• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geraman/Teriakan: Transgresi Suara

Growl/scream (Geraman/teriakan) menjadi salah satu karakteristik dari ekstrem

metal. Dalam performancenya, Fransisca Ayu mengombinasikan kedua teknik itu baik ketika rekaman maupun ketika di panggung. Ia bermain dalam dua band yang memiliki karakteristik cukup berbeda. Seperti sudah saya singgung di bagian pendahuluan, di band metalcore Killed on Juarez, Ayu lebih menonjolkan kekuatan geraman dan teriakan. Sementara itu, di Leftyfish, ia menambahkan suara clean dan terkesan centil seperti gadis kecil yang sedang asyik bermain. Ketika bermain di Leftyfish ia menggunakan pendekatan sedikit berbeda dalam teknik vokalnya. Berikut catatan saya ketika menyaksikan penampilan Fransisca Ayu ketika ia tampil sebagai vokalis Leftyfish dalam gelaran Bingo YK pada bulan Juni 2019 lalu.

Sebuah band metal membawakan lagu pop dengan gaya metal tentu adalah sebuah hal yang akan membuat rasa penasaran naik ke level tertinggi. Hal ini pun yang saya rasakan ketika LeftyFish, band math-core asal Yogyakarta, mengumumkan bahwa mereka akan tampil di gelaran Bingo YK, sebuah acara tribute untuk 48 Family atau para

penggemar JKT 48 pada akhir Juni 2019 lalu. Tentu saja dalam acara dengan tajuk tribute, LeftyFish akan membawakan salah satu lagu dari JKT48 di depan para penggemar grup idol yang sangat populer itu.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam lebih sedikit ketika saya sampai di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, tempat Bingo YK digelar. Tak selang berapa lama, para personel LeftyFish datang. Halim Budiono, gitaris yang adalah otak di balik terbentuknya LeftyFish, hadir terlebih dadulu. Kemudian personel lainnya pun datang hampir bersamaan. Vokalis Fransisca Ayu datang setelah Halim dan kemudian bertegur sapa dengan saya. Ia berkata bahwa LeftyFish akan membawakan “River”, salah satu lagu hits dari JKT48. Berikutnya, Arya Andy Putra, sang drummer, dan pemain keyboard, Winan Pratama, hadir menyusul. Malam itu, LeftyFish juga dibantu oleh pemain trumpet Dodi Rahmadi.

Rasa penasaran saya semakin mencapai puncaknya tatkala saya membayangkan akan jadi seperti apa lagu “River” diolah oleh unit mathcore bernama LeftyFish, band yang dikenal dengan kerumitan musikal sebagai keunikan mereka. Kerumitan itu sebelumnya telah terpatri dalam EP bertajuk “You, Fish!” yang dirilis akhir 2015 silam dan dalam album bertajuk “Hello Kittie’s Spank” yang keluar tahun lalu. Bagaimana tidak penasaran, kedua album LeftyFish itu adalah perwujudan eksperimen-eksperimen LeftyFish dalam meramu elemen-elemen metal dan jazz sebagai suatu kesatuan. Lagu-lagu di dalamnya terdengar kacau dan rumit namun tetap menimbulkan sensasi ecstatic. Ketukan drum yang janggal dan tempo yang berubah-ubah secara mendadak dipadu dengan distorsi gitar serta sensasi jazzy dari kibor, trumpet, trombone dan saxophone memantapkan premis saya mengenai LeftyFish: rumit namun manis. Premis saya itu juga terwujud dari gaya vokal Fransisca Ayu yang garang penuh dengan scream dan growl

namun bisa tiba-tiba berubah menjadi suara centil nan manis. Bermodalkan mendengarkan dua album itulah yang menjadi alasan saya sangat penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan terhadap “River” dari JKT48.

Saat yang ditunggu tiba, LeftyFish mengambil alih panggung. Di depan para penonton yang kebanyakan adalah para penggemar JKT48, LeftyFish membawakan lagu-lagu dari album mereka. Alih-alih beranjak dari tempat mereka berdiri karena musik rumit yang dibawakan LeftyFish, para penonton justru memberikan apresiasi tinggi bagi mereka. Beberapa kali vokalis Ayu mengatakan rasa terharu dan terima kasihnya karena bisa bermain di sebuah acara yang langka terjadi bagi LeftyFish serta mendapat apresiasi tinggi dari para penontonnya. Apresiasi tersebut juga mencapai puncak tertingginya ketika akhirnya mereka mambawakan “River”. Ini sekaligus menandakan terbayarnya rasa penasaran saya. LeftyFish berhasil menyuntikan nafas musikal yang rumit dan kacau pada “River”. Ayu sebagai vokalis pun menunjukkan kemampuannya. Ia dapat bernyayi dengan gaya centil layaknya personel JKT48 namun tiba-tiba berubah menjadi garang dengan suara growlnya. Sebagai contoh, dalam lirik “Tepat di depan matamu ada sungai mengalir, luas, sebuah sungai yang besar, walaupun gelap dan dalam, walaupun arusnya deras”. Di awal bagian itu, ia menyanyikan dengan suara clean. Namun, setelah itu, secara tiba-tiba ia mengubah gaya vokalnya dengan growl yang ganas serta scream di beberapa bagian lagu. Aransemen musiknya pun sangat khas LeftyFish: ketukan tempo drum yang cepat dan berubah-ubah, distorsi gitar meraung-raung, serta sensai jazzy dari kibor dan trumpet yang membuat premis saya mengenai LeftyFish yang rumit namun manis terbukti kembali. Penonton pun bertepuk tangan dan banyak dari wajah mereka yang menyiratkan kekaguman, serta kekagetan bahwa lagu “River” bisa dibawakan

dengan gaya yang demikian. LeftyFish mampu memunculkan kerumitan dan kekacauan, tetapi manis dan nikmat di saat bersamaan.

Seusai pertunjukan itu saya berbincang dengan Ayu mengenai penampilannya. Ia berkata bahwa penambahan clean vocal yang terdengar centil itu merupakan kebutuhan dari lagu serta bentuk eksperimen dia sebagai seorang vokalis. Ini senada dengan yang ia ceritakan ketika saya berbincang dengannya secara lebih mendalam tentang teknik vocal

growl/scream yang ia miliki. Hal yang mengejutkan adalah ia tidak pernah mengikuti les

vokal untuk belajar teknik vokal tersebut. Selain itu, ia juga mengaku bahwa ia awalnya tidak bermain di band metal melainkan band punk bernama Bingoenx and Crazy (BAC).

Gaya vokal clean yang ia terapkan di Leftyfish tidak ia terapkan di band Killed on Juarez (KoJ). Sesuai dengan musik metalcore yang diusung oleh KoJ, Ayu justru tak menggunakan clean vokal meski banyak band-band metalcore serupa menyisipkan vokal clean seperti yang terjadi di band As I Lay Dying dan Killwitch Engage yang merupakan dedengkot aliran metalcore ini. Dalam sebuah acara gigs kecil di AoA Space, Yogyakarta pada 2 Oktober 2019, Ayu menunjukkan kemampuan gaya vokal scream dan growl

Gambar 3.1 Fransisca Ayu tampil bersama Leftyfish. Foto oleh: Yulianus Febriarko.

miliknya. Intensitas musik yang cepat dan padat disertai frekuensi yang tinggi tak membuat ia kendur. Malahan, suaranya terdengar sangat berdaya meski ia juga lompat ke sana-sini. Usai tampil, ia bercerita pada saya bahwa gigs malam itu adalah salah satu gigs paling menyenangkan dan memuaskan bagi dirinya. Ia memberi dua alasan. Pertama, sudah lama ia tak tampil bersama KoJ. Ia merasa gigs malam itu menjadi pengobat rindu akan hasratnya untuk manggung. Alasan kedua berkelindan pula dengan alasan pertama. Ia merasa puas karena ia malam itu sanggup memproduksi suara growl dan scream dengan maksimal setelah sekitar setahun tak manggung dengan KoJ.

Dalam wawancara di tempat terpisah, ia mengaku bahwa scream dan

nge-growl bukanlah hal yang mudah. Sejak aktif sebagi vokalis band, ia selalu belajar secara

otodidak. Tak ada yang mengajarinya tentang cara melakukan scream dan growl. Karakter scream dan growl ia latih sendiri bermodalkan mendengarkan gaya vokalis dari band-band setipe yang lain, terutama gaya vokal Candace Kucsulain, vokalis perempuan band hardcore legendaris Wall of Jericho. Dari dialah Ayu pertama kali memulai mempraktikan gaya vokal scream dan growl.103

103 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018. Gambar 3.2 Fransisca Ayu tampil bersama Killed on Juarez (Foto oleh: Putro Setiawan)

Bagi Ayu, menguasai teknik scream dan growl bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Ia menyadari bahwa gaya vokal seperti itu sangat beresiko bila tak dilatih dan dilakukan dengan benar. Maka, ia selalu memperbaharui musik dari album band-band se-genre sebagai upayanya untuk mengeksplorasi gaya vokalnya. Ia menuturkan bahwa ia tidak mau terkotak-kotakkan oleh jenis musik tertentu. Bila ada warna baru yang bisa ia masukkan dalam gaya vokalnya, dia tak ragu untuk mempelajari dan kemudian mengimplementasikan pengaruh atau warna baru itu. Selain itu, ia juga mengimplementasikan gaya hidup sehat agar suara yang ia hasilkan dapat maksimal. Sedari pertama nge-band, ia tak pernah merokok dan minum alcohol. Kata dia, hal tersebut sangat berpengaruh positif bagi gaya vokal yang ia ekplorasi terus menerus. Ruang eksplorasi itulah yang membuat Ayu semakin berhasrat untuk terus belajar mengenai teknik vokal ini.104

Meski ia begitu serius dalam usahanya itu, inferiorisasi masih sering terjadi kepada dirinya. Misalnya saja, ia menuturkan sehabis manggung seringkali para penonton, terutama yang laki-laki, memandangnya bukan dari skill dan performance yang ia tampilkan. Kata Ayu, komentar-komentar yang meragukan kemampuannya seringkali muncul.

“Justru dari selesai manggung, terus sering ada yang nanya : ‘mbak habis makan apa e? kok bisa sih?’ Kadang-kadang yang meragukan gitu adalah cowok-cowok tapi yang ga berkarya, jadi mungkin mereka merasa jenjang sosial karena aku cewek. Terus mereka akhirnya meragukan gitu. Atau dia punya band tapi belum bisa sampai level itu, ada beda gender yang membuat kesenjangan sosial dan memunculkan dengki-dengki ga jelas gitu”.

Ayu menjelaskan, inferiorisasi semacam itu di satu sisi memang membuatnya merasa tidak percaya diri, tetapi di sisi lain, ia menganggap hal itu sebagai suatu

pencapaian dan kepuasan. Sebab, ia bisa menunjukkan bahwa ia, yang kerap diinferiorisasi, mampu menguasai teknik vokal yang tak semua orang mampu menguasai. Perubahan akan cara pandang tentang gaya vokal yang selama ini dinilai bersifat maskulin menjadi suatu hal yang diidamkannya. Baginya, pengorbanan vokalis perempuan, termasuk dirinya lebih banyak bila dibandingkan dengan laki-laki. Maka, ia menilai ketika ia mampu menguasai dan menampilkan gaya vokal scream/growl, harusnya orang-orang juga bisa melihat dari perspektif yang berbeda dan tidak melulu meragukan dan “nyinyir”.

Serupa dengan apa yang ditampilkan oleh Ayu di Killed on Juarez, Lilin Purnamasari dari Goads juga menggunakan teknik vokal growl dan scream. Menariknya, ia justru awalnya tak tertarik untuk menjadi vokalis band. Ia awalnya bergabung di skena hardcore Jakarta sebagai seorang fotografer panggung. Di tahun 2006 ia diajak bergabung sebagai vokalis di band hardcore Before Down. Ia awalnya mencoba-coba saja. Dengan modal nekat dan coba-coba itu, ia justru baru menyadari bahwa ia bisa menggunakan teknik growl/scream ketika latihan pertama dengan Before Down. Kebiasaan menonton band-band hardcore menjadi modal Lilin sebagai pengaruhnya untuk menggunakan teknik serupa hingga akhirnya ia bergabung dengan Goads yang mengusung aliran grindcore. Pembaharuan referensi musik demi pembelajaran juga dilakukan oleh Lilin sebagai upaya untuk eksplorasi gaya vokal scream/growl. Dari awalnya mendengarkan band-band hardcore, ia mulai juga mendengarkan band-band dari berbagai subgenre metal, antara lain grindcore dan death metal.

Perjalanan Lilin menguasai teknik vokal growl/scream tidaklah mudah. Berbagai tantangan ia temui. Pertama, adalah latar belakang keluarga yang religius. Ayah Ibunya adalah guru ngaji sehingga ia mengaku ada rasa tidak nyaman ketika harus terbuka kepada orangtuanya perihal kegiatan nge-bandnya. Bahkan, ketika orangtuanya pernah berkata kepada Lilin bahwa musik ekstrem seperti itu adalah musik setan ketika mereka mengetahui bahwa Lilin suka mendengarkan musik-musik hardcore dan metal. Bahkan, sampai kini Lilin tidak pernah mengaku kepada orangtuanya kalau ia menjadi vokalis band grindcore bernama Goads meski Lilin juga yakin orangtuanya sudah mengetahui kegiatannya sebagai seorang vokalis band grindcore. Tantangan kedua justru datang dari kawan se-band-nya. Lilin mengisahkan bahwa di Goads, ia pernah merasa “dijual” oleh drummer bandnya. Goads ketika itu memiliki tiga anggota perempuan dan satu drummer laki-laki. Ketika pemain bas-nya keluar, si drummer bersikeras untuk mencari pengganti ang juga seorang perempuan.

Gambar 3.3 Lilin tampil bersama GOADS. Foto oleh: Stagehunter

“Lama-lama gue dan Venny (red-gitaris Goads) ngerasa kok kita kayak dijual ya? Kayaknya dia ngejual kita deh biar banyak yg nonton kan kalau personelya cewek kan pasti banyak yang nonton. Nah, gue sama Venny memberanikan diri buat ngomong ke dia. Dia juga ketahuan enggak jujur soal fee manggung. Akhirnya dia yang keluar dari band. Habis itu, gue sama Venny nyari personel lain dan g aharus cewek. Kan ini ngeband, ya siapa aja yang cocok sama musikalitas band ini”.105

Yang ketiga adalah terkait dengan gaya vokal scream/growl yang ia gunakan. Sama dengan yang dialami Ayu, Lilin juga mengalami inferiorisasi yang datang dari sesama anggota skena extrem metal. Kala itu, kenang Lilin, ia bersama Goads ikut serta dalam pembuatan album tribute untuk NASUM, band grindcore legenda asal Swedia. Salah seorang petugas studio rekaman dan juga beberapa anggota band lain meremehkan dia.

“Gue dengar salah seorang dari mereka ngomong ‘Ini serius vokalisnya cewek? Suaranya aja lembut gitu’. Nah, di situ gue sempat minder sih, cuma waktu itu gue jadi mau ngebuktiin bahwa gue bisa”106

Selain itu, Lilin juga mengaku bahwa ketika album EP Goads dan album LP pertama keluar, banyak anak-anak skena yang bilang kalau vokal milik Lilin ‘digambar’. Kata ‘digambar’ ini berarti vokal yang direkam di album itu disunting dan diperbaiki sedemikian rupa sehingga terdengar bagus.

“Banyak yang bilang sih kalau gue cewek yang bisa ngegrowl, gitu aja. Bahkan banyak yg bilang ‘ah elu cowok’. Belum familiar aja sih mereka. Baru percaya kalau pernah ngelihat gue manggung. Awalnya meragukan karena blm pernah ngelihat gue nge-growl atau scream, makanya ragu untuk ngajak bikin band atau project. Toh kalau pun mereka sudah tahu, mereka tuh tetap ga percaya. Ada yang bilang ‘ah ini vokalnya digambar. Tetap aja ada pandangan negative kayak gitu. Padahal, ini satu album gue rekaman vokalnya 3 jam, plus gue dobelin vokalnya, ga ada itu di situ yang ngegambar vokal”107

Ketika tampil di panggung pun, Lilin juga mendapat pernyataan-pernyataan merendahkan mengenai penampilannya bersama Goads. Lilin bercerita bahwa ketika

105 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan 28 September 2018.

106 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan 28 September 2018.

manggung di salah satu acara metal besar di GOR Bulungan, ada yang meremehkan band-nya terutama karena ia dilihat semata sebagai seorang perempuan sehingga dianggap ia tak mampu menguasai dan memproduksi gaya vokal growl dan scream. Meski begitu, Lilin mengaku peremehan seperti itu justru menjadi bahan bakar dirinya untuk tampil maksimal di panggung. Salah satu contohnya adalah ketika manggung dalam acara The Karnival 2019 yang dihelat di Solo pada 9 Juni 2019 lalu. Saat membawakan lagu “Ironi”108, Lilin nampak sangat percaya diri dan kualitas growl/suaranya terlihat sangat prima. Beberapa kali ia terlihat berjingkrak-jingkrak serta melakukan headbang di panggung di saat ia tak nge-growl, tetapi ketika kembali nge-growl, kualitasnya tetap bisa stabil dan prima. Di panggung, ia menantang dirinya untuk tidak minum air putih di jeda antar lagu. Seusai manggung, orang yang meremehkan tadi mengaku kaget karena vokal Lilin stabil dan tone-nya tidak turun di sepanjang penampilannya. Ia berujar demikian:

“Gue merasa puas sih karena bisa membuktikan dan kasih challenge ke diri gue sendiri meski waktu itu gue juga ga terlalu peduli amat”109

Sedikit berbeda dengan pengalaman Ayu dan Lilin, Hera Mary bersama Oath cenderung tak banyak menggunakan teknik growl/scream. Gaya vokal Hera cenderung berada di antara dua teknik itu. Hera awalnya bergabung dengan Oath sebagai seorang gitaris. Mendaku sebagai band sludge metal, Oath rupanya tak lahir dari skena metal pada awalnya, tetapi lahir dalam skena hardcore-punk. Perubahan musikal juga terjadi di tubuh Oath yang dari awalnya band hardcore punk lalu berubah menjadi sludge metal. Perubahan personel dan juga perluasan pengaruh musik menjadi titik balik Oath menjadi

108 Lihat dalam https://www.youtube.com/watch?v=sT2fAzz3ihM. Video penampilan GOADS ini diupload oleh akun Holy Label TV.

sebuah band Sludge Metal. Hera mengaku ia awalnya merasa kurang percaya diri ketika beralih menjadi seorang vokalis. Ia sempat bingung dengan gaya vokal yang akan ia gunakan, sebab sebelumnya vokal diserahkan kepada personel laki-laki. Selain itu, Hera juga sebelumnya sama sekali belum pernah menajdi vokalis sebuah band. Dengan Hera berpindah sebagai seorang vokalis, anggota band lain menyerahkan urusan gaya vokal kepada Hera sesuai dengan yang ia mampu lakukan. Tak seperti gaya vokal grindcore dan death metal, vokal sludge metal masih dapat didengar dengan jelas pelafalannya, tetapi terdengar abrasif dan bernuansa depresif. Gaya inilah yang kemudian diadopsi oleh Hera. Dalam penampilannya bersama OATH, ia terdengar seperti merapal mantra-mantra keluhan dengan gaya diteriakkan misalnya ketika ia tampil dalam acara HSTD Fest 2015 di Bandung yang rekamannya diunggah oleh akun Hungry Heart Project di YouTube pada 22 Mei 2015.110 Musik bertempo lambat bernuansa gelap dan depresif ala sludge metal yang dibawakan OATH berpadu dengan gaya vokal scream kasar nan abrasif yang digunakan oleh Hera. Dalam video penampilannya itu, terlihat Hera cukup ekspresif meski tak enerjik. Ekspresi sedih, muram, dan depresif nampak pada raut wajah Hera sembari menggelontorkan scream kasar miliknya. Menurut Hera, gaya ini juga ia adopsi dari band-band Sludge Metal luar negeri, antara lain adalah gaya vokal dari Mike Williams dari band Eyehategod, Nathan Misterek dari Graves at Sea, dan Gary Niederhoof dari Noothgrush.

Perbedaan besar terlihat di Popo Puji sebagai seorang vokalis death metal. Gaya yang ia terapkan adalah deep growl. Vokalis-vokalis Death Metal menggunakan lipatan membran di atas pita suara untuk memberi tekanan pada laring guna memproduksi growl yang dalam atau disebut sebagai guttural growl.111 Teknik ini bahkan disebut sebagai suara “cookie monster”112 sejak vokalis Cannibal Corpse, Chris Barnes, menggunakannya di album Eaten Back to Life pada tahun 1990. Teknik growling seperti ini digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan nuansa berat dan gelap dengan melibatkan timbre vokal yang intens. Eliminasi vokal yang dapat dikenali dan dapat didengar menjadi elemen penting dari death metal, termasuk dalam hal ini adalah gaya vokal yang digunakan oleh Popo bersama Demons Damn. Sebagai contoh adalah penampilannya di Bandung dalam acara Terror Attack pada 15 November 2015 yang diunggah di YouTube oleh akun whyyouseeiswhyyouhear.113 Dalam video itu, Popo menunjukkaan penguasaan teknik vokal guttural tersebut ketika memainkan lagu

111 Michelle Phillipov. Death Metal and Music Criticism: Analysis at The Limits (New York: Lexington Books, 2012), hal 100.

112 Ibid, hal 102.

113 Lihat dalam https://www.youtube.com/watch?v=5ScH8jHogn8 Gambar 3.4 Hera Mary tampil bersama Oath. Foto oleh: Dokumentasi OATH.

“Menggenggam Dendam” dengan dibarengi aksi panggung yang enerjik sembari beberapa kali terlihat melakukan headbang. Dari penampilannya itu, terlihat bahwa Popo sangat ahli dan menyiratkan bahwa Popo memiliki stamina yang prima sebagai seorang vokalis death metal yang menggunakan teknik vokal guttural. Intensitas musik yang kencang dan rapat semakin memantapkan gaya guttural yang dimiliki oleh Popo. Inilah yang dinamakan dengan death metal dengan kebrutalan suara yang dihasilkannya.

Vokal guttural yang digunakan oleh Popo ini memang memerlukan latihan yang keras dan melelahkan karena jenis vokal ini berbeda dengan scream dan growl yang biasanya didapat dari suara yang dikeluarkan (exhale). Guttural lebih menggunakan teknik suara yang disedot (inhale) sehingga lebih cenderung terdengar rendah dan pelan. Popo mengutarakan bahwa ia tak serta merta menguasai teknik itu. Ia pun selalu berstrategi untuk mendapatkan hasil maksimal, misalnya dengan menjaga kebugaran tubuh. Ia mengaku juga bahwa latihan mengausai teknik seperti itu juga sama dengan

Gambar 3. 4. Popo Puji tampil bersama Demons Damn. (Foto 1 oleh: ndrphotography, Foto 2 oleh: Anggi Sidik)

menyiksa diri dalam arti ia melatih tenggorokan dan pita suaranya untuk memproduksi suara guttural itu. Beberapa kali ia pernah salah dan merasakan sakit pada tenggorokannya. Namun, itu menjadi sebuah keharusan yang harus dilalui oleh Popo. Ia mengatakan bahwa apapun yang diinginkan, termasuk menguasai teknik vokal tersebut, harus ia kejar terus. Latihan berkelanjutan dan pengulangan-pengulangan yang telah ia