• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi mengenai performance tentu tak bisa lepas dari konsep performance yang dikemukakan oleh Richard Schechner. Dalam membaca performance Fransisca Ayu, Popo Puji, Hera Mary, dan Lilin Purnamasari sebagai vokalis band ekstrem metal, maka konsep performance pun diperlukan, khususnya konsep mengenai deep play/dark play.

29 Sonia Vasan, “Den Mothers” and “Band Whores”; Gender, Sex and Power in the Death Metal Scene, dalam Rosemary Hill & Karl Sprakclen (eds.) Heavy Fundametalism: Music, Metal, and Politics (Oxford: Inter-Disciplinary Press, 2010), hal. 69-77.

30 Wallach, J. Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia 1997-2001. (Wisconsin: The Univesity of Wisconsin Press, 2008), hal. 235.

Pertunjukan, konser, atau gigs ekstrem metal yang ditunjukkan oleh empat vokalis perempuan yang disebut tadi menggambarkan manusia-manusia yang sedang bermain (playing) di panggung musik. Schechner mengelaborasi bahwa playing merupakan jantung dari performance itu sendiri. Performance dapat dikatakan sebagai sebuah ritualisasi tingkah laku/aksi yang terkondisikan atau terserap dalam play. Meski sukar untuk didefinisikan secara tepat, play diartikan sebagai sesautu yang melingkupi rasa, aktivitas, maupun sesuatu yang muncul secara spontan. Dengan demikian, play dapat terjadi di dalam aturan atau dapat juga bersifat bebas. Play dapat terjadi di mana saja, dalam konteks ini terjadi di panggung pertunjukan musik, dan dapat menjadi sebuah tindakan yang dapat mengganggu (subversive) kekuatan dominan.31 Setiap orang memainkan play dan setiap orang juga melihat dan senang melihat play tersebut di mana saja. Dalam kacamata ini, asumsi yang muncul adalah bahwa Ayu, Hera Mary, dan Popo Puji menunjukkaan sebuah play sebagai sebuah strategi subversif terhadap skena ekstrem metal yang didominasi laki-laki.

Play yang ditunjukkan oleh empat vokalis perempuan tadi lalu menjadi penting

untuk dilihat dari skema bermainnya (playing). Schechner menjabarkan bahwa playing (bermain) merupakan sesautu yang bermata dua dan selalu bergerak. Acap kali orang melibatkan play di dalamnya. Playing merupakan sebuah aktivitas atau penampilan yang menampilkan hal-hal yang berhubungan dengan seni dan kreativitas dengan tujuan untuk meringankan, mensubversi, atau bahkan menolak hal yang sedang dikomunikasikan.32 Misalnya Ayu sebagai vokalis Leftyfish justru bermain-main dengan stigma bahwa metal menunjukkan kelaki-lakian. Ia memakai dress panjang ketika tampil di panggung untuk

31 Richard Schechner. Performance Studies: An Introduction; Third Edition. (London & New York: Routledge, 2013), hal. 89.

memperlihatkan bahwa perempuan pun dapat tampil dengan pakaian pilihannya tanpa harus mengakomodasi stigma bahwa metal bersifat maskulin. Playing menciptakan dalam dirinya sendiri realitas-realitas baru dengan batasan-batasan yang cair. Playing penuh dengan proses kreatif pembentukan suatu dunia atau wacana. Oleh karena itu, play yang juga merujuk pada playing adalah sebuah performance yang dilakukan secara terbuka atau dilakukan di publik dan bersifat performatif ketika merujuk pada orang yang sedang bermain sebagai sebuah strategi atau imajinasi untuk menunjukkan sesuatu dan melampaui hal yang ditunjukkan itu sendiri.33

Performance dan tindakan bermain (playing) yang dilakukan Ayu, Popo, Hera,

dan Lilin tentu menjadi sesuatu yang memiliki resiko besar bagi diri mereka yang berada di dalam skena yang didominasi laki-laki. Schecner juga mengatakan bahwa playing dapat menjadi sesuatu yang beresiko dan berbahaya secara fisik maupun emosional. Untuk lebih secara mendalam membaca performance (playing) yang dilakukan empat vokalis tersebut, konsep dark play diperlukan. Konsep ini ditawarkan oleh Schechner dengan mengeksplorasi konsep deep play yang sebelumnya sudah dikenalkan oleh Clifford Geertz yang meminjam konsep itu dari Jeremy Bentham. Deep play digunakan Geertz untuk menggambarkan tentang judi sabbung ayam di Bali di mana banyak orang yang mempertaruhkan banyak uang dalam judi tersebut. Tindakan bertaruh inilah yang dianggap oleh Geertz sebagai deep play di mana para laki-laki menjadi orang-orang yang irasional dengan mempertaruhkan banyak uang di arena sabung ayam. Meski begitu, uang yang dipertaruhkan ini bermakna lain bagi orang-orang itu. Uang menjadi simbol status dan kehormatan.34 Dalam deep play seperti ini, orang bersama-sama mencari kenikmatan

33 Ibid, hal 92.

34 Ibid, hal. 119. Lihat juga dalam Clifford Geertz. The Interpretation of Culture. (New York: Basic Books, 1973), hal. 32-33.

dengan masuk ke dalam sebuah relasi yang membawa mereka ke dalam kesakitan daripada kenikmatan.35 Konsep ini lalu dikembangkan oleh Schechner dan ia menyebutnya sebagai dark play.

Konsep dark play, menurut Schechner, diibaratkan seperti bermain dengan api. Sebuah tindakan playing yang menekankan adanya resiko, muslihat, dan rasa serta sensasi kenikmatan yang murni. Dark play juga melibatkan fantasi, resiko, keberuntungan, perhatian, dan penemuan. Dark play dapat bersifat privat, hanya pemainnya yang tahu atau dapat juga meledak secara tiba-tiba, melibatkan sebuah microplay, menahan pemainnya dan kemudian segera berangsur normal. Poin penting dari yang dipaparkan Schechner adalah bahwa dark play mensubversi tatanan yang berlaku, mengaburkan bentuk-bentuk tertentu, dan dapat melanggar aturannya sendiri sehingga tindakan playing nya itu sendiri berpotensi untuk dihancurkan. Meski begitu, tetap saja dark play bersifat subversif, dan agendanya selalu tersembunyi. Dengan melakukan dark play, pemainnya akan terpuaskan dengan terbentuknya muslihat, disrupsi, dan ekses yang diperlukan oleh si pemain.36 Dalam konteks penelitian ini, konsep ini dipakai untuk menjelaskan strategi Ayu, Popo, Hera, dan Lilin dalam penampilan mereka dalam usaha resistensi mereka terhadap skena ekstrem metal yang distigmakan sebagai dunia yang maskulin. Melalui

performance mereka, akan ditunjukkan bahwa mereka bermain-main dengan

narasi-narasi yang ada di skena ekstrem metal sebagai sebuah transgresi untuk mendisrupsi stigma/aturan yang telah ada. Sebagaimana ditunjukkan oleh Schechner, dark play yang dapat provokatif, menakutkan, dan juga nikmat, dapat dipahami sebagai sebuah keadaan bermain-main (playing) dalam rangka membentuk, mengekplorasi batas-batas kuasa hirarki dan resistensi terhadap dunia yang mendominasi mereka. Dengan adanya

35 Ibid.

resistensi itu dalam dark play itu, asumsinya adalah bahwa mereka mendapatkan kepuasan yang melibatkan tindakan-tindakan dari yang beresiko tinggi bagi fisik maupun emosi mereka ke penemuan sesuatu yang baru dan pelibatan diri mereka kepada Liyan. Schechner menyebut dalam dark play terkandung sesuatu yang membebaskan dan memuaskan.37

Berkaitan dengan dark play, konsep transgresi juga menjadi relevan untuk melihat

performance mereka. Transgresi menjadi jantung dan keunikan bagi skena ekstrem metal.

Membaca dark play keempat vokalis perempuan tersebut tak bisa dilepaskan dari transgresi itu sendiri. Keith Kahn Harris dalam bukunya yang berjudul Extreme Metal

Music and The Culture on the Edge memaparkan bahwa transgresi merupakan elemen

sentral yang ada dalam praktik-praktik di skena ekstrem metal. Transgresi ini bersifat eksesif, melawan dan melewati batas-batas, menunjukkan kesenangan sekaligus ketakutan dalam skena dan di sisi lain juga secara terus menerus memperkuat rasa kontrol dan potensi yang ada di dalam diri.38 Pembacaan dark play dari Ayu, Popo, Hera, dan Lilin akan dilakukan dalam lingkup tiga kategori transgresi dalam skena ekstrem metal yang dipaparkan oleh Harris. Ketiga kategori itu adalah sonic transgression, discursive

transgression, dan bodily transgression.39 Sonic transgression, sebagaimana dijabarkan Harris, meliputi bidang musik. Dalam konteks penelitian ini, dilakukan pembacaan pada teknik vokal scream dan growl dari para vokalis perempuan tadi. Sementara discursive

transgression bertolak pada apapun yang diangkat atau dibicarakan oleh para pelaku

dalam skena ekstrem metal.40 Dalam hal ini, lirik lagu yang ditulis oleh Ayu, Popo, Hera, dan Lilin akan menjadi topik utama yang akan dibahas beserta latar belakang penulisan

37 Ibid, hal 121.

38 Harris, 2007. Op.Cit., hal. 30.

39 Ibid.

lirik lagu dan juga latar belakang penulisan lirik tersebut. Discursive transgression ini kemudian memiliki implikasi pada bodily transgression.41 Fahsion di panggung, keterlibatan dalam moshpit, serta bahasa tubuh dalam sebuah pertunjukan menjadi fokus pada pembahasan kategori bodily transgression. Dengan pembacaan melalui tiga kategori ini, akan ditunjukkan dark play yang dilakukan oleh Ayu, Popo, Hera, dan Lilin yang tercermin dalam performance mereka.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Schechner, dark play juga tak terlepas dari fantasi si pemain dalam membangun tindakan-tindakannya. Fantasi ini, dalam penelitian ini, adalah hal yang menggerakkan si pemain untuk bertindak atau dalam hal ini melakukan performance sebagai seorang vokalis band ekstrem metal. Maka, konsep fantasi yang ditawarkan dalam pendekatan psikoanalisis Lacanian menjadi konsep yang mampu menjelaskan fantasi yang menggerakkan performance empat vokalis ekstrem metal perempuan tersebut. Konsep ini dipakai Lacan dengan mengekplorasi gagasan dari Freud. Ia menggunakan gagasan fantasi untuk merepresentasikan sebuah gambaran atau imagi yang ditampilkan ke dalam imajinasi dan dari situ membentuk “unconscious desire”. Lacan kemudian membandingkan konsep fantasi itu dengan imagi beku dalam sebuah sinema.42

Dalam pandangan psikoanalisis Lacanian, terdapat tiga fase yang dapat menjelaskan proses individu menjadi subjek. Ketiga fase itu adalah fase imajiner, simbolik, dan Real. Fase imajiner atau fase cermin terjadi ketika seorang anak masih berusia 6-18 bulan melihat dirinya secara utuh, tetapi ia kemudian mulai mengenali dirinya yang lain (a’) yang merupakan bayangannya di cermin. Tentu saja, cermin ini

41 Ibid, hal. 44.

42 Evans, Dylan. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis, (London: Routledge, 2006), hal. 61.

bersifat metaforis dan bukan berarti si bayi ini bercermin di cermin yang sesungguhnya. Ia menyadari adanya liyan untuk pertama kalinya.43 Fase imajiner dapat dikatakan sebagai identifikasi pertama si Subjek akan adanya Liyan.44 Di sinilah ego terbentuk dalam diri si Subjek.45

Fase imajiner selanjutnya menjadi dasar untuk masuk ke dalam fase selanjutnya yaitu fase simbolik atau bahasa. Dalam fase ini, Subjek mulai mengenal bahasa (hukum, aturan) yang berlaku di masyarakat. Fase ini juga berhubungan dengan hasrat (desire). Subjek mulai menyadari bahwa semua hasratnya tidak bisa diakomodasi oleh hukum dan tatanan yang ada di fase simbolik ini. Oleh karena itu, kastrasi terjadi dan Subjek menjadi terbelah ($). Manusia dilihat sebagai subjek yang terkastrasi atau subjek yang terbelah ($) sehingga subjek mengalami lack atau kekosongan. Subjek ini dalam hidupnya senantiasa mencari objet petit a untuk menutupi lack-nya itu. Subjek tidak mungkin bertemu langsung dengan objet petit a sebab hal ini bersifat traumatik. Inilah yang terjadi pada fese ketiga, yaitu fase Real. Fase ini adalah fase yang melampaui fase imajiner dan fase simbolik. Fase ini berkaitan ketidakmungkinan dan Real menolak untuk disimbolisasi. Maka, Real juga bersifat traumatik. Trauma ini yang terus menerus kembali kepada si Subjek, tetapi selalu dihindari.46

Dalam hal ini, fantasi muncul sebagai limpahan hasrat subjek dalam usahanya mencari objet petit a dari liyan karena tak mungkin. Poin penting dari pandangan psikoanalisa Lacanian ini, dikatakan Slavoj Žižek, adalah bahwa hasrat bukanlah sesuatu

43 Lorenzo Chiesa. Subjectivity and Otherness: A Philosopical Reading of Lacan. (Massachusetts: MIT Press, 2007), hal 16.

44 Jacques Lacan. Ecrits: A Selection. Terj. Alan Sheridan (London & New York: Routledge, 2001), hal 1-6.

45 Evans, 1996, Op. Cit., hal. 193.

yang terberi, melainkan sesautu yang harus dikonstruksi. Di sinilah peran fantasi menjadi penting karena fantasi menunjukkan koordinat hasrat si subjek47. Dengan kata lain, fantasi mengajarkan subjek untuk menghasrati sesuatu. Ia menjadi narasi dan memberi panggung bagi subjek dalam upayanya menutup celah kekosongan akibat lack atau hilangnya objet petit a. Fantasi merupakan narasi yang menjadi sebab atas kebuntutan hasrat. Fantasi merupakan lapisan tipis yang memisahkan hasrat dan dorongan.

Ada tujuh ciri-ciri fantasi yang dielaborasi oleh Žižek. Ketujuh ciri-ciri itu adalah fantasi bergerak dalam mewadahi kelimpahan hasrat, intersubjektif, hadir sebagai bentuk narasi primordial, ketidakmungkinan, fantasi memperlihatkan momen kastrasi, fantasi merepresentasikan pelanggaran melekat (inherent transgression), dan tawaran tanpa wujud.48 Dalam konteks ini, fantasi memberikan narasi serta rasionalisasi. Dengan kata lain, fantasi menyediakan sebuah gambaran dan alasan kebuntuan hasrat karena

jouissance telah diambil oleh liyan.49 Oleh karena itu, fantasi, mengutip Ormrod, adalah sebuah narasi tau gambaran yang bekerja dalam struktur penanda dalam dunia simbolik. Fantasi menjadi alat untuk mewadahi kelimpahan hasrat yang tak lagi mampu dipenuhi oleh bahasa simbolik, tetapi tetap meminjam bahasa-bahasa simbolik untuknya bekerja. Dengan kata lain, fantasi menyangga hasrat.50 Dalam penelitian ini, konsep fantasi akan digunakan untuk menjabarkan fantasi macam apa yang mendasari dark play melalui

performance Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, dan Hera Mary.

47 Slavoj Žižek. Looking Awry; An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture. (Cambridge: MIT Press, 1992) hal. 5

48 James Ormrod. Fantasy and Social Movements. (London: Palgrave Macmillan, 2014) hal. 113-116.

49 Slavoj Žižek.The Plague of Fantasy. (London: Verso, 2008), hal. 43.