ekstrem Metal ... 95

F. Fantasi dalam Dark play: Bebas dan Setara ... 98

G.Rangkuman ... 109 BAB IV ... 111 PENUTUP ... 111 A.Kesimpulan ... 111 B.Rekomendasi ... 113 DAFTAR PUSTAKA ... 115 GLOSARIUM ………119

(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hari Rabu, 2 Oktober 2019 malam di sebuah kafe sempit di jalan Selokan Mataram, Yogyakarta, saya berdesakkan dengan puluhan orang yang kebanyakan adalah laki-laki, menunggu penampilan Killed on Juarez (KoJ), sebuah band metal dari Yogyakarta. Kepulan asap rokok, bau alkohol, dan parfum yang melebur dengan keringat menjadi satu menciptakan kondisi penat nan menyesakkan dada. Kepenatan itu tak menghalangi Fransisca Ayu, vokalis KoJ, untuk segera maju dan menyambar

microphone. Sejurus kemudian, riffs gitar meraung, pukulan drum berdetak kencang, dan

keriaan pun akhirnya dimulai. Puluhan orang yang berdesakan tadi mulai ber-moshing ria. Tak adanya sekat antara band penampil dan para penonton membuat kekacauan, tetapi bukanlah kekacauan yang menghancurkan. Kekacauan itu terasa menyenangkan dalam balutan musik yang terasa membebaskan kepenatan. Ayu pun berada di tengah para penonton sembari melakukan hal terbaik dari dirinya malam itu: menggeram dan berteriak merapalkan lirik-lirik yang ia tulis untuk band nya itu. Saya yang setengah mabuk merasakan energi luar biasa dan kegembiraan penuh dari situ. Ketika KoJ

meng-cover lagu A Trigger Full of Promise dari Wall of Jericho, saya putuskan ikut ber-moshing

ria hingga lagu-lagu selanjutnya selesai seolah esok adalah hari kiamat. Malam itu saya bersikukuh untuk bersenang-senang saja. Sepulang dari acara itu, kuping saya masih berdenging. Bisingnya scream dan growl dari Ayu yang ia lantangkan di sepanjang repertoar band nya masih membekas di kepala. Saya terkagum-kagum karena geraman dan teriakan Ayu tadi mewakili sekaligus meredamkan

(8)

perasaan saya yang sungguh marah, penat, dan kacau pada malam itu. Di perjalanan pulang, saya bertanya-tanya dalam hati: kok bisa ya scream dan growl semacam itu membangkitkan energi agresif milik saya sekaligus meredakannya?

Sejauh yang saya tahu, musik metal didominasi oleh laki-laki dan direpresentasikan serta diidentikkan dengan sessuatu yang bersifat maskulin. Deena Weinstein, seorang sosiolog asal AS, pernah meneliti komunitas metal ini. Bagi Weinstein, “musik dan komunitas metal bersifat maskulin dan para perempuan yang ingin ikut ambil bagian di dalamnya harus menyesuaikan aturan-aturan para lelaki di dalamnya”.1 Dalam beberapa tulisan lain, komunitas musik metal disimpulkan sebagai

komunitas yang dibangun berdasarkan “imaji-imaji maskulin”2 dan menunjukkan

berbagai “tindakan misoginis serta penghalangan terhadap sifat-sifat feminin”.3 Robert

Walser dalam buku Running with The Devil bahkan menyebut bahwa kultur metal dibentuk dalam kaitannya dengan sistem patriarki yang memungkinkan kekuatan dan kontrol laki-laki direproduksi terus menerus lewat lagu maupun video klip sehingga peran perempuan di dalamnya jadi terpinggirkan.4 Berbagai alasan tersebut tampaknya dapat membuat para perempuan enggan untuk terlibat dalam skena musik metal. Namun, pada kenyataannya, alih-alih menghindar, justru terdapat perempuan yang aktif terlibat dalam komunitas metal sebagai seorang vokalis yang mana adalah sebuah posisi yang bisa dibilang berpengaruh dalam kancah musik metal. Ayu adalah salah satu contohnya. Ia justru merasa bahwa ia bisa mengekspresikan dirinya, melepaskan kepenatan, dan

1 Deena Weinstein, Heavy Metal: The Music and Its Culture (New York: De Capo Press, 1991), hal. 134 2 Judith Grant, “Bring the Noise: Hypermasculinity in Heavy Metal and Rap,” dalam Journal of Social

Philosophy (Vol 27, 1996) hal. 5-31.

3 Klypchak, B.C, Performed Identities: Heavy Metal Musicians between 1984 and 1991. (Disertasi,

Graduate College of Bowling Green State University, 2007).

4 Robert Walser, Running With The Devil; Power, Gender, and Madness in Heavy Metal Music

(9)

terutama melakukan hal yang amat ia cintai5 di tengah dominasi laki-laki di skena itu sendiri.

Penggunaan istilah skena dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Keith Kahn Harris dalam menyebut scene. Istilah scene memiliki asal dari dunia teater yang menunjukkan sebuah ruang di mana akting ditampilkan. Istilah ini umum digunakan oleh para pegiat musik underground (punk, hardcore, metal). Dalam ekstrem metal, Harris mendefinisikan scene sebagai wadah, tempat, atau kancah di mana produksi musik ekstrem metal, sirkulasi, diskusi, interaksi, dan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan ekstrem metal dilakukan. Dengan kata lain, istilah scene digunakan untuk mendeskripsikan sebuah konteks yang mana produksi, praktek, dan wacana tentang musik ekstrem metal diproduksi. Harus dipahami juga bahwa penggunaan istilah ini pun berbagai macam. Ada penyebutan global metal scene untuk merujuk musik metal secara umum di dunia. Ada juga penyebutan untuk local scene, contohnya di Indonesia, penggunaan istilah scene juga digunakan untuk menyebut scene metal Indonesia. Scene lokal menjadi bagian dari scene yang lebih luas. Dalam penelitian ini, istilah scene akan diterjemahkan dengan skena yang sanggup mewakili definisi scene menurut Harris tersebut. Di kalangan scene underground punk, metal, dan hardcore Indonesia, kata skena dijadikan sebagai terjemahan banal dari scene. Meski begitu, kata ini seolah menjadi kesepatakan tak resmi bagi para pegiat musik underground di Indonesia. Selain itu, istilah skena juga banyak digunakan dalam artikel-artikel media tentang scene musik underground di Indonesia.

Ayu tak hanya menjadi vokalis untuk KoJ. Ia juga menjadi vokalis untuk LeftyFish, sebuah unit math metal/mathcore. Musikalitas band ini cenderung

(10)

mengawinkan metal dengan jazz. Oleh karena itu, Ayu tak hanya menggunakan teknik

scream/growl saja, tetapi ia juga menggunakan sedikit suara clean dan terkesan seperti

suara anak perempuan yang masih kecil. Ia piawai mengombinasikan dua taknik vokal itu dalam cara bernyanyinya bersama Leftyfish. Saya sempat menyaksikan kepiawaiannya itu ketika melihat Leftyfish tampil dalam sebuah acara tribute untuk idol grup JKT48 pada pertengahan tahun 2019. Kepiawaiannya itu mengundang apresiasi yang bagus dari para penonton. Ini terasa menyenangkan bagi Ayu. Beberapa kali ia mengucapkan terima kasih di jeda antar lagu. Selepas tampil, ia mengaku kepada saya bahwa penampilannya melam itu adalah salah satu penampilan terbaik dari dirinya. Meski begitu, Ayu menceritakan pula bahwa untuk mencapai hal itu ia sebelumnya kerap diremehkan hanya karena ia seorang perempuan. Ironisnya, hal itu datang dari komunitas musik metal itu sendiri. Peremehan serupa dialami oleh Lilin, vokalis dari grup grindcore asal Jakarta, GOADS. Ia seringkali dipandang sebelah mata oleh sesama musisi metal. Menurutnya, pandangan sebelah mata itu kerap kali muncul dari para lelaki yang mendominasi komunitas musik metal. Bahkan, ia sempat mengalami pelecehan seksual secara fisik ketika ia menonton konser BANE, grup hardcore asal Amerika Serikat. “Ini jadi kesulitan gue terutama ketika menjadi seorang vokalis. Banyak yang enggak terima dengan skill perempuan ketika nge-band, apalagi band nya metal. Gue dipandang sebelah mata hanya gue perempuan”.6

Pengalaman Ayu dan Lilin itu menunjukkan asumsi bahwa musik metal dipandang sebagai sesuatu yang maskulin masih saja kental terasa. Persoalan perempuan dijadikan sebagai objek seksual semata pun kerap terjadi ketika mereka berada di panggung. Hera Mary, vokalis band metal Oath, menyatakan bahwa ketika para musisi

(11)

perempuan berani tampil di panggung, hal-hal berbau seksis dari penonton yang sebagian besar laki-laki muncul. “Dulu teman-teman perempuan kayak minder untuk bermusik, sekarang pas mereka berani, mereka malah jadi bahan bully, jadi bahan bercandaan, misalnya, ‘Eh nonton band ini nih, vokalisnya lucu’.”7

Ketika saya menikmati konser metal yang menampilkan vokalis-vokalis perempuan, saya mendapat kesan bahwa tersebut mereka tampak menikmati penampilannya di panggung dan seolah tak menghiraukan anggapan mengenai komunitas metal yang bersifat maskulin dan didominasi oleh laki-laki ini. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa kultur komunitas metal yang memarjinalkan perempuan memang benar adanya. Tindakan merendahkan hingga pelecehan secara verbal terhadap musisi metal perempuan sering saya dengar dari banyak penonton laki-laki. Dengan kata lain, saya justru menemui sebuah kontradiksi antara anggapan komunitas metal yang bersifat maskulin dengan kenyataan bahwa para vokalis perempuan band-band metal tetap menikmati penampilannya sebagai seorang musisi di panggung. Lantas, mengapa vokalis ini tetap memilih terlibat dan masuk dalam komunitas metal yang diidentikkan dengan dunia laki-laki dan tindakan pelecehan secara verbal tersebut? Apa yang ingin mereka suarakan? Jenna Kummer berpendapat bahwa metal menawarkan kekuatan resistensi terhadap dunia pada umumnya, misalnya resistensi pada industri musik yang menghegemoni serta aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, agama, maupun negara. Kekuatan resistensi ini digunakan oleh perempuan untuk berpartisipasi di dalamnya.8 Apakah kemudian penampilan vokalis-vokalis metal perempuan dapat dibaca sebagai

7 Lih. Saraswati, Diah P. 2017. “Sudah ramahkah musik bagi perempuan?”, diakses dari

https://hot.detik.com/music/3690831/sudah-ramahkah-musik-bagi-perempuan pada 17 Oktober 2017.

8 Jenna Kummer. “Powerslaves? Navigating Femininity in Heavy Metal” In G. Riches, D. Snell, B.

Bardine, & B. G. Walter, Heavy Metal Studies and Popular Culture. (London: Palgrave Macmillan, 2016), hal. 145.

(12)

sebuah resistensi terhadap kultur metal yang didominasi laki-laki dan cenderung memarjinalkan mereka?

Penampilan Ayu sebagi vokalis KoJ dan Leftyfish menjadi salah satu contoh unik untuk ditelaah dengan memperhatikan pada asumsi adanya resistensi dari vokalis metal perempuan pada dominasi laki-laki di komunitas metal. Setidaknya ada dua alasan yang melandasinya. Pertama, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Mereka bermain di ranah musik yang didominasi laki-laki. Kedua, mereka memilih menjadi vokalis di band metal yang tergolong ekstrem atau disebut sebagai band-band ekstrem metal. Sam Dunn dalam film seri dokumenternya mengenai kultur metal menyebut bahwa ekstrem metal sebagai subgenre dari musik metal. Ia menyebut bahwa ekstrem metal merupakan sebuah sebutan bagi beberapa subgenre metal yang paling underground dan agresif. Beberapa subgenre itu antara lain adalah death metal, grindcore, doom metal, black metal, dan lain sebagainya9. Ekstrem metal identik dengan musiknya yang cadas dan cenderung berisik, liriknya sebagian besar bertemakan kekerasan, melanggar peraturan, kritik tajam terhadap otoritas, dan juga misoginis. Dengan kata lain, meminjam istilah dari Keith Kahn Harris, ekstrem metal selalu identik dengan transgresi yang mengimplikasikan sesuatu yang melewati atau melampaui batas-batas dalam masyarakat pada umumnya.10 Lalu, seperti

pertanyaan saya di awal, yang amat menarik perhatian saya adalah jenis vokal yang digunakan oleh vokalis di band-band ekstrem metal adalah jenis suara scream dan growl. Banyak orang di luar komunitas metal tidak paham dengan jenis musik tersebut karena dianggap berisik dan pengucapan kata dalam vokalnya dianggap tidak jelas. Jenis vokal seperti ini pun direpresentasikan, diidentikkan, dan memiliki stereotipe sebagai sesuatu

9 Sam Dunn. “Metal Evolution-Extreme Metal” .(2015). BANGERTV-All Metal. Diakses dari YouTube:

https://www.youtube.com/watch?v=MoHOgfEoTlc&t=2366s pada 14 Juni 2018.

(13)

yang maskulin11. Bukanlah sebuah hal yang mudah untuk menguasai sebuah teknik bernyanyi menggeram (growl) dan berteriak (scream) dalam jenis musik ekstrem metal dan menampilkannya di atas panggung. Matthew Unger menulis bahwa dibutuhkan musikalitas dengan standar tinggi untuk menciptakan lagu-lagu ekstrem metal karena materi, jenis vokal, tempo, serta ritme dalam musik ekstrem metal dapat memunculkan sebuah simbol transgresi dalam komunitas metal itu sendiri.12 Lalu, apakah teknik vokal

growl dan scream yang dipilih oleh para vokalis metal perempuan dapat dikatakan

sebagai resistensi lewat transgresi dalam transgresi? Bagaimana korelasi teknik semacam itu dengan lirik-lirik dan gaya mereka di panggung? Mengapa resistensi lewat penampilan dimunculkan oleh mereka?

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dan asumsi tersebut, penelitian ini berfokus menelaah penampilan (performance) dan karya-karya dari empat vokalis ekstrem metal perempuan yaitu Fransisca Ayu (KoJ, Leftyfish), Lilin Purnama (GOADS), Hera Mary (Oath), dan Popo Puji (Demons Damn). Muncul sebuah asumsi di mana alih-alih menghindar, mereka justru mempertaruhkan diri mereka dan memberanikan diri untuk bermain-main (playing) lewat performance yang mereka lakukan dalam rangka resistensi terhadap skena yang cenderung memarjinalkan peran mereka. Membaca performance mereka menjadi penting untuk melihat bagaimana mereka bermain-main melalui performance mereka sebagai upaya resistensi terhadap skena metal yang didominasi laki-laki. Namun, di sisi lain menyampaikan daya bermain lewat performance mereka saja tentu akan menjadi sebuah hal deskriptif saja. Oleh karena

11 Pauwke Berkers & Julian Schaap. Gender Inequality in Metal Music Production. (Bingley: Emerald

Publishing, 2018), hal 52.

12 Unger, Matthew. P. Sound, Symbol, Sociality;The Aesthetic Experience of Ekstrem Metal Music.

(14)

itu, pendekatan psikoanalisis Lacanian melalui konsep fantasi diperlukan untuk menunjukkan fantasi yang menggerakkan mereka dalam membangun performance itu. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan utama yang ingin dijawab, yaitu: Bagaimana fantasi berperan dalam performance Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, dan Hera Mary? Pertanyaan utama itu akan dijawab dengan pertanyaan-pertanyaan lain, yaitu:

1. Bagaimana perempuan direpresentasikan di skena ekstrem metal di Indonesia?

2. Bagaimana daya performance dihadirkan oleh empat vokalis ekstrem perempuan (Ayu, Popo, Hera, dan Lilin) dan wacana apa yang muncul dari pertunjukan mereka?

3. Fantasi macam apa yang mendasari performance itu?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berusaha menjelaskan fantasi yang mendasari daya performativitas empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Menjabarkan skena ekstrem metal di Indonesia dan kedudukan perempuan di dalamnya.

(15)

2. Mengekplorasi dan membaca performance empat vokalis ekstrem metal perempuan yaitu Fransisca Ayu, Popo Puji, Hera Mary, dan Lilin Purnama dalam penampilan mereka.

3. Menjelaskan fantasi yang mendasari performance mereka.

D. Manfaat Penelitian

Sebagai sebuah studi ilmiah, penelitian ini ingin memberi kontribusi pada diskusi tentang keterlibatan perempuan dalam skena ekstrem metal di Indonesia. Penelitian ini diharapkan memberi informasi dan pengetahuan mendalam tantang daya performance Fransisca Ayu, Popo Puji, Hera Mary, dan Lilin Purnama sebagai vokalis ekstrem metal dalam upaya mereka mengartikulasikan kedudukan mereka di dalam skena musik ekstrem metal yang didominasi laki-laki. Selain itu, dengan mengeklporasi fantasi yang mendasari performance mereka, penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan hal yang menggerakkan empat vokalis itu untuk terus berkarya dalam skena ekstrem metal di Indonesia, sehingga para pelaku, pegiat, dan penggemar musik metal diharapkan memiliki perspektif dan pengetahuan baru dalam memandang wacana perempuan dalam skena ekstrem metal pada khususnya dan skena metal pada umumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Dengan semakin bertambahnya perempuan yang terlibat dalam kancah ekstrem metal, studi akademis mengenai fenomena ini pun bertambah. Bagian ini akan memaparkan studi-studi tentang kultur metal dan keterlibatan perempuan dalam skena metal. Bagian pertama dalam tinjauan ini menguraikan studi-studi mengenai kultur metal

(16)

dan dominasi laki-laki di dalamnya. Sementara bagian kedua, secara komparatif akan menjabarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai keterlibatan perempuan dalam kultur metal.

Kultur dan Komunitas Musik Metal

Buku dari Robert Walser berjudul Running With The Devil: Power, Gender, and

Madness in Heavy Metal Music (1993) dan dari Deena Weinstein yang berjudul Heavy Metal: The Music and Its Culture (1991) adalah dua karya akademik yang membahas

musik dan kultur heavy metal dan secara khusus membahas mengenai keterlibatan perempuan di dalammnya. Weinstein, seorang sosiolog dari Amerika Serikat, berargumen bahwa estetika musik metal secara kultural dibangun melalui kekuatan dengan kode-kode maskulin13. Menurutnya, inilah yang menyebabkan absennya peran

dan keterlibatan perempuan dalam komunitas metal. Sementara itu, Walser, juga berpendapat bahwa kultur heavy metal selama ini dianggap mengeluarkan peran perempuan di dalamnya. Menurutnya, hal itu terjadi karena musisi heavy metal dan para penggemarnya mengembangkan taktik untuk terus menerus meniru dan membayangkan kekuatan dan kontrol lelaki dalam konteks patriarki.14 Lebih lanjut lagi, Walser

mengatakan bahwa musik metal dan video musik metal mereproduksi wacana patriarkal baik melalui musiknya sendiri, video musik, maupun penampilan para artisnya yang menggunakan simbol-simbol maskulinitas sebagai daya tarik visual atas transgresi yang spektakuler. 15

13 Weinstein, 2000, Op.Cit., hal. 67 14 Walser,1993, Op.Cit., hal. 110. 15 Ibid, hal 109.

(17)

Keterlibatan perempuan dalam komunitas metal juga dibahas oleh Keith Kahn Harris. Sedikit berbeda dengan Weinstein dan Walser, Harris mengganggap bahwa infrastruktur dari komunitas metal secara teori dan ideal dibentuk untuk memungkinkan partisipasi perempuan. Meski begitu, para perempuan, dikatakannya, tidak masuk ke dalam komunitas secara mandiri. Harris berpendapat bahwa perempuan-perempuan yang masuk dalam komunitas cenderung melakukannya bersama kekasihnya atau bersama teman-temannya16. Inilah yang menurut Harris menyebabkan para perempuan yang terlibat kurang mendapat otonomi di antara para lelaki yang ada dalam komunitas metal. Mereka dianggap tidak terlalu penting dan dipinggirkan. Peran perempuan sangat terbatas dibandingkan para lelaki dalam komunnitas metal itu.

Penelitian-penelitian di atas setidaknya membawa satu kesamaan gagasan bahwa kultur heavy metal didominasi oleh lelaki dan perempuan dimarjinalkan di dalamnya sehingga para perempuan harus mengikuti kode-kode maskulin tertentu untuk dapat masuk ke dalam sebuah komunitas metal dalam konteks ‘barat’. Namun, bagaimana kemudian ketika perempuan telah masuk, terlibat aktif, bahkan menjadi personel dalam sebuah band metal belum banyak dieksplorasi oleh penelitian-penelitian tersebut. Terlebih lagi adalah bagaimana para perempuan musisi metal, secara khusus di Indonesia, menegosiasikan representasi diri mereka dengan kehidupan mereka sehari-hari ketika tidak berada di atas panggung. Hal inilah yang kemudian sangat menarik untuk diamati dan diteliti.

(18)

Perempuan dalam tatanan masyarakat Indonesia

Tulisan Laurie J.Sears sebagai editor dalam buku Fantasizing The Feminine in

Indonesia dengan jelas menyebutkan sebuah argumen yang menyatakan bahwa dalam

perspektif psikoanalisis, generalisasi yang dapat dibuat mengenai perempuan Indonesia adalah bahwa mereka selalu didefinisikan dalam hubungannya dengan laki-laki.17 Sebagai contoh untuk menggambarkan pernyataan itu misalnya dalam tulisan Julia I. Suryakusuma di dalam buku tersebut di mana ia memperkenalkan istilah “State Ibuism”. Istilah ini dipakai oleh Suryakusuma untuk menggambarkan peran perempuan sebagai istri menjadi sama penting dengan perannya sebagai ibu. Melalui beberapa hukum perceraian yang dibuat pemerintah orde baru, budaya patriarki dilanggengkan dan mengontrol hasrat para perempuan. Dengan demikian, Suryakusuma pun berargumen bahwa hirarki ganda dipaksakan kepada perempuan. Perempuan, melalui peraturan-peraturan yang dilakukan pemerintah dipaksa untuk menerima identitas sebagai ibu dan istri. Hal ini menandakan bahwa pemerintah secara radikal menggambarkan bahwa kedudukan perempuan berbeda dan berada diabwah laki-laki. Hirarki ini menjadi ganda sebab digunakan pula demi melegitimasi hirarki kekuasaan birokrasi.18

Proses pembentukan dan kontestasi representasi perempuan di Indonesia diulas oleh Sylvia Tiwon dalam makalahnya yang berjudul Model and Maniacs; Articulating

The Female in Indonesia. Tiwon melihat bahwa di Indonesia perempuan seperti R.A

Kartini sebagai sebuah model bagi perempuan Indonesia sedangkan para perempuan dari organisasi Gerwani sebagai maniak yang harus disingkirkan. Studinya menangkap sebuah imaji perempuan seperti Kartini dapat membentuk konstruksi perempuan Jawa dan

17 Lih.Laurie Sears. J. Fantasizing the Feminine in Indonesia. (London: Duke University Press, 1999),

hal. 19.

(19)

membantu pemerintah untuk mengontrol buruh perempuan. Menurut Tiwon, model perempuan seperti Kartini diartikulasikan terus menerus hingga menentukan sebuah standar perilaku perempuan yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan di Indonesia. 19

Identitas perempuan yang ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Suryakusuma dan Tiwon itu rupanya adalah representasi yang membelenggu perempuan Indonesia. Kreativitas dan suara mereka dimarginalkan demi kelanggengan kekuasaan. Mengambil definisi femininitas dari Julia Kristeva dengan mengutip Toril Moi, Sears menyingkat bahwa perempuan selalu ditempatkan dalam posisi yang marjinal dalam hirarki patriarkal.20 Argumen ini tentu kemudian dapat menjadi gambaran ketika musisi metal perempuan muncul. Mereka selalu ditempatkan di pinggir, di ambang batas, dan bahkan disebut sebagai perempuan yang berbahaya, penuh kekerasan, dan dipandang sebagai ancaman untuk negara.21 Dari gambaran tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap representasi atau suara dari musisi metal perempuan di Indonesia.

Sementara itu, Khrisna Sen dalam tulisannya yang berjudul Indonesian Women at

Work; Reframing the Subject melihat peran perempuan di Indonesia di tahun 1990 an

dengan menganalisis dokumen-dokumen kebijakan negara dan iklan-iklan yang muncul dalam masyarakat. Sen berpendapat bahwa ‘perempuan pekerja’ beroperasi sebagai pusat penanda yang berkembang dalam politik dan budaya pop di Indonesia meski sangat dipengaruhi dan juga mendapat tandingan-tandingan dari penanda-penanda lain.22 Perempuan pekerja sebagai sebuah penanda sentral dalam politik dan budaya pop di

19 Ibid, hal. 37. 20 Ibid, hal. 19. 21 Ibid.

22 Sen, Khrisna & Stivens, Maila (Ed.). Gender and Power in Affluent Asia (London: Routledge, 1998),

(20)

Indonesia dielaborasi oleh Sen dalam dua argumen utamanya yaitu pertama bahwa pekerja perempuan menjadi sebuah ikon di mana posisi Indonesia sebagai bangsa modern dalam kaitannya dengan ekonomi global dilegitimasi, dan kedua bahwa figur ikonik itu didasarkan pada pekerja profesional daripada perempuan proletar.23 Sen kemudian

menganalisis dan kemudian memikirkan kembali politik kelas dan gender, serta bagaimana posisi perempuan-perempuan yang tidak termasuk sebagai ‘profesional’ tersebut. Dari analisisnya, ia menemukan bahwa terdapat posisi ambigu di mana perempuan-perempuan yang disebut Sen sebagai ‘a new middle-class working woman’ memunculkan sebuah kategori untuk memikirkan kembali kelas dan gender. Menurutnya, ide-ide, praktik, dan karya-karya dari perempuan-perempuan dalam kategori tersebut sangat signifikan dalam pengoperasian pemerintah dan pasar.24 Paparan di atas mendorong penelitian ini untuk mengungkap suara-suara dari kategori dan penanda baru yang diwujudkan dalam karya oleh para musisi metal perempuan di Indonesia.

Tulisan lain mengenai representasi perempuan di Indonesia yang cukup baru adalah dari Diah Ariani Arimbi yang meneliti mengenai representasi, identitas, dan religiositas perempuan Islam Indonesia dalam karya-karya fiksi. Arimbi menganalisis karya-karya fiksi dari Titis Basino P.I., Ratna Indraswari Ibrahim, Abidah El Khalieqy and Helvy Tiana Rosa, empat penulis beda generasi yang memproduksi karya-karya fiksi yang kental akan politik identitas perempuan muslim di Indonesia. Tulisan-tulisan mereka, dikatakan Arimbi, mampu mengungkap isu-isu otentisitas, representasi, dan kuasa yang saling tumpang tindih dalam berbagai bentuk estetika dan struktur-struktur

23 Ibid. 24 Ibid.

(21)

naratif25. Dengan menyebar kuesioner kepada para pembaca karya-karya keempat pengarang itu dan melalui analisis teks, Arimbi berfokus untuk melihat lebih jauh mengenai keempat pengarang itu, karya-karya mereka, dan respon dari para pembaca. Secara lebih spesifik, Arimbi ingin melihat politik yang melingkupi teks-teks itu yang menjadi materi sekaligus produksi konteks dari teks-teks itu.26 Dari hasil analisisnya, Arimbi menyimpulkan bahwa teks-teks dari keempat pengarang itu menawarkan narasi praktis wacana feminis yang menyediakan ruang pertemuan baru dan segar bagi perempuan dengan dunia Islam dan modernitas. Para pengarang itu, dikatakan Arimbi, memahami bahwa peran gender sangat bisa dinegosiasikan daripada sekedar hal yang sudah terberi. Dalam merepresentasi perempuan di berbagai wacana, keempat pengarang itu menggaambarkan perempuan-perempuan dari berbagai latar belakang yang berjuang melawan represi dan dominasi, serta menolak status mereka sebagai manusia yang ‘tak memiliki kuasa’. Yang menjadi penting dari keempat pengarang tersebut adalah penolakan mereka untuk mendefinisikan perempuan tidak dari sudut pandang perempuan itu sendiri. Mereka menempatkan diri mereka sebagai pusat kontruksi identitas dengan memberi ruang bagi perempuan-perempuan untuk bersuara.27

Dari kesimpulan yang diambil oleh Arimbi tersebut, ada sebuah usaha perjuangan dari para pengarang perempuan itu untuk melawan represi dan dominasi dan diwujudkan dalam karya-karya fiksi mereka. Penelitian Arimbi ini memberi gambaran strategi para perempuan pengarang Indonesia dalam budaya popular berbentuk karya-karya fiksi. Para perempuan pengarang menyuarakan suara mereka untuk membuat sebuah konstruksi

25 Arimbi, Diah Ariani. Reading Contemporary Indonesian Muslim Women Writers; Representation,

Identity, and Religion of Muslim Women in Indonesian Fiction. (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009), hal. 14.

26 Ibid, hal 14. 27 Ibid, hal 181

(22)

identitas diri mereka. Ini memberi gambaran mengenai sebuah kreativitas yang dapat menjadi sebuah penanda baru untuk kemudian menjadi sebuah kontestasi dalam isu gender. Sayangnya, Arimbi tidak melakukan wawancara dengan para pengarang tersebut untuk melihat dari sudut pandang para pengarang itu sendiri. Seperti halnya para perempuan pengarang itu, para vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia memiliki karya bersama band mereka masing-masing. Bahkan, mereka banyak terlibat dalam penulisan lirik lagu. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya menganalisis musik dan teks yang tercermin dalam lirik-lirik lagu musisi metal perempuan Indonesia, tetapi juga melihat sudut pandang dari musisi perempuan itu secara langsung dengan menyajikan negosiasi mereka dalam kehidupan di panggung dan di luar panggung.

Perempuan dalam Kultur Metal

Beberapa tulisan akademis yang membahas mengenai keterlibatan perempuan dalam komunitas subkultur metal selama ini banyak membahas keterlibatan penggemar atau perempuan dalam sebuah komunitas metal. Kebanyakan tulisan dan penelitian-penelitian tersebut dilakukan di luar Indonesia. Tulisan dari Rosemary Lucy Hill dalam bukunya yang berjudul Gender, Metal, and the Media; Woman Fans and the Gendered

Experience of Music adalah salah satunya. Hill menulis mengenai representasi para

perempuan penggemar musik metal dalam majalah Kerrang!, sebuah majalah musik metal di Inggris. Ia melihat proses majalah Kerrang menciptakan sebuah komunitas terbayang penggemar metal dan secara khusus ia melihat bagaimana perempuan penggemar metal direpresentaikan dalam surat pembaca pada majalah tersebut. Hill menunjukkan bahwa media mengontrol dan menunjukkan ideologi seksis dalam skena metal di mana laki-laki direpresentasikan maskulin, dominan, dan kuat sementara

(23)

perempuan direpresentasikan sebagai kasta kedua yang lemah dan seringkali dijadikan objek seksual semata. Artinya, representasi perempuan dalam majalah itu mengakibatkan mereka dianggap sebagai tambahan atau pelengkap saja dalam komunitas metal yang dianggap maskulin.28

Sementara Hill menemukan bahwa perempuan penggemar musik metal direpresentasikan sebagai kasta kedua, penelitian yang dilakukan oleh Julian Schaap dan Pauwkee Berkers dalam Gender Inequality in Metal Music Production (2018) menunjukkan adanya representasi serupa di mana perempuan dianggap sebagai gender kedua. Menggunakan pendekatan kuantitatif, Schaap dan Berkers menunjukkan adanya ketimpangan jumlah musisi perempuan dan laki-laki dalam skena metal. Mereka lalu mempertanyakan sejauh mana konstruksi gender berpengaruh pada kontribusi perempuan dalam produksi musik metal. Ketimpangan jumlah musisi perempuan dalam skena metal, menurut Schaap dan Berkers, mengindikasikan adanya ketidaksetaraan gender yang berakibat pada kurang dianggapnya musisi perempuan dalam memproduksi musik metal. Dari temuan itu, nampak bahwa musisi perempuan metal masih direpresentasikan sebagai kasta kedua dalam skena metal. Hal ini mennyebabkan metal, bagi musisi perempuan, adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, metal memberi ruang untuk berekspresi, tetapi di sisi lain membatasi peran musisi metal perempuan dalam berkontribusi lewat inferiorisasi yang terjadi pada mereka serta penilaian yang didasarkan pada standar maskulin yang menghegemoni.

Sementara itu, Pierre Hecker dalam bukunya yang berjudul Turkish Metal; Music,

Meaning, and Morality in a Muslim Society (2012) menjabarkan bagaimana komunitas

28 Rosemary Lucy Hill, Gender, Metal, and the Media; Woman Fans and the Gendered Experience of

(24)

subkultur metal berkembang di negara Turki. Dalam salah satu bab buku ini, Hecker menulis mengenai perempuan dalam subkultur metal di Turki. Ia banyak mengeksplorasi strategi para perempuan penggemar musik metal di Turki dalam menegosiasikan posisi gender mereka yang ada dalam norma patriarki serta Islam dengan kesukaan mereka terhadap musik metal. Ini berguna bagi saya untuk memberi gambaran bagaimana perempuan muslim menegosiasikan kecintaannya terhadap metal dengan gender serta identitasnya sebagai perempuan muslim. Setidaknya, gambaran itu nantinya berguna bagi saya karena penelitian yang akan dilakukan penulis pun ada dalam konteks negara muslim.

Artikel jurnal dari dua akademisi asal Swedia bernama Susanna Nordström dan Marcus Herz menyajikan penelitian mereka mengenai pemosisian gender dan terbentuknya perbedaan di dalam subkultur heavy metal di Swedia. Penelitian mereka mencoba mengulas bagaimana perbedaan gender, khususnya pemosisian gender perempuan terbentuk dan termanifestasikan di dalam subkultur heavy metal. Nordström dan Herz melakukan wawancara secara personal dan secara kelompok terhadap para fans

heavy metal usia 18-26 tahun sebagai metode pengambilan data. Para partisipan itu terdiri

dari 19 orang laki-laki dan 9 orang perempuan yang aktif dalam sebuah komuntas daring penyuka musik heavy metal bernama “Helgon”. Di antara mereka ada pula yang merupakan personel band metal.

Sebagai latar belakang dalam pelaksanaan penelitian ini, kedua penulis memaparkan argumen bahwa subkultur heavy metal adalah subkultur yang dikenal sebagai kultur yang maskulin, macho, dan didominasi pria. Argumen-argumen itu mereka sebut dengan mengutip penelitian-penelitian terdahulu antara lain dari Deena Weinstein, Robert Walser, serta Krenske dan McKay. Penelitian-penelitian ini memiliki kesamaan

(25)

ide mengenai perempuan dalam heavy metal di mana kedudukan perempuan selalu dipinggirkan dan terhegemoni oleh para lelaki serta norma-norma maskulinitas yang juga dibentuk oleh para lelaki di dalam subkultur heavy metal. Representasi dan perbedaan gender yang bisa dilihat secara kasat mata di dalam subkultur tersebut membuat pemosisian gender menjadi sulit dilacak dalam hubungannya dengan bagaimana gender bisa menjadi salah satu faktor pembentuk kultur tersebut ataupun sebaliknya. Dengan latar belakang tersebut, Nordstrom dan Herz ingin mencari tahu dan menggaris bawahi bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut diekspresikan dalam representasi dan dipraktikkan. Secara khusus, mereka juga ingin melihat terbentuknya konstruksi gender perempuan dalam hubungannya dengan pertanyaan mengenai makna menjadi perempuan di dalam subkultur heavy metal.

Dengan pendekatan teori mengenai wacana dari Foucoult, performativity dari Butler, serta representasi yang dikemukakan oleh Hall, Nordstrom dan Herz mengolah data yang mereka peroleh. Teori wacana digunakan untuk melihat posisi diri tersebut dibentuk dari interaksi antara wacana, konteks, serta tindakan-tindakan setiap individu, dalam hal ini pada subkultur heavy metal. Teori performativity digunakan untuk membicarakan bagaimana pergerakan posisi, penolakan, dan perubahan yang terjadi di dalam subkultur metal terkait gender melalui tindakan-tindakan performatif yang dilakukan partisipan di dalam subkultur metal. Sementara teori representasi digunakan untuk melihat bagaimana perbedaan tiap partisipan, khususnya perbedaan antara lelaki dan perempuan, dalam merepresentasikan diri mereka di dalam subkultur metal, entah itu melalui pakaian yang mereka kenakan ataupun dari atribut-atribut lainnya, serta tindakan-tindakan mereka.

(26)

Dari analisis data yang dilakukan oleh Nordstrom dan Herz, diketahui bahwa sementara gender adalah sebuah posisi yang bisa digerakkan secara umum, para perempuan dalam subkultur heavy metal yang menjadi informan kedua penulis menggerakkan posisi mereka lebih luas dari para laki-laki. Ini terlihat ketika mereka secara konstan dipaksa atau terpaksa untuk mengikuti nilai-nilai dan norma-norma laki-laki dalam subkultur heavy metal. Selain itu, Nordstrom dan Herz juga menemukan tiga dualitas dalam pemosisian perempuan di subkultur heavy metal. Pertama adalah paradigma “pelacur/dewi” berdasarkan pengetahuan para fans perempuan, kedua adalah tindakan penyeimbangan “berakting laki-laki” dan “terlihat perempuan”, dan yang ketiga adalah “zona abu-abu” di mana perempuan menjadi tidak cukup maskulin untuk subkultur

heavy metal tetapi di sisi lain juga tidak cukup “feminin” untuk dunia luar.

Studi lain yang juga meneliti perempuan dalam komunitas metal adalah tulisan dari Sonia Vasan yang berjudul “Den Mothers” and “Band Whores”; Gender, Sex and

Power in the Death Metal Kancah (2010). Lagi-lagi tulisan ini masih berfokus pada para

perempuan penggemar musik metal, utamanya dalam subgenre Death Metal. Tulisan ini merupakan sebuah esai dalam buku berjudul Heavy Fundametalism: Music, Metal, and

Politics. Tulisan dari Vasan banyak membahas tentang strategi para perempuan

penggemar musik death metal dalam menegosiasikan identitas gender mereka di dalam musik Death Metal yang dianggap maskulin, misoginis, dan agresif. Temuan Vasan adalah bahwa ada dua kategori perempuan penggemar musik death metal. Dua kategori ini, kata Vasan, secara aktif membentuk konstruksi gender dalam dua cara yang berbeda yaitu dengan menyesuaikan norma-norma maskulin dan dengan mewujudkan fantasi

(27)

lelaki melalui feminitas yang sangat kerap dihubungkan dengan seksualitas29 Dua kategori itu disebut “Den Mothers” dan “Band Whores” yang merujuk kepada cara mereka untuk masuk ke dalam komunitas musik death metal itu.

Berkait dengan konteks Indonesia, penelitian mengenai komunitas metal yang berfokus pada keterlibatan perempuan masih sangat jarang. Namun, buku dari Jeremy Wallach yang berjudul Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia

1997-2001 (2008) sedikit memberi gambaran mengenai keterlibatan para perempuan dalam

komunitas metal di Indonesia. Menurut pengamatan Wallach, perempuan dalam komunitas metal di Indonesia sangat jarang terlibat dalam praktik moshing atau praktik saling menabrakkan diri antar penonton di dalam sebuah konser metal. Selain moshing, praktik stage diving atau melompat dari panggung juga dilakukan oleh perempuan, tetapi Wallach mencatat bahwa di Indonesia sangat jarang praktik stage diving dilakukan oleh perempuan.30 Tulisan Wallach ini menjadi sebuah tulisan yang setidaknya memberikan gambaran dan konteks mengenai sebuah komuntas terbayang alternatif yang dibentuk oleh anak-anak muda di Indonesia pada periode 1997-2001.

F. Kerangka Teori

Studi mengenai performance tentu tak bisa lepas dari konsep performance yang dikemukakan oleh Richard Schechner. Dalam membaca performance Fransisca Ayu, Popo Puji, Hera Mary, dan Lilin Purnamasari sebagai vokalis band ekstrem metal, maka konsep performance pun diperlukan, khususnya konsep mengenai deep play/dark play.

29 Sonia Vasan, “Den Mothers” and “Band Whores”; Gender, Sex and Power in the Death Metal Scene,

dalam Rosemary Hill & Karl Sprakclen (eds.) Heavy Fundametalism: Music, Metal, and Politics (Oxford: Inter-Disciplinary Press, 2010), hal. 69-77.

30 Wallach, J. Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia 1997-2001. (Wisconsin: The

(28)

Pertunjukan, konser, atau gigs ekstrem metal yang ditunjukkan oleh empat vokalis perempuan yang disebut tadi menggambarkan manusia-manusia yang sedang bermain (playing) di panggung musik. Schechner mengelaborasi bahwa playing merupakan jantung dari performance itu sendiri. Performance dapat dikatakan sebagai sebuah ritualisasi tingkah laku/aksi yang terkondisikan atau terserap dalam play. Meski sukar untuk didefinisikan secara tepat, play diartikan sebagai sesautu yang melingkupi rasa, aktivitas, maupun sesuatu yang muncul secara spontan. Dengan demikian, play dapat terjadi di dalam aturan atau dapat juga bersifat bebas. Play dapat terjadi di mana saja, dalam konteks ini terjadi di panggung pertunjukan musik, dan dapat menjadi sebuah tindakan yang dapat mengganggu (subversive) kekuatan dominan.31 Setiap orang memainkan play dan setiap orang juga melihat dan senang melihat play tersebut di mana saja. Dalam kacamata ini, asumsi yang muncul adalah bahwa Ayu, Hera Mary, dan Popo Puji menunjukkaan sebuah play sebagai sebuah strategi subversif terhadap skena ekstrem metal yang didominasi laki-laki.

Play yang ditunjukkan oleh empat vokalis perempuan tadi lalu menjadi penting

untuk dilihat dari skema bermainnya (playing). Schechner menjabarkan bahwa playing (bermain) merupakan sesautu yang bermata dua dan selalu bergerak. Acap kali orang melibatkan play di dalamnya. Playing merupakan sebuah aktivitas atau penampilan yang menampilkan hal-hal yang berhubungan dengan seni dan kreativitas dengan tujuan untuk meringankan, mensubversi, atau bahkan menolak hal yang sedang dikomunikasikan.32 Misalnya Ayu sebagai vokalis Leftyfish justru bermain-main dengan stigma bahwa metal menunjukkan kelaki-lakian. Ia memakai dress panjang ketika tampil di panggung untuk

31 Richard Schechner. Performance Studies: An Introduction; Third Edition. (London & New York:

Routledge, 2013), hal. 89.

(29)

memperlihatkan bahwa perempuan pun dapat tampil dengan pakaian pilihannya tanpa harus mengakomodasi stigma bahwa metal bersifat maskulin. Playing menciptakan dalam dirinya sendiri realitas-realitas baru dengan batasan-batasan yang cair. Playing penuh dengan proses kreatif pembentukan suatu dunia atau wacana. Oleh karena itu, play yang juga merujuk pada playing adalah sebuah performance yang dilakukan secara terbuka atau dilakukan di publik dan bersifat performatif ketika merujuk pada orang yang sedang bermain sebagai sebuah strategi atau imajinasi untuk menunjukkan sesuatu dan melampaui hal yang ditunjukkan itu sendiri.33

Performance dan tindakan bermain (playing) yang dilakukan Ayu, Popo, Hera,

dan Lilin tentu menjadi sesuatu yang memiliki resiko besar bagi diri mereka yang berada di dalam skena yang didominasi laki-laki. Schecner juga mengatakan bahwa playing dapat menjadi sesuatu yang beresiko dan berbahaya secara fisik maupun emosional. Untuk lebih secara mendalam membaca performance (playing) yang dilakukan empat vokalis tersebut, konsep dark play diperlukan. Konsep ini ditawarkan oleh Schechner dengan mengeksplorasi konsep deep play yang sebelumnya sudah dikenalkan oleh Clifford Geertz yang meminjam konsep itu dari Jeremy Bentham. Deep play digunakan Geertz untuk menggambarkan tentang judi sabbung ayam di Bali di mana banyak orang yang mempertaruhkan banyak uang dalam judi tersebut. Tindakan bertaruh inilah yang dianggap oleh Geertz sebagai deep play di mana para laki-laki menjadi orang-orang yang irasional dengan mempertaruhkan banyak uang di arena sabung ayam. Meski begitu, uang yang dipertaruhkan ini bermakna lain bagi orang-orang itu. Uang menjadi simbol status dan kehormatan.34 Dalam deep play seperti ini, orang bersama-sama mencari kenikmatan

33 Ibid, hal 92.

34 Ibid, hal. 119. Lihat juga dalam Clifford Geertz. The Interpretation of Culture. (New York: Basic

(30)

dengan masuk ke dalam sebuah relasi yang membawa mereka ke dalam kesakitan daripada kenikmatan.35 Konsep ini lalu dikembangkan oleh Schechner dan ia

menyebutnya sebagai dark play.

Konsep dark play, menurut Schechner, diibaratkan seperti bermain dengan api. Sebuah tindakan playing yang menekankan adanya resiko, muslihat, dan rasa serta sensasi kenikmatan yang murni. Dark play juga melibatkan fantasi, resiko, keberuntungan, perhatian, dan penemuan. Dark play dapat bersifat privat, hanya pemainnya yang tahu atau dapat juga meledak secara tiba-tiba, melibatkan sebuah microplay, menahan pemainnya dan kemudian segera berangsur normal. Poin penting dari yang dipaparkan Schechner adalah bahwa dark play mensubversi tatanan yang berlaku, mengaburkan bentuk-bentuk tertentu, dan dapat melanggar aturannya sendiri sehingga tindakan playing nya itu sendiri berpotensi untuk dihancurkan. Meski begitu, tetap saja dark play bersifat subversif, dan agendanya selalu tersembunyi. Dengan melakukan dark play, pemainnya akan terpuaskan dengan terbentuknya muslihat, disrupsi, dan ekses yang diperlukan oleh si pemain.36 Dalam konteks penelitian ini, konsep ini dipakai untuk menjelaskan strategi Ayu, Popo, Hera, dan Lilin dalam penampilan mereka dalam usaha resistensi mereka terhadap skena ekstrem metal yang distigmakan sebagai dunia yang maskulin. Melalui

performance mereka, akan ditunjukkan bahwa mereka bermain-main dengan

narasi-narasi yang ada di skena ekstrem metal sebagai sebuah transgresi untuk mendisrupsi stigma/aturan yang telah ada. Sebagaimana ditunjukkan oleh Schechner, dark play yang dapat provokatif, menakutkan, dan juga nikmat, dapat dipahami sebagai sebuah keadaan bermain-main (playing) dalam rangka membentuk, mengekplorasi batas-batas kuasa hirarki dan resistensi terhadap dunia yang mendominasi mereka. Dengan adanya

35 Ibid. 36 Ibid.

(31)

resistensi itu dalam dark play itu, asumsinya adalah bahwa mereka mendapatkan kepuasan yang melibatkan tindakan-tindakan dari yang beresiko tinggi bagi fisik maupun emosi mereka ke penemuan sesuatu yang baru dan pelibatan diri mereka kepada Liyan. Schechner menyebut dalam dark play terkandung sesuatu yang membebaskan dan memuaskan.37

Berkaitan dengan dark play, konsep transgresi juga menjadi relevan untuk melihat

performance mereka. Transgresi menjadi jantung dan keunikan bagi skena ekstrem metal.

Membaca dark play keempat vokalis perempuan tersebut tak bisa dilepaskan dari transgresi itu sendiri. Keith Kahn Harris dalam bukunya yang berjudul Extreme Metal

Music and The Culture on the Edge memaparkan bahwa transgresi merupakan elemen

sentral yang ada dalam praktik-praktik di skena ekstrem metal. Transgresi ini bersifat eksesif, melawan dan melewati batas-batas, menunjukkan kesenangan sekaligus ketakutan dalam skena dan di sisi lain juga secara terus menerus memperkuat rasa kontrol dan potensi yang ada di dalam diri.38 Pembacaan dark play dari Ayu, Popo, Hera, dan Lilin akan dilakukan dalam lingkup tiga kategori transgresi dalam skena ekstrem metal yang dipaparkan oleh Harris. Ketiga kategori itu adalah sonic transgression, discursive

transgression, dan bodily transgression.39 Sonic transgression, sebagaimana dijabarkan

Harris, meliputi bidang musik. Dalam konteks penelitian ini, dilakukan pembacaan pada teknik vokal scream dan growl dari para vokalis perempuan tadi. Sementara discursive

transgression bertolak pada apapun yang diangkat atau dibicarakan oleh para pelaku

dalam skena ekstrem metal.40 Dalam hal ini, lirik lagu yang ditulis oleh Ayu, Popo, Hera, dan Lilin akan menjadi topik utama yang akan dibahas beserta latar belakang penulisan

37 Ibid, hal 121.

38 Harris, 2007. Op.Cit., hal. 30. 39 Ibid.

(32)

lirik lagu dan juga latar belakang penulisan lirik tersebut. Discursive transgression ini kemudian memiliki implikasi pada bodily transgression.41 Fahsion di panggung,

keterlibatan dalam moshpit, serta bahasa tubuh dalam sebuah pertunjukan menjadi fokus pada pembahasan kategori bodily transgression. Dengan pembacaan melalui tiga kategori ini, akan ditunjukkan dark play yang dilakukan oleh Ayu, Popo, Hera, dan Lilin yang tercermin dalam performance mereka.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Schechner, dark play juga tak terlepas dari fantasi si pemain dalam membangun tindakan-tindakannya. Fantasi ini, dalam penelitian ini, adalah hal yang menggerakkan si pemain untuk bertindak atau dalam hal ini melakukan performance sebagai seorang vokalis band ekstrem metal. Maka, konsep fantasi yang ditawarkan dalam pendekatan psikoanalisis Lacanian menjadi konsep yang mampu menjelaskan fantasi yang menggerakkan performance empat vokalis ekstrem metal perempuan tersebut. Konsep ini dipakai Lacan dengan mengekplorasi gagasan dari Freud. Ia menggunakan gagasan fantasi untuk merepresentasikan sebuah gambaran atau imagi yang ditampilkan ke dalam imajinasi dan dari situ membentuk “unconscious desire”. Lacan kemudian membandingkan konsep fantasi itu dengan imagi beku dalam sebuah sinema.42

Dalam pandangan psikoanalisis Lacanian, terdapat tiga fase yang dapat menjelaskan proses individu menjadi subjek. Ketiga fase itu adalah fase imajiner, simbolik, dan Real. Fase imajiner atau fase cermin terjadi ketika seorang anak masih berusia 6-18 bulan melihat dirinya secara utuh, tetapi ia kemudian mulai mengenali dirinya yang lain (a’) yang merupakan bayangannya di cermin. Tentu saja, cermin ini

41 Ibid, hal. 44.

42 Evans, Dylan. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis, (London: Routledge, 2006),

(33)

bersifat metaforis dan bukan berarti si bayi ini bercermin di cermin yang sesungguhnya. Ia menyadari adanya liyan untuk pertama kalinya.43 Fase imajiner dapat dikatakan

sebagai identifikasi pertama si Subjek akan adanya Liyan.44 Di sinilah ego terbentuk dalam diri si Subjek.45

Fase imajiner selanjutnya menjadi dasar untuk masuk ke dalam fase selanjutnya yaitu fase simbolik atau bahasa. Dalam fase ini, Subjek mulai mengenal bahasa (hukum, aturan) yang berlaku di masyarakat. Fase ini juga berhubungan dengan hasrat (desire). Subjek mulai menyadari bahwa semua hasratnya tidak bisa diakomodasi oleh hukum dan tatanan yang ada di fase simbolik ini. Oleh karena itu, kastrasi terjadi dan Subjek menjadi terbelah ($). Manusia dilihat sebagai subjek yang terkastrasi atau subjek yang terbelah ($) sehingga subjek mengalami lack atau kekosongan. Subjek ini dalam hidupnya senantiasa mencari objet petit a untuk menutupi lack-nya itu. Subjek tidak mungkin bertemu langsung dengan objet petit a sebab hal ini bersifat traumatik. Inilah yang terjadi pada fese ketiga, yaitu fase Real. Fase ini adalah fase yang melampaui fase imajiner dan fase simbolik. Fase ini berkaitan ketidakmungkinan dan Real menolak untuk disimbolisasi. Maka, Real juga bersifat traumatik. Trauma ini yang terus menerus kembali kepada si Subjek, tetapi selalu dihindari.46

Dalam hal ini, fantasi muncul sebagai limpahan hasrat subjek dalam usahanya mencari objet petit a dari liyan karena tak mungkin. Poin penting dari pandangan psikoanalisa Lacanian ini, dikatakan Slavoj Žižek, adalah bahwa hasrat bukanlah sesuatu

43 Lorenzo Chiesa. Subjectivity and Otherness: A Philosopical Reading of Lacan. (Massachusetts: MIT

Press, 2007), hal 16.

44 Jacques Lacan. Ecrits: A Selection. Terj. Alan Sheridan (London & New York: Routledge, 2001), hal

1-6.

45 Evans, 1996, Op. Cit., hal. 193. 46 Evans, 1996, Op. Cit., hal. 162-163.

(34)

yang terberi, melainkan sesautu yang harus dikonstruksi. Di sinilah peran fantasi menjadi penting karena fantasi menunjukkan koordinat hasrat si subjek47. Dengan kata lain, fantasi

mengajarkan subjek untuk menghasrati sesuatu. Ia menjadi narasi dan memberi panggung bagi subjek dalam upayanya menutup celah kekosongan akibat lack atau hilangnya objet petit a. Fantasi merupakan narasi yang menjadi sebab atas kebuntutan hasrat. Fantasi merupakan lapisan tipis yang memisahkan hasrat dan dorongan.

Ada tujuh ciri-ciri fantasi yang dielaborasi oleh Žižek. Ketujuh ciri-ciri itu adalah fantasi bergerak dalam mewadahi kelimpahan hasrat, intersubjektif, hadir sebagai bentuk narasi primordial, ketidakmungkinan, fantasi memperlihatkan momen kastrasi, fantasi merepresentasikan pelanggaran melekat (inherent transgression), dan tawaran tanpa wujud.48 Dalam konteks ini, fantasi memberikan narasi serta rasionalisasi. Dengan kata lain, fantasi menyediakan sebuah gambaran dan alasan kebuntuan hasrat karena

jouissance telah diambil oleh liyan.49 Oleh karena itu, fantasi, mengutip Ormrod, adalah sebuah narasi tau gambaran yang bekerja dalam struktur penanda dalam dunia simbolik. Fantasi menjadi alat untuk mewadahi kelimpahan hasrat yang tak lagi mampu dipenuhi oleh bahasa simbolik, tetapi tetap meminjam bahasa-bahasa simbolik untuknya bekerja. Dengan kata lain, fantasi menyangga hasrat.50 Dalam penelitian ini, konsep fantasi akan

digunakan untuk menjabarkan fantasi macam apa yang mendasari dark play melalui

performance Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, dan Hera Mary.

47 Slavoj Žižek. Looking Awry; An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture. (Cambridge:

MIT Press, 1992) hal. 5

48 James Ormrod. Fantasy and Social Movements. (London: Palgrave Macmillan, 2014) hal. 113-116. 49 Slavoj Žižek.The Plague of Fantasy. (London: Verso, 2008), hal. 43.

(35)

G. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menyoroti performance empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia di Indonesia dan fantasi yang mendasarinya. Oleh karena itu, sebuah pendekatan hermeneutik diperlukan karena memiliki kekuatan berupa validitas dialogis. Menurut Saukko, pendekatan hermeneutik beserta validitas dialogisnya bisa digunakan untuk melihat pengalaman dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian51. Artinya, dengan pendekatan ini, penulis dimungkinkan untuk menyajikan

pengalaman hidup subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri. Ini sejalan dengan apa yang ditambahkan Saukko mengenai validitas dialogis. Ia mengatakan bahwa caliditas dialogis memiliki tujuan etnografis untuk memperlihatkan sudut pandang subjek yang diteliti52. Meski begitu, pendekatan ini pun harus dilakukan secara kritis mengingat para artis metal perempuan itupun ada dalam konteks masyarakat tertentu. Oleh karenanya, konteks sejarah dan kultural tidak akan diabaikan dalam pengalaman hidup mereka.

Pengambilan data untuk penelitan ini akan dilakukan dengan dua cara. Yang pertama adalah lewat wawancara. Oleh karena fokus penelitian ini adalah fantasi dalam

performance vokalis ekstrem metal di Indonesia, maka untuk membatasi informan,

penulis memilih empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia untuk diwawancarai. Pemilihan ini didasarkan atas dua kriteria. Kriteria pertama adalah mereka masih aktif dalam bermusik, kedua mereka telah menghasilkan karya berupa sebuah album bersama bandnya. Vokalis pertama adalah Fransisca Ayu dari band asal Yogyakarta yang beraliran metalcore, Killed on Juarez (KoJ) dan band beraliran mathcore, Leftyfish. Ayu lahir di Yogyakarta pada 6 Juni 1992. Ia menjadi vokalis band

51 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies (London: Sage Publications, 2003), hal. 19-20. 52 Ibid.

(36)

KoJ sejak tahun 2012 dan kemudian bergabung dengan Leftyfish pada tahun 2014. Vokalis kedua adalah Lilin Purnamasari. Lilin lahir di Jakarta pada 12 September 1988. Selain aktif bersama GOADS, Lilin sehari-hari juga bekerja pada bidang marketing di salah satu perusahaan produk perawatan diri. Vokalis ketiga adalah Popo Puji Apriantikasari dari band death metal asal Bandung, Demons Damn. Ia lahir di Bandung pada 1 Januari 1990. Selain mejadi vokalis Demons Damn sejak tahun 2009, ia sehari-hari juga menjalankan usaha clothing bernama Evergrind. Ia juga menjadi mentor bagi beberapa vokalis death metal di Bandung yang akan rekaman atau melakukan tur. Vokalis keempat adalah Hera Mary dari band sludge metal OATH. Hera lahir di Bandung pada 19 MAret 1988 dengan nama lengkap Hera Maryani. Selain menjadi vokalis OATH, ia juga pernah menyutradarai film dokumenter bertajuk “Ini Scene Kami Juga” yang menyorot peran perempuan dalam skena hardcore punk di Indonesia. Sehari-hari ia juga memiliki usaha clothing bernama Covin.

Selain wawancara dengan empat informan utama yang telah disebut di atas, wawancara informan pendukung juga dilakukan. Dua informan pendukung tersebut adalah Wendi Putranto dan Kartika Jahja. Wendi adalah mantan wartawan Rolling Stone Indonesia. Sebelumnya, ia merintis zine Brainwashed yang memiliki konten tentang skena metal di Indonesia. Dengan rekam jejak demikian, Wendi menjadi sosok penting untuk diwawancara guna melihat sejarah musik metal di Indonesia. Sementara Kartika Jahja adalah seorang vokalis dalam band Tika & The Dissidents. Selain itu, ia juga seorang aktivis perempuan yang menaruh perhatian pada peran perempuan di skena musik di Indonesia, khususnya dalam skena musik independent. Ia aktif sebagai salah seorang inisiator Kolektif Betina.

(37)

Cara kedua adalah dengan melakukan pembacaan dan pengamatan rekaman penampilan (live performance) empat vokalis tadi bersama bandnya dan lagu-lagu yang mereka tulis. Kajian pustaka juga menjadi metode dalam penelitian ini untuk melihat konteks sosio-historis skena ekstrem metal di Indonesia dan keterlibatan perempuan di dalamnya.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi dalam empat bab. Bab pertama berisi latar belakang penulisan tesis ini perlu dilakukan. Selain itu, bab satu juga akan menyajikan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis, metode penelitian, serta sistematika penelitian. Bab dua merupakan konteks sosio-kultural bagaimana musik dan kultur metal masuk ke Indonesia dan berbagai dinamikanya hingga kini. Selain itu, bab ini juga menguraikan pertanyaan pertama dari penelitian ini yang adalah mengenai keterlibatan perempuan serta representasi mereka dalam komunitas metal di Indonesia bab ini. Dalam bab tiga, disajikan pembahasan pada pertanyaan penelitian yang kedua dan ketiga. Pertanyaan kedua adalah mengenai daya

performance (dark play) dari Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, dan Hera

Mary. Oleh karenanya, bab tiga ini berisi penjabaran mengenai performance empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia tersebut. Selain itu, pertanyaan penelitian ketiga yaitu mengenai fantasi yang mendasari performance (dark play) mereka juga akan diuraikan pada bab tiga ini. Maka, bab tiga juga berisi eksplorasi tentang fantasi yang mendasari performance (dark play) mereka. Terakhir adalah bab empat. Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian ini dan rekomendasi untuk penelitian di masa yang akan datang mengenai tema serupa.

(38)

32 BAB II

PEREMPUAN DAN SKENA EKSTREM METAL

Bagian ini menguraikan representasi perempuan dalam skena ekstrem metal secara global pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Namun, sebelum itu, penjelasan mengenai sejarah perkembangan skena metal hingga munculnya ekstrem metal yang terdiri dari death metal, black metal, grindcore, doom metal, hingga sludge metal dikhususkan untuk memberi konteks mengenai gaya (style) unik dari berbagai subgenre tersebut. Selanjutnya, representasi perempuan dalam skena ekstrem metal diuraikan sekaligus untuk mengeksplorasi dinamika keterlibatan perempuan dalam skena ekstrem metal baik dalam konteks global maupun secara khusus dalam konteks Indonesia. A. Dari Heavy Metal ke Ekstrem Metal

Pada akhir dekade 60 an dan awal dekade 70 an, heavy metal53 lahir di Inggris sebagai sebuah turunan dari musik rock Black Sabbath, Deep Purple, dan Led Zeppelin menjadi band-band yang dianggap bertanggungjawab atas perkembangan awal musik Heavy Metal. Deena Wenstein menggambarkan bahwa yang esensial dari jenis musik ini adalah power (kekuatan, kuasa) yang diekspresikan dalam volume yang keras dan berisik guna membawa para pendengarnya kepada rasa power itu sendiri. Sound (suara) yang diproduksi dari heavy metal adalah hasil dari distorsi pada instrument gitar54. Tema-tema

53 Istiah Heavy Metal muncul pertama kali dalam lirik lagu “Born to Be Wild” dari band Steppenwolf.

Lagu ini menjadi lagu anthem di kultur para biker sepeda motor di tahun 1968 karena dianggap merayakan “heavy metal thunder” dalam kehidupan mereka. Namun, istilah ini diyakini lebih dulu muncul di khalayak umum di tahun 1962 lewat novel Naked Lunch karya novelis William S. Burrough yang menceritakan fantasi dan pengakuan tentang obat-obatan terlarang dan kekerasan seksual. Burrough seringkali disebut sebagai penemu istilah ini. Walser, 1992, hal. 8; Weinstein, 1993, hal. 19.

Gambar

Gambar 3.1 Fransisca Ayu tampil  bersama Leftyfish. Foto oleh: Yulianus  Febriarko.
Gambar 3.2 Fransisca Ayu tampil bersama  Killed on Juarez (Foto oleh: Putro Setiawan)
Gambar 3.3 Lilin tampil bersama  GOADS. Foto oleh: Stagehunter
Gambar 3. 4. Popo Puji tampil bersama Demons Damn.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Dilihat dari potensi berfikir, rata-rata mahasiswa memiliki potensi berfikir tentang investasi dalam kategori cukup dengan nilai 8,68; dilihat

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui kernel terbaik pada metode Support Vector Machine untuk melakukan analisis sentimen terhadap tweet

94 R.. i) Kursus Pastoral Keluarga: Kursus Pastoral Keluarga diadakan oleh Komkel KAJ. Paroki sebaiknya menaruh perhatian pada program ini dengan mengirimkan rasul

Pengujian yang dilakukan penulis (pengembang sistem) terhadap unjuk kerja dari Situs Web Pemilihan Jurusan SMK menggunakan Metode Composite Performance Index

Berbeda dengan maksud kata emotif “wela” seperti yang terdapat pada DKWBJ1, pada data DKWBJ2 berikut ini, maksud dari kata emotif tersebut adalah untuk menunjukkan

Awal dalam memulai usaha baik dalam usaha produksi maupun jasa,hal dalam perencanan lokasi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam karena baik langsung maupun

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan evaluasi bagi individu yang menjalani pernikahan jarak jauh sehingga mereka dapat memahami gaya attachment yang

Metode untuk mendapatkan koefisien ekspansi volume zat cair yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan mengukur nilai indeks bias zat cair yang menurun akibat kenaikkan